ʻ motivation | s. rintarou

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bukan anak yang begitu rajin. Hanya saja, berangkat sekolah pagi sedikit lebih awal dari yang lain sudah menjadi salah satu kegemaranku.

Hawa dingin pagi, udara yang segar, cicitan burung-burung yang masih bertengger di pepohonan, serta peralihan cakrawala dari kelamnya malam menjadi benderangnya fajar. Siapa sih yang tidak menyukai semua keindahan tersebut?

Semuanya itu sangat menenangkan, membuat kakiku semakin semangat melangkah, menyusuri jalanan yang masih sepi lengang.

Aku mulai memasuki ruang kelas 2-1. Bangku-bangku terlihat masih kosong, kecuali satu bangku di deretan samping jendela. Di sana, sosok pemuda bermahkota sehitam jelaga sudah menangkupkan wajah, terbenam di meja dengan kedua lengannya.

Seperti biasa. Pemandangan yang sama yang selalu kudapati di setiap permulaan hari.

"Pagi, Rintarou," sapaku begitu sampai menghampiri bangkuku yang tepat berada di sebelah bangku pemuda itu.

Aku menghela napas. Sapaanku tidak digubris, Suna Rintarou sepertinya benar-benar sedang terlelap.

Tak mau ambil pusing, aku mengeluarkan ponsel pintarku lantas membuka salah satu sosial media dan  menyelam di linimasa. Aku cekikikan sendiri. Pagi-pagi melihat shitpost bikin segar dan sehat, sebab otot-otot wajah jadi berkontraksi mengukir lengkungan tawa.

"Kukira di kelas ini ada kunti. Oh ternyata kamu, [Name]."

Kepala kutolehkan, mendapati wajah Suna sudah ditengadahkan, tidak lagi dibenamkan pada permukaan meja. Iris sayunya menatap ke arahku.

"Lho, kukira gak ada orang lain di sini," balasku tidak mau kalah.

Suna menyunggingkan senyum miring.

"Ngetawain apa? Keras sekali sampai bangunin orang." Pemuda dengan poni rambut belah tengah itu sedikit menegakkan badan, mencoba mengintip layar ponsel yang kugenggam dari mejanya. "Receh," komentarnya dengan wajah datar yang membuatku sedikit kesal.

"Suka-suka. Kamu aja kali yang terlalu flat jadi tidak dapat jokesnya."

Dia hanya bergumam 'hm' saja. Hening sepersekian detik, Suna kembali membuka suara. "[Name], PR Matematikamu sudah? Lihat dong."

"Sudah. Berani berapa dulu?"

"Pelit amat pake bayar, awas kuburannya sempit."

"Yeu, di dunia ini nggak ada yang gratis. Yakisoba ya nanti?"

Suna mendesah pasrah. Aku senyum-senyum sembari mengambil buku dari dalam tas. Sebelum menyerahkan padanya, gerakanku terhenti. Netraku mengamati pemuda itu dalam, pikiranku menerka heran.

"Jadi kamu rajin berangkat pagi cuma biar bisa nyalin PR yang belum kamu kerjain?"

"Salah. Aku berangkat pagi biar bisa tidur lebih awal setelah sampai di sini. Ngerjain PR itu bonus," jawabnya enteng. Kata-katanya yang mengudara itu memberikan atmosfir tak habis pikir dalam benakku.

Bisa ada orang macam gini, ya. Tapi argumennya cukup logis. Biasanya meski masih pagi-pagi buta di rumah tidak bisa bermolor-moloran lama, karena pasti sudah diobrak sama orang tua untuk bangun dan pergi sekolah.

Suna termasuk jenis siswa yang mungkin, 'Kalau tidak bisa molor pagi lebih lama di rumah, ya kenapa nggak di sekolah.'

Suna menerima buku yang kuserahkan. Sebelum sibuk dengan aktivitas menyalin pekerjaanku, dia menoleh. Iris kami kembali saling bertemu.

"Ngomong-ngomong, [Name], jangan sering cekikikan sendiri nanti dikira gak waras."

Sontak aku tertohok. Dia menyebalkan sekali. Sebenarnya sudah berapa lama dia terbangun dan memergokiku ngetawain shitpost tadi?

"Aku tahu aku ganteng, jangan dilihatin mulu nanti naksir."

Susu kotak dalam genggaman yang sedang kutenggak hampir-hampir membuatku tersedak, kala mendengar perkataan tiba-tiba dari objek yang belum lama tadi tidak sengaja jadi perhatianku.

Suna membuka matanya, masih dalam posisi bersidekap dengan permukaan meja, menghadap ke arahku.

"Kamu kalau tidur, matamu bisa nerawang dari balik kelopak yang memejam?" Aku bertanya dengan retorik. Heran juga Suna bisa merasa dilihatin padahal matanya lagi merem. "Jangan geer, aku ngelihatin langit di luar kok," tegasku yang tak sepenuhnya alibi belaka.

Awalnya aku hanya menerawang langit di luar jendela, sekadar melamun saja di tengah jam istirahat siang ini. Hingga tanpa sadar seolah tertarik kutub magnet, pemandangan Suna tertidur yang biasa kulihat selama menjadi teman kelasnya, sekelebat jadi kelihatan berbeda dari biasanya.

Entah mataku yang mendadak aneh atau hanya perasaanku saja, yang jelas intensitas daya magnetnya terlalu besar untuk ditolak.

"Insting gak bisa diremehin. Dan kamu adalah pembohong yang ulung, [Name]," jawabnya sambil terkekeh kecil. Dahiku berkerut, bertanya-tanya dimana letak kelucuan hingga membuatnya tertawa?

"Ada apa?"

"Apanya yang ada apa?"

"Ada apa kamu melihatiku seperti tadi?"

Kali ini bibirnya mengulas seringai tipis. Ugh, lidahku mendadak kelu dan aku mati kutu memikirkan jawaban untuk pertanyaan tersebut.

Kenapa? Aku sendiri juga tidak tahu. Pertanyaan sesederhana itu jadi terdengar merumitkan bagiku saat ini.

Melihat seringaian dan tatapan Suna di hadapanku, rasanya seperti diintimidasi seketika. Aku mencoba untuk tidak mengalihkan pandang dan melarikan diri. Roda otak berputar sedemikian keras, mencari jawaban yang tepat.

"Bukan apa-apa. Hanya saja, aku tiba-tiba kepikiran. Melihatmu tidur hampir di sepanjang waktu, aku berpikir kamu ini suram sekali, seperti nggak punya motivasi hidup."

Suna terpekur sejenak. Mungkin sedikit terkejut ketika mencerna kalimatku, meski dia tidak menunjukkan itu pada raut wajahnya.

Lalu, dia membuka suara. "Kata siapa aku gak punya motivasi hidup?"

"Cuma di voli kalau begitu?" terkaku.

"Gak hanya itu. Mau tahu apa yang memotivasiku biar betah di sekolah hingga tiap jam yang berlalu jadi tidak menjemukan?"

Aku membenahkan posisi duduk. Tertarik mendengar lebih jauh. Badan kuhadapkan ke arah Suna sepenuhnya.

"Kamu. Kamu yang membuatku ingin hadir di sekolah lebih pagi, ingin masuk sekolah tiap hari biar bisa bertemu dan berinteraksi denganmu."

Kemudian kami sama-sama saling terdiam.

Aku tertegun mendengar apa yang ia ucapkan, ia nampak tertegun atas yang baru saja ia katakan. Mata kami saling memandang satu sama lain dalam geming.

Untuk memecah situasi aneh yang menyelimuti, aku mencoba tertawa garing. Berpikiran positif bahwa mungkin dia hanya sekadar bercanda saja.

"Haha, Rintarou, kamu kebanyakan main sama Atsumu ya?"

Sialnya dia tidak balas tertawa. Seolah-olah apa yang dia katakan barusan adalah aktual.

Aku mengutuk diriku sendiri kala menangkap sebersit rona merah di pipi pemuda berponi belah tengah itu. Sengatan listrik yang mengedarkan rasa hangat tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku.

Suna tidak menggubris, alih-alih dia malah beranjak dari bangkunya.

"[Name], yakisobanya nanti sepulang sekolah aja ya," katanya sebelum punggungnya berlalu menghilang di koridor depan kelas. Meninggalkanku yang masih tergeming dengan beribu pertanyaan.

Bukannya menjelaskan, dia malah kabur.

Sial. Suna Rintarou itu ya, sungguh, selain sedikit rese dan suram dengan  wajah datar serta mata sayunya, dia adalah pemuda yang diam-diam menghanyutkan. []

.

"Apa yang barusan tadi kukatakan? Mulut sialan, gak bisa nge-rem bablas aja. Tapi tadi reaksi [Name] lucu banget." -Suna

hoho sorry it tooks a bit longer than usual.

ada yang rikues suna. dan aku skrg lagi bucin banget sama dia juga soalnya, jadi ya gini 😔

hehe, semoga kalian suka

[19/06/2020]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro