Blood

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Xavier's POV

Aku terbangun ketika aroma seekor Rogue seketika memasuki penciumanku. Membuatku dengan segera berjalan menuju dapur sembari menguap ngantuk.

Aku mendapati seekor serigala berbulu merah sedang mencoba menutup jendela yang berada dihadapannya dengan kedua kaki depannya yang tergolong pendek.

"Grace?"

Rogue itu terdiam lalu membalikkan tubuhnya, ia menundukkan kepalanya lalu membalas mind-linkku.

"Alpha Xavier."

Aku bersedekap lalu menatapnya intens. "Apa yang baru saja kau lakukan?"

"Aku baru saja berkumpul dengan kawananku untuk membahas keamanan wilayah sementara kami, Alpha."

"Wilayah sementara kalian?" Tanyaku bingung, baru kali ini aku mendengar kawanan Rogue memiliki wilayah.

"Hanya tempat tinggal sementara, Alpha."

Aku pun menganggukan kepalaku lalu beralih pada kulkas yang berada tepat disampingku. "Jadi, bagaimana bisa kau masuk lewat jendela yang berada di lantai 9?"

"Lyra-maksudku, Luna yang mengajarkanku. Ia bilang untuk melompat ke beberapa dahan yang kuat lalu meloncat kedalam jendela saat kurasa sudah cukup dekat."

Tanganku berhenti mencari-cari sekaleng daging ketika Grace menyebut nama Lyra. "Lyra mengajarkannya padamu?"

"Ya, Alpha."

"Apakah Lyra pernah melakukan hal yang sama?" tanyaku saat kutemukan sekaleng daging yang kucari.

"Kami selalu melakukannya bersama-sama saat kami ingin berburu, Alpha."

Aku menganggukkan kepalaku mengerti lalu kembali menatap Grace. "Dan ketika kalian keluar dari rumah, kalian akan melompat dari jendela ini juga?"

"Hanya ketika berburu, Alpha Xavier."

Untuk ketiga kalinya aku mengangguk lalu mulai menyibukkan diriku pada sekaleng daging dihadapanku, membuatkan sepiring makan malam untuk Lyra.

"Oh ya, Lyra bilang ia akan menemanimu berburu nanti. Apakah itu kemauanmu?"

Kudapati Grace terdiam dan menundukkan kepalanya. Namun detik berikutnya ia kembali membuka mulut. "Bukan aku, Alpha, sesungguhnya.."

Wanita itu pun mulai bercerita tentang kehidupan Lyra yang sesungguhnya. Dimulai saat ia kehilangan kedua orangtuanya hingga ia bertemu denganku semalam.

Aku mendengarkan cerita Grace baik-baik sembari mengolah daging yang barusan kuambil. Dan terkadang, wanita itu menatap bulan diluar sana yang dalam beberapa hari lagi akan sempurna.

Tiga puluh menit tak terasa bagiku ketika Grace nyaris menyelesaikan ceritanya dengan mengatakan. "Aku tak menyalahkan dirinya, hanya saja ia terlalu berlebihan dalam menghadapi ketakutannya."

Dan dari keseluruhan cerita yang Grace ucapkan, aku dapat menarik kesimpulan bahwa Lyra bukanlah gadis biasa, yang hanya akan menjerit ketika seseorang akan mencelakainya, namun ia adalah gadis yang bahkan sulit bagiku untuk mendeskripsikannya. Terlalu berbahaya.

"Terima kasih, Grace. Aku akan membalasmu suatu saat."

"Ah, bukan masalah, Alpha."

Aku pun meraih piring yang berisikan steak dan membawanya menuju meja makan. Setelah meletakkannya diatas meja, aku berjalan menuju kamar Lyra lalu duduk di bibir ranjangnya.

"Bangun, sayang."

Ku kecup keningnya lembut, lalu kedua matanya, hidungnya dan bibirnya. Tak lama setelah itu, kedua kelopak matanya pun terbuka dan ia mengerjap untuk beberapa saat.

Lyra mengalungkan kedua tangannya dileherku, membuatku menopangkan tubuhku dengan tangan kiri yang berada tepat di samping kepala Lyra.

"Apa yang barusan kau lakukan?" tanyanya sembari mengusap rambutku yang sedikit basah karena keringat.

"Memasak."

Lyra memamerkan senyumannya dengan wajah yang masih sedikit lelah, membuat Lyon melompat-lompat senang dipikiranku.

"Shit, she's so hot, dude!"

Aku pun ikut tersenyum, bukan hanya karena gadis dihadapanku, namun karena aku juga setuju dengan perkataan Lyon.

"Grace sudah pulang?"

Aku mengangguk pelan lalu kembali mengecup keningnya. "Ayo makan, kita akan berangkat sebentar lagi."

Lyra menggelengkan kepalanya, melepaskan tangannya dari leherku lalu memejamkan matanya. "Tidak tidak, aku terlalu lelah untuk berburu."

Aku tertawa pelan ketika melihat reaksi Lyra yang sangat kekanak-kanakan. Setelah puas tertawa, aku kembali menenggelamkan wajahku dilekukan lehernya, menghirup aromanya dalam-dalam lalu menggigit kecil lehernya.

"Bukankah kita akan mematahkan kepala para Rogue?" bisikku tepat disamping telinganya. Lyra terdiam, namun dapat kurasakan bahwa ia membuka matanya. "Omong-omong, aku suka melihat darah mengalir."

"Sungguh?"

Aku pun tersenyum lalu mengangkat wajahku dan berhenti tepat didepan wajahnya. "Tentu."

Seketika aku tertegun ketika ia mencium bibirku dan menggigit bibir bawahku sesekali. Membuat sebuah seringai diwajahku yang lantas langsung menghentikkan apa yang sedang Lyra kerjakan.

"Tidak tidak. Jangan memberikanku seringaimu itu, Xavier," ujarnya sembari menatapku. "Bukankah kita akan makan dan berburu?"

Cepat-cepat aku mengecup bibirnya lalu tertawa. Bangkit dari ranjangnya lalu meraih sweater berwarna putih polos dari lemari pakaiannya. Saat aku kembali berjalan kearahnya, kudapati Lyra sedang terduduk dibibir ranjangnya sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

Untuk kesekian kalinya aku kembali tertawa, bayangan akan Lyra yang Grace katakan pun seakan-akan hanya imajinasi belaka.

Setelah sampai dihadapannya aku langsung mengerti apa yang ia inginkan. Aku pun memakaikannya sweater putih itu lalu mengeluarkan surai hitamnya dari dalam sweater. Lalu kuraih pergelangan tangan gadis itu dan mengajaknya menuju meja makan.

Grace sudah menghilang ketika aku dan Lyra sudah berada dimeja makan. Namun sepertinya keberadaan Grace tidak terlalu berpengaruh pada Lyra ketika gadis itu melihat steak buatanku dihadapannya. Dan lagi, aku tertawa.

Sesaat setelah Lyra menghabiskan makan malam, aku memintanya untuk mengganti pakaian yang lebih tertutup. Lyra pun segera menyetujuinya dan mengganti pakaiannya dengan celana bahan berwarna hitam serta sweater kelabu. Rambut hitamnya ia ikat menjadi satu dan sebuah sapu tangan bertengger dipinggangnya.

Aku menggeram tanpa kusadari, entah kenapa saat ia berpakaian seperti ini membuatku semakin ingin menyentuhnya dan menandainya.

Kami pun berjalan kearah dapur dengan tanganku yang melingkar dipinggangnya. Namun ketika Lyra hendak membuka jendela yang akan kami lewati ia meringis, sontak aku membalikkan tubuhnya dan menatap kearah tangannya.

"Apakah sakit? Haruskah kita tetap berburu?" tanyaku sembari menatapnya khawatir. Lyra mengangguk.

"Kau serius? Apakah kau memiliki perban?"

Untuk kedua kalinya Lyra mengangguk. "Ada diatas kulkas."

Aku menoleh kearah kulkas-yang kebetulan berada tepat disampingku-lalu meraih perban yang berada didalam plastik berwarna putih. Perlahan-lahan kulilitkan perban itu pada kedua telapak tangan Lyra yang sesekali membuatnya meringis kesakitan.

"Maafkan aku, kitten."

Setelah selesai melilitkan perban ditangannya, kudekap tubuh Lyra hangat lalu mengecup puncak kepalanya. "Maafkan aku."

Lyra mengangguk kecil didalam dekapanku, dan tak lama setelah itu ia mengusapkan pipinya didadaku yang berhasil membuat Lyon memekik girang dan nyaris mengambil kendali atas diriku.

"Kitten." Panggilku yang membuatnya mendongak menatapku dengan kedua mata almond berwarna merah marunnya.

"Shit, Xavier! Kau lihat matanya?! Tandai ia sekarang!!"

"Ah, ya, maaf," ujar kitten- maksudku Lyra sembari melepaskan pelukannya padaku.

Ia pun kembali kearah jendela lalu membukanya perlahan-lahan. Dan tepat sebelum ia berancang-ancang untuk melompat, ia kembali menatapku dengan tatapannya yang-ugh, sangat sexy.

"Kau akan melihat kepribadianku yang lain setelah ini."

Aku mengembangkan senyumanku lalu mengangguk, mengecup keningnya lalu mengusap-usap kepalanya.

Lyra mengangkat satu kakinya yang berfungsi sebagai tumpuan ke atas meja dapur. Dan detik berikutnya ia sudah melompat turun, tanpa cidera-kurasa.

.
.
.

Lyra's POV

Xavier melingkarkan tangannya protektif dipinggangku ketika dua ekor Rogue datang dan mulai menggeram. Aku tau ia akan membalas geraman kedua Rogue itu segera jika aku tak menahannya.

Seperti hari-hari biasanya, Grace menerkam salah satu Rogue itu dari atas dan langsung memutuskan lehernya. Aku menarik napas panjang lalu menghelanya secara perlahan.

Kini giliranku.

Aku menggenggam tangan Xavier lalu mencoba melepaskannya dari pinggangku. Namun pria itu malah mengeratkan tangannya yang lantas membuatku menoleh kearahnya.

"Mereka adalah mantan Gamma, sayang, aku tidak akan membiarkanmu melawannya."

"Xavier, kau percaya padaku, kan?" tanyaku lembut. "Aku akan baik-baik saja. Namun jika aku berada dalam kondisi darurat, kau boleh membantuku."

Kulihat kedua mata hijau tua Xavier pun berkilat. "Akan baik-baik saja dalam kondisi darurat? Tidak!" bentak Xavier tertahan.

Aku pun memutar bola mataku jengah lalu melirik kearah Rogue yang sedang menggeram kearahku. "Anggap saja ini adalah pengobatan intens."

"Lyra! Aku tidak mengizinkanmu! Dia adalah gamma!"

"Mantan, Xavier. Aku akan baik-baik saja, aku janji."

"Lyra!"

Aku tersentak ketika Xavier benar-benar meninggikan suaranya. Kedua matanya berubah menjadi hitam legam dan berkilat marah. Aku menunduk, mengusap dada bidangnya lalu kembali menatapnya.

"Ini akan menjadi yang terakhir bagiku untuk membunuh Rogue. Aku tidak akan melakukannya lagi setelah ini. Aku janji." Ujarku memelas.

Tak ada jawaban dari bibir Xavier, membuatku mendongak dan menatapnya. Xavier membalas tatapanku dan detik selanjutnya kudengar ia menghela napas. "Baik, ini yang terakhir, dan berjanjilah kau akan baik-baik saja."

Aku pun tersenyum lalu mengangguk. "Aku janji."

Setelah itu Xavier melepaskan tangannya dari pinggangku dan membuatku maju dua langkah dari pijakanku. Rogue dihadapanku pun semakin menggeram kencang lalu melesat cepat kearahku. Pada saat itu pula kaki kananku ku mundurkan dan dengan secepat kilat aku meraih leher Rogue itu dan membantingnya keatas tanah.

Ku duduki tubuh besarnya lalu meraih moncongnya yang sedang menggeram kearahku. Namun detik berikutnya ia menghempaskanku jauh dan membuatku menabrak pohon dibelakangku.

"Lyra!"

Aku mengangkat satu tanganku kearah Xavier, menandakan bahwa aku baik-baik saja. Setelah itu aku kembali berdiri dan memundurkan kaki kananku, memperhatikan gerak-gerik Rogue dihadapanku lalu mendesis kearahnya.

Rogue itu pun berlari kearahku lebih cepat dari sebelumnya. Sesaat sebelum ia berhasil meraihku, aku menarik telinganya lalu melompat menuju atas tubuhnya.

Lagi-lagi ia menggeram dan terus mencoba untuk menjatuhkanku dari atas tubuhnya. Aku meraih satu telinganya lagi lalu melingkarkan kakiku dilehernya. Dan kejadian selanjutnya adalah aku menarik kedua telinganya lalu memutar kepalanya kearah kiri yang berhasil membuat sebuah suara retakan.

Tubuh Rogue itu pun melemas dan terjatuh ditanah. Aku yang merasa tidak puas akan kekuatan Rogue itu pun kembali menarik kedua telinganya lalu memutarnya kearah kanan dan kembali menghasilkan suara tulang yang patah.

Wow, aku menyukai ini.

Aku pun bangkit dari tubuh Rogue itu lalu berjongkok dihadapan wajahnya, mengusap moncongnya lembut. Namun ketika aku melihat darah mengalir dari mulutnya, seketika mataku melebar, seulas senyuman bahkan tercetak jelas diwajahku.

Ku ulurkan tanganku untuk menyentuh darah yang mengalir deras dari mulut Rogue. Namun ketika tanganku nyaris menyentuh darah itu, seseorang menarik tanganku yang sontak membuatku berdiri dan menatap pria dihadapanku kesal.

Kurasakan mataku menjernih, pandangan mataku melebar dan tatapanku menajam. Aku hendak mengelak dari genggamannya ketika ia menarik tanganku untuk lebih mendekat kearahnya, namun usaha yang aku lakukan tidak sebanding dengan tenaga pria ini.

"Apa yang kau lakukan?"

Aku terhenyak. Suara pria dihadapanku ini seakan-akan menarikku untuk masuk kedalam dunianya, membuatku lupa dengan sesuatu yang berada tepat disamping kakiku.

Apa-apaan pria ini? Kenapa tatapannya semakin menusukku? Kenapa seolah-olah setiap tarikan dan helaan napasnya membuatku nyaman dan aman? Apa yang terjadi dengan diriku?

Dan siapa pria ini?

"Aku-darah itu-"

"Tidak, tidak ada darah, sayang," Tegas pria itu dengan suara huskynya. Shit! Aku bahkan menelan ludahku kikuk ketika ia menyamakan tinggi wajahnya dengan wajahku. "Hanya halusinasimu. Kau tidak melihat apa-apa, yang kau lihat sedari tadi hanya aku, kitten."

Seakan-akan tertarik dari lubang hitam yang mengelilingiku, sebuah nama pun terngiang dibenakku. Xavier Huighstone. Pria bersuara husky itu Xavier, tak lain tak bukan adalah pria pertama yang mengatakan perasaannya padaku secara gamblang. Satu-satunya pria yang selalu tertawa saat bersamaku dan satu-satunya pria yang akan memeluk pinggangku.

Seketika jarak pandangku kembali menyempit, kedua mataku berbinar menahan tangis lalu Xavier menarikku kedalam dekapannya dan air mataku pun terjatuh begitu saja.

"Sayang, kenapa kau menangis?" tanya Xavier sembari mengusap-usap kepalaku. Aku menggeleng, tidak ingin mempermasalahkan obsesi anehku lebih lanjut. Lagi pula, aku benci harus mengingat bahwa obsesi itu harus tertanam ditubuhku.

"Kau ingin pulang ke rumahku?"

Aku pun mengangguk, namun seketika aku teringat akan keberadaan Grace. Aku mendongak lalu menatap Xavier. Astaga! Warna matanya berubah menjadi cokelat!

"Dimana Grace?" tanyaku, berusaha melupakan warna mata Xavier untuk sementara.

"Berburu," jawabnya lalu mengecup keningku. "Bersama Klinx."

Kehangatan mengalir didalam tubuhku dalam sekejap. Membuatku menghela napas lalu menyeka air mata dengan punggung telapak tanganku.

Namun seketika Xavier terdiam, ia kembali menarikku kedalam pelukannya lalu menggeram kecil. Aku mengelus dada bidangnya lembut, seakan-akan bertanya apa yang sedang terjadi.

Detik berikutnya aku dapat mencium aroma yang tak pernah ada di hutan ini sebelumnya. Aroma hazelnut dan Dior. Walaupun aku sangat yakin aku tidak pernah mencium kedua aroma ini, aroma ini seakan-akan menyapaku untuk kesekian kalinya, aku merasa dekat dengan aroma ini.

"Apa yang kau lakukan ditengah malam seperti ini, Sir?"

Xavier pun mengeratkan tangannya yang berada di bahu dan pinggangku.

"Bagaimana denganmu?" tanya Xavier.

Dapat kurasakan udara disekitarku sedikit bergetar, yang dapat kuartikan bahwa dua manusia yang sedang berhadapan dengan Xavier sedang tertawa.

"Seorang Alpha rupanya," ujar pria lainnya. "Apa yang Alpha lakukan di tengah malam seperti ini?"

"Bukan urusanmu," jawab Xavier dengan-yang kuyakini-Alpha tonenya. "Dan berhenti menatap istriku seperti itu."

ISTRI?

Aku menahan napasku terkejut, namun tak bisa dipungkiri bahwa jantungku berdetak semakin cepat dan sebuah senyuman mengembang diwajahku.

"Maaf, Alpha, tapi aroma Luna-mu sangat mirip dengan aroma seseorang yang kami kenal."

Xavier pun menggenggam kedua bahuku, memberikan sedikit jarak diantara kami lalu menatapku penuh tanda tanya. "Apakah kau kenal mereka?"

Perlahan-lahan aku menoleh ke belakang sembari mengatur napasku agar lebih tenang. Dan ketika mataku bertemu dengan dua werewolf yang sedang menatapku gugup, tenggorokanku seketika tercekat dan mataku membulat kaget.

"Ka-kakak?"

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro