ʻ stay | o. tooru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oikawa menggigit bibir bawah. Lidahnya terasa seolah menyecap getir.

Netra hazel pemuda itu memandang layar ponsel dengan gamang. Napas dihela keras.

Pasrah.

Sudah berhari-hari ia menantikan kabar dari seorang wanita yang namanya tertera di layar ponsel. Sosok yang selama ini mengisi lakuna hati sang pemuda.

Entah sudah ke berapa kali ia telah bolak-balik mengecek ponsel. Yang ia dapati masih sama, harapannya masih belum menjadi nyata.

Lantas, Oikawa meletakkan dengan kasar ponsel di genggaman pada nakas samping tempat tidurnya sembari mendengkus.

Netra hazel beralih memandangi langit-langit apartemen. Dalam geming ia meratapi hal yang telah diperbuat, yang membuat hubungannya dengan sang wanita terkasih merenggang.

Oikawa menyesal. Benaknya banyak berkelebat kalimat-kalimat pengandaian.

Dengan perempuan bernama [Surname] [Name] pemuda itu menjalin hubungan. Perempuan yang telah ia kenal semenjak masa SMA. Perempuan yang telah menemani jatuh-bangunnya hingga kini mencapai titik ia berada.

Pikirannya menerawang jauh. Sedang apa sang kekasih saat ini? Apa wanita itu makan dengan baik di sela kesibukan pekerjaannya? Apa yang sedang dipikirkannya sekarang? Apa [Name] memikirkan Oikawa seperti pemuda tersebut memikirkan sang wanita?

Hubungan yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya, tentu saja mereka berdua sering mengalami berbagai percekcokan. Dari yang sepele, sampai yang membuat hubungan keduanya hampir di ujung tanduk.

Hampir genap seminggu sang kekasih memutuskan untuk tidak berkomunikasi terlebih dahulu pasca percekcokan mereka. Mungkin itu adalah pilihan yang diambil [Name] untuk beristirahat dari kelelahan batin dan menenangkan luka.

Oikawa mencoba menerima. Tapi ia juga lelah. Lelah menahan rindu yang teramat sangat.

Terlalu lama tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk, Oikawa akhirnya terlelap dengan hatinya yang masih penuh harap.

Bunyi ponsel yang berdering membangunkan Oikawa dari tidur lelapnya. Lengan terulur meraih benda tersebut yang tergeletak di atas nakas. Netra hazelnya memicing menatap layar ponsel.

Netra itu sontak membelalak. Oikawa lantas bangkit dan menegakkan punggung.

Ia mengangkat telepon dengan hati berdebar.

"[Name]?" lirihnya gemetar.

"Tooruー"

Terdengar suara dari sosok yang sangat ia rindukan. Sosok yang tiada henti membayangi pikirannya. Sosok yang tengah berada di beda benua nun jauh di sana.

"Maaf."

Ya ampun, Oikawa rasanya ingin menangis terharu sekarang.

"Maaf kalo aku egois, gak dengerin kamu, emosian. Aku lagi terbawa beban pikiran pekerjaan waktu itu."

"Sayang, nggak apa, aku ngerti. Aku juga minta maaf oke?"

"Beneran nggak apa?"

"Iya, gak perlu dipikirin. Sekarang kabarmu gimana?"

"Aku baik. Oh ya, Tooru. Aku gak jadi membatalkan rencanaku sebulan lalu. Kamu minggu depan punya banyak waktu luang, 'kan?"

Mendengar itu, Oikawa menghirup napas tertahan. Bibirnya membentuk cengiran riang.

"Tentu. Aku tunggu kedatanganmu," katanya.

Malam itu, kehidupan Oikawa bak kembali lagi. Ia habiskan waktu di malam yang dingin, ditemani secangkir kopi panas, senda-gurau tawa, serta berbagi keluh kesah bersama sang kekasih tercinta.

Jarak memang memisahkan mereka berdua, tetapi hati dan perasaan mereka selalu terasa dekat tak terlekang oleh jarak.

Pria berambut cokelat mengeratkan mantel yang ia kenakan sembari tak henti berbinar memandang pintu kedatangan bandara.

Musim dingin di Argentina yang berlangsung pada pertengahan tahun, mengembuskan angin yang cukup membuat menggigil. Namun, Oikawa merasakan hawa yang kontras lantaran semangatnya membara.

Maka, ketika sesosok perempuan yang melambaikan tangan dari kejauhan menampakkan diri, Oikawa lekas menghampiri dengan tak sabaran hati.

"[Name]!"

Begitu sampai, ia langsung mendekap erat kekasihnya itu, meluapkan perasaan rindu yang menggebu-gebu.

"Tooru ... aku merindukanmu. Maafー"

Oikawa melepas dekapannya, lantas memasang senyum menawan dengan menatap intens iris sang perempuan di hadapan.

"Sst ... sudah kubilang jangan mengungkit-ungkit masalah apa pun lagi," protesnya, "Lihat, siapa wanita yang susah dibilangi. Padahal sudah kukatakan di sini sedang menjalani musim dingin, tapi kau tidak mengenakan baju hangatmu dengan lengkap."

[Name] terkekeh. Ia menyaksikan Oikawa melepas syal yang melingkar di leher sang pemuda, lalu memakaikan ke lehernya. Gadis itu tersipu.

Meski sudah bertahun-tahun berhubungan, perasaan ketika menerima setiap perlakuan kecil Oikawa selalu sama seperti saat pertama kali merasakannya. Selalu dapat membuat jantungnya berdebar dan pipinya bersemu merah.

Mereka menautkan tangan, berjalan beriringan meninggalkan bangunan utama bandara. Menuju mobil Oikawa yang terparkir.

"Kuantar kau ke apartemenku dulu, kau pasti lelah habis menempuh perjalanan jauh."

"Tidak usah," tolak [Name], "Penatku sudah hilang begitu melihatmu."

"Semenjak jarang bertemu kau semakin pintar menggombal, ya."

[Name] memasang sabuk pengaman dengan melepas tawa kecil. "Siapa dulu yang mengajariku, pacarku yang sangat jago gombal-menggombal sampai-sampai keahliannya menular."

Oikawa ikut tertawa. Sudah lama ia tak menikmati tawa [Name] secara langsung seperti ini.

"Tooru, kau sudah berjanji membawaku ke tempat-tempat bagus begitu sampai, 'kan?"

[Name] merebahkan tubuh di kasur apartemen sang kekasih sambil mengembuskan napas. Rasanya nikmat sekali setelah seharian berpergian, akhirnya bisa merebahkan tubuh dengan nyaman.

Terlebih di kasur sang pacar, wangi tubuh Oikawa yang melekat di tiap jengkal permukaan kain, membuat darah gadis itu berdesir candu. Sial, dia sangat merindukan segala hal candu dari pria tersebut.

Oikawa keluar dari kamar mandi. Dia lalu merebahkan tubuh di sisi lain kasur, menghadap [Name]. "Bagaimana?" tanyanya.

"Mengasyikkan. Besok kau harus membawaku ke tempat yang lebih mengasyikkan dari hari ini, ya," timpal [Name] sambil tersenyum.

"Kau sangat bersenang-senang tampaknya."

"Huum! Kapan lagi aku bisa menghabiskan waktu banyak bersama Tooru? Tanpa memikirkan beban pekerjaan, semua hanya tentang kau dan aku!"

Tidak terkira seberapa bahagia Oikawa mendengarkan kalimat tersebut. Sepele tetapi begitu berarti dan mampu menggejolakkan hati.

[Name] kembali berujar, "Argentina ternyata tak buruk juga. Rasanya aku sekarang mengerti mengapa kau begitu bertekad naturalisasi di negara ini."

[Name] jadi teringat permasalahan pelik yang mereka berdua pernah hadapi. Tentang keputusan Oikawa untuk memilih naturalisasi menjadi warga negara Argentina.

Seharusnya [Name] adalah wanita yang paling mengerti, mengenai mimpi-mimpi serta ambisi sang lelaki. Namun, tetap saja, saat itu hati terasa berat untuk menerima.

Ketika Oikawa berpamitan mengejar mimpi di negara yang berbeda benua, [Name] tak pernah berhenti memberi support, dan senantiasa berharap agar lelaki itu lekas kembali pulang ke negeri kelahiran. Agar mereka bisa kembali bersama, tak perlu lagi khawatir tentang jarak yang memisahkan. Nyatanya, pengharapan wanita itu tak bisa terwujudkan.

Seiring berlalunya waktu, perempuan itu bisa menerima. Meski terkadang rasa takut akan kehilangan sering berkelebat menghantuinya.

Ketika dia bertemu kembali dengan sosok Oikawa hari ini, kekhawatiran dan ketakutannya menguap tak berbekas. Iris hazel pemuda itu masih memandangnya dengan tatapan yang sama; tatapan penuh kasih yang ditujukan padanya tak pernah berubah.

Hati [Name] menjadi teguh. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jarak dan waktu bukan menjadi penghalang untuk keduanya merajut asa bersama. Hati pemuda itu masih untuknya, begitu pula hati [Name] seutuhnya untuk Oikawa.

"Ceweknya juga cantik-cantik. Biasanya pria Asia memiliki pesona sendiri di kalangan wanita bule." [Name] mengerlingkan mata, mencoba sedikit menggoda.

"[Name], jangan menggodaku seolah-olah kau ingin diselingkuhi. Memang  siapa sih yang tidak terpesona denganku? Tapi, tetap tidak ada yang membuatku terpesona selain dirimu seorang."

Oikawa mendekatkan tubuhnya ke [Name]. Irisnya bisa melihat dengan detail setiap jengkal wajah sang wanita.

Ditatap lamat dengan jarak sedekat itu, membuat [Name] memutar tubuh ke sisi yang berlawanan, membelakangi Oikawa.

"Dasar narsis," cibir [Name].

Oikawa terkekeh. Ia kembali merapatkan tubuhnya ke sang wanita. Lengan ia ulurkan untuk mendekap tubuh [Name]. Pemuda itu mengecup-ngecup pipi dan tengkuk sang kekasih dari belakang. Ini membuat [Name] mengerang geram.

"Tooru, ini sudah larut malam. Aku lelah ingin tidur."

Oikawa memiringkan bibir, "Oh? Siapa yang tadi menolak untuk beristirahat dan langsung bergegas mengajak keliling? Katanya tidak lelah kalau melihatku."

"Sayang, hari sudah berganti. Kau masa' tidak ingat ini hari apa?" lanjutnya bertanya, ketika kekasihnya itu geming tak menggubris.

[Name] melenguh. "Nghーgak tuh."

Oikawa mendengkus kecewa. "Haruskah aku memasang kalender dan melingkarinya besar-besar agar kau teringat?"

Mata [Name] mengejap. "Oh, ulang tahunmu?"

"Ih, reaksi macam apa itu!" protes Oikawa.

"Lantas kau mau kado kah? Besok mau kubuatkan sesuatu yang spesial? Atau besok mampir ke suatu tempat untuk merayakannya? Atauー"

Oikawa membalikkan kepala [Name] untuk menghadapnya. Sebelum sempat perempuan itu menyelesaikan kalimat, Oikawa telah membungkam mulut si wanita dengan bibirnya.

Setelah beberapa saat, pagutan mereka terlepas. Iris saling memandang lamat satu sama lain.

"Aku tidak perlu kado apa-apa. Kehadiranmu di sini, sudah menjadi kado terindah untukku. Aku hanya menginginkanmu, [Surname] [Name]."

"Tooru ...."

Oikawa meraih tangan [Name], mengusapnya halus lalu meletakkannya di dada bidang sang pria. Dapat perempuan itu rasakan, detak jantung yang berdegup sama kencangnya dengan miliknya kini. Napas yang sama memburu, yang dapat mereka rasakan di jarak yang sedekat ini.

"[Name], please stay here. By my side, inside my heart."

"I'll always," balas [Name] sembari menyunggingkan senyum. []

Maaf, ini lebih ngaret dari yg kukira. Maaf telat, tapi tidak sepeser pun perasaan spesial berkurang di tulisan ini untuknya.

Happy Birthday, My Grand King!♡ Terharu akhirnya dia bisa ngewujudin mimpinya :')

[23/07/2020]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro