[33] TERKUNCI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gak lupa vote kan sebelum baca?

Aku tersedak, gagal menahan napas lebih dari tiga menit. Oksigen yang terserap tipis di kepala membuatku sakit kepala dan mengerang lirih. Sarang semakin khawatir karena aku terus menunjukkan raut sakit. Aku mengernyit, berusaha masuk kembali ke kenangan. Aku belum rela kehilangan semua petunjuk dari kilasan yang tiga tahun menghantuiku.

Namun, yang kutatap cuma dinding gelap, pengap udara dan berbau tanah. Pandanganku semakin nanar atas status diriku sendiri. Seokjin selalu cerita bahwa kami tidak pernah berurusan dengan manusia, tetapi yang kulihat adalah aku mengenakan seragam sekolah. Apakah ini ingatan manusiaku?

Aku menggigitmu saat dawn. Kurang lebih pukul sembilan malam.

Cuplikan ucapan Sunghoon kembali terngiang. Artinya aku sudah menjadi vampir saat mengenakan seragam.

Aku juga merasa berbeda dibandingkan vampir nomaden lain. Mereka cenderung menetap lama dan selalu berkelompok kecil di sekeliling hutan, tetapi aku tidak. Aku kerap membangkang. Tak pernah kugubris peringatan Sarang maupun Seokjin. Aku selalu ingin berkeliaran dan tertarik memasuki perkampungan warga di sekeliling Jiri. Empat kota yang mengepung jejeran puncak Jirisan anehnya membuatku tidak asing. Sesekali aku menyelinap di kota itu, menyusuri jalanan atau mengawasi lampu kota. Jika tidak terlalu ramai, aku menaiki atap rumah, merindukan sesuatu yang aku yakini sebagai rumah di gedung tinggi.

Mungkinkah aku tinggal di suatu kota yang ramai? Hadong, Hamyang, Sancheong, Gurye dan Namwon tidak memiliki banyak lampu yang lebih terang. Aku tidak berasal dari sini melihat seragam sekolah yang dipakai Sunghoon.

Ayolah, aku siapa dan berasal dari mana?

Kepalaku makin berdenyut memaksakan diri. Kutatap nanar catatan Seokjin mengenai diriku di formulir pendaftaran vampir.

Chensu lahir pada 25 Desember 1993. Digigit oleh Kim Seokjin-kakaknya kandung-usai kehilangan banyak darah saat kasus perampokan terjadi di rumah. Orang tua mereka meninggal. Tinggal di hutan sisi Hadong sejak 2010. Tidak punya ingatan manusia setelah tergigit.

Sekarang tahun 2023. Hal yang kuingat satu-satunya hanyalah aku berusaha mencekik Seokjin di akhir musim gugur 2020, mengamuk karena tidak ingat siapa namaku.

Seragam yang kupakai dalam kenangan itu, sangatlah modern. Aku bisa melihat spanduk di sebuah ruangan tentang acara festival sekolah, berikut dengan tanggal acaranya. 31 Oktober 2020.

Mustahil aku menjadi siswi SMA di tahun itu.

Aku menggigitmu saat dawn. Kurang lebih pukul sembilan malam.

Hah? Kubaca lagi ulasan di kertas. Seokjin menggigitku sepuluh tahun yang lalu, tetapi versi ingatan terdapat spanduk tahun 2020. Sunghoon mengklaim sebagai pelakunya. Aduh, aku bingung! Kepalaku mau pecah rasanya. Otakku tidak mampu untuk berpikir berat. Aku tidak cocok menjadi detektif.

Mana yang harus kupercaya? Ucapan kakakku sendiri atau ingatan acak yang kusangkal sebagai halusinasi.
Aku butuh bukti yang valid.

"Kalau begitu, aku pergi dulu," kata petugas sensus. Dia mengambil tiga lembar formulir yang sudah diisi.
Aku segera mencengkeram lengannya, tidak rela melihat Taehyung pergi.

"Apakah kau punya foto Yoo Yuri?" tanyaku penuh ketertarikan.

"Kenapa kau ingin tahu?" balas Taehyung yang skeptis. "Apa kau memang Nona Yuri?"

"Bukan. Tapi aku ingin tahu semirip apa di antara kami. Bukan kau saja yang mengira wajah kami mirip," balasku ringan, berusaha untuk kasual.

"Maaf, Nona Kim. Dokumentasi vampir klan Gyeonghyui tidak bisa disebar sembarangan dalam bentuk apapun selain permintaan yang bersangkutan," kelit Taehyung, mengulas senyum lebar yang anehnya membuatku bergidik ngeri.

"Tapi kau banyak bicara tadi. Tuntaskan ceritamu. Jangan setengah-setengah memberitahu informasi tentangnya." Aku mengomel. Tanganku gatal, ingin meremukkan leher Taehyung.

"Anda sudah mendaftar sebagai Kim Chensu, tidak berhak mencari data orang lain." Taehyung menjejalkan tiga lembar dokumen ke dalam tas jinjingnya, tidak terpengaruh dengan kemarahanku yang meluap.

"Berengsek!"

Aku makin tidak terkendali. Sarang dan Seokjin lebih sigap. Kedua orang itu menahan lenganku untuk tidak menghancurkan vampir lain, apalagi kami berada di tempat orang lain.

"Beri tahu aku, cepat!" Aku menendang udara, kesal selagi keinginanku tidak dituruti.

Taehyung menaikkan salah satu alisnya, tak peduli dengan keinginanku. Dia berbalik ke arah pintu, tatapannya semakin dingin sewaktu menoleh ke arahku, "kalau itu benar, gawat. Mungkin kau takkan pernah bisa keluar dari tempat ini, Nona Kim. Sebaiknya jangan mengaku sebagai Yoo Yuri."

"Wae?" tanyaku penasaran.

Taehyung tidak menjawab. Pintu berdebam ditutup dari luar, membiarkan pertanyaan demi pertanyaan terus mengusikku.

Seokjin kembali menangkupkan kedua telapak tangannya ke pipiku, berusaha menenangkan kekacauan mentalku. Aku menepis sentuhannya, tak yakin pada apa yang terlintas di pikiranku.

Rasanya, aku memang berasal dari tempat lain. Begitu Sarang melepaskan rangkulan, Seokjin tersentak karena gerakanku yang tiba-tiba. Aku bergegas menarik pegangan pintu, tetapi sudah dikunci.

"Hei, buka!" Aku berteriak.

Air mataku berderai. Aku ingin mencari tahu tentang kenangan yang sangat menyenangkan. Di sana, perasaanku sedikit bahagia kala mengagumi langit. Selama tiga tahun itu pula wajah Sunghoon selalu kulihat, meskipun tidak sebanyak kenangan tentang kaki biru yang terseret. Ini alasan aku sering memasuki kota-kota kecil di sekitar Gunung Jiri. Aku ingin menemukan siapa anak muda yang sering menatapku dengan ekspresi datar. Ternyata Park Sunghoon.

"Ya! Park Sunghoon, kenapa kau kunci kami! YA! Kemari kau, Berengsek!"

Aku menendang dan memaksa pintu dibuka. Kendati mendobrak, pintu itu terlalu kokoh. Aku kelelahan dan duduk di sisi lain, menepis sentuhan sepasang vampir yang penasaran pada sikap labilku malam ini. Aku memang suka meledak, tetapi baru pertama kali aku menunjukkan kemarahan campur tangisan di depan Seokjin dan Sarang.

Aku terus menolak bicara dengan Seokjin. Kenangan itu kembali terkikis. Aku hampa dibuatnya. Pasti ada alasan mengapa aku melupakan wajah tersebut. Aku ingin percaya pada Seokjin, apapun kisahku sebelum lupa ingatan. Aku kerap bersalah setiap Seokjin membicarakan orang tua kami yang mati dirampok, padahal dalam situasi kesulitan melacak Seokjin. Dia telah menghilang setahun terakhir akibat gigitan vampir, sedang berjuang membiasakan diri untuk tidak minum darah manusia. Pasti Seokjin terluka menyaksikan orang tuanya mati bergelimang darah, sementara adiknya sekarat. Segala harta benda yang dikumpulkan keluarga tidak ada artinya bila kehidupan direnggut paksa dari Seokjin.

Aku melupakannya. Tak tahu apa-apa, selain tersenyum tipis berusaha mengingat apapun tentang kehidupanku. Namun, tidak ada apa-apa di sana, selain kaki warna biru panjang dan taut wajah pemuda yang selalu dingin. Sekarang semakin jelas bahwa wajah itu milik Sunghoon.

Aku mengitari area bangsal, mencari celah untuk kabur. Tidak ada jalan keluar. Satu-satunya akses hanyalah pintu yang dikunci. Aku benci terkurung di sini, dengan ingatan yang sangat aneh. Kuseka air mataku dan menjernihkan ingatan dengan tidur di salah satu ranjang busa yang tersedia. Aku harus melupakan apa yang terjadi, tetapi nama gadis lain terlalu mengusikku.

Aku takkan puas jika keinginanku belum terwujud. Aku harus tahu seperti apa paras Yuri, sampai Taehyung mau membeberkan sejelas ini. Namun, Sunghoon lah satu-satunya yang bakal memberitahu dengan jelas soal gadis itu.

Berjam-jam aku berjuang untuk bisa terlelap, tetapi aku gagal menenangkan diri. Pikiranku terlalu penuh, mengulang ucapan Sunghoon yang tersisa satu kalimat.

Aku menggigitmu saat dawn. Kurang lebih pukul sembilan malam.

Ayolah, sebelumnya apa yang dikatakan oleh Sunghoon? Kenapa semuanya kabur dengan cepat?

"Chensu, apa ada masalah? Cepat katakan apa masalahmu," pinta Seokjin, masih berjuang untuk menenangkan gejolak batinku.

Kutatap manik hitamnya. Di balik mata Seokjin, pantulan kekacauan tercipta dari wajahku. Dia masih tenang seperti biasa, meskipun sedikit khawatir denganku.

"Bagaimana hidupku sebelum lupa ingatan?" tanyaku akhirnya.

Hanya pertanyaan itu yang bisa membuatku tenang. Setidaknya Seokjin lancar menceritakan tragedi keluarganya, serta wajah sedih yang terlalu besar ditanggung oleh Seokjin. Kala dia baru menguasai haus darah yang menggila, pulang ke rumah untuk menyapa keluarga, malah dihadapkan dengan kematian menyakitkan. Seokjin gagal menangkap pelakunya sampai sekarang, tetapi dia puas bisa menyelamatkan aku.

Seokjin tersenyum, mengulang cerita kelam itu. Perlahan aku tertidur di pangkuannya dengan air mata berlinangan merindukan keluarga. Aku merasakan buaian dan ingin sekali bisa mendengar suara Eomma, Appa dan Jiho yang menyebalkan.

Aku tersentak pada nama terakhir. Siapa dia?

Aku terbangun dari pangkuan Seokjin, bukan, tetapi bantal bulukan. Di depanku, dua vampir yang sangat kukenal berdiri memunggungiku. Kedua punggungnya melengkung penuh waspada, cakar mereka yang panjang, geraman kasar serta mata berapi-api tertuju ke sejumlah pria bersetelan hitam dengan aneka senjata.

Aku berguling menyamping tepat pada waktunya. Pada tempat yang sedetik lalu aku berada, di tembok sudah tertanam belati panjang. Aku langsung menggeram marah. Racun di sela-sela gigiku menetes, ingin menghancurkan beberapa orang yang menyerang kami.

Entah dari mana mereka menyerang, tetapi pintu yang dikunci tadi telah terbuka lebar. Salah satu daun pintunya lepas dari engsel.

Pencahayaan dari obor-obor membuat penglihatanku semakin jelas. Mereka jelas bukan vampir jika dilihat mata yang tidak punya cekungan ungu. Mereka manusia, dengan sorot penuh kebencian ingin menghabisi kami.

Tak ada perlindungan. Tiga lawan 20 orang. Aku menjungkirkan bangsal, mendorongnya sekuat tenaga ke arah pintu masuk. Beberapa orang terjengkang ke bawah. Sarang dan Seokjin langsung menghabisi mereka yang masuk ke pertahanan kami.

Cabik....

Cabik....

Habisi mereka!

Sesuatu di balik tubuhku berbisik riang. Penglihatanku semakin merah. Aku memutar ranjang besi dua kali, dengan maksud membuat pingsan musuh, lantas kulempar sembarangan ke salah satu orang yang berusaha bangun. Naas baginya. Kepalanya langsung pecah kena hantaman kepala ranjang. Darahnya menyiprati wajahku. Aku tak peduli pada tetesan darahnya. Rasa kenyang atas darah kambing dan puasa selang-seling membuatku lebih tahan. Aku tidak kehausan layaknya vampir muda yang mudah kalap.

Manusia yang menyerang dengan kapak menghampiriku, tetapi kecepatan vampir tidak bisa menandingi manusia. Aku menendang dadanya hingga dia terlempar ke dinding, di belakang kami, lalu tewas tertimpa plafon yang jatuh.

Pertempuran di bawah tanah membuat apapun di atas roboh. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi yang jelas kami bertiga harus bertahan dari serangan brutal ini.

Sarang berteriak ketika senjata mengenainya, tetapi regenerasi atas luka menguntungkan vampir. Kami takkan mati kecuali jantung yang diambil dari rongga dada. Sarang bangkit, lebih marah untuk balas dendam.

Erangan, suara hantaman dan langkah kaki menghadapi perkelahian membuat separuh dari penyerang tewas. Kemurkaan menyebabkan kelompok kecil kami bertahan. Masalahnya gerombolan manusia datang lagi, hendak menyakiti kami.

"Sudah kubilang kau tak usah bertingkah. Lihatlah kita, terpaksa menghabisi manusia. Apa gunanya minum darah kambing kalau kita mati dibacok manusia, heh?" Sarang mengamuk, tepatnya menyalahkan keadaan padaku.

Andaikan aku tidak berkelahi dengan Sunghoon, barangkali kami nyaman berkeliaran di puncak Cheongwangbong. Aku yang memaksa mereka berburu darah, meski tidak benar-benar haus dan sengaja merebut buruan Sarang.

Ulah jahilku berbuntut kesialan. Aku menyesal, tetapi kami perlu hidup. Tak ada alasan apapun selain kami terpaksa membunuh manusia-manusia di depan kami.

Luncuran belati kecil menghantamku. Perih bukan main. Darah biru kehitaman menyembur sewaktu bilah-bilah tajam mengenai kaki, tangan dan perutku. Seperti kemasukan duri, mengganggu sekali. Aku mengerang sakit sewaktu mengeluarkan lima belati. Masih untung tidak mengenai wajahku. Aku melempar balik secara acak bilah belati itu ke musuh.

Semakin lama, kami tersudut di ruangan. Tanpa perlindungan ataupun senjata. Hujan pisau, tombak, panah, dan timah besi menghantam kami.

Kesedihan, putus asa dan murka membuatku tak percaya. Untuk apa kami dibawa ke bangsal dan didata untuk perlindungan? Jika kenyataannya tak satu pun Gyeonghui datang menyelamatkan kami bertiga.

Aku ditipu mentah-mentah.

Sunghoon atau siapapun dalam kepalaku, kurasa aku harus menghajarnya.

Aku lebih kecewa ditipu oleh imajinasiku sendiri. Merasa tolol tidak percaya pada kakakku sendiri.

Baiklah. Sebagai Kim Chensu yang gila, sepantasnya aku berdiri di depan. Suara dalam kepalaku semakin menggila, menyuruhku untuk menghajar siapapun yang menyakitiku.

Ini bukan pertama kalinya aku dirundung seseorang. Di toilet sekolah, kuah dingin sundae, tawa penuh penghinaan, serta selubung putih beraroma laut dan bunga kopi melindungiku.

Bodoh. Ini bukan waktunya melantur. Ada bahaya menerjangku, tetapi aroma itu terlalu nyata dihirup dari arah pintu. Teriakan kesakitan memekakkan dari sejumlah lawan, lima vampir menerjang masuk, menghancurkan apapun yang menghalangi. Jake memukul musuhnya dengan tongkat bisbol, lantas terkejut pukulannya berputar mengenai kepalanya sendiri. Dia menggelengkan kepala, mengenyahkan rasa pusing, lantas tersenyum konyol sewaktu menghajar yang lain.

Namun, mataku lebih terkunci pada sosok tinggi, dengan wajah penuh darah dan luka. Tatapannya penuh tekad membunuh. Dia menebas pedang ke mana pun lawan datang, sementara matanya tertuju padaku.

Aku tak mengerti sepenuhnya, tapi dia datang padaku dengan pandangan yang sama sewaktu menudungi kepalaku dengan jaket putihnya. Tak banyak kata, tapi bahasa tubuhnya sangat jelas.

Tim polaris datang mengevakuasi kami. Nyaris sepanjang lorong penuh mayat bergelimpangan. Beberapa di antara mayat itu adalah vampir yang rongga dadanya kosong

"Ayo, pergi dari sini," ajaknya, berhasil mencengkeram lenganku.

Eomma, Appa, Jiho-ya, maaf, aku harus pergi dari sini.

Ingatan itu membanjiri isi kepalaku.

Ayolah, aku Yoo Yuri, siswi kelas 10 SMA. Aku putri dari pasangan suami istri pemilik empat restoran sundae terkenal di Jongno. Aku menghilang tiga tahun terakhir gara-gara menjadi vampir. Orang yang menggigitku, Park Sunghoon. Pemuda yang kutaksir diam-diam, tetapi kelakuannya menjengkelkan. Aku ditolak secara sepihak, menyatakan bahwa aku temannya. Karena kesal, aku pergi tanpa arah dan tiba-tiba lupa ingatan.

Hebat dan dramatis sekali hidupku, tapi tidak akan pernah bisa menemukan keromantisan sewaktu Sunghoon menghardikku, "CEPAT PERGI, BODOH!"


Mohon maaf belakangan ini mulai jarang update. Agak sibuk sama RL, tugas-tugas komunitas seabrek dan akhirnya tumbang.

Banyuwangi, 24 Januari 2021
Revisi, 19 September 2022 (Baca ulang, baper banget!)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro