โ” ๐’๐ข๐ง๐ ๐ฎ๐ฅ๐š๐ซ๐ข๐ญ๐ฒ

Mร u nแปn
Font chแปฏ
Font size
Chiแปu cao dรฒng
























โŒ— ๐’๐ข๐ง๐ ๐ฎ๐ฅ๐š๐ซ๐ข๐ญ๐ฒ

____________

LEPASNYA anak panah sang dewa timbulkan cinta yang membutakan arah, kelak anak penguasa dunia bawah tanah relakan segala sesuatu hanya untuk permaisurinya, sebagaimana putri semesta pun lebih dari sanggup mengorbankan semua, demi satu hal elusif yang manusia sebut dengan cinta.

Dia sepenuhnya sadar dan waras. Di tengah malapetaka dunia ini Kim Dokja bersumpah untuk melindunginya. Senyum manis terukir tipis, mengingat pengakuan cinta nona yang dilakukan secara implisit.

Terlelap dalam tidur, wanita pujaan tuan tak sadar dengan waktu. Buat pria bermahkotakan jelaga yang menjadi sandaran berpikir, apakah selama ini ia kurang istirahat?

Ah, iya. Jika dipikir-pikir tentu saja pasti begitu. Sangat masuk akal. Mengingat setelah bertemu kembali ia tak menemukan satu detik pun bagi wanita ini untuk istirahatkan raga.

"Hah ... kapan Noona akan memprioritaskan dirinya sendiri lebih dulu ... "

Kendati bahu mulai mati rasa, ia abai. Memilih bergerak dengan halus untuk melingkarkan tangan kanan di sekitar sang nona-mengelus surainya penuh afeksi. Tiada lelah ia lakukan berulang demi memberikan kenyamanan.

Satu jam berlalu.

Han Sooyoung datang kembali dengan Yoo Sangah yang menggelengkan kepalanya. Memperhatikan sekilas tuan dan puan di depan.

Lantas Kim Dokja mengangkat tangan kirinya yang bebas. Menaruh telunjuk di depan bibir guna mengisyaratkan Han Sooyoung untuk berhenti menggerutu.

"... iya iya aku tahu."

Tiga jam berlalu.

"... Apakah ini mungkin?" Perempuan itu bergumam dengan tak percaya. Masa prediksinya salah?

Tapi akhirnya, empat jam kemudian, suara-suara mulai terdengar di luar. Ekspresi Yoo Sangah menjadi gelap dan senyum puas terukir jelas pada perempuan lainnya.

"Lihat, apa yang aku katakan?"

Han Sooyoung mengeluarkan senjata, bersiaga. Namun berhenti sejenak kala anak kecil yang masuk pandangannya.

"H-halo?"

Itu adalah gadis yang tadi. Dengan sedikit gugup ia ulurkan sebuah benda.

"I-Ini ..."

Itu selimut.

Han Sooyoung membuat ekspresi terkejut sementara Yoo Sangah tampak kosong. Dalam kiamat, niat baik tidak selalu terbalas dengan kejahatan. Perilaku sederhana yang cukup menghangatkan hati.

[ Konstelasi 'Demon-like Judge of Fire' memberi senyum penuh kasih ]

[ 2.000 koin telah disponsori ]

Yoo Sangah menyahut pelan.

"Terima kasih, aku akan menggunakannya dengan baik."

"Iya ... "

"Ngomong-ngomong, apakah kamu sendirian? Berbahaya untuk berkeliaran di malam hari. "

"Dimana pun sama saja."

Ekspresi Yoo Sangah menggelap pada kata-kata itu. "Apakah kamu ingin tinggal bersama kami?"

"Hah?"

"Akan baik-baik saja jika kamu bersama kami."

Sang punya surai bak karamel menatap Kim Dokja seolah dia meminta izin. Namun, jawaban anak itu lebih cepat. "Aku tidak ingin menjadi gangguan."

Lantas anak itu berbalik. Hendak pergi namun sebuah bendera melesat kencang. Menghentikan langkah dan buatnya terjatuh dengan ngeri.

Kerutan kentara, Han Sooyoung berucap pedas.

"Tunggu sebentar. Kamu tidak bisa pergi."

"Apa yang kamu lakukan sekarang?" Yoo Sangah berbicara dengan suara dingin. Namun, Han Sooyoung menatap pria yang tengah duduk tak jauh dari sana.

"Kim Dokja, kamu tidak tahu harus berbuat apa? Bukankah itu sebabnya kamu ingin tidur di sini?"

Kim Dokja mengumpat dalam hati.

Han Sooyoung bertanya, "Ah, apakah kamu akan bertindak sebagai orang munafik? Apakah itu karena orang lain itu seorang anak?"

"..."

"Anak-anak? Hah, maka penjahat yang harus menanganinya. "

Han Sooyoung mendekat dan Yoo Sangah menghalangi jalan.

"Berhenti."

"Minggir. Apakah kamu ingin aku membunuhmu? "

"Kenapa kamu membunuh anak biasa tiba-tiba?"

"Anak biasa?" Han Sooyoung tertawa dan menunjuk ke arah anak itu.

"Aku sudah bilang untuk berhenti." Pada saat yang sama, belati Yoo Sangah menunjuk ke leher Han Sooyoung. Kemudian Han Sooyoung memanggil puluhan avatar. Han Sooyoung menggerutu.

"Kim Dokja, jelaskan dengan cepat. Sebelum aku berbalik dan membunuh semua orang."

Helaan napas terdengar. Pria itu melirik sejenak kelopak nona yang tertutup dalam rengkuhan. Sempat-sempatnya khawatir apabila gaduh mengganggu waktu tidur.

Maka setelahnya ia memelankan suara. Namun tempat itu teramat sunyi hingga terdengar jelas di rungu.

"Anak ini ..."

Gadis manis dengan lugu menatap Kim Dokja.

"... lima hari kemudian, dia akan menghancurkan Seoul."

Netra Yoo Sangah bergetar. Jika Han Sooyoung tidak mengetahuinya, Kim Dokja mungkin akan membiarkannya lewat, tetapi sekarang terlambat. Skenario sialan ini tidak pernah memberi akhir bahagia yang diinginkan.

[ Konstelasi 'Abyssal Black Flame Dragon' sedang tersenyum ]

[ Banyak konstelasi tertarik pada pengembangan skenario ini ]

Sudah lama sejak ia mendapat notif seperti ini.

"Anak ini adalah bencana terakhir dari skenario kelima."

โ˜†โ˜†โ˜†

Dewi keberuntungan sepertinya berpihak pada pria ini-mungkin. Malam itu gadis manis berambut pendek tidak menemui akhir mengerikan. Yoo Sangah dan Kim Dokja menentangnya dengan keras. Timbulkan emosi menggebu-gebu pada perempuan dengan potongan rambut bob sebelum meninggalkan ruang.

"Terserah, lakukan sesukamu."

Selimut diangkat hingga menutupi tubuh gadis yang tertidur. Netra coklat memandang sendu mendengarkan penjelasan tragis tentang bagaimana anak ini menjadi malapetaka yang siap memusnahkan bumi.

Di tengah keributan, nyatanya atma wanita yang berkelana itu telah kembali pada raga. Berkeringat dingin tidak menemukan momen pas untuk membuka mata.

"Yang akan datang sebagai bencana bukan anak itu, tapi dirinya di masa depan."

Kepala wanita berpakaian serba gelap menunduk. Tak menyahut apapun.

Sementara kelopak mata insan lain perlahan terbuka. Hendak menjauhkan tubuh namun malah terpaku, terlalu lama dalam posisi ini membuatnya keram.

Abai, ia perlahan mengangkat kepala sembari menyentuh leher. Mengernyit tak nyaman namun langsung pudar ketika atensi pria yang menjadi sandaran beralih.

Duh, kalau masalah pegal pasti Kim Dokja lebih mati rasa.

"Bagaimana tidurmu?" tanya pria itu dengan lembut.

"Biasa aja. Berapa lama aku tidur?"

"Sekitar empat jam."

"... bahumu?"

Senyum tipis terukir. Tangan pria di samping menepuk pelan bahunya sendiri.

"Aman kok," penuh dusta kalimat ini terlontar. Nyatanya bahu begitu mati rasa.

Memalingkan wajah, pandangan (Name) mendarat pada gadis yang terlelap. Lantas segala macam rasa tak nyaman yang hadir sirna. Sesekali ia regangkan kepalanya sembari mengangkat tubuh. Mendekat pada tubuh kecil dan mengelus surainya dengan lembut.

Kini netranya mengerling, tanpa dijelaskan pun Kim Dokja tahu apa maksudnya.

โ˜†โ˜†โ˜†

"Ah, maaf. Apa aku membangunkanmu?"

Wanita bersurai panjang tersenyum tipis. Ketika dirasa belaiannya membuat gadis kecil membuka mata.

"Siapa namamu?" tanya (Name). Kendati sudah tahu namun formalitas masih perlu. Tak masuk akal dia tiba-tiba memanggil namanya.

"... Shin Yoosung."

Mengangguk pelan, (Name) menarik kembali tangannya. Membiarkan Shin Yoosung duduk di samping dan tenggelam dalam pikiran. Mungkin memikirkan percakapan orang dewasa tadi atau mungkin-sentuhan hangat yang diberi wanita di samping, nyatanya mengingatkan ia akan masa lalu.

"(Name)-ssi," perempuan dengan surai coklat di samping memanggil. "Aku akan ke sana dulu."

Sembari menunjuk Kim Dokja, Yoo Sangah tersenyum tipis. Dibalas anggukan singkat oleh (Name) yang kemudian duduk lebih dekat dengan gadis kecil.

"Makanlah, kau pasti lapar."

Anggukan singkat diberi. Tangan mungil menerima sebatang yanaspleta dalam diam.

Hening menemani mereka hingga langkah kaki jelas terdengar. Disusul dengan pria bersurai gelap berlutut.

"Enak?"

Canggung, gadis itu menjawab pelan.

"... iya."

Kim Dokja dan (Name) bersirobok netra. Keduanya tak memiliki pengalaman dengan anak kecil. Hingga akhirnya mereka kembali menatap gadis yang duduk di tengah-tengah mereka.

"Ahjussi bisa lihat masa depan?"

Waduh.

"Aku ... jadi orang yang sangat jahat ya di masa depan?"

"Mungkin."

"Seberapa jahat?"

"Mungkin orang paling jahat di Seoul."

"Itu tidak aneh."

"Kenapa?"

"... aku memang sudah jahat."

Mendengar penuturan ini, hati wanita di samping seolah tercabik. Tanpa sadar ia taruh makanan yang ada di tangan Shin Yoosung, beralih merengkuh tubuh kecil dengan lembut. Perlahan tangannya mengelus punggung yang bergetar tiada henti.

"Jika seperti itu pola pikirmu, maka semua orang di sini juga sudah jahat," suara wanita itu mengalun pelan. "Kita melakukan itu semua untuk bertahan hidup."


Tak ada respon. Namun tremor telah sirna. Salahnya sang dara beranggapan bahwa gadis ini telah tenang. Tapi kalimat yang keluar dari bibir mungil sanggup membuat atmosfer jatuh mendingin.

"Silahkan bunuh aku. Aku sudah siap."

Tampaknya, didunia yang telah hancur ini, anak-anak tumbuh jauh lebih dewasa. Dengan pemikiran yang tidak egois masih banyak rasa empati dalam diri. Membuat wanita yang melepaskan rengkuhnya kini terdiam seribu bahasa.

Yoo Sangah menutup mulut dengan mata membelalak, sementara Han Sooyoung membuang muka.

Kendati begitu, pandangan kosong Shin Yoosung seketika sirna ketika sebuah tangan mengelus surainya. Menoleh dan mendapati Kim Dokja tersenyum hangat.

"Jangan khawatir," elusan itu teramat lembut. Sanggup menggetarkan hati. "Karena kematianmu bukan akhir dari cerita yang kuinginkan."

Kali ini (Name) tersenyum hingga matanya menyerupai bulan sabit. Ia mengelus pipi gadis ini dengan lembut sebelum berkata.

"Dengarkan dia. Bukankah itu gunanya plot twist?"

Benar, untuk apa ikuti cerita asli? Apa serunya?

Bukankah demi cerita agar terus berjalan dan bergerak, demi menarik atensi para pembaca, harus ada yang namanya plot twist?

Makanya, duduk dan nikmatilah kisah ini, para konstelasi sialan.

โ˜†โ˜†โ˜†

28 Januari 2024

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen2U.Pro