โ” ๐€ ๐ฌ๐ž๐œ๐ซ๐ž๐ญ ๐ซ๐จ๐ฆ๐š๐ง๐œ๐ž

Mร u nแปn
Font chแปฏ
Font size
Chiแปu cao dรฒng

โœฆ









โŒ— ๐€ ๐ฌ๐ž๐œ๐ซ๐ž๐ญ ๐ซ๐จ๐ฆ๐š๐ง๐œ๐ž

____________

NETRANYA menatap takjub. Permata gelap itu memperhatikan bagaimana nona di depannya bertingkah. Waktu telah lama berlalu semenjak interaksi normal terjadi padanya. Lantas ia tersenyum menyadari bahwa wanita yang kini menggerutu adalah pelita yang perlahan menyinari sinar redupnya.

"Si sialan itu ... ! Aku kan jadi pulang terlambat! Asramaku sudah ditutup ... aku harus kemana?"

Tiba-tiba ia menjadi tenang dengan bibirnya yang cemberut.

Kim Dokja merasa itu lucu.

Lantas ia terkekeh pelan sebelum menanggapi.

"Memangnya tak ada teman?"

Sebenarnya ironi karena dia juga tidak punya teman.

(Name) menjawab dengan gelengan pelan.

Kim Dokja dilema untuk kedua kalinya. Kemana ia harus membawa (Name)? Tak bisa dibiarkan sendiri juga, bahaya.

Kemudian ia menanyakan letak asramanya yang dijawab dengan gelengan kepala lagi. Nomor yang bisa dihubungi juga tidak ada.

Dia benar-benar frustasi sekarang.

Lantas opsi terakhir ...

Ragu-ragu, ia menatap wanita dengan surai pendek di hadapannya. Durja sama mabuknya dengan sang punya sinar jingga.

"Mau ke tempatku?"

"???"

โ˜†โ˜†โ˜†

Detik ketika daksanya berdiri di depan pintu, ia membeku. Mempertanyakan apakah pilihannya benarโ€”tidak, dia pasti sudah gila.

"Aku benar-benar membawa perempuan ke rumah ... "

Monolog pelan itu dijawab dengan helaan napas pelan.

"Ya sudahlah. Tidak mungkin juga aku meninggalkannya sendirian."

Ia lantas melirik wanita dalam rengkuh sebelum pandangnya beralih pada kenop pintu.

โ˜†โ˜†โ˜†

Kim Dokja lupa bahwa rumahnya tidak jauh beda dengan kapal pecah. Dengan gugup ia meminta (Name) untuk menunggu sebentar di depan. Lantas membereskan isi rumah dengan secepat kilat.

Belum sampai di situ, begitu masuk (Name) merasa mual. Dengan panik ia membawa wanita itu ke kamar mandi. Hal ini membuat Dokja merenung.

Apakah tempatnya semenjijikkan itu?

Ah tidak. Memang kelakuan orang mabuk saja.

Menghela napas, akhirnya ia menyelimuti tubuh (Name) dan duduk di bibir kasur. Mengamati wajah terlelap sejenak sebelum akhirnya menampar pelan pipinya sendiri.

"Sebaiknya aku keluar."

Mendudukkan diri di sofa, ia membenarkan kaus putih yang ia kenakanโ€”jaketnya masih di kamar, di sebelah (Name). Jaga-jaga ia lepaskan takut posisinya membuat tidur tak nyaman.

Menatap langit-langit ruangan, ia kembali bermonolog.

"Ah, ngomong-ngomong. Dia tidak akan berpikir aneh-aneh kan ... ?"

โ˜†โ˜†โ˜†


"???"

Dan (Name) berpikir yang aneh-aneh. Paginya ia terbangun dengan muka linglung. Mengusap kasar wajahnya kala sakit menyergap kepala. Perlahan kenangan mengerikan masuk ke dalam ingatannya.

"Aku sudah gila."

Menghela napas frustasi, ia mengecek kondisi tubuhnya. Aman, kendati ada jaket di sebelahnya dan selimut yang ia pakai.

"... dia cukup gentleman."

Menyingkirkan selimut, ia merapikan penampilannya kemudian melangkah keluar kamar. Tampak seorang lelaki tertidur dalam posisi bersandar ke sofa. Kaosnya hanya putih tipis, (Name) yakin ia tidur karena kelelahan dan tidak nyaman dengan posisinya.

"Padahal aku hanya orang asing, tapi membiarkan lawan jenis masuk ke rumahnya ... "

Ia menggelengkan kepala lalu duduk di sebelahnya perlahan. Menatap wajah terlelap tersebut dan menyadari hal-hal janggal.

"... pantas saja tak asing."

Akhirnya ia ingat. Sendirian di rumah, penampilan yang berantakan, Kim Dokja.

Ia mendengus kemudian menatap sendu lelaki ini.

"Wah, hidupmu menyedihkan juga ya."

"Memang."

(Name) tersentak. Ketika kelopak itu terbuka dan lelaki dengan surai gelap mengedip perlahan. Menoleh, bersirobok tatap dengan wanita di sampingnya.

"Kau bangun."

"Sejak (Name)-ssi duduk di sini," sahutnya dengan suara serak. Ia mengusap pelan matanya.

"Panggil Noona saja."

Kim Dokja mengangguk paham.

"Apa kondisi Noona baikan?"

"Ya," sahutnya. "Kejadian yang muncul begitu saja di otakku, membuatku sadar sepenuhnya."

Menyadari apa yang dimaksud, Kim Dokja hanya tertawa pelan sebagai respon.

"Terima kasih."

Kim Dokja mengangguk dengan senyuman.

"Tidak bertanya mengapa rumah ini sepi?"

Wanita itu hanya mengulas senyum. Kim Dokja memejamkan matanya sejenak. Cukup menjadi jawaban bahwa wanita itu telah sadar. Yah, apa yang diharapkannya dengan novel dan kisah yang jadi viral itu?

"Kau tidak sekolah?" tanya sang punya sinar jingga. Mengalihkan topik.

Lawan bicaranya menggeleng.

"Libur."

(Name) mengangguk paham. Ia juga tak ada kelas hari ini, sehingga lebih santai.

Teringat sesuatu, Kim Dokja ragu-ragu bertanya.

"Kalau boleh tahu, mengapa Noona ada di sana semalam?"

(Name) mengangkat bahunya acuh tak acuh kemudian bersandar ke sofa.

"Kencan buta, namun tak berjalan lancar. Apa coba pria sialan itu, baru kencan buta sudah mengajak ke hotel."

Mendengar hal ini, pantas saja (Name) memilih minum dan mengumpat. Kim Dokja tertawa kembali kemudian membuka ponselnya. Ia lakukan hal itu sembari bicara.

"Sebaiknya lain kali jangan minum sendirian begitu. Bahaya."

(Name) mengangguk paham. Menerima sarannya dengan baik. Toh itu ia lakukan hanya karena emosinya sedang memuncak.

Menyadari bahwa Kim Dokja kembali fokus membaca sesuatu, ia teringat pertemuan pertama mereka. Kim Dokja juga sedang membaca saat itu. Benar-benar seorang pembaca.

"Oh ngomong-ngomong, kau sedang baca apa?"

"... novel."

"Tentang?"

Kim Dokja mengalihkan pandangannya. Menatap wanita dengan durja penasaran itu kemudian tersenyum.

Dan seterusnyaโ€”hari akan mereka habiskan dengan konversasi tiada akhir. Suara sang adam membacakan novel bak dongeng memasuki rungu. Tak disadarinya tawa kian sering keluar kala ia mengenal nona di samping.

Pada dasarnya, mereka adalah orang yang membenci realita. Larut dalam kesendirian belaka. Hingga menemukan masing-masing dan berakhir bersama. Mengabaikan semesta, biar dunia menjadi milik berdua.

Setidaknya, sementara.

16 Januari 2024

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen2U.Pro