✎៚┆O.1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derap tilas menggebu mengusik cengkrama pipit di atas kabel listrik. Menyapa titian anak mentari dengan bermandi peluh. Lusuh. Begitu diri mendapati waktu menunjukkan pukul enam lebih lima puluh.

"Sial, kelewatan lima menit."

Insan muda terus melaju kalap di atas trotoar. Sebelum manik tertimpuk akan kehadiran satpam yang menutup rapat pagar. Abai akan hadir sosoknya yang hampir merengek di tempat. Hampir pula berteriak. Lantas entah datang dari mana, telapak  tangan lekas mendarat, mendekap.

"Goblok. Ikut ke sini."

Sang pendekap berujar dengan terengah. Terlihat jelas, bahwa ia sempat berlari sebelum bernasib sama layaknya gadis di hadapan.

"Mas-- ish!! Mas Hanma lepasin."

"Apaan?? Udah ayo cepetan ga ada waktu lagi."

[Name] seketika jengah tiada dua. Merutuk. Kepada pemuda yang berhasil membuat waktunya terbuang sia-sia. "Mas ngapain sih?! Padahal dikit lagi sampe gerbang."

Atensi melirik sejenak ke arah jam tangan. Untuk setelahnya kembali mengumpat keras. Menyentak sang pemuda, lantaran tak menyangka gadis itu mampu melakukannya.

"Janc/k."

"Astaghfirullah." lengan kini mengusap tabah raga. Geleng-geleng.

"Gara-gara Mas sih."

Hanma Shuji tak habis pikir. Menyikapi dengan cara apa lagi agar sang gadis tersadar dari tindak bodohnya. Karena sebagai siswa dengan catatan terlambat paling banyak sepanjang sejarah, Hanma, tentu pernah mendapati berbagai macam kondisi yang menuntut kecerdikan diri.

Pro player julukannya.

"Lagian dek, mana ada orang telat masuk lewat pintu depan."

Manik sang puan menyincing sebab kata. Tak percaya. Pasti semua bualan semata.

"Nyeh. Terus mau lewat mana? Manjat tembok belakang sekolah?"

Meski ragu, nyatanya [Name] kini tak henti mengekori sosok Hanma yang terus melenggang pergi. Pasrah. Meski tanya terus menjejal dalam diri. Tentang rencana apalagi yang akan diperbuat Sang Kakel langganan semprot guru BK ini.

Angan lekas terusik, selepas indera mendapati sahutan ricuh dari seberang. Memanggil nama sang pemuda di hadapan dengan riang. Meski bunyi ketukan tak henti mendominasi dalam percakapan.

Memicu curiga yang lebih besar. Akan apa yang tengah gerombolan itu lakukan di samping semak belukar.

"Mas, kita manjat tembok kan?"

Hanma menoleh, bersama jemari yang kini menarik sebatang rokok pembuka hari. Berujar.

"Ngapain dipanjat kalau bisa njebol?"

"HA?!"

Atensi lain nampak ikut terpaku akan kedatangan. Lantas pada detik berikutnya menyapa dengan rekah kurva. Dan menaruh begitu saja alat pukul di antara rerumputan. Mengundang makian. Dari insan lain yang sedari awal menonton tindak kriminal.

"Woe b/bi!! Lanjutin dong!!"

"Lah si anj/ng malah lari."

Indera seakan menuli. Tak acuh. Sebab kini ada yang jauh lebih menarik di banding menjebol tembok. Membawa tapak tilas mendekat ke arah gadis muda yang membeku. Memicu tegang. Tatkala puan pada ujung pandang kenal akan sosoknya.

"Selamat pagi Mba waketos!"

Saliva di telan kasar.

"Hari ini cerah ya!"

Netra Hanma menyincing dalam senyap. Melirik tajam. Ke arah pemilik surai cerah yang mendekatkan wajah pada gadis di sisinya. Menahan tindak meski ingin. Karena ia tau pemuda itu berandalan bukan main.

[Name] tak membalas kata. Meski keduanya kini saling sapa lewat pandang.

Mengkelu.

Di hadapan pemuda bernama Haruchiyo Sanzu.

"Mba waketos tumbenan nih mampir!!" Sanzu berbalik. Berseru riang ke arah gerombolan yang masih setia di depan tembok. "Ga mau disambut kah??"

Cemas seketika berkecamuk dalam kalbu. Tatkala pandang mendapati belasan atensi menyusul kalimat sang pemuda. Memicu tawa senang, dari pemilik dua bekas luka.

"Mba [Name] bentar lagi ikut kita yuk. Mampir bentar di toilet, mau gaa--"

Pada detik berikut nya, belasan pandang membelalak tak menyangka. Mengundang teriakan ricuh. Yang berseru mengucap nama kedua insan untuk segera beradu. Mendapati sebatang rokok kini bersemayam dalam pipinya, Sanzu dengan tersulut emosi menepis kasar lengan sang pemuda. Geram. Begitu pandang langit mendapati wajah tanpa ekspresi.

"Maksudnya? Ngajak ribut?"

Hanma tak bergeming. Pula tak gentar meski kepalan tangan siap melesat mengunci rahang.

"Kalau ngefly selesai in dulu, baru sekolah."

Tak disangka, Sanzu dengan pitam yang membuncah ruah, putuskan untuk meludah tepat di wajah sang pemuda. Lantas melenggang pergi begitu saja, seakan tak bersalah, akan tindak nya yang membuat Hanma kalap mengusap bekasnya.

Tentu saja membuat penonton seketika kecewa.

-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-

"Anjrit, bau."

"Mas Hanma, ijin ketawa boleh ga?"

"Ga."

"Tapi tadi itu lucu, Mas."

3 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro