02. Emerald

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• • •

• • •

Berlin - Charlottenburg

Deruman mobil memasuki pekarangan rumah menyapa indera penghuninya. Wanita bersurai gelap buru-buru menuruni anak tangga, guna menyambut kepulangan Yeager bersaudara.

Zeke mengambil payung dari dalam mobil, tak lupa membawa barang-barangnya keluar. Jangan tanya kemana si bungsu Yeager. Dia masih di dalam karena kakaknya tak kunjung membukakan pintu.

"Eren, ambil payung di kursi belakang." Hujan masih mengguyur bahkan setelah mereka sampai di rumah, itu sebabnya mengapa Zeke menyuruh Eren untuk mengambil payung.

"Ya, tak usah menyuruhku." Tampaknya pemuda itu masih marah kepada sang kakak. Mungkin lebih tepatnya merasa bersalah pada gadis kecil yang ditemuinya tadi.

Setengah badannya ia condongkan ke kursi belakang, Eren meraih payung dengan kasar. Segera mengambil jalan ketika pintu mobil telah terbuka. Pemuda cokelat itu lekas berlari menuju pintu rumah mereka. Menunggu sang penghuni untuk membukakan pintu.

Kakaknya menyusul dari belakang. Dengan kedua tangannya yang dipenuhi beberapa tas. Tas milik Eren salah satunya.

Cklek

Pintu terbuka, wanita dengan bentuk wajah yang sama seperti Eren tampak berdiri di sana.

"Zeke, Eren. Kenapa pulang larut?" Pertanyaan dilontarkan kala mendapati kedua putranya baru pulang pada waktu yang tidak seperti biasanya.

Eren menyikut pinggang sang kakak. Berharap agar kakaknya itu bisa diandalkan untuk situasi saat ini.

"Y-yeah, ceritanya panjang." Untuk pertama kalinya Zeke merasa kikuk ketika berbicara dengan ibu Eren. Ia juga tak yakin Carla akan percaya dengan penjelasannya yang terdengar sederhana namun memiliki maksud lain.

Carla─wanita itu─mengangguk paham mendengar penjelasan si sulung. Perhatiannya lalu dialihkan kepada si bungsu Yeager, yang terus menunduk menyembunyikan netra hijaunya dibalik helaian poni yang menjuntai.

"Yasudah sana ganti baju kalian." Carla mendorong Yeager bersaudara untuk masuk ke rumah mereka, meninggalkan dirinya sendiri untuk menutup pintu depan. Wanita itu menoleh sekilas. "Zeke, Dina mengkhawatirkanmu, temuilah dia," pesannya.

Kepala pirang itu mengangguk. Lantas mengambil langkah untuk menyusul Eren yang sudah menaiki anak tangga. Lantai dua menjadi tujuannya untuk saat ini, sedang sang adik masih melangkah untuk pergi ke lantai selanjutnya.

Langkah gontai menjadi bukti betapa lelahnya pemuda eboni itu, kaki serasa tak larat untuk bersentuhan dengan lantai. Pada akhirnya dinding di setiap kamar menjadi penyangga untuknya berjalan.

Gagang pintu akhirnya tergapai, sesegera mungkin untuk sampai di kasur tercinta. Sebelum ia sadar kalau tubuhnya perlu dibersihkan terlebih dahulu, atau nantinya sang ibunda akan murka.

Eren dengan malas mengambil handuk di dalam almari, lalu kembali menutup pintu kamar dari luar. Kakinya dipaksa untuk bergerak, benar-benar, rasanya Eren ingin melata bak ular.

• • •

Sepuluh menit Eren berkutat dengan air. Bagi ibundanya, mandi Eren itu bagaikan bebek. Namun bagi pemuda eboni tersebut, itu adalah waktu mandi terlama yang pernah dilakukannya.

Sakelar lampu digapai, guna memberikan penerangan untuk kamar yang didominasi oleh warna putih itu. Juga beberapa poster yang menghiasi dindingnya, tebak poster apa? Tentunya tak jauh dari karakter dua dimensi yang menjadi tontonan Eren tiap pulang sekolah.

Eren mendaratkan pantatnya pada kasur empuk kesayangannya, aroma mint menyeruak kala kepala dengan mahkota eboni itu dihempaskan. Matanya terpejam sejenak untuk menikmati ketenangannya yang sesaat. Sebab dering pada smartphone mengusik telinga.

Benda pipih yang tergeletak di atas nakas segera diraih, sebisa mungkin untuk tidak menggerakkan tubuhnya yang terlanjur nyaman dengan posisi tengkurap. Alis tebal itu terangkat ketika melihat notif pada layar smartphone-nya.

Eren menekan aplikasi obrolan pada bar menu.

Seratus panggilan tak terjawab. Teruna itu tidak kaget, sebab sudah tahu siapa saja pelakunya. Tiga panggilan tak terjawab dari kontak bernama Armin, dan satu pesan singkat. Satu panggilan tak terjawab dari Jean, lima panggilan tak terjawab dari Floch dan Falco, sisanya dari kontak bernama Mikasa.

Lima puluh pesan yang dikirim pada waktu yang sama. Eren mendesah, dengan sabar membuka satu persatu pesan dari temannya dan kedua juniornya.

Dari Armin;
"Eren kau kemana saja? Omong-omong selamat ulang tahun. Maaf aku tidak memberimu hadiah."

Membaca pesan Armin membuat Eren mengingat hal penting yang hampir ia lupakan. Lima belas tahun yang lalu adalah hari dimana ia terlahir di dunia, tanpa sosok ayah yang menyambut kelahirannya.

Tok tok tok

Ketukan pintu membuyarkan lamunan. Eren melirik daun pintu. "Siapa?" tanyanya.

"Kakakmu yang baik."

Pemuda itu mendecih, "Tch, masuk."

Setelah mendapat persetujuan, sang pelaku di luar sana membuka pintu bercat putih tersebut.

Bayang-bayang gadis kecil yang Eren temui saat itu menggantikan sosok Zeke, dia mendekat sambil membawa ember kayunya. Eren mencoba untuk tenang, iris hijau itu disembunyikan sejenak di balik kelopak mata. Lalu terbuka dan mendapati sang kakak yang membawa sebuah paper bag.

Eren menghela napas, ia kembali menggulir percakapan di layar smartphone-nya, mencoba untuk tetap terlihat tenang. Alisnya tertaut ketika merasakan beban lain pada kasur, Eren menendang apapun yang ada di sana.

"Minggir," usirnya.

Kini pemuda eboni itu telentang, menatap jengkel pada pria pirang yang duduk di pinggir ranjang. Zeke melirik adiknya, sebuah paper bag diletakkan di atas perut Eren.

"Selamat ulang tahun." Tiga kata terucap diantara berisiknya deras hujan. Zeke tersenyum hangat di bawah pijar lampu yang menerangi seisi kamar.

Eren menarik selimut guna menutupi wajahnya. "Tidak ada yang berulang tahun hari ini," ucapnya.

Mengetahui sang interlokutor yang tampak tidak tertarik memulai obrolan, Zeke bangkit dan melangkah pergi. Hampir memutar kenop pintu sebelum suara dari Eren menginterupsi.

"Danke."

Seulas senyum usil dikembangkan. Zeke membalas tanpa menoleh pada lawan bicaranya. "Apa? Aku tidak dengar."

Eren dengan sabar mengulang ucapannya. "Danke."

"Maaf? Bisa kau ulang? Sepertinya suara hujan sedikit mengganggu," balas Zeke lagi.

Pemuda eboni itu naik pitam, membalikkan tubuhnya membelakangi sang kakak yang berada di ambang pintu.

Zeke terkekeh. Tak ingin rasa kesal sang adik kepada dirinya bertambah, ia pun menjawab, "Bitte."

Eren menghiraukannya. Jemarinya sibuk menekan-nekan huruf pada layar smartphone. Hingga badai angin menyapa kordennya, barulah ia mengalihkan fokus. Mahkota eboni-nya terasa berat ketika dipaksa untuk terangkat, seakan sudah nyaman dengan bantal empuknya.

Lengan berbalut baju piyama itu tergerak meraih ujung korden, hendak menutupnya kembali sebelum kilas cahaya hijau tertangkap mata. Eren menyembulkan sedikit kepalanya keluar jendela. Iris zamrud menangkap sesosok bertudung yang berdiri dekat pohon, Eren tak tahu pasti seperti apa wujud yang dilihatnya. Hanya mata hijau yang menyala di dalam kegelapan.

Tak mau menambah beban pikiran akan apa yang baru saja dilihatnya, pemuda eboni itu memutuskan untuk segera menyelam ke alam mimpi. Lagi pula jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, memang sudah waktunya Eren untuk terlelap.

"Kau terlalu cepat 4 tahun untuk bertemu gadis itu, Eren Yeager."

Eren mendengarnya, tapi ia mencoba untuk tak mengindahkannya.

• • •

March 31, 20XX
Berlin Metropolitan School

Angin berhembus pelan dari arah timur, mengiringi sang surya yang mulai menampakkan wujudnya. Semilirnya membelai rambut sewarna kayu eboni milik pemuda dengan tinggi 170 cm tersebut.

Seragam sekolah dengan dilapisi sweater menjadi setelannya hari ini. Ucapkan terima kasih kepada kepala sekolah mereka, karena telah memberikan kebebasan dalam berpakaian untuk siswa-siswinya. Kendati demikian, pakaian mereka harus tetap sopan.

Tak lama terdengar derap langkah kaki dari arah belakang remaja tersebut. Rangkulan diberikan kala sosok yang dituju sudah masuk jangkauan.

"Morning Eren," sapa sang pelaku.

Eren sedikit merunduk ketika mendapat dorongan dari belakang lehernya. Mahkota eboni itu menoleh, menangkap sesosok kawan karibnya yang tersenyum penuh arti.

Teruna berdarah Amerika itu melepaskan rangkulannya, tangannya lalu disembunyikan di dalam kantong celana.

"Pagi juga. Kau kenapa Connie? Tak seperti biasanya," tanya Eren berbasa-basi.

Connie menjawab, "Nothing, just happy can see you again."

Baru lima langkah Eren berjalan bersama kawannya, pemuda dengan panjang rambut tiga milimeter itu sudah akan berpisah. Connie menepuk punggung Eren pelan, memberikan kode pada pemuda eboni itu bahwa ia tak bisa berlama-lama.

"Dah, sampai ketemu di klub basket," pamitnya kepada Eren.

Eren mengangguk, padahal mereka akan bertemu lagi di kelas yang sama. Tapi lagak temannya itu sudah seperti berpisah dalam waktu yang lama. Ia lalu mempercepat langkahnya, mengingat kini dirinya sedang dikejar waktu.

• • •

9:00 AM
Canteen

"Eren, hari ini kau akan mentraktirku 'kan?"

Gadis berdarah Irish itu memegang erat lengan kanan Eren, menempel bak lem perekat hanya ingin ditraktir oleh empunya. Dia bahkan tidak menyadari hawa kelam di belakang gadis bersyal merah.

"Hah? Bukankah kau sudah bawa bekal? Lagi pula aku tidak pernah bilang akan mentraktirmu." Eren mengambil tempat pada bangku di meja nomor tiga, disusul oleh teman-temannya di belakang.

Sasha Braus, gadis yang berasal dari Irlandia itu tetap tak melepaskan rangkulannya. "You liar. Padahal semalam kau sendiri yang membalas pesanku, dan kau bilang ingin mentraktirku untuk merayakan ulang tahunmu," balas Sasha tetap kukuh.

Meja berbentuk persegi panjang dengan enam kursi itu kini sudah penuh, dihuni oleh sekawanan pelajar yang berasal dari berbagai negeri. Mungkin kalian akan merasakan petualangan dari berbagai negara melalui cerita mereka berenam.

Pemuda dengan panjang rambut tiga milimeter itu menyahut, "Ya, kau bilang akan mentraktir kami."

Eren yang benar-benar tak tahu kemana arah pembicaraan teman-temannya hanya mengernyit. Iris hijau itu mengamati satu persatu dari mereka, mulai dari kawan pirangnya yang mencuri pandang pada gadis di meja nomor empat, dan seorang gadis berambut legam yang terus memperhatikan dirinya.

Tak lama sahutan dari gadis bersurai senada dengan rambut Eren memecah keheningan. "Nah Eren, apa kau benar-benar lupa? Aku bisa menunjukkan riwayat percakapan kita semalam."

"Aku juga. Percakapanku denganmu belum kuhapus." Connie menyahut sambil memberikan pukulan pada kawannya di samping kanan.

"Don't hit me, hey."

"Maaf, Jean."

Connie dan Sasha pun menunjukkan layar smartphone-nya, yang menampilkan riwayat percakapan mereka dengan Eren. Di situ tertulis bahwa Eren akan mentraktir mereka sebagai perayaan ulang tahunnya.

"Jadi semalam aku mengirim pesan kepada kalian kalau aku akan mentraktir kalian?" Eren memastikan.

"Exactly," jawab Connie dan Sasha bersamaan.

Merasa janggal, pemuda eboni itu kembali bertanya, "Wait, pukul berapa aku mengirim pesan itu?"

"Pukul 12 malam."

Permata zamrud itu membola, benar dugaannya, sesuatu yang janggal baru saja terjadi. Hal itu membuat Eren teringat kejadian kemarin sore, bertepatan dengan tatapan Jean kepadanya saat ini.

"What's wrong with you?" tanya Jean. Pemuda itu meletakkan kembali sesendok omelet di atas piring.

Diberi pertanyaan seperti itu malah membuat Eren terlihat semakin aneh, dia ingat betul bagaimana pemuda berdarah Prancis itu mencekik lehernya kemarin.

Eren memulai obrolan. "Jean ... I have something to say."

Nada bicara dari pemuda eboni itu malah memberikan kesan ambigu pada teman-temannya, termasuk pada sang interlokutor yang kini tengah membeo.

"Setidaknya jangan menciptakan suasana canggung, sialan. Susunlah kata-katamu!" ujar Jean membenarkan.

Armin yang sedari tadi hanya diam memperhatikan kini ikut angkat bicara. "Benar Eren, kau terdengar seperti akan menyatakan cinta."

"APA?!" balas Eren tidak terima.

"Kau sendiri yang mengatakannya lalu kenapa kau yang marah?" Connie menyahut ditengah-tengah kunyahan makanannya.

Tak mau berlama-lama dalam perkara salah menyusun kata-kata, Eren segera menjelaskan apa yang ingin ia bicarakan pada Jean. Yang berujung diceritakan kepada teman-temannya juga.

"Terserah kau ingin percaya atau tidak, terserah kau menyebutku menghayal atau apapun itu. Yang pasti aku bukan Chuunibyou," jelas Eren.

Mendengar itu teman-temannya─kecuali Mikasa─membatin, "Dia tidak masalah jika dibilang sedang menghayal, tapi dia tidak terima jika disebut Chuunibyou. Dasar weeb."

"Aku percaya." Itu adalah Armin, menjawab dengan percaya diri. Pemuda pirang itu sangat bersemangat jika sudah menyangkut hal-hal berbau sejarah, ataupun hal-hal yang belum pernah terjamah akal pikiran manusia. "Aku ingin menjelaskannya pada kalian. Terutama padamu, Eren. Tapi sepertinya ...."

Kriing

Dering bel menjadi pertanda bahwa waktu istirahat mereka telah usai. Makanan yang masih tersisa diatas meja segera dicomot habis.

"Sial, burger keju ku mendingin!" pekik Eren.

"Buang saja Eren, makanan dingin tidak baik untuk tubuh." Mikasa memperingatkan kawan cokelatnya. Burger keju di hadapan Eren segera direbut, lalu diamankan ke dalam kantong plastik.

"Oi Mikasa, aku ingin memakannya," protes Eren.

"Tidak Eren, makanan ini sudah tidak layak untuk dimakan. Aku akan membelikanmu lagi di jam istirahat kedua."

"Berhenti mengaturku! Kau bukan ibuku ataupun saudaraku."

Pertengkaran kecil antara pemuda eboni dan gadis raven menjadi hiburan tersendiri bagi mereka yang ada di sana. Menikmati ujung waktu di jam istirahat sambil menonton drama picisan dengan dibintangi oleh Eren dan Mikasa.

• • •

Pada akhirnya Eren harus merelakan burger kejunya terbuang di dalam mulut Sasha. Sebab Mikasa tak sengaja menjatuhkan kantong plastik berisi burger keju tersebut, dan bertepatan dengan perut Sasha yang masih keroncongan.

Eren berjalan lesu, menaiki satu persatu anak tangga tanpa energi. Salahkan dirinya yang tidak memanfaatkan jam istirahat untuk mengisi perut, malahan ia gunakan untuk beradu mulut.

Sepuluh anak tangga sudah terlewati, kini tersisa sepuluh lagi untuk sampai di kelas. Beruntung ia masih memiliki waktu lima menit sebelum guru datang. Disaat itu juga, Eren mendengar isak tangis dari sosok yang terduduk di anak tangga.

Teruna itu menghampiri, sebelum ia mengurungkan niatnya kala tak ada bayangan yang didapat. Namun kali ini Eren tak peduli, sekalipun sosok itu sama seperti Jean yang ia temui, ia tak bisa melihat seorang gadis menangis.

• • •

Ada perubahan di deskripsi.

🇩🇪
1. Danke : Terimakasih
2. Bitte : Sama-sama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro