Duel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fast update!ouo

~❤

Xerafina's POV

"Maksudmu Sky bukan kakakku?"

Grace pun mengangguk. Setelah itu ia meraih kedua tanganku dan menatapku lurus. "Biar kuperjelas, namamu adalah Xerafina Blake Xands. Kau memiliki Ibu yang bernama Aqua Swans Moonlight, Ayah yang bernama Blake Xands, dua adik laki-laki yang bernama Ethan dan Gregory Blake Xands. Kau juga memiliki dua asisten yang bernama Polarix dan Max serta aku, Grace, bibimu."

Aku menghela napasku gusar, mencoba menahan ledakan masalah dibenakku sembari mengusap-usap kedua tangan Grace dengan ibu jariku.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku. Sejujurnya aku belum mengatakan apapun pada Grace tentang masalahku terhadap kedua mata Xavier yang sering berubah-ubah. Aku takut jika kenyataan yang akan kuhadapi akan semakin rumit nantinya.

"Begini, sayang, aku tidak tau bagian mana yang membuatmu terbebani, namun saranku adalah jangan menghindar dari masalah yang sedang kau hadapi. Karena semakin kau menghindar, maka masalah itu akan terus mengejarmu dan perlahan-lahan akan membuatmu depresi," jawab Grace.

Aku pun menghela napas panjang, mengangguk kecil lalu mengalihkan pandanganku menuju langit yang mulai menggelap.

"Selesaikan masalahmu dengan kepala dingin, oke?"

Untuk kedua kalinya aku mengangguk, mengangkat kedua kakiku keatas sofa lalu memeluknya dengan tanganku. Ku sandarkan kepalaku pada lututku sembari terus menatap kearah pemandangan luar.

"Aku suka berpikir, jika Ayah adalah werewolf, kenapa aku belum mendapatkan darahnya didalam tubuhku? Aku bahkan sudah menginjak usia 25 tahun," keluhku pada Grace yang masih setia duduk dihadapanku.

"Tapi apa yang akan terjadi jika aku benar-benar seorang werewolf? Bagaimana dengan darah Ibu yang mengalir dominan di dalam tubuhku? Bagaimana jika Xavier tidak menyukai werewolfku dan ia bukanlah mateku?"

Hening pun melanda kami, membuat angin segar yang berasal dari jendela kamarku masuk begitu saja dan menari-nari dirambutku. Aku mempererat pelukanku ketika angin bertiup semakin kencang dan menerpa wajahku kasar.

Namun aroma mint itu seketika memasuki indera penciumanku, membuat jantungku berdetak kencang dan kakiku bergetar pelan. Sebuah senandung pun terdengar dari ujung hutan, membuatku berdiri dari sofa dan berjalan menuju jendela kamarku.

The world is not too fair to me

For only allowing me to meet you now

This world is also very partial to me

No one is better than you

Aku kenal suara ini, namun ingatan akan siapa pemiliknya seakan terlupakan dibenakku. Walaupun benakku mengatakan bahwa ini adalah suara seseorang yang sangat kucintai, hatiku berkata lain. Ini sama sekali bukan suara Xavier maupun Lyon.

Aku pun menarik lalu menghela napasku, menahan seluruh desakan sakit dihatiku  sembari menerawang jauh menuju tempat dimana aku bertemu dengan Xavier pertama kali. Lebih tepatnya, lima hari silam.

Aku tersenyum kecut ketika mengingat reaksiku saat pertama kali bertemu dengan Xavier. Bahkan rasanya terlalu pahit dan memalukan untuk dikenang. Tak terasa setetes air mata terjatuh dipipiku, membuat angin kembali menyapu wajahku namun dengan cara yang berbeda.

Aroma mint itu pun menghilang bersamaan dengan berhentinya angin yang berhembus kencang, membuat sebuah kekecewaan terselip dihatiku. Aku menelan ludahku susah payah lalu kembali menghela napas, mencoba menstabilkan guncangan dihatiku yang terus menerus berteriak kesakitan.

"Lyra?"

Aku menoleh kebelakang ketika Grace memanggil namaku. "Ada apa?"

"Ada yang mencarimu."

Ku hapus jejak air mata yang berada dipipiku lalu berjalan menghampiri Grace, merentangkan kedua tanganku lalu mendekapnya. Ku hirup aroma tubuhnya yang menyejukkan banyak-banyak setelah itu kulepaskan pelukanku padanya dan berjalan menuju ruang tamu.

Ketika hendak keluar dari kamarku, kurasakan angin kembali menerpa rambutku dari belakang dan sebuah suara lirih memasuki indera pendengaranku.

Tolong aku.

Aku menoleh kebelakang dan mendapati Grace sedang menatapku.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanyaku.

"Tidak, aku tidak mengatakan apapun." jawab Grace sembari berjalan kearahku lalu mendorong tubuhku pelan untuk menemui seseorang yang telah menungguku.

Sesampainya di ruang tamu, aku mendapati Xander sedang menggerak-gerakkan kaki kirinya gelisah sembari bersedekap dan menggigit bibir bawahnya. Namun setelah ia melihatku, ia langsung menghentikkan aktifitasnya lalu berdiri menghampiriku.

"Putri, aku datang untuk menjemputmu." ujarnya sembari membungkuk.

Aku pun mengangguk. "Bangun, Xander, bersikaplah normal padaku diluar Istana."

"Baik, Xerafina."

"Apa ada sesuatu yang membuatmu gelisah?" tanyaku lalu menarik tangannya untuk duduk di sofa kesayanganku.

Kulihat Xander menundukkan pandangannya sejenak lalu kembali menatap  hidungku. "Sesungguhnya aku baru saja terbangun dari tidurku sesaat sebelum datang menjemputmu. Aku bermimpi bahwa seseorang sedang dirantai di suatu tempat yang sangat gelap. Disana aku melihat dirimu dan Sky bertengkar entah karena apa."

Aku pun memaksakan sebuah senyuman setelah mendengar penuturan Xander.

"Hanya mimpi, Xander, jangan dipikirkan."

"Namun bukan hanya itu saja, Putri," elak Xander dengan matanya yang seketika menjadi warna oranye dan berkilat. "Maksudku—Xerafina. Tepat setelah aku memimpikan hal itu, aku mendengar desas-desus bahwa Xavier ditangkap oleh seseorang, bahkan saat ini ia tidak ada di rumahnya."

Aku terdiam saat mendengar bahwa Xavier disekap. Jika memang benar Xavier disekap, lalu pemilik aroma mint itu siapa? Aku menggelengkan kepalaku tidak setuju lalu menyentuh bahu kiri Xander.

"Tidak, aku mencium aromanya barusan, kau tidak perlu khawatir."

Xander pun menganggukkan kepalanya lalu kudengar ia menghela napas.

"Kalau begitu, kau sudah siap untuk pergi?"

Aku melirik kearah Grace yang kini sedang bersandar pada dinding yang membatasi ruang tamu dengan kamarku sembari bersedekap. Dapat kulihat sebuah kegelisahan pada matanya, membuatku merasa tak nyaman dan berharap semuanya akan baik-baik saja.

"Ya, tentu," jawabku lalu beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri Grace untuk mendekapnya. Kurasakan tangan Grace membalas pelukanku dan memelukku erat.

"Aku menyayangimu, Lyra, Xerafina, atau siapapun namamu." Ujarnya yang lantas membuatku tersenyum tipis. Ku hirup banyak-banyak aroma yang selalu membuatku nyaman dari tubuh Grace lalu mengecup kedua pipinya dan menghela napas.

"Aku juga menyayangimu, Ibu."

.
.
.

Angin bertiup dengan kencang ketika aku sampai di pekarang rumah pack. Dan pada saat itu pula seluruh anggota pack serta beberapa anggota pack Gloody datang untuk menonton pertandingan Alpha mereka. Nyaris setengah dari populasi pria yang aku lihat tidak memakai baju, mereka hanya menggunakan celana jeans selutut dan sebuah lambang pentagram berwarna emas di lengan kanan mereka.

Pohon pinus pun mengelilingi pekarang luas rumah pack saat aku memperhatikan luasnya rumah ini, bahkan sejauh mataku memandang yang kudapati hanyalah pohon pinus yang menjulang tinggi serta cahaya bulan yang menyinari kami.

Aku menggigit bibirku gugup ketika kulihat Gregory dan Xavier saling menatap satu sama lain dengan sengit, membuat jantungku berpacu dengan cepat dan sebuah keberanian entah darimana membuatku berjalan menghampiri Ayah.

"Sudah siap?" tanya Ayah pada Gregory dan Xavier.

"Tunggu, Ayah," ujarku yang lantas membuat Ayah menoleh dan menatapku. "Apakah ini permainanku?"

Ayah pun mengangguk. "Ya, ini permainanmu."

"Kalau begitu aku ingin permainan ini diganti," ucapku yang lantas nyaris mendapat protes dari Ayah. "Aku ingin Gregory dan Xavier melawanku, siapapun yang bisa melukaiku lebih dahulu dia yang menang."

"Kau gila?" tanya Ayah dengan Alpha tonenya yang membuatku sedikit tersentak kaget.

"Ini permainanku." Jawabku acuh lalu memutar kedua bola mataku jengah. Kulepaskan sweater hitamku sehingga meninggalkan kaos berwarna senada dan celana bahan selutut.

Gregory dan Xavier yang melihatku masuk kedalam arena pun saling bertatap tidak suka, membuatku berdeham dan seluruh perhatian teralih padaku.

"Aku mengganti peraturan permainannya, menjadi Gregory dan Xavier melawanku, siapapun yang berhasil melukaiku terlebih dahulu akan menjadi pemenangnya." Jelasku yang membuat protes dari beberapa orang, namun tak sedikit pula yang setuju dengan penjelasanku.

Ku lirik Xavier yang kini sedang menatapku, sementara Gregory yang berada di samping Xavier ikut menatapku dengan tatapan memburu. Oh shit, apa yang sedang kau lakukan, Xerafina?

"Maaf jika kau terluka, sayang."

Aku mendengus ketika mendengar penuturan Xavier, dan pada saat itu pula aku merasakan sesuatu yang panas merambat di leherku, membuatku menarik napas panjang dan sebuah sayap terbentang indah di punggungku.

"Kau tidak akan bisa melukaiku." sinisku pada Xavier yang disambut dengan tawa tertahan dari saudara-saudaraku.

"Mari kita lihat, sayang."

"Siap?" tanya Ayah sembari melirikku, aku pun mengangguk.

Aku menarik lalu menghela napasku, mencoba menenangkan diriku yang semakin gugup di tiap detiknya. Namun ketika eyetransku datang, seluruh kegugupan itu menghilang dan tergantikan dengan semangat yang membara di sayapku serta obsesi itu kembali memberi getaran di perutku.

AWOOO

Aku menyeringai ketika Gregory dan Xavier berlari kearahku dengan cepat, membuatku mengepakkan sayap dan ikut melaju kerah kedua pria itu. Ketika keduanya sudah berada dihadapanku dan hendak mengenaiku, ku tendang rahang Xavier serta Gregory sehingga mereka terjungkal kebelakang.

Ku kepakkan sayapku hingga terbang keatas. Saat sudah cukup tinggi, aku memutar arah terbangku dan menukik tajam kearah keduanya. Namun belum sempat aku menginjak keduanya, Xavier sudah bangkit dari posisinya dengan darah yang mengalir dari hidung dan bibirnya, membuatku teralihkan dan menghantam tanah dibawahku.

Aku kembali mengepakkan sayapku ketika aku membuat lubang cukup dalam, menerbangkan tubuhku dengan kekuatan penuh sehingga tidak dapat digapai oleh Gregory maupun Xavier. Dan ketika aku telah sampai di posisi awalku, kudapati dua ekor serigala sedang menggeram kearahku. Salah satunya berbulu emas dengan corak putih serta mata hitam segelap malam dan satunya lagi bermata biru navy serta bulu berwarna kelabu yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

"Oh, hi, werewolf." sapaku sembari menyeringai dan mengambil beberapa pecahan batu yang berada di dekat kakiku. Seketika leherku kembali panas dan merambat hingga ujung kakiku, membuatku mengerang dan obsesi itu semakin membesar.

Kali ini serigala berbulu kelabu—yang kuyakini ialah Gregory—berlari kearahku sembari menggeram, membuatku tersenyum penuh kemenangan dan menyimpan sayapku.

Aku pun berlari kearah Gregory dengan semangat, bahkan eyetransku semakin mengembangkan kekuatannya dan membuatku dapat melihat pergerakan Gregory dengan detil.

Kurasakan gemuruh diperutku semakin menjadi-jadi ketika Gregory nyaris menabrakku jika aku tidak menarik telinganya dan melompat di udara hingga kini berada diatas tubuhnya. Ku tarik kedua telinganya dengan segenap tenagaku lalu ku goreskan batu yang kuambil tadi dileher Gregory.

Aku melompat turun dari tubuh Gregory ketika Ayah menyatakan bahwa Gregory telah kalah. Kulempar batu yang ku ambil tadi sembarang dan rasa panas itu kembali menguasai tubuhku. Membuatku mendongak menatap bulan sembari membentangkan sayapku perlahan-lahan.

"Sedang heat, sayang?" tanya Xavier yang lantas membuatku kembali menurunkan kepalaku dan menatapnya sinis.

"Kemarilah, mungkin kau—" Aku menyela ucapan Xavier dan melaju secepat kilat kearahnya lalu meninju rahang besarnya dengan separuh tenagaku.

Sial.

Aku kembali mengepakkan sayapku dan terbang meninggalkan tanah sembari melihat tanganku yang di aliri darah segar dari buku-buku jariku. Meninju rahang seorang werewolf ternyata adalah suatu kesalahan besar, walaupun aku berhasil melukainya untuk kedua kali.

"Sialan!" umpatku saat mengetahui aku terluka karena Xavier.

Perutku semakin bergemuruh hebat setelah darah itu mengalir, sungguh tidak seperti biasanya. Ditambah dengan seruan Xavier—yang sudah menjadi manusia—dibawah sana yang telah menang, membuat sayapku semakin bergetar semangat dan kembali menukik tajam.

Sebuah cahaya hitam samar-samar menghiasi tubuh Xavier, membuatku mengernyitkan dahi dan menyambar lehernya yang sedang membelakangiku. Alhasil Xavier tersungkur dengan aku yang beraada di atas punggungnya.

Ku tarik rambut Xavier kebelakang namun dengan cepat posisi berubah menjadi aku yang berada di bawah dan Xavier menindihku dengan tangannya yang sebagai tumpuan.

Ku tatap kedua matanya yang menjadi hitam legam serta pupil merahnya, sebuah getaran aneh kembali mengalir di tubuhku dan tanpa kusadari aku menarik dagunya hingga bibir Xavier berhenti tepat di depan bibirku.

"Kau bukan Xavier,"

Cepat-cepat aku menggeleng lalu merengkuh kedua pipinya. "Tapi kau memiliki aroma mint kekayuan yang sangat ku kenal. Kau Xavier, tapi kau juga bukan Xavier."

"Astaga, sayang," Xavier pun menyeringai. "Apakah obsesimu telah menguasai benakmu? Ini aku, sayang." Ujarnya dengan lembut, namun wajahnya tidak mendukung hal itu.

"Aku ingin berduel denganmu," ujarku yang lantas membuat sorakan setuju menggema di telingaku oleh para werewolf yang mengelilingi kami.

"Aku sangat tidak sabar untuk melihat darah mengalir dari wajahmu," Lanjutku seraya mendorong tubuhnya dari atas tubuhku dengan sekuat tenaga.

Setelah berhasil menyingkirkan tubuh besar Xavier, ku kepakkan kembali kedua sayapku yang perlahan-lahan merubah warnanya menjadi biru dan kubiarkan kedua sayapku membawa diriku setinggi mungkin.

"Berikan aku lima menit." Seruku pada siapapun yang mendengarnya.

Aku menghirup udara disekitarku sebanyak mungkin, mencoba mengembalikan akal sehatku yang nyaris diambil alih oleh obsesiku dan dikubur jauh didalam diriku. Angin malam pun menari-nari dirambutku yang memancarkan cahaya biru, membuatku menutup mata dan menikmati sapuan angin diwajahku.

Xerafina.

Aku terpaku ketika suara bariton menghiasi gendang telingaku, dan tanpa kusadari seulas senyuman tipis terlukis di wajahku ketika seseorang kembali bersenandung dari kejauhan.

So I feel this ruins the mood

But then I see the smile in your eyes

As if you were responding to me

That you already know my heart

Aku kembali menghirup aroma mint yang memenuhui indera penciumanku sebanyak mungkin, berharap bahwa aku akan mengetahui siapa pemilik suara bariton ini secepatnya. Entah apa yang mebuatku terpaku ketika mendengar suaranya, hanya saja benakku selalu memberikan peringatan bahwa ia adalah seseorang yang penting.

Untuk kedua kalinya aroma mint itu hilang dan tergantikan dengan aroma mint kekayuan yang menyeruak masuk kedalam hidungku dan lantas membuatku menunduk lalu menatap Xavier yang kini sedang tersenyum kearahku.

Aku pun mengangguk, menurunkan tubuhku secara perlahan dan berhenti tepat dihadapan Xavier. Setelah itu Xavier meraih tangan kananku lalu menyiramnya dengan air dingin perlahan-lahan, membuatku sedikit meringis sembari mengalihkan pandanganku darinya.

"Apakah sakit?" tanya Xavier seraya menatapku.

Aku menggeleng. "Tidak begitu."

"Seharusnya aku yang terluka saat ini, bukan kau," ujar Xavier yang membuatku menatapnya. Membiarkan perasaan hangat mengalir di diriku saat menatap mata hijau tuanya yang teduh. "Aku minta maaf, sayang."

Perlahan-lahan aku menunduk, menarik tangan kananku dari genggamannya setelah itu menghela napas. Lalu kudongakkan kepalaku hingga dapat menatap kedua mata hijau tua Xavier.

"Aku akan memaafkanmu jika kau menang."

Setelah itu kudapati bulu-bulu halus berwarna merah marun tumbuh dikulit tanganku dalam sekejap.

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro