5. Mulut Tajam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hey jangan melamun!" Arika menjetikkan jarinya di depan wajahmu, lantas membuat dirimu mengerjapkan mata beberapa kali memahami situasi.

"Mikirin apa sih? Buku hitam lagi?" sela Mina sembari menepuk bahumu.

"Aiiih, apa aku curi saja, ya?" celetukmu putus asa, otakmu tak bisa menyalin ilmu yang diberikan dosen semenjak buku hitammu disita oleh yang terhormat Akaashi Keiji.

"Kau gila!"
"Stress!"

Ucap Mina dan Arika bersamaan dengan nada seperti menuduh seorang kriminal.

"Jadi aku harus apa? Nyusup mah gampang. Cuma ini yang terpikirkan otakku!"

Mina dan Arika menyeruput minuman masing-masing, memandang sedih ke sosokmu seolah-olah ini adalah kesempatan terakhir kalian berjumpa.

"Seorang gadis menyusup ke asrama laki-laki," ujar Arika seperti pembawa berita.

"Diduga karena perkara sebuah buku yang tak dikembalikan, sang gadis nekat membobol kamar katingnya sendiri," lanjut Mina dan itu membuat dirimu menggebrak meja tak terima.

"Kalian ini di pihak siapa?" sentakmu sedikit kecewa.

"Pihakmu, tapi tak perlu juga senekat tadi. Akaashi-senpai cuma main-main, nanti juga dikembalikan." Arika ada kemungkinan benar, tapi hatimu bersikeras ini adalah perlakukan tidak adil dari Akaashi.

"Ngomong terus, kau tak tahu betapa irinya kami karena kau mendapat bagian makanan mereka. Ugh, sepaket makan malam!" seru Mina.

"Itu tidak setimpal, hanya sekali cerna. Tanda tangan itu kudapatkan dengan penuh resiko." Kau membela dirimu, berusaha tenang dan tak terlampau memikirkan buku hitam. Mencari satu tanda tangan saja rasanya seperti mengikis nyawa sedikit demi sedikit.

"Kalian lanjut saja cari tanda tangan, aku mau mengulang materi dosen tadi di perpus. Gara-gara si ketua otakku tak bisa memproses apa pun." Kau bangkit dari duduk, menepuk rok beberapa kali dan memperbaiki tali pinggang.

"Itu namanya jatuh cinta."

"Jaga mulutmu, Mina."

"Siap, Tuan Putri."

Kau menggelengkan kepala kesal, meninggalkan meja kantin lalu segera menuju perpustakaan.

Itu akan terjadi kalau saja Tanaka tidak berteriak nomor indukmu di tengah keramaian kantin. Terang saja mengundang banyak perhatian.

Di kejauhan kau melihat kelompok Akaashi. Lihatlah, betapa mudah anak jurusan Sipil ditandai dengan sekadar melihat simbol bangunan mangkrak yang dibordir di dada outer mereka.

Dan cuma para senior yang berhak memakai outer tersebut.

"Tanaka, kau mengundang tamu yang tak kuharapkan," singgung Akaashi dan menutup buku bacaannya.

"Heee? Kenapa? Aku mau tanya-tanya. Kau kesal gara-gara kemarin, ya?"

"Diam."

Kau hanya mendengarkan, tidak mau repot-repot memikirkan debat mereka. Ini akan lama, tebakmu. Hak istimewa senior ini sangat membuatmu iri, mereka berhak melakukan apa saja yang mereka suka termasuk memerintah dan menjahili adik tingkatnya.

"Dek, ceritain dong kok bisa kauhapal nomor SIM Akaashi?" Tanaka bertanya, matanya menaruh minat penuh pada responmu.

"Um-"

"Dia stalker," potong Akaashi sambil menumpukan dagunya di tumpuan tangan. Matanya dengan tegas menatapmu, seringai tipis sejenak tertangkap penglihatanmu--meski tidak terlalu lama.

"Merasa pahlawan untuk angkatannya, seenaknya mengorek info pribadi, tidak sopan, pemaksa, benar-benar gak tahu diri."

Kau diam, kautahu bila omongan tersebut dibalas akan jadi boomerang yang tak menguntungkan. Diam, dengar, keluarkan ... tak perlu singgah di hati atau beban pikiran.

"Lihat, dia juga tak tahu cara mengontrol mata tajam itu. Teruslah menatapku, kita lihat siapa yang jatuh duluan." Akaashi membereskan buku-bukunya, meninggalkan teman kelompoknya dalam tanda tanya besar.

"Habis kena semprot dosen kali."
"Itulah kenapa aku menolak jadi asisten lab. Berat cuy kerjaannya."
"Beban pikiran orang pinter mah another level banget, ya? Aku can't relate."

Mendengar bisik-bisik barusan kau pun tersadar bahwa raut Akaashi memang tampak kacau, bahunya sedikit turun seperti ketambahan beban dunia di pundak.

"Dek, yang tadi jangan dimasukin ke hati. Akaashi itu sebenarnya yang paling baik di angkatan kami tapi kerjaan dia akhir-akhir ini nambah terus, aku gak maksud manggil buat dibentak gini sama dia. Maaf ya," ujar Tanaka merasa bersalah karena telah memanggilmu.

××××××××

Teknik itu memang rollercoaster, begitu banyak yang ditumpahkan dalam satu piring dan kauwajib menatanya jika tidak ingin tertinggal dari yang lain.

"Mulut tajam, kasar, pasti dia tak pernah mendapat pacar dengan perilakunya itu!" Kaukesal bukan main, mencabuti rumput di halaman depan lab hidrolika sebagai pelampiasan emosi. Jam kuliah untuk hari ini baru saja selesai, buku hitam pun tak ada tanda akan pulang. Berita baiknya, ospek ditunda sehari karena Akaashi ingin istirahat dari muka-muka asam para maba (begitu pengumuman konyol yang disampaikan ketua angkatanmu).

Inginnya kembali ke asrama sekarang, tetapi melihat senior berkumpul di bawah pohon membuat konser kecil agaknya seru untuk diintip.

Dan oh betapa si perampok buku kelihatan adem berteduh di bawah pohon rindang sambil memetik gitar. Diiringi nyanyian temannya yang duduk melingkar, mereka semua terlihat begitu akrab dan menyejukkan.

Ingin rasanya kau menyalip di sana. Duduk bersenda gurau dan bertukar cerita. Tetapi kau masih cukup waras untuk tidak sembarangan masuk ke lingkaran api tersebut. Yang ada, kau malah jadi bahan guyonan empuk atau lebih parahnya disuruh menari untuk lagu mereka.

Oh demi Tuhan jangan.

Kau tak sanggup lagi nomor indukmu ditandai seluruh senior.

"Oooi itu yang nyudut pura-pura cabut rumput di lab ngapain?"

'Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi,' bisikmu putus asa dalam hati.

Kau menegakkan badan, berjalan pasrah menuju senior yang anehnya tersenyum ramah (benar-benar berbeda saat ospek).

Sesampainya di tempat mereka, Akaashi sedikit menoleh padamu lalu berujar, "Sudah kubilang anak ini stalker." gitar diletakkan di atas pangkuan, matanya sama sekali tak ada minat untuk kembali memainkannya.

"Udahlah bro, gimana pun juniormu ini," sela Tanaka dan menyodorkan botol air mineral padamu yang dengan senang hati kauterima.

"Junior macam apa yang tak tahu batas privasi. Stalker."

Ucapan Akaashi tadi disambut gelak tawa bersahutan membuat wajahmu memerah malu. Menyesal karena menghapal nomor SIM Akaashi.

"Dek, gak mau hapal nomor ponselku aja?"

Gelak tawa seharusnya berlanjut kalau pertanyaan tadi diucap oleh Tanaka. Tapi ini malah muncul dari mulut yang sama sekali tak diduga semua orang. Tidak satu pun, bahkan temannya sendiri.

"Kiyoomi, kupikir kau aseksual," sindir Akaashi yang memotong kesunyian mendadak.

"You and your horrible tongue."

"My tongue is wonderful. Want to try it?"

"SUMPAH JOKES LO BERDUA GAK PERNAH NYAMPE SAMA GUE!" jerit Tanaka disusul gelengan kepala dari para senior yang baru saja disuguhi candaan yang entah harus ditanggapi seperti apa.

Mungkin malu karena kau secara tak sengaja menonton kelakuan absurd atau bisa juga disebut aib dari ketua dan wakil asisten lab beton angkatan mereka.

"Don't push your luck, Keiji."

"Kau yang mulai, Kiyoomi."

"The audacity."

Kau benar-benar bingung. Sebenarnya apa yang tengah berlaku antara dua senior yang dikenal paling 'irit ngomong' ini?

<<Alasan kelima: Fin>>

A/n:

Halo! Akhirnya aku bisa pub draft ini setelah lama berdebu. Maaf ya, kalian lama banget nunggunya. Tapi thanks banget yang udah mau mampir dan jejak, karena kalian semangatku kembali dipupuk di tengah gilanya perang anak kuliah.

-Sochira
27 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro