Epilogue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Actually rasanya rada aneh pas ff inj udah end :v yang biasanya nulis biar cepet selesai tapi sekarang malah nganggur dan lagi nyari ide buat ff lain :v so, cerita inilah yang terjadi.wkwkwkwk

Enjoy~

Xerafina's POV

Setelah menjalani masa-masa sulit secara terpisah dan berakhir dengan pertemuan indahku bersama Xavier, kini pria bermata hijau tua itu tidak pernah meninggalkanku barang sedetik. Ia selalu ada dimana aku berada. Matanya selalu memandangku dan tak akan pernah lepas barang sejenak.

Bahkan saat malam yang sangat menggairahkan itu terjadi hingga kini aku mengandung anak pertama kami, perhatian serta cintanya tak berkurang sedikit pun padaku. Dan ia tidak berubah seperti apa yang pernah kupikirkan, hanya saja ia mencoba menjadi lebih baik. Itu yang pernah ia katakan padaku.

"Sudah bangun, Ibu hamil?"

Aku tersenyum lebar ketika wajah tampan Xavier tersenyum kearahku sembari mengenakkan jubah hitamnya yang menandakan bahwa ia seorang Raja Ave. Setelah itu ia pun duduk di bibir ranjang, meletakkan tangan kirinya di samping kepalaku lalu mencium bibirku cukup lama.

"Xav?" panggilku seraya melepaskan bibirnya dariku.

"Ya, sayang?" Xavier pun mengusap hidungnya pada hidungku. "Ada sesuatu yang ingin kau lakukan hari ini?"

Ku tatap mata hijaunya lekat-lekat, membuatku semakin merekahkan senyumanku ketika Xavier menggigit ujung hidungku.

"Aku ingin bertemu Romeo,"

Dalam sekejap wajah Xavier pun berubah menjadi masam, kedua matanya berubah menjadi hitam gelap dan otot-otot di rahangnya menjadi tegang. Astaga, seharusnya aku tidak membahas ini lagi.

"Oke, tidak jadi." Tambahku seraya mengalihkan pandanganku dari kedua matanya yang mulai menajam. Aku pun menggigit bibirku gugup, tatapan Xavier akhir-akhir ini selalu berhasil membuatku ketakutan. Aku bahkan tidak pernah berani menatap kedua matanya terlalu lama akhir-akhir ini.

"Sudah berapa kali kita membahas ini, Xena?" Ku dengar sebuah geraman tertahan dari dalam tubuhnya, membuatku memejamkan mataku dan mengangguk takut.

"Ya, oke, maaf. Hanya saja-"

"Kau selalu mengatakan itu setiap kali aku melarangmu. Apa kau tidak ingat perkataan Xander? Jika ada yang tau tentang kehamilanmu selain keluarga kita? Kau ingin membahayakan kandunganmu, hm?"

Aku pun semakin mengangguk ketakutan, kedua kaki serta tanganku mulai bergetar ketika suara yang sangat dalam itu berhasil menusuk indera pendengaranku. Namun detik berikutnya dapat kurasakan sebuah hentakan dari dalam tubuhku, membuatku mengaduh sakit dan meraih apapun yang berada dihadapanku untuk ku pegang.

"Xena, ada apa?"

"Sa-sakit."

Ku buka mataku saat aku tersadar bahwa yang kubutuhkan saat ini ialah kedua mata hijau yang selalu menenangkan itu. Namun kedua mata itu terus menampakkan mata hitamnya yang beberapa detik lalu menjadi kosong-mengirim telepati, kurasa-dan semakin menggelap ketika mata kami bertemu.

"Xander akan kemari sebentar lagi." Ujarnya seraya mengusap dahiku. Aku pun mengangguk mengerti dan hentakan itu kembali terasa bersamaan dengan sesuatu yang basah membasahi tempat tidur kami.

Aku menggeleng tanpa sebab, membuat kedua tangan hangat Xavier meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku disini, sayang, aku disini."

"Sa-sakit." Erangku yang lantas membuat napasku memburu dalam sekejap.

Ku tatap kedua mata Xavier yang perlahan-lahan menjadi hijau tua, membuatku berhasil mengambil kendali atas napasku dan mencoba mengaturnya walaupun sangat sulit.

"Astaga, ketubannya pecah!"

Aku menggigit bibirku kencang saat hentakan itu lagi-lagi membuat kesakitan tersendiri bagiku. Membuatku melengkungkan tubuhku dan setetes air mata mengalir dari sudut mataku.

"Xavier, bisa kau bergeser sebentar?" tanya seseorang yang kuyakini Xander.

"Ya," jawab Xavier seraya bergeser dari tempatnya dan berlutut di samping ranjang. Namun kedua tangan hangatnya itu tidak melepaskan genggamannya padaku. "Apa yang terjadi?"

"Sialan, di saat seperti ini kau bahkan tidak tau apa yang terjadi?" kesal Xander sembari menjentikkan jarinya hingga dalam sekejap pakaianku serta ranjang kami berubah. Kini aku hanya memakai dress rumah sakit berwarna biru dan ranjang yang ku tempati terasa sangat dingin dan keras.

"Akh!"

Aku memejamkan mataku ketika rasa sakit itu terus mengambil alih tubuhku dan membuat Xavier semakin menggenggam tanganku erat.

"Dia mau melahirkan? Secepat ini?" tanya Xavier sembari mengusap dahiku.

"Ya, itu karena anakmu memiliki darah Vampire."

"Kau pasti bercanda, Xan-"

"Bisakah kau diam?" bentak Xander yang langsung membuat Xavier bungkam. "Oke, tarik napas dalam-dalam, Luna."

Perlahan-lahan aku menarik dan menghela napasku, membiarkan Xander yang sibuk meraba-raba perutku yang sudah membesar lalu beralih ke depan kakiku yang sudah terbuka lebar.

"Tutup matamu, Xander."

"Diam, Xav!"

Bukannya menenang, napasku malah semakin memburu di saat kedua adik-kakak sialan ini terus menerus beradu argumen. Namun setelah itu kurasakan kedua tangan dingin Xander menyentuh kedua lututku lalu menatapku serius.

"Dalam hitungan ketiga, dorong sekuat tenaga. Namun jangan sampai kau memejamkan matamu dan kehilangan kesadaran, oke?" ujar Xander yang langsung membuatku mengangguk dan semakin menggenggam tangan Xavier erat.

"Atur napasmu, sayang." Suara bariton Xavier menggema di indera pendengaranku, membuatku kembali mengatur napasku yang semakin memburu di setiap detiknya.

"Akhh!"

Peluh berjatuhan dari keningku ketika aku mulai mendorong janinku untuk keluar. Salah satu tangan hangat Xavier mengusap-usap kepalaku lembut dan suara bariton itu terus memberikan kalimat-kalimat penyemangat.

Tak kuasa menahan sakit, kuku jemariku memanjang dan mencakar tangan Xavier cukup panjang. Walaupun dapat kudengar ia sedikit meringis, namun itu tak menyulutkan cakaranku untuk berhenti.

"Sa-sakit!"

Napasku semakin memburu ketika kurasakan janinku akan segera keluar, membuatku menarik napas panjang-panjang dan mendorong dalam sekali napas.

"Akkhhh!"

Sebuah tangisan memecah keheningan ruangan ini ketika kurasakan napasku mulai teratur secara bertahap dan bibir Xavier yang tak berhenti menciumi keningku. Ku pejamkan mataku sejenak, membiarkan alunan indah yang menggema di ruangan ini menenangkan jiwaku.

"Terima kasih, Xena, terima kasih." Bisik Xavier tepat di telingaku yang lantas membuatku tersenyum lemas.

"Selamat, Ratu, Xavier, anak kalian perempuan."

Ku buka mataku perlahan-lahan, menatap seorang bayi yang sedang terpejam dan telah diselimuti kain berwarna merah marun. Xander pun berdiri tepat di samping ranjangku, membuatku menatapnya sayu seakan-akan mengatakan terima kasih kepadanya.

Xander pun memberikan bayi itu kepada Xavier, membuat Xavier berdiri dari posisinya lalu meraih bayi kami yang sedang terpejam tidur.

"Setelah ini kau hanya perlu memberinya susu, Ratu," ujar Xander sembari menatapku bangga. "Aku pamit keluar, jika ada yang kau butuhkan panggil saja aku."

"Terima kasih, Xander." Ucapku parau yang lantas di balas dengan anggukan serta senyuman darinya.

Dalam sekali kerjapan mata, aku pun kembali berbaring di ranjangku dengan keadaan bersih. Tidak ada bercak darah ataupun sesuatu yang basah di ranjang kami. Ku tatap Xavier yang kini sedang menggendong anak kami gemas, membuatku tertawa kecil lalu meraih jubah Xavier lemas.

"Aku ingin melihatnya," Bisikku. Xavier pun mengangguk, dengan hati-hati ia menyerahkan anak kami ke dalam dekapanku hingga aku benar-benar siap untuk menggendongnya. "Lihat, Xav, ia sangat cantik."

Kurasakan Xavier terduduk di bibir ranjang, mengecup keningku lembut lalu mengecup kening anak kami.

"Kau ingin memberikannya nama?" tanyanya.

"Sesungguhnya aku belum menyiapkan nama." Ujarku yang membuat Xavier terkekeh dan mengusap rambutku penuh kasih sayang.

"Bagaimana kalau Savanna Charlotte Huighstone? Kau suka?"

Aku pun mengangguk. "Ya, Savanna."

.
.
.

"Savanna!"

Ku lihat anak gadisku itu menuruni tangga dengan perlahan. Kedua mata hijau tuanya sangat mirip dengan milik Xavier-walaupun terlihat lebih dingin dan tajam. Omong-omong, ia banyak mewarisi kelebihan fisik serta kesukaan Xavier yang bahkan baru ku ketahui setelah Xavier membicarakannya beberapa tahun lalu.

"Pagi, mom," Sapanya dengan suara yang cukup rendah lalu mencium pipi kiri dan kananku.

"Apa yang kau masak hari ini?" tanyanya seraya duduk di kursi yang berada dihadapanku lalu meminum segelas susu vanilla yang berada di samping piringnya.

"Sesungguhnya aku akan membuat sandwich seperti biasanya, namun Papamu ingin kau mendapat asupan lain sehingga ia memasakkannya untukmu." Jawabku lalu menggigit sepotong roti yang sebelumnya sudah ku buat.

"Apa itu?"

Aku mengangkat kedua bahuku, menatap kedua mata hijau tuanya lurus lalu menghela napas. "Sesuatu yang berhubungan dengan darah."

Ku lihat Savanna mengangguk mengerti, ia sudah sangat tau gelagatku jika sudah membicarakan darah. Yah, walaupun obsesi gilaku itu telah sirna, namun kebiasaan tetaplah kebiasaan. Aku belum bisa merubahnya untuk yang satu ini.

"Aku dengar Mama telah menyembunyikan kehadiranku dari orang luar," ujarnya blak-blakan yang lantas membuatku tersedak. "Astaga, Ma, maaf. Aku tidak bermaksud."

Aku pun mengangguk, meraih segelas air mineral di sampingku lalu meminumnya. "Kau terlalu sensitif, Sana, hentikan itu dan jangan menguping pembicaraan Mama dan Papa lagi."

Untuk kedua kalinya Savanna mengangguk, ia masih menatapku menyesal dan sesekali menghela napas. "Ya, maaf, Ma."

"Sudahlah, pada intinya itu memang peraturan dunia ini. Kau tidak bisa melanggarnya dan jangan sekali-kali mencoba melanggarnya."

"Bagaimana jika ada yang bertanya?"

"Astaga, Sana," aku pun menghela napas, meletakkan rotiku di atas piring lalu melipat kedua tanganku di depan dada. "Kita sudah pernah membahas ini."

Savanna pun mengangguk. "Aku hanya ingin memastikannya sekali lagi, Ma."

Tepat setelah itu Xavier datang dengan sepiring daging dan segelas cairan kental berwarna merah yang kuyakini adalah darah. Membuatku mengalihkan pandanganku dari hidangan sarapan Savanna sembari menghela napas.

"Selamat pagi, Sana."

"Pagi, dad."

Ku rasakan keheningan melanda kami untuk sejenak, membuat suara dehaman Xavier menggema yang lantas membuatku menoleh kearahnya.

"Bertengkar lagi?" tanyanya yang langsung membuatku memutar kedua bola mataku jengah dan mendapat seulas senyuman di wajahnya. Sialan, bahkan di saat-saat canggung seperti ini ia masih tersenyum.

"Aku hanya ingin memastikan, Pa, tapi Mama bersikap berlebihan dan mengacuhkanku." Ujar Savanna yang lantas membuatku menatapnya tajam.

"Aku tidak mengacuhkanmu, Tuan Putri. Apa kau tidak lihat betapa indahnya seonggok daging dihadapanmu yang berlumurkan darah itu menaikkan hasratku?" tanyaku dengan penuh penekanan di kalimat terakhir.

"Xena.."

Aku kembali mengalihkan pandanganku, lagi-lagi tatapan Xavier selalu membuatku seakan-akan lemah dihadapan anak kami.

"Kau juga, Sana, Mamamu sudah menjelaskannya berkali-kali. Jangan memancingnya terus dan bersikaplah dewasa. Kau sudah 147 tahun dan akan segera memimpin sebuah pack. Mengerti?"

Aku mengangguk, sangat setuju dengan ucapan Xavier tanpa ingin menatap kedua pemilik mata hijau tua itu. Namun detik berikutnya sesuatu yang sangat dingin menyelimutiku, membuatku menoleh dan mendapati Savanna sedang memelukku.

"I'm sorry, mom. Aku hanya terlalu khawatir tidak dapat menjalankan pesanmu dengan baik,"

Kelemahanku yang lainnya setelah kedua mata hijau tua itu adalah pelukan dingin dari Savanna. Ia sangat tau bahwa terkadang aku juga memerlukan sebuah rasa dingin yang menyelimutiku, hingga hanya ialah satu-satunya yang dapat memelukku seperti ini.

"Aku tidak akan mengulanginya, aku janji." Suara Savanna pun semakin terdengar rendah dan dalam, membuatku teringat akan Alpha tone Xavier dan lantas meliriknya sejenak sebelum aku membalas pelukan Savanna.

"Anak baik. Aku pegang janjimu, Sana," ujarku lalu melepaskan pelukan anakku satu-satunya ini lalu menyelipkan rambut hitamnya di balik telinganya. "Sekarang cepat habiskan sarapanmu dan jangan sampai terlambat."

Savanna pun mengangguk, mencium pipi kiriku lalu merekahkan senyumannya. "Baik, Ma." Ujarnya saat dalam sekali kerjapan mataku ia sudah berada di kursinya lagi. Dasar Vampire.

"Xena?"

Aku menoleh dan menatap Xavier yang kini berada di kepala meja, kedua matanya telah berubah menjadi hitam gelap yang langsung memberikan peringatan di benakku bahwa ada sesuatu yang salah.

"Kau menunjukkan sifat yang tidak baik dihadapan anakmu. Bisakah kau berdiam diri di ruanganmu setelah menyelesaikan makananmu dan menungguku hingga aku kembali?" tanya Xavier dengan Alpha tonenya.

Aku pun mendesah, mengangguk kecil lalu memakan sarapanku dengan mood yang buruk. Semenjak kami menikah, Xavier membangun sebuah ruangan kecil di pekarangan belakang rumahnya untukku. Xavier bilang mulai sekarang ia yang akan melatihku dengan cara yang sama dengan cara Charlie lakukan. Namun sedikit lebih lembut dan dengan waktu yang terbatas.

Xavier bahkan menemukan titik terang tentang mengapa aku selalu mengumpat dan bersikap kasar. Ia bilang itu berawal dari sihir yang ia gunakan untuk menghapus ingatanku mengenai jiwa Vampire yang tertidur di dalam tubuhku, sehingga ia terbangun dan mulai memaksa diriku untuk meminum darah.

"Ma,"

Aku mengalihkan pandanganku dari roti yang sedang ku genggam kepada Savanna, kedua matanya berbinar sedih dan otot di lehernya sedikit menegang-ia sedang menahan isakannya yang akan segera keluar.

"Karena diriku, kau harus menjalani hukuman lagi. Maafkan aku, Ma."

Aku pun tersenyum tipis, meraih kedua tangannya yang sedang memainkan garpu serta sendoknya lalu mengusap kedua tangannya dengan ibu jariku.

"Bukan salahmu, sayang, Mama menjalankannya karena Mama salah."

"Aku tau, tapi aku dapat merasakan sakitnya menahan hasrat itu, Ma," astaga, suara rendahnya bahkan menjadi serak dalam sekejap. Savanna pun mengalihkan pandangannya dariku, ia menatap Xavier dengan mata berbinar yang kini tengah di balas dengan tatapan tajam. "Papa akan melepaskan Mama untuk kali ini, 'kan?"

Ku lihat Xavier menggeleng. "Kau juga melanggar peraturan, Sana."

"Pa, ku mohon."

"Tidak."

"Sekali saja.."

"Aku bilang tidak, Savanna." Tegas Xavier yang lantas membuat Savanna mengerucutkan bibirnya lalu menunduk dalam. Kedua bahu Savanna pun terdiam, menyiratkan bahwa ia sedang menahan napas dan menangis dalam diam.

"Kau membuatnya menangis." Ingatku pada Xavier yang langsung membuat pria tampan itu menghela napas dan memijat keningnya. Kedua mata hitamnya pun semakin menggelap, menatapku sejenak lalu berubah menjadi hijau tua yang selalu kudambakan perlahan-lahan.

"Oke, Sana, dengan satu syarat."

Savanna pun mendongak, menatap Xavier dengan mata yang berbinar serta jejak air mata yang tersisa di pipinya. "Apa?"

"Jadilah Vampire dan werelf* yang baik. Peraturan dan janji di buat untuk di patuhi, bukan untuk dilanggar. Kau mengerti?"

Gadis kecilku pun mengangguk, melepaskan tangannya dariku lalu menyeka air matanya dengan kedua tangannya. "Mengerti. Maaf karena bersikap kekanak-kanakan, Ma, Pa."

"Kau sudah menyelesaikan sarapanmu?" tanya Xavier seraya mengalihkan pembicaraan emosional di pagi hari ini.

"Sudah," jawabnya lalu bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruang makan sembari melambaikan tangannya. "Aku akan ke rumah Paman Gregory seusai latihan. Heize meminta bantuanku untuk mengerjakan tugasnya. Bye mom, dad."

Setelah Savanna meninggalkan ruang makan dan menjauh dari Istana, Xavier pun menarik tanganku yang berada di atas meja dan menuntunku untuk duduk dipangkuannya. Ia melingkarkan kedua tangan hangatnya di pinggangku lalu menenggelamkan kepalanya di lekukan leherku.

"Aku bertanya-tanya, siapa yang menuruni sifat emosional kepada Savanna?" tanya Xavier yang lantas membuatku terkekeh kecil.

"Kau, Xav."

"Aku?" tanyanya seraya mengangkat wajahnya dan menatapku dari samping.

"Menurutmu siapa lagi?" aku pun tertawa, menyandarkan tubuhku pada dada bidangnya lalu mengusap-usap tangan hangatnya yang berada di pinggangku. "Jika kau perlu bukti maka tanyalah dirimu sendiri bagaimana emosionalnya kau saat kau mengirimku ke Vamps dan saat aku kembali."

"Hei, hei, kau membahas itu lagi."

Untuk kedua kalinya aku tertawa, kemudian ku kecup pipi kiri Xavier yang berada tepat di samping kepalaku.

"Bukankah itu menyenangkan?"

END

*werelf: serigala bersayap (ini istilah buatan aku x"))

Thanks for all you guys attention! OuO makasi banget yang udah baca cerita abal-abal aku :") makasi juga buat vomments nyaa

Dan jangan lupa buat baca cerita aku yang judulnya "Ave" yaaa. Itu satu abad setelah kejadian inii. Bakal ada Arthur--anaknya Romeo, sama Savanna sebagai cameo.hohoo

Makasi banyak yang udah bersedia bacaaa😚😚😚

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro