[8] PAHLAWAN KESOREAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ucapan Park Sunghoon terus menghantuiku. Entah memilih atau dipilih sebagai teman, rasanya aku seperti ditolak mentah-mentah. Ini lebih buruk. Kalah sebelum perang. Gagal sebelum mulai permainan. Jawaban lugasnya membuatku senewen.

Pekerjaan banyak yang terbengkalai. Aku mengacau. Sudah dua kali aku menjatuhkan piring sampai pecah berkeping-keping. Tidak sengaja mengantar pesanan ke meja yang salah, memberi uang kembalian lebih ke pelanggan. Eomma semakin tidak tahan. Aku dilarang berada di restoran jika malah menambah pekerjaan baru untuk para pegawai. Eomma menyerah padaku. Sambil mengomel, Eomma menyodorkan lima lembar uang seribu Won, mengusirku keluar supaya membeli es krim di restoran seberang.

Bukannya girang dapat uang jajan, aku malah berjalan tidak tentu arah. Pikiranku kosong. Bahuku semakin terkulai lesu menatap pergantian warna langit yang menjadi ungu. Aku semakin tidak berharga.

Di usia belasan tahun ini, aku harus mendapatkan tekanan di sekelilingku. Gara-gara dimusuhi banyak orang, kena omelan orang tua atas ketidakbecusanku dalam melakukan sesuatu dan aku bahkan bukan siapa-siapa di sini. Aku ingin menghilang. Seakan-akan, aku tidak cocok berada di lingkungan yang keras. Aku mulai depresi selagi pikiran-pikiran buruk terus mengganggu.

Aku semakin lapar, tetapi sepiring nasi sama sekali tidak menarik perhatian. Sup darah sudah membuktikan. Seenak apapun makanan yang pernah kusantap dan kumakan lagi, rasanya terlalu hambar sekarang. Aku harus bicara pada Eomma soal keganjilan yang kualami. Walau Eomma bakal mengeluh, dia harus menemaniku ke rumah sakit besok.

Aku balik arah menuju restoran, tetapi suara klakson menggema keras dan aku terlambat menyadari bahwa aku asal menerobos lampu merah. Aku mundur secara refleks. Jantungku nyaris rontok untuk kesekian kalinya.

Penumpang mobil ada yang membuka pintu jendela. Kepalanya menyembul dengan ekspresi garang. Tidak lupa jari tengah diarahkan padaku.

Baru kali ini aku menghadapi situasi antara hidup dan mati.

Aku tidak siap jika harus tertabrak mobil. Ini teguran keras untukku agar tidak asal berpikir. Hanya masalah sepele, sudah ingin menghilang dari dunia.

Rupanya aku pengecut.

Air mata menggenang dari dua bola mata yang gemetar. Aku tertampar oleh kenyataan. Mau semapan apapun orang tuaku, kalau lingkungan menolakku, tetap saja semuanya adalah kebohongan. Aku kesal sekali dengan Park Sunghoon.

Aku harus merelakan pemuda itu. Lagi pula, berkat dia, aku jadi kesusahan. Untuk apa aku bertahan menyukainya jika cintaku bertepuk sebelah tangan? Akan kubuktikan bahwa ucapannya keliru. Aku pasti bisa menjauh darinya dan mendapatkan cowok keren lain.

Namun, siapa?

Tidak ada yang bisa menandingi pesona Park Sunghoon.

Aku mengerang kesal, lantas berjengit menyadari tanganku perih. Terima kasih kepada langit, sekarang aku punya luka besar di tanganku. Yang jauh lebih aneh adalah telapak tanganku tergores banyak, menganga satu sentimeter. Aku bisa melihat jelas jaringan tipis berikut darah, tetapi bukan seperti luka umumnya atau seperti daging ternak yang disembelih. Luka di tanganku sangat aneh. Terdapat lebam di balik lapisan epidermis dan jaringannya biru kehitaman.

Aku berhalusinasi, kan?

Tentu saja ini halusinasi kalau perihnya tidak ada. Mungkin aku punya trauma parah berkat kena lempar kuah sundae di toilet, atau kena racun di roti milik Sunghoon.

Argh .... Pokoknya gara-gara Sunghoon! Dia harus bertanggung jawab atas semua kerugian yang kualami. Namun, aku enggan melihat bocah itu lagi!

Aku meniup telapak tanganku. Berharap lukanya cuma goresan kecil.

Dipilih atau memilih, kita adalah teman.

Oh tidak. Aku memilihmu sebagai musuh dan aku akan—berjuang mati-matian—menjauh darimu. Aku mengontrol kecemasanku lalu pergi ke restoran. Aku harus bicara serius dengan Eomma untuk masalah psikologisku. Aku sangat tahu keanehan yang kualami, serta waham yang mengusik. Sebelum semuanya terlambat, aku harus mendapat terapi dari psikolog. Jika tidak, yah—aku gila, kan?

Langkahku terhenti di depan mata. Aku tidak sengaja memergoki pasangan yang dimabuk asmara. Mulut mereka saling mengulum seperti permen lolipop. Tangan si pria menjelajah masuk ke dalam rok perempuan. Aku semakin mual karena pemandangan tidak seindah adegan di film. Justru semakin menjijikkan. Usia mereka pun beberapa tahun lebih tua di atasku.

Rahangku mau jatuh ke tanah, tidak menyangka bahwa beberapa detik berikutnya berada di luar jangkauanku. Mereka melakukan tindakan yang lebih parah dan sesuatu yang gelap menudungi pandanganku.

"Jangan dilihat."

Suaranya menggelitik daun telinga. Bibirnya terlalu dekat di belakangku. Aku mengangguk pasrah. Terlalu syok dengan pemandangan barusan.

Jika tertabrak mobil bisa membuatku pingsan dan lupa hal terburuk, aku rela menjatuhkan diri di aspal. Namun, tidak kalau dua orang yang terpengaruh hormon itu menjadi mimpi buruk sepanjang malam.

"Kau masih melihatnya?" Aku balik bertanya, seraya melepaskan telapak tangannya yang melindungi mataku. Aku mengenal sosok itu berkat aroma kopi dan lautnya yang selalu membuatku berdebar.

Aku merasakan dunia berputar selagi Sunghoon memutar arah kami.

"Tidak. Ayo pergi dari sini."

Sunghoon menuntun arah kepergian kami. Aku tak mengerti kenapa bocah ini ada di mana-mana. Bagaimana aku bisa lepas darinya jika Sunghoon selalu ada? Itu, kan, aneh!

"Kau ini kenapa lewat jalan gelap dan sepi?" tuntut Sunghoon.

Aku mengerjapkan mata silau selagi telapak tangan Sunghoon berhenti memblokir penglihatanku. Wajahnya sangat serius sekarang.

"Memangnya kenapa? Kau ini kenapa selalu ada di sekitarku? Hobimu menguntitku?" balas aku yang melayangkan pertanyaan sarkastis. Aku tak tahan. Lebih baik pertengkaran dimulai sehebat dan secepat mungkin.

"Bukan! Aku hanya mengkhawatirkanmu."

Wow? Dia mulai perhatian saat aku sudah menarik diri? Bagus sekali. Aku bisa membalas dendam, tetapi aku terlalu mengenal diriku sendiri. Aku butuh kekuatan ekstra untuk membencinya. Hal yang dia lakukan saat ini tidak bercela, lalu apa yang harus kulakukan untuk membencinya?

"Dari apa? Aku bakal menelepon polisi karena menyaksikan perbuatan asusila dan mempermalukan mereka?"

"Bukan," tandasnya. Sunghoon tersenyum misterius sambil melanjutkan perjalanan. Dia pasti meledekku sebagai orang mesum sekarang.

Aku mengamati lingkungan sekitarnya. Ucapan Sunghoon benar. Aku menempuh jalan lain yang dihindari kebanyakan orang. Rute itu mengarah ke lingkungan kumuh yang ditinggali para tunawisma. Sesekali di sana ada preman yang memalak orang, serta arah itu rute tercepat mencapai restoran lewat pintu belakang, tetapi aku menyesal sekarang.

Kuakui Sunghoon memang berubah menjadi pahlawan kesorean malam ini.

"Hei, kau mengikutiku, ya?" tanyaku.

"Iya."

Apa-apaan dia? Sekarang dia yang lebih aneh. Untuk apa mengikutiku sampai berada di sekeliling restoran? Aku yakin Sunghoon bolos sekolah jika sejak memergokiku minum darah tadi pagi dan makan siang di restoran. Sekarang saat malam pun, Sunghoon masih memakai seragam sekolah dan mencangklong tas ransel.

Dia ini mau jadi teman apa sebenarnya? Kenapa bulu kudukku merinding?

Aku semakin takut berhadapan dengan Sunghoon. Kuharap aku pindah sekolah daripada dikuntit Sunghoon. Ini terlalu menyebalkan. Jika aku sendirian, kujamin para gadis tukang ngaku pacar Sunghoon bakal mengeroyokku tanpa ampun.

Argh... Sunghoon saja begitu, apalagi para pengikutnya.

Aku makin waspada. Kutatap semua arah, memastikan bahwa tidak ada gerak-gerik aneh di segala sudut. Aku tidak mau ada orang lain selain kami berdua. Aku tidak mau mampus karena lengah. Kalau ada orang mencuri gambar lewat kamera ponsel secara diam-diam, lalu menerima teror aneh, hidupku tidak akan pernah tenang.

Selamanya Park Sunghoon akan menjadi musuhku!

Langkahku tertahan. Ada banyak spekulasi mengusikku. Aku tidak pandai olahraga, tetapi mengejutkan bahwa aku bisa bertarung tanpa gentar menghadapi Minji. Aku cukup kuat menahan tinju orang lain. Aku semakin yakin pada gagasanku satu ini.

"Hei, Park Sunghoon. Menurutmu, aku bakal menyerang orang karena aku pintar bertarung, ya? Mungkin aku tidak akan menelepon polisi untuk melaporkan kejadian tadi, tapi aku bakal main hakim ke mereka karena merusak pemandangan?"

Sunghoon balik menatapku. Dia memutar matanya.

"Bisa jadi."

"Ya, apa maksudmu, bisa jadi?" tanyaku marah.

"Lupakan saja. Aku tidak akan khawatir lagi. Akhirnya sudah kelihatan jalan besar. Sampai jumpa pekan depan, Yoo Yuri."

Ucapan Sunghoon ada benarnya. Kami menemukan jalan yang ramai. Ada banyak pejalan kaki dan kendaraan yang bertumpuk karena jalanan macet. Ini akhir pekan. Wajar bila kondisi jalan raya padat.

Sunghoon melambaikan tangan. Senyumannya yang hangat membuatku terlena. Aku tidak sengaja menangkap sesuatu yang aneh di balik daun telinganya. Jaringan daging koyak, disertai bilur biru kehitaman. Aku segera membalikkan punggung tanganku ke bawah untuk memastikan sesuatu.

Namun, luka di tanganku telah mengering. Tersisa kulit merah muda yang sangat baru.

Aku menggelengkan kepala. Teringat bahwa aku harus pergi ke psikolog dalam waktu dekat.

Banyuwangi, 3 November 2020
Revisi, 17 September 2022

Mulai keteteran menulis, tapi tetep ditargetin dong sehari kelar 1 bab. Hihihihi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro