━ 𝐂𝐨𝐧𝐟𝐞𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

☆☆☆

your lips, my lips
APOCALYPSE

CAS














⌗ 𝐂𝐨𝐧𝐟𝐞𝐬𝐬𝐢𝐨𝐧

____________

DERU napas terasa hangat menyapa durja. Ada satu jengkal jarak mereka berdua. Karantala masih bersemayam pada merahnya pipi yang memabukkan. Buat batinnya meragu tentang tindak setelahnya.

Kali ini nona putuskan benang tatap. Ia membuang wajah sembari menyembunyikan pusat atensi pria itu—bibirnya.

"Noona."

Tak ada respon. Kim Dokja seketika menyesali tindakannya yang impulsif dan agresif.

"Dokja, kamu kan tahu."

Kali ini helaan napas terdengar. Kim Dokja menjauhkan wajahnya kemudian menyentuh pelan tangan sang dara. Ia turunkan guna pandangi wajah di baliknya.

"Aku tahu. Maaf, Noona."

Masih tak ada respon. Seolah dalam sekejap bibirnya membisu.

"Tolong tatap aku sebentar."

Menghembuskan napasnya pelan, kali ini netra lembayung menatap lurus jelaga di depannya. Biarkan pemilik surai gelap mengusap pelan punggung tangannya. Menghantarkan hangat di tengah dinginnya malam.

"Aku menemukan kenyamanan saat bersamamu," jeda sesaat. Sentuhannya terasa sangat lembut. Penuh kehati-hatian. "Mungkin kalau bukan karenamu juga, aku sudah menyerah."

Hati terasa diremas kala gema masa lalu datang.

"Aku tidak masalah sendirian selama ini. Selama denganmu. Dan mungkin jauh sebelum aku sadar dengan perasaanku, aku sudah jatuh."

Jelaga itu menatapnya hangat.

"Sederhananya, aku menyukaimu."

lebih dari apa yang kau pikirkan.

"Trauma tidak mudah hilang, aku tahu."

Tidak, jangan. Bila seperti ini, dinding besar yang sudah payah dara ini bangun akan runtuh.

"Dokja, kau tahu aku sangat takut dengan sebuah hubungan maupun ... laki-laki."

Karena hubungan yang ia lihat tak pernah berjalan lancar—misal, orang tuanya.

"Biarkan aku membantumu. Pasti butuh waktu, tapi aku sanggup."

Maka kelopak itu saling bertubrukan. Nona pejamkan matanya kuat-kuat. Berusaha menghempaskan ilusi mimpi buruk yang datang menghantuinya.

"Terakhir juga aku hampir gila," ujar sang dara dengan lirih.

Masih diingatnya bagaimana sentuhan menjijikkan bagai hari kemarin. Kancing atas yang terlepas serta tangan yang memberontak kencang. Tangisnya pecah saat tubuhnya diraba dengan lancang.

Mungkin saat itu ia beruntung, sebab Kim Dokja datang dan segera bertindak.

"Saat itu aku merasa menjadi perempuan paling kotor di dunia."

Kim Dokja terlarut. Ingat saat dimana ia menyaksikan kejadian mengerikan. Kala jerit membawa langkahnya datang. Pupil bergetar saat wanita dengan kemeja yang berantakan menyita atensi.

"... itu kan bukan salah Noona. Aku beruntung datang dengan cepat sebelum pria gila itu melanjutkannya."

Menghela napas pelan, kini (Name) menatapnya.

"Tapi kemudian aku juga merasa aneh, Dokja."

Kini sang adam menaikkan alisnya.

"Aku merasa sangat natural ketika melakukan kontak fisik denganmu," kalimat selanjutnya ia ucapkan dengan pelan. "Itu tidak menjijikkan. Sebaliknya, terasa hangat."

Pria itu lantas mengulas senyum. Matanya bagaikan bulan sabit kala kurva kian mengembang. Kini ia usap perlahan permukaan wajah dara yang menghangatkan hati.

"Kau tidak membenci kontak fisik denganku?"

Kepala menggeleng perlahan.

"Mana ada," suara lembut menyahut.

Terkekeh, manik jelaga dicuri atensinya oleh bibir yang berkilat basah. Harum anggur semerbak. Maka tanpa sadar ia kembali mendekat.

"Noona selalu menyentuhku."

Kali ini perlahan kelopaknya menutup. Dipejamkan seiring jarak terkikis. Dan bagaimana kalimat setelahnya membuat nona satu ini bertanya-tanya mengenai desiran dalam dada.

"Jadi bila aku menyentuhmu, tak masalah bukan?"

Adalah larik terakhir sebelum sentuhan hangat menyentuh bibirnya. Membungkam segala rangkaian kata yang tak mampu ia ucapkan. Sang dara terpaku dengan mata yang membola.

Kim Dokja menciumnya.

Merasa tak ada penolakan, pria itu bertindak lebih jauh. Tangan dengan penuh afeksi memutar tubuh laksmi untuk menghadapnya. Mempermudah akses tuan dalam mengunci pergerakan puan.

Entah sejak kapan botol berisi alkohol sudah tak lagi dalam genggaman. Melainkan hangat yang menyentuh permukaan. Detik selanjutnya ia tersentak ketika karantala menelusup helaian surainya. Meraba tengkuk. Sebelum daging tak bertulang keluar dari celah bibir tuan untuk mengecap manisnya rasa.

"Dokja—"

Susah payah ia panggil namanya. Membuat sang empu kembali tersadar dan memalingkan wajah. Tubuhnya menjauh sedikit sembari mengusap gusar durjanya.

"Ah, maaf," tangan sepenuhnya menangkup wajah. Menyembunyikan kalut yang jelas kentara. "Aku lepas kendali."

Nona hanya terdiam. Mencoba mencerna apa yang terjadi sebelum jemari menyentuh bibir. Mengusap pelan hangat yang masih terasa jelas. Perlahan semburat merah memenuhi wajah. Buatnya bertanya apakah ini karena mabuk atau ...

"Ngomong-ngomong."

Suara rendah dari pria di depan buatnya terdiam. Menunggu larik selanjutnya ketika manik jelaga tak lagi bersembunyi. Malah, kini mencuri pandang ke arah dimana bibirnya mendarat tadi.

"Manis."

"Huh?"

Wanita itu memiringkan kepalanya bingung.

Tawa pelan menjadi satu-satunya yang mengisi hening. Akhir tawanya diganti senyum yang mengembang. Menghantarkan hangat tiada tara. Mungkin, sebagaimana mentari ada.

"Sepertinya aku menemukan cara untuk menyukai alkohol."

[ Konstelasi 'The Omnipotent for Eternity' terbatuk dengan kencang ]

[ Konstelasi 'Demon-like Judge of Fire' pingsan dengan wajah memerah! ]

[ Beberapa konstelasi memalingkan wajahnya ]

[ Konstelasi 'Queen of the Darkest Spring' bertanya apa yang terjadi ]

[ Konstelasi 'The Omnipotent for Eternity' berkata anda telah melewatkan tontonan yang menarik ]

[ Konstelasi 'Secretive Plotter' bertanya genre cerita ini sebetulnya apa ]

[ Konstelasi 'Prisoner of the Golden Headband' berkata nikmati saja ceritanya ]

[ Anda menerima sponsor 10.000 koin ]

"..."

Kim Dokja mengumpat dalam hati.

Bajingan.

Dia lupa masih ada channel.

Mengusap pelan wajahnya, ia netralkan segala macam emosi sebelum menepuk pelan bahu kanannya sendiri. Kembali memasang senyuman manis yang mengundang binar sang nona.

"Kemarilah. Tidur dulu saja."

Maka anggukan pelan adalah jawab. Sang dara perlahan menyandarkan kepalanya. Berupaya keras bersikap santai dalam perubahan yang tiba-tiba. Memejamkan mata dan berpikir sebelum menemui bunga tidurnya.

"Sepertinya aku tidak boleh menggoda dia lagi."

Mungkin hal ini adalah perkembangan yang cukup pesat, mengingat keduanya teramat bodoh dalam romansa. Setidaknya mereka telah sadar dan berhenti menyangkal.

Sekarang, tinggal semesta yang bergerak. Di tengah apokaliptik ini mereka temukan pelita. Sebagaimana pertemuan pertama. Entah apakah dewa cinta berasma Eros campur tangan, namun nyatanya filantropi diantara mereka tidak terelakkan.

Kim Dokja menyandarkan kepalanya pada pujaan hati. Menutup sejenak kelopak untuk menikmati.

Menentang predestinasi tragis, mereka putuskan tenggelam dalam afeksi. Biarlah mereka menikmati. Sebagaimana kuas tercipta untuk kanvas, pena untuk kertas. Maka sang nona memang tercipta untuknya.

Jauh sebelum prolog dimulai, guratan takdir telah menemui akhir. Sebab karenanya, mereka tercipta hanya untuk satu sama lain.

For the Eternity.

☆☆☆

25 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro