Kumo to Yuurei

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~εïз~

Iris cantik manusia itu membulat kala mendapati pemandangan transparan yang menyapanya sewaktu membuka jendela balkon. Bibirnya terbuka sedikit, menciptakan celah kecil yang dipakai si pengecap tak bertulang untuk mengintip. Kedua tangan terulur seolah mencoba menggapai sosok tak kasat mata di hadapannya.

Awan pagi hari bergerak perlahan. Si Kikir itu menyembunyikan surya. Menggelapkan sebagian tempat yang berada dipayungannya. Ketika sifat busuknya menghilang, terlihatlah warna biru cantik bersamaan dengan eksistensi anggun sesuatu yang menyentil rasa kejut Si Detektif.

Bibir hantu itu melengkung; menciptakan senyum manis sebagai kata penyambut. Netra mati menampilkan cahaya kehidupan penuh nyenyat. Angin membelai lembut rambut serta gaun putih polosnya, menambah kesan misterius dan anggun dalam diri Si Hantu.

"Selamat pagi, Tuan Detektif."

Suara itu menyayat hati Si Manusia. Senyuman berperisa gula kapas mengoyak isi kepala Edogawa Ranpo. Tanpa sadar, cairan bening kembali menetes dari sudut mata si detektif.

"Mengapa menangis? Seperti bukan dirimu saja."

Cepat-cepat Ranpo menghapus air matanya agar kalimat ejekan si hantu tak terus terngiang di telinga.

"Boleh aku memelukmu?"

Hantu tertawa, manusia dilanda kebingungan. "Benar, kan? Ini bukan Ranpo-san!"

Jemari Ranpo terulur untuk menggapai gadis hantu yang senantiasa menapakkan kaki di atas balkon. Celus.

"Ranpo-san yang kukenal tidak akan meminta izin seperti tadi," tambah lawan bicara dengan tawa miris.

"Kau pintar."

Dua kata pujian tak terduga tergelincir dari bibir Ranpo, mengejutkan si gadis hantu. Langkah diputar menuju pintu keluar. Ranpo pergi dari sana.

"Hei, Tuan Detektif, tunggu aku!"


Cotton Candy || Edogawa Ranpo x reader

BSD © Kafka Asagiri and Sango Harukawa

Plot ©DeadChuu

Request by Ryou_Mars

➳ Mohon maklumi apabila ada typo, OOC atau salah penggunaan kata.

Total words : 1189

Enjoy~

[23 Oktober 2021,
Sharon]


Biasanya, ucapan selamat pagi akan bergaung dalam Kantor Agensi Detektif Bersenjata. Berbeda dengan pagi ini. Selamat pagi masih terdengar, namun dinding agensi enggan menyahuti sapaan tersebut.

"Ranpo-san." Suara Kunikida Doppo, si pemakan ideal yang dapat diandalkan.

"Ada apa?"

"Aku tahu ini masih pagi dan kaubaru saja berduka. Tapi, ada pekerjaan untukmu."

"Aku akan menyelesaikannya."

"Atsushi akan menemanimu."

"Tidak," tolak Ranpo, "aku bisa sendiri."

"Ranpo-san, tidak usah memaksakan dirimu, lho," sambar Dazai.

"Aku sudah pernah ke sana bersama [Name]."

Plano—kertas lembaran utuh berisikan keterangan misi disambar dari atas meja kerja Ranpo. Ia baca dengan cermat tanpa tertinggal satu pun informasi. Selesai mencerna, Ranpo guna mengurus masalah tersebut.

~εïз~

Kasus ini sederhana.

Terjadi ledakan di dekat stasiun sekitar dua jam yang lalu. Tidak ada korban jiwa. Pelaku penyerangan mati di tempat, bom bunuh diri sepertinya.

Yang mengherankan adalah kepala si pelaku menghilang.

Detektif terhebat sedunia sampai di lokasi kejadian. Tempat itu sepi akibat dihentikannya jadwal keberangkatan kereta sampai waktu yang tak menentu. Garis peringatan yang menjadi ciri khas polisi menyambut Ranpo.

Tak ingin membuang masa, Ranpo langsung menghampiri mayat si pelaku.

Keadaannya mengerikan.

Walau ditutupi kain, bau menyengat khas darah tetap sampai ke penciuman Ranpo. Tangannya yang menyembul dari balik kain terlihat pucat dan lentuk, seolah akan patah jika ada yang membengkokkannya. Tatkala kain dibuka sepenuhnya, Ranpo sebisa mungkin menahan keinginan untuk mengeluarkan isi perutnya.

Ke mana kepalanya?

Ialah pertanyaan normal yang akan terlintas di benak tiap insan yang melibat keadaan mengerikan mayat tersebut. Namun, Ranpo malah tertarik dengan enigma mengapa kepalanya? ketimbang perkara awal.

Jasad itu tak mempunyai kepala, hilang lebih tepatnya. Para polisi hanya dapat mengidentifikasi jenis kelamin dengan memperhatikan saja. Mereka tidak boleh menyentuh karena akan merusak rekam jejak—petunjuk pada tubuh pelaku.

"Wanita, ya?"

"Kasihan dia, Ranpo-san," celetuk Si Hantu.

Ranpo mengangguk. "Kepalanya meledak."

"Mengapa kau beranggapan demikian? Jelas-jelas kepalanya terlihat seperti dipotong secara teratur."

"Penyebab ledakan tadi adalah kepalanya."

"Jadi, kau baru saja mengatakan—secara tidak langsung—bahwa kepalanya meledak karena terlalu banyak berpikir, begitu?"

Ranpo menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya."

"Apa mungkin seseorang menanamkan bom kecil dalam kepalanya lalu meledakkannya?"

"Kemungkinan kecil, iya."

"Mengerikan …." [Name] menatap ngeri mayat tadi sambil mengedikkan bahu.

Dan dalam sekejap mata, Edogawa Ranpo menemukan titik terang kasus dan memecahkannya dalam sekali kedipan mata.

~εïз~

"Siapa sangka ternyata dugaanmu benar, [Name]."

"Aku hebat, bukan?"

Tawa senang terdengar dari Si Hantu, melepas belenggu salah dalam diri Ranpo. Suasana dermaga Yokohama seakan senyap dan hanya dipenuhi oleh gelak kekasihnya. Ranpo tersenyum senang tanpa menyadari kemirisan dalam lekukan bibirnya.

"Kenapa kau meninggalkanku, [Name]?"

"Aku?" [Name] menunjuk dirinya. "Aku tidak meninggalkanmu."

"Lantas, mengapa pergi tanpa pamit?"

"Kalau kuucap pamit, apa kau akan merelakanku?"

"Aku menyayangimu, kautahu?"

"Tak perlu aku membaca pikiranmu pun aku sudah tahu." Ia terkekeh seraya memeluk Ranpo, walau perbedaan menghalangi. "Aku juga menyayangimu. Maka dari itu, aku memilih untuk pergi."

"Menggantikanku?"

Kelopak mata [Name] terbuka, memperlihatkan iris indahnya. Air muka Si Hantu berubah menjadi sendu disertai dengan pelukan samar yang ia lepas.

"Hari ini kaukosong, kan? Bagaimana kalau menemaniku jalan-jalan?"

"Ke mana?"

"Asalkan bersamamu, ke dasar laut pun akan kuladeni."

"Kalau begitu, diam-diam saja di sini."

"Kubeli es krim dulu, deh."

"Kau 'kan sudah mati."

"Oh, iya, lupa." Ia terkekeh geli, menjadikan kemalangannya sebagai lelucon.

"Konyol."

Si Hantu memilih untuk berjalan kecil di sekitar Ranpo sembari bergamat.

"Yuurei ni natta boku wa~"

"Asu tooku no kimi o mi ni ikun da~"

Bibir manusia kembali melengkung, kali ini ia tersenyum riang. Nyanyian yang hanya dapat Ranpo dengar seakan merayunya untuk merelakan kepergian [Name] dan berpaling pada realita kehidupan. Tetapi, Edogawa Ranpo tidak akan rampung sebelum misteri di balik kematian [Name] terungkap.

"Kau sudah menjadi hantu, tahu."

"Dan, aku sudah mendatangimu hari ini. Kira-kira, kapan aku akan kembali?"

"Menetaplah."

[Name] tertawa lepas. "Sebegitu inginnya untuk membongkar misteri kematianku, ya?"

Ranpo terkesiap hingga kelopak mata terbuka dan mempertontonkan iris emerald cantiknya.

"Bukannya itu tujuan kehadiranmu saat ini?"

"Bagaimana, ya?" Hantu mengambil tempat di sebelah kanan Ranpo. "Aku tidak pandai bersilat lidah, Ranpo-san."

"Bagiku, kau yang terbaik."

"Aku dan mayat di stasiun tadi tidak berbeda jauh. Perbedaan kami hanya satu, dia kepala sedang aku otak."

"Maksudmu?"

"Wanita tadi kehilangan kepalanya, meledak. Sedangkan, aku kehilangan otakku. Itulah mengapa Yosano-sensei tidak dapat menyembuhkanku."

Tatapan Ranpo mendingin. "Sudah tahu dari awal, rupanya."

"Lalu," [Name] melanjutkan, "penyebab utama meledaknya otakku adalah karena perbuatan seseorang. Mungkin, dia menanamkan bom super kecil ke dalam kepalaku."

"Kasus ini akan memakan banyak korban jiwa," gumam Ranpo.

"Sudah jelas, kan?"

Ranpo menghela napas, berusaha untuk mengetuk kening [Name], walau berakhir dengan celus.

"Apa di dalam sini terdapat otakmu?"

"Hantu tidak memerlukan otak."

"Pantas saja, bodoh."

Hantu tak memiliki perasaan. Seharusnya seperti itu. Namun, entah mengapa, [Name] kembali memasang raut nelangsa yang menyayat kalbu Ranpo.

"Sudah waktunya, ya?" tanya Ranpo memastikan.

"Suatu hari nanti," [Name] memotong suasana memuakkan yang menyeruak dari diri mereka, "kita akan bertemu di sini lagi."

Bibir Ranpo terkatup rapat.

"Untuk sekarang, ini adalah perpisahan kita. Lupakan hal menyedihkan. Tinggallah di dalam kenangan indah."

Detektif itu masih terkatup.

"Apakah aku harus mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa?"

Si Hantu memudar perlahan bersamaan dengan matinya perasaan yang berkaitan dengannya. Selamat tinggal ada kata perpisahan yang cocok, karena kesempatan kedua memusuhi mereka.

Mentari terlelap di bentala Barat. Sayup udara menipis dan para burung melakukan perjalanan panjang menuju rumah mereka. Angan menarik kedua organ gerak bawah Ranpo untuk berjalan dalam hiruk sepi Yokohama.

Edogawa Ranpo tenggelam dalam samudera pilu dan hambar.

"Selamat tinggal, hantu dari masa laluku."

~εïз~

End~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro