Day 3 | Kabut dalam Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini, tampak ada yang beda dari Todoroki.

Meskipun lelaki heterokrom itu terbiasa berwajah datar dengan sikap yang dingin tetapi kali ini berbeda. Suasananya suram, seperti tidak berminat menikmati waktu untuk bercengkrama dengan alam. Aku dan Todoroki, kami berdua kembali duduk bersama di tebing seperti hari yang lalu. Katanya, dia juga ingin bercengkrama dengan alam layaknya aku. Kemarin aku sempat terkekeh mendengar niatannya itu, dan juga tak habis pikir ketika dia memujiku yang pintar mencari tempat favorit.

Tidak juga. Aku tidak mencari. Benar tempat ini adalah tempat favoritku. Menjadi favorit sebab kenangan yang ditinggalkan. Saat itu aku hanya tersenyum, tetapi tak bisa memberitahu Todoroki yang sebenarnya.

"Todoroki-kun." Lelaki heterokrom mengerjapkan mata, kembali tersadar dari lamunan. Kuletakkan tanganku pada bahunya dengan lembut. Todoroki nampak sedikit terkejut.

"Luapkan bebanmu, semampumu, biarkan alam yang mendengar seluruh keluh kesah itu. Kau tahu, itu juga termasuk dalam bercengkrama dengan alam." Aku mengusap pelan bahunya dengan tanganku. Dia menunduk, tangannya mencengkram rumput erat-erat.

"Lalu, biar alam yang menenangkanmu setelah semua kau luapkan. Dan lagi jangan lupa, setidaknya ada manusia yang sedang berada di sisimu. Kau boleh berbagi." Lanjutku. Todoroki kemudian menghela napas.

Aku tahu ada yang sedang mengganggu perasaannya sekarang. Entah itu sedih, marah, kesal, ungkapkanlah. Meski hatimu bersikeras untuk menyimpannya sendiri, di lubuk terdalam, sang hati kecil pasti ingin didengar, maka ungkapkanlah---

"Aku ke desa ini selain untuk berlibur, itu karena diminta oleh kakek. Karena nenek ingin melihatku, berharap dengan memenuhi keinginannya ia akan sembuh. Tapi.." Ia bersuara, namun kepalanya semakin menunduk. Aku masih diam, menunggu ia yang sedang mengambil jeda sejenak.

"Baru dua hari setelah aku datang. Bukannya membaik, kondisinya semakin buruk. Di hari ketiga.. tahu begitu.. entah mungkin seharusnya aku tidak datang saja ke mari."

Keluarga Todoroki sedang berkabung. Nyonya Todoroki, nenek lelaki di sampingku ini semalam meninggal dunia. Pagi hingga menjelang siang tadi pemakamannya telah usai, berlangsung cepat. Pegangan tanganku pada bahunya seketika menjadi erat.

"Itu yang terbaik. Kedatanganmu ke mari, adalah yang beliau inginkan, setidaknya melihat orang yang kaurindukan di saat terakhir, itu yang terbaik. Tidak ada yang perlu di sesali Todoroki-kun. Jangan menyalahkan dirimu sendiri."

Jangan salahkan dirimu, kalau kau tidak ke mari, mungkin.. semua pertemuan kita ini tidak akan pernah terjadi. Aku tidak ingin, menunggu bertahun-tahun lebih lama lagi.

Untuk saat ini, mengeluarkan kalimat yang bisa menenangkan lebih baik 'kan. Raut wajah Todoroki berubah, tidak sesuram barusan. Apa ia sudah lega? Ah tidak, ternyata belum.

Namun aku sempat terhenyak, Todoroki yang dulu cengeng. Sekarang bahkan ia kuat menahan kesedihannya yang membuncah. Dia memang dingin, di luar. Aku yakin, dibalik itu Todoroki adalah orang yang paling peduli dan tulus meski ia tak menunjukkannya.

"Si tidak tahu diri itu. Seharusnya dia kan yang diminta nenek datang? Di saat terakhir, bahkan saat dikebumikan, dia tidak datang, anak macam apa dia itu?! Tidak peduli pada ibunya yang sekarat, malah mengirimku, berdalih pekerjaan adalah segala-galanya! Sialan." Dada Todoroki mengembang mengempis, tadinya ia sedih, sekarang emosinya sedang bergejolak. Yang dimaksud dia itu ayahnya? Tangannya yang mengepal dia hantamkan ke tanah. Mataku membelalak.

"Todoroki-kun"

"Sialan.. maaf aku kelepasan. Aku sudah tidak apa-apa sekarang." Aku tersenyum, jadi ikut lega kalau dia sudah tidak apa-apa. Tetapi.. aku tidak bisa menahan diri untuk lebih membuatnya tenang. Tepat ketika hembusan angin yang ikut menggugurkan dedaunan rimbun pepohonan, aku merengkuh tubuhnya.

Todoroki terdiam dalam pelukanku. Tidak bersuara, tidak pula mengelak. Sekujur tubuhku menghangat kala memeluknya, aku ingin Todoroki juga merasakan kehangatan itu. Setidaknya biar kehangatan mampu sedikit menenangkan perasaannya. Aku tahu aku tidak tahu diri, lancang, tapi.. aku rasa tidak ada pilihan lain.

Angin kembali berderu cukup kencang, menyapukan udara hangat khas musim panas. Hangatnya alam yang tampaknya bercengkrama merespon keluh kesahan yang telah ia luapkan, serta hangatnya perasaanku yang membuncah. Apa kau juga merasakannya Todoroki?

---Karena sekarang bukan hanya alam yang akan mendengarkanmu. Ada aku, di sini, yang telah lama menanti untuk kembali berada di sisimu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro