[20] DUSK AND DAWN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beiduwey, ente tak lupe ngevote part ini?

****

Aku boleh menahan lapar dengan berdiam diri di kelas. Mengerjakan soal-soal di buku dan menandai catatan. Pola belajarku tidak berubah. Aku senang belajar lebih awal agar saat mendengar penjelasan guru, aku bisa menyerapnya secara cepat.

Namun, kantung kemih gagal menahan tampungan air dalam tubuh. Panggilan alam menyebabkan aku bergegas pergi menuju bilik yang menyebabkan duniaku terbalik. Untuk pertama kalinya aku menjadi seorang pelaku atas perkelahian yang tidak imbang.

Aku sendirian dan agak waswas saat membuka pintu toilet. Aku khawatir dengan penyerangan yang bakal menerkamku lagi. Namun, toilet sangat sepi. Aku menajamkan pendengaran. Suara langkah kaki yang datang keluar masuk bisa lebih jelas lagi. Jadi aku tahu tidak ada yang membuntuti kepergianku. Usai melakukan urusan tidak bisa tertunda itu, aku segera mencuci tangan dan mengelapnya dengan handuk kertas di sisi wastafel.

Aku terperangah di depan cermin. Aku memang jarang berias di rumah. Aku selalu mengolesi krim dan pelembap di wajah secara asal tanpa bercermin sama sekali. Larangan dari sekolah sangat ketat soal riasan. Namun, wajahku cukup baik sehingga tidak perlu rias tebal seperti yang dilakukan beberapa anak. Sudah tidak terhitung berapa kali kotak riasan mereka kena sita. Percuma dandan dari rumah, tetapi di gerbang sekolah sudah disuguhkan make remover dan kapas untuk menghapus riasan. Cukup mengenakan pelembap yang tone cocok dengan warna kulit.

Walau mengenakan pelembap, tetapi cekungan dalam di mataku tercetak sempurna. Aku harus membeli krim mata untuk menutupi bulatan keunguan. Jika aku tidak perhatian pada wajah, bukankah nanti aku bakal menjadi panda?

Aku menepuk bagian mata, agar pembuluh darah mengalir lancar. Suasana masih riuh seperti biasa. Masih aman. Kulihat beberapa teman perundung Minji dari kelas lain sibuk dengan urusannya sendiri. Sangat aneh melihat mereka berhenti mendatangiku untuk bertingkah. Aku tidak akan keberatan berkelahi lagi kalau mereka mengganggu.

Jati diri yang baru membuatku sungguh-sungguh. Kalau mereka mengganggu, leher mereka jadi taruhan. Omong-omong soal teman, aku merindukan masa SD dan SMP. Itu masa terbaik karena teman-temanku sangat akrab. Namun, berada di sekolah dan kota yang sama, perubahan karakter terjadi begitu saja. Mereka memarjinalkan pola pikir mereka sendiri. Bertemu dalam bayang-bayang akun sosial daring palsu. Lupa bahwa kami pernah bertukar lauk pada siang melelahkan.

Semenjak aku diketahui menjadi Kang Hoojoo dan sering latihan dialog bersama Sunghoon, neraka dimulai. Domino kesialan silih ganti dilakukan orang yang berbeda. Mereka—tukang klaim nomor satu penggila Sunghoon—terus menerorku. Aku bersimpati pada pacar Sunghoon kelak. Dia harus tabah dan tangguh menghadapi cibiran dan siksaan yang dilakukan para pengecut itu.

Aku berharap ada satu orang yang mau berbagi dalam banyak aspek. Membicarakan keseharian dan mengobrol bebas. Namun, di SMA Cheong Ah ini terlalu dingin. Apakah lebih baik aku memancing masalah lalu dikeluarkan dari sekolah?

"Kenapa kau?" Tangan Sunghoon menahan dahiku.

Aku tidak sadar melangkah ke depan tanpa benar-benar melihat. Tubuhku tidak tertabrak, berkat tangan panjang Sunghoon yang tepat di telapak tanganku.

Aku mundur selangkah ke belakang, malas meladeni pertanyaan Sunghoon. Tidak perlu debat. Aku mencari jalur lain masuk ke kelas, lalu menghafal kosa-kata bahasa Inggris untuk memperdalam kualitas linguistik.

Aku tidak pernah mengganggu Sunghoon lebih dahulu. Dia yang selalu mengajak bicara dan menentukan janji temu untuk latihan drama. Namun, aku memang mengganggunya pertama kali saat ingin patbingsu. Sekarang semuanya sudah selesai.

Aku akan menemukan terowongan gaib itu sendiri. Naik bus hijau sepulang sekolah dan akan turun tepat di terowongan.

Ketua kelas diserbu anak-anak kelas 10-2. Mereka mengumpulkan esai secepat mungkin ke Sunghoon. Aku membuka isi buku dan mengeluarkan selembar coretan cakar ayam ke Sunghoon.

Pentas drama yang kuharapkan bisa membuat namaku terangkat—agar punya teman makan bersama di kantin—tidak berperan sama sekali. Payah. Aku mengalami krisis besar dan sulit mengangkatnya sebagai peluang. Aku mengerut di bangku, selalu ketinggalan dalam hal merekrut anggota kelompok setiap ada tugas. Mereka tidak ada yang tertarik merekrutku.

Kapan aku bisa punya teman? Aku juga ingin tertawa bahagia di usia 17 tahun.

Waktu memadat bersama suasana hati yang buruk. Langit mulai menggelap. Appa kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Aku harus pulang jalan kaki. Sudah biasa bagiku. Sebenarnya orang tuaku sudah memberi fasilitas berupa langganan sopir taksi. Namun, aku keberatan karena jarak yang terlalu dekat dan itu boros bahan bakar. Dan bukannya ada kesempatan naik bus hijau nanti? Tidak masalah. Aku bisa jalan-jalan sebentar di luar rumah.

Bel kembali berdering. Sorakan lega anak-anak membuatku tersenyum. Senang jam pelajaran berakhir. Lalu aku menjejalkan semua barang ke dalam tas. Aku ingin segera tiba di rumah, menonton serial detektif lagi.

"Mau ke mana kau?" tanya Sunghoon, sukses mencengkeram ranselku dari belakang.

"Pulang!"

"Tidak. Kita harus kumpul bersama dengan anak drama."

"Serius?"

Aku tidak percaya bahwa aku masih diundang. Eh, tidak. Rutinitas seperti biasa karena setiap hari Selasa, anggota klub drama selalu bertemu untuk menonton bersama sebuah film, lalu diulas tentang emosi dan karakter tokoh. Semua hal tentang film akan dibahas termasuk plot hole cerita. Lalu secara giliran, tiap anggota akan memparodikan ulang tokoh tertentu untuk berlatih membangun karakter.

Hari itu, seperti biasa aku mudah menafsirkan tokohnya. Kebetulan aku sudah menonton sekuel keduanya. Sepuluh menit di awal sudah membosankan, tetapi aku menyerah karena tebakanku benar soal ending-nya. Pasti ada yang mati.

Beruntungnya anak klub tidak ada yang terganggu dengan kehadiranku. Mereka cukup baik untuk bicara dua kali padaku. Itu pun hanya sapaan pertama masuk ruang klub dan saat ada yang pamit mau pergi. Setidaknya aku tidak diacuhkan seperti di kelasku sendiri. Selasa akan selalu kuharapkan sebagai hari baik, meskipun menjadi hari piketku membereskan naskah-naskah dan hasil ulasan anggota kelompok. Aku menyapu dan mengepel ruang klub sendirian, sebab senior yang menjadi rekan piket mengundurkan diri dari klub drama.

Di ruang itu, aku duduk termenung dan bertopang dagu. Kulihat garis tipis awan melintang di cakrawala. Persinggahan senja yang datang terlalu sekilas tiba. Aku menyukai momen langit ungu kemerahan menjelang malam. Saat itu kehangatan menyelimuti sisa dunia yang kelelahan. Waktunya aku pulang ke rumah.

Sensasi dingin menempel di pipi kiriku. Aku terkejut. Rupanya Sunghoon menempelkan sebotol jus jeruk.

"Kukira kau sudah pulang."

"Aku masih menunggu matahari tenggelam," kataku. Kembali mataku tersihir oleh pendar kemerahan. Betapa magisnya petang itu. Mataku sangat segar, seperti saat bangun tidur tanpa mimpi.

"Dawn."

"Apa itu?"

"Kau terikat dawn. Sama denganku."

"Coba jelaskan."

Aku tidak suka selalu dikait-kaitkan dengan Sunghoon. Dia masih saja senang bertele-tele.

"Kegelapan terbagi menjadi dua, tentang waktunya tetap. Seharusnya satu jam, tetapi bagi vampir, masing-masing terhitung enam jam. Dusk dan Dawn. Fajar dan senja. Peralihan waktu kapan terjadi matinya jantung kita. Kehidupan kita secara teknis sudah mati, tetapi otak kita yang hidup. Aku menggigitmu saat dawn. Kurang lebih pukul sembilan malam." Penjelasan Sunghoon masih sulit kucerna, kecuali durasi lima jam masing-masing kegelapan.

"Dari jam berapa persisnya?"

"Dawn dimulai lima sore sampai sebelas malam. Sisanya adalah dusk." Sunghoon menyesap jus jeruk miliknya sendiri. Dia tidak benar-benar haus, tetapi dia membiasakan diri untuk terlihat manusiawi dengan makan secara konstan.

"Sampai jam enam pagi?"

"Lima." Sunghoon mengoreksi.

"Kenapa dusk lebih singkat?"

"Manusia sering bangun lebih awal dibanding matahari. Karena itu makhluk immortal menandai akhir dusk pada pukul lima pagi. Terkadang saat jam lima pun, matahari sudah tinggi."

"Artinya setengah sebelas malam adalah batas dawn. Tapi Benar juga, lewat 12 malam berlalu sangat cepat," aku menganggukkan kepala setuju. Begadang kemarin membuatku sadar akan perubahan langit.

"Kita harus mendaftarkan kelahiran barumu di Dinas Immortal."

"Bukannya aku mati?" Aku tidak pernah berhenti untuk menyindir Sunghoon.

"Dalam wujud manusia. Tapi kau tetap lahir sebagai vampir."

"Ugh. Tidak mau!"

"Ayo pergi. Lumayan jika mendapat diskon patbingsu pekan depan."

"Bukannya kau kaya?"

"Tidak ada salahnya hidup hemat."

"Pelit!"

"Irit!"

Aku dan Sunghoon terus cekcok sepanjang perjalanan. Laptopku jauh lebih menggoda untuk menemani sisa malamku. Namun, Sunghoon terus menakutiku soal leher terpenggal. Dia bahkan memamerkan foto paling mengerikan beberapa tahun lalu saat sekeluarga vampir dibantai dalam satu malam karena dianggap vampir ilegal.

Aku pusing. Masih banyak yang harus aku ketahui tentang dunia baru yang sangat asing ini. Apa yang ada di film dan aslinya terdapat ketimpangan yang besar.

Bagaimana aku harus menjalaninya? Apakah masa remajaku sudah berakhir sekarang? Leher pemuda di sampingku sangat menggoda. Aku ingin mencekik lehernya!

*******

Happy debut for Enhypen. Semoga kalian semakin gemilang dalam panggung, memamerkan pesona, musik, bakat, attitude dan kegesrekan kalian yang oke.

Banyuwangi, 30 November 2020
Revisi, 17 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro