Escape

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Actually aku belum bisa bikin action eue tapi bakal terus nyoba dan maafkeun kl kurang greget. Anw sorry ff di sebelah belom aku lanjutin.wkwkwk

~❤

Xerafina's POV

Aku mengerang ketika kurasakan udara dingin menyapu kulitku dengan kasar, membuatku membuka mata dan mendapati kedua tanganku berada tepat di depan wajahku sementara kedua kakiku tertekuk.

Aku terlepas?

"Putri," ujar seseorang yang lantas membuatku menoleh kearahnya.

"Xander?" panggilku dengan nada tidak percaya yang lantas membuatnya tersenyum lebar.

"Ya, ini aku, Putri," jawabnya seraya menundukkan pandangannya dariku. "Aku sangat bersyukur kau telah kembali."

Aku pun mengangguk, mencoba berdiri dari posisiku dengan kondisi kedua kakiku yang sangat lemas dan sedikit membengkak. Ku hampiri Xander yang masih terikat pada rantai yang membelenggu kedua tangan dan kakinya, berpegangan pada salah satu rantainya lalu menatap matanya.

"Apa yang kau lakukan disini? Dan aku, kenapa aku disini?"

"Sky menangkapku dan Xavier beserta keluargamu."

"Sky? Siapa-oh, sialan!" Aku mengumpat ketika memori yang sempat terkubur di dalam benakku kembali mencuat, membuat emosiku beranjak naik sembari menatap Xander tajam. "Dimana wanita sialan itu?"

Xander pun menggeleng. "Aku tidak tau, Putri."

"Bagaimana dengan Xavier?"

"Aku tidak begitu yakin, namun kurasa ia ada di tempat ini pula. Aku merasakan kehadirannya beberapa jam lalu."

Aku menghela napas gusar setelah itu, mengusap wajahku kasar lalu menepuk bahu Xander lembut. "Tatap aku."

Perlahan-lahan Xander pun mengangkat pandangannya, membuatku terus menajamkan penglihatanku dan sebuah memori terlintas dibenakku ketika mata kuning itu bertemu dengan mataku.

"Wow, kau seorang elf?" ujarku yang lantas membuatnya tersenyum tipis. "Oh, seorang illusioner pula? Bagus, Xander, aku membutuhkanmu."

Xander mengerutkan kedua alisnya ketika aku mengatakan hal demikian, membuatku menarik dan menghela napasku secara perlahan. Kurasakan eyetransku mulai bekerja lambat-laun, membuat sebuah seringai terlukis di wajahku.

"Aku tidak bisa melepaskanmu saat ini, namun bisakah kau ajarkan aku untuk menggunakan sebuah ilusi?"

"Dengan senang hati, Putri."

Setelah itu Xander tanpa henti mengajarkanku bagaimana menggunakan ilusi. Walaupun sesekali Xander terdengar frustasi karena ia tidak dapat berbicara dengan benar-ia butuh air. Dan sesekali pula Xander selalu mengejutkanku dengan peringatan bahwa akan ada penjaga yang datang dan lantas membuatku kembali meraih rantai yang menggantung di dinding lalu merenggangkan kedua kakiku dan menunduk-berpura-pura tertidur.

Ketika penjaga itu telah keluar, maka aku akan kembali berlatih hingga tanpa kusadari sebuah ilusi akan diriku yang sedang di rantai pun tercipta. Aku tersenyum penuh kepuasan ketika aku mencoba membuat hal yang serupa di sisi yang lengang.

"Jadi, kapan penjaga selanjutnya akan datang?" tanyaku setelah berlatih cukup lama.

"Beberapa langkah lagi," jawab Xander yang lantas membuatku mengangguk semangat. "Dia datang-sialan, Sky!" pekik Xander tertahan. Aku pun menahan napasku terkejut sembari memojokkan diriku di sudut ruangan ketika sepatu wanita sialan itu berhenti tepat di depan pintu, membukanya dengan cara yang menjijikkan lalu memasuki ruangan.

Ku dengar ia tertawa melengking, rambut berwarna birunya membuatku muak dan ingin segera memenggal kepalanya.

"Kau masih terbangun rupanya," ujar Sky yang kurasa tertuju pada Xander. Kulihat ia berjalan mendekati Xander lalu mengusap kedua pipi pria bermata kuning itu. Membuatku bersedekap dan penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. "Apakah kau tau, KEMANA WANITA SIALAN ITU PERGI? KAU TIDAK BISA MEMBOHONGIKU, KEPARAT!"

Plak.

Plak.

Aku mendengus ketika Sky mulai menghajar wajah Xander, sementara pria itu hanya tersenyum penuh kemenangan tanpa memberikan perlawanan-walaupun aku tau itu sama sekali tidak akan mempengaruhi Sky.

"Bagaimana bisa wanita itu melepas rantaiku? Apa kau masih memiliki sisa sihir?" tanya Sky sarkastik sembari menekan kedua pipi Xander dengan satu tangannya.

Xander pun meludah tepat di wajah Sky, membuatku tergelak dan hendak tertawa. Kulihat wanita itu melepaskan tangannya dari wajah Xander lalu mengusap wajahnya yang terkena cairan menjijikkan yang dihasilkan mulut Xander dengan penuh amarah.

Tepat sebelum Sky meluncurkan aksi keduanya, aku tertawa sembari bertepuk tangan yang lantas membuatnya memutar badan dan menatapku penuh kebencian.

"Kau mencariku, penyihir?" tanyaku seraya berjalan kearah Sky yang masih terpaku dengan kehadiranku. "Sialan sekali kau, berani menatap wajahku yang telah kau bohongi dengan mata sialan Xavier yang kau gunakan."

Sky pun tertawa keras setelah itu, membuatku mendengus dan menarik rambut birunya kasar. Ku tendang kedua kakinya hingga ia tersungkur di lantai lalu ku balikkan tubuhnya hingga kini ia bertelungkup. Ku injak punggungnya dengan kaki telanjangku lalu semakin ku tarik rambut biru memuakkannya.

"Siapa yang menyuruhmu untuk menatapku?" tanyaku seraya menghentakkan tanganku yang bebas dan sebuah pedang perak datang secara ajaib.

"Cih, a-aku ti-tidak pedu-peduli."

"Sialan kau!"

Ku tebas pedang perak itu di lehernya yang lantas membuat kepalanya terlepas dari tubuhnya. Namun dengan cepat ku tempelkan lagi kepalanya pada bagian yang telah terputus dan kubangkitkan lagi saraf-saraf yang mati.

"Bagaimana? Masih tidak peduli?" tanyaku seraya menghimpit pedang perakku itu pada leher jenjangnya.

Napas Sky pun terdengar memburu, namun tidak membuatnya untuk berhenti menjadi menjijikkan.

"Ya, masih."

"Dasar otak udang."

Ku tebas lagi kepala Sky dengan pedang perak tersebut, membuat kepala menjijikkannya menggelinding di lantai dan tubuhnya tergeletak tak berdaya.

"Wow, Putri, semudah itu?" ujar Xander yang lantas membuatku menoleh kearahnya dan rantai yang membelenggu kedua kaki dan tangannya lepas. Pria itu pun terjatuh ke lantai dengan sorot mata bahagia.

"Kau bisa berjalan?" tanyaku seraya menghampiri kepala Sky lalu membakarnya dengan api yang entah datang darimana.

"Tidak, kurasa, aku belum menemukan keberadaan tubuhku."

Aku pun mengangguk, berjalan menghampiri Xander lalu menarik lengan kirinya untuk kulingkarkan di leherku. "Kalau begitu cobalah berjalan atau kau akan kubiarkan membusuk disini."

Seketika tanah yang menjadi pijakan kami pun bergetar, membuatku mengembangkan sayap merah marunku dan terbang bersama Xander sembari mencari keberadaan Xavier.

Aku pun mengendus, mencoba merasakan aroma mint yang sangat memabukkanku itu dan mencari jejaknya. Aku menurunkan Xander dari genggamanku sembari menginjak lantai keramik dibawahku ketika aura yang sangat familier menyelimuti ruangan ini. Membuatku menyembunyikan sayapku di balik punggung dan membalikkan tubuhku ketika seseorang berdeham.

"Rafin?"

Aku mengerjap untuk beberapa saat, mencoba menggunakan ilusiku dihadapan seseorang-atau bahkan orang-orang-dihadapanku. Namun tak terjadi reaksi apapun dari mereka, membuatku tersadar bahwa ilusi hanya bisa terlihat bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan tersebut.

"Apakah itu kau, Rafin?"

Aku menggigit bibirku ragu, jelas-jelas aku melihat Ayah terkena busur saat itu. Namun kenapa ia bisa disini? Kenapa ia masih hidup?

"Ya, ini aku." Bisikku.

"Astaga." Kulihat Ayah memutar tubuhnya lalu menarik seseorang untuk bangkit dari duduknya. Argumen kecil pun terjadi antara Ayah dan seseorang itu, hingga pada akhirnya seorang wanita yang masih cukup muda menampakkan dirinya dengan rambut yang berwarna hitam serta matanya yang berwarna merah.

"Ibu?" panggilku nyaris tidak bersuara.

Wanita itu pun terpaku saat melihatku, membuatku mengalihkan pandanganku darinya lalu memperhatikan ciri fisikku. Rambut biru. Sialan.

Dan seketika tempat ini kembali bergetar, membuatku kembali mengembangkan sayapku lalu memutar tubuhku dan mengangkat Xander yang masih terduduk lemas. Ku hampiri Ayah yang masih terpaku menatapku sembari tersenyum tipis.

"Bolehkah aku memintamu untuk membawa Xander keluar?" tanyaku lembut. Ayah pun terdiam sejenak, melirik kearah Xander lalu mengangguk mantap.

"Tentu, Anakku," ujarnya lalu meraih kedua lengan Xander dan mendudukkan pria itu di lantai. Ayah pun tersenyum lalu menepuk bahuku lembut. "Kau telah berjuang dengan keras, sayang."

Tak terasa setetes air mata mengalir di pipiku yang segera kuhapus dengan telapak tanganku. "Aku harus bertanggung jawab atas apa yang ku lakukan." Ujarku lalu melambai kearah Ayah dan Ibu sebelum melesat pergi dan mencari keberadaan Xavier.

Aku terus menelusuri lorong panjang dengan cahaya yang minim sembari berlari. Aku baru menyadarinya jika aku terlalu sering menggunakan sayapku, maka warna sayap serta rambutku akan berubah. Semuanya terbukti ketika aku berhenti menggunakan sayapku, perlahan-lahan rambutku kembali menjadi warna hitam.

Entah bagaimana bisa, angin pun menerpa tubuhku dengan kencang, membuatku berhenti berlari dan melihat ke sekelilingku. Aroma mint pun menyeruak masuk ke dalam hidungku, membuatku menghirupnya banyak-banyak lalu mengikuti asal aroma ini.

I have died everyday waiting for you.

Sebuah suara menggema di kepalaku, membuatku sesekali mengerang kesakitan ketika suara itu berasal dari memoriku yang terpendam jauh. Kepalaku mulai berdenyut seiring dengan terpaan angin yang megencang, membuatku sesekali terjerembab jatuh dan kembali bangkit secepat mungkin.

Perasaan itu, perasaan yang membuatku khawatir setengah mati akan nyawa Xavier membuatku takut dalam sekejap. Cahaya kegelapan seakan-akan menutupku dari dunia luar, membiarkanku terduduk di lantai yang dingin ini tanpa melakukan apapun.

Darling don't be afraid.

Aku terkesiap ketika suara bariton itu seperti berbisik tepat di telingaku, membuatku mendongak dan mengangguk mantap setelah itu. Ku coba bangkit lagi dan sebuah desiran aneh mengalir bersama darahku, seakan-akan menyuruhku untuk cepat berlari dan keluar dari tempat ini.

"Xavier.."

Xerafina.

Napasku pun seketika memburu ketika ku dengar Xavier membalas panggilanku, membuatku memantapkan hatiku bahwa jiwa Xavier ada di tempat ini dan belum terlepas.

Sampai pada akhirnya aku menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang berbeda dan terbuat dari baja menutup rapat isi di dalamnya. Tak ada lubang persegi panjang di bawah pintu sebagaimana tempatku tadi. Ini mempersulitku. Lagipula aku tidak tau apakah ini benar ruangannya atau bukan.

One step closer.

Aku menarik dan menghela napasku setelah memantapkan niatku untuk mendobrak pintu baja ini yang tentunya mungkin saja meretakkan bahuku. Aku pun menelan ludahku gugup, berharap tubuhku akan baik-baik saja nantinya.

"Berhenti disitu, manusia sialan!"

Aku mendengus kesal ketika ku dapati Sky kembali menampakkan dirinya dihadapanku TANPA KEPALA. Sialan! Bulu romaku lantas berdiri dan benakku memasuki mode panik. Namun belum sempat Sky berjalan lebih dekat kearahku, seseorang telah merapalkan mantera kematian padanya hingga tubuh sialan itu kembali tergeletak dihadapanku.

"Xerafina, kau baik-baik saja?"

Aku tersenyum tipis ketika mengetahui Romeo Xavewood-lah yang menyelamatkanku, membuatku mengangguk mantap lalu memintanya untuk membuka pintu baja dihadapanku yang langsung disetujuinya.

"Alomohora." Kudengar Romeo merapalkan mantera dan suara decitan pintu baja itu terdengar, membuatku langsung berhambur ke dalam dan sebuah lentera cahaya seketika mengiringiku untuk masuk ke dalam.

Aku tak kuasa menahan air mataku ketika kudapati tubuh Xavier dipenuhi oleh goresan-goresan merah serta darah yang mengering. Membuatku langsung merengkuh wajahnya yang terasa sangat dingin lalu memeluk lehernya.

"Sialan! Xavier!" panggilku seraya mengeratkan pelukanku pada dirinya. Membiarkan air mataku terjatuh begitu saja di bahu kekar dan hangatnya. "Sadarlah, Xavier, kau tertidur terlalu lama."

Xavier pun tak bergeming, membuatku semakin terisak lalu dengan gerakan cepat melepaskan pelukanku padanya dan menghampiri Romeo yang berada di ambang pintu.

"Teleportasikan aku menuju Hutan Selatan di Maegovanen, dan kau jaga Xavier disini. Mengerti?" titahku pada Romeo yang langsung dilaksanakannya dengan baik.

Aku menarik napasku ketika dalam sekali kerjapan mata aku sudah berada di Hutan Selatan, dan kini aku kembali dapat merasakan keberadaan tubuhku yang sempat menghilang.

"Zane, kau disana?"

"Zane!"

"Zane!"

"Putri? Kau kah itu?"

Aku pun berlari menuju tebing dimana aku pertama kali bertemu Xavier 119 tahun yang lalu, atau mungkin tempat dimana aku bertemu Sky-yang menyamar mejadi Xavier-beberapa minggu lalu.

"Ya, ini aku, Zane Whiteblood, sekarang ayo kerahkan kemampuanmu untuk menyelamatkan mate kita." Ujarku seraya menatap bulan yang seketika sudah menggantung diatas kepalaku.

"Astaga! Kau kembali, Putri! Ya, dengan senang hati!"

Dalam sekali lompatan tubuhku pun berubah menjadi seekor anjing berbulu putih dengan eyetransku yang bekerja dengan maksimal. Kecepatan lari Zane pun menjadi tak terhingga dan seketika sudah berada di atas tebing dengan singkat.

"Terima kasih." Ujarku pada Zane lalu kembali mengambil alih diriku dan berjalan menuju ujung tebing. Angin pun menerpa rambutku dan membuatnya berkibar kecil, membuatku menghela napas ketika aroma mint itu terasa sangat jelas.

"How long am I supposed to wait here? I wonder, it's just frustrating." Lirihku seakan-akan berbicara pada Xavier melewati angin yang selalu mengiringi kedatangannya. Aku tersenyum pahit mengingat bagaimana sialnya aku saat bertemu Xavier disini beberapa minggu lalu. Namun segala kepahitan itu segera tergantikan dengan memori-memoriku yang sempat hilang dimana hanya ada Xavier disetiap memori tersebut.

"And you're here."

Sebuah tangan kekar dan hangat seketika melingkar dipinggangku, memeluk tubuhku erat yang lantas membuatku menahan napasku terkejut. Apakah ini mimpi? Kenapa aroma mint ini sangat dekat denganku? Namun bagaimana jika ia adalah Sky?

Perlahan-lahan aku memutar tubuhku, membiarkan jantungku berdetak tak berirama lalu menatap kedua mata hijau tua yang selalu ku dambakan. Kedua tanganku pun ku letakkan tepat didepan dada bidangnya yang di lapisi dengan kaus oblong berwarna hitam, membuatnya membalas tatapanku mantap lalu menempelkan dahinya pada dahiku.

"Kau berhasil, Xena."

Aku menarik napasku panjang lalu mengalungkan kedua tanganku pada leher Xavier seraya memejamkan mata.

"Ya, berkat kau." Jawabku lalu menghirup aroma mintnya yang berhasil menenangkan jiwaku.

"Aku mencintaimu."

"Aku juga."

Kurasakan Xavier terpaku dalam sekejap, ia menahan napasnya yang lantas membuatku tersenyum dan membuka mataku untuk menatap jauh ke dalam pesona lautan hijau di matanya.

Perlahan-lahan Xavier pun ikut tersenyum lalu semakin merapatkan tubuhku pada tubuhnya. "Aku ingin mendengarnya sekali lagi."

Aku tertawa kecil setelah mendengar ucapannya, membuat jantungku seperti berada dalam pacuan kuda dan hendak keluar dari jalur balapan.

"Aku juga mencintaimu, Xavier Huighstone."

Setelah itu Xavier pun langsung mencium bibirku lembut, merasakan setiap inchi dari bibirku sampai pada akhirnya ia turun menuju leherku, mengecupnya untuk beberapa kali lalu menggigitnya tanpa ragu. Sementara aku hanya dapat melenguh kesakitan namun nikmat dalam waktu yang bersamaan.

"Omong-omong," ujar Xavier setelah ia menjilati leherku. "Aku melihat bekas gigitan di lehermu. Apakah itu perbuatan Sky?"

Aku mengangguk. "Apakah tanda miliknya sudah hilang?"

"Sudah, dan akan segera berganti dengan tanda milikku." Ujarnya yang lagi-lagi membuatku tertawa.

"Lakukan saja semaumu, Xav."

"Kau mengizinkanku? Secepat ini?" tanyanya tak percaya yang untuk kesekian kalinya membuatku tertawa. Aku tidak dapat membayangkan betapa merahnya wajahku saat ini.

"Kau tidak mau?" tanyaku yang lantas membuat ia terkekeh. "Aku sangat merindukanmu. Maaf karena telah melupakanmu dan membuatmu menunggu terlalu lama."

"Bukan salahmu, sayang," ujarnya sembari mengusap pipiku lembut. "Lagipula seharusnya aku yang menyelamatkanmu, bukan kau yang menyelamatkanku."

Aku menghela napasku perlahan, mengusap tengkuk Xavier sejenak lalu menggigit bibirku ragu. "Ada yang ingin aku tanyakan, boleh?"

"Tentu."

"Apakah kau membenci elf?"

Xavier pun mengecup keningku, melepaskan pelukannya padaku lalu merentangkan kedua tangannya.

"Apakah aku memiliki alasan untuk membenci elf?" tanyanya seraya mengembangkan sayap berwarna hitam yang terlihat sangat gagah dan kokoh yang lantas membuat kedua sudut bibirku tertarik keatas.

"Tidak." Jawabku lalu kembali berlari ke pelukannya dan menenggelamkan wajahku diantara dada bidangnya.

Kurasakan Xavier tertawa kecil, membalas pelukanku lalu mengusap rambutku penuh kasih sayang. Astaga, aku sangat merindukan dirinya. "Ada lagi?"

Aku pun terdiam sejenak, mencoba mereka ulang kejadian-kejadian janggal dibenakku hingga rentetan pertanyaan mengalir begitu saja dari bibirku.

"Kenapa setiap perutku bergemuruh aku akan menjadi seperti seorang psikopat? Lalu kenapa aroma tubuhmu yang tercampur kayu-kayuan dapat ku cium melewati tubuh penyihir sialan itu? Matamu yang memiliki pupil berwarna merah? Bagaimana bisa kau ada disini? Bukankah jiwamu terkurung di tempat terkutuk itu? Lalu bagaimana caranya kau mengirimiku telepati jika kau dalam keadaan tertidur? Apakah itu semacam sihir?"

Ku dengar Xavier tertawa cukup keras, membuatku merengut kesal dan semakin menenggelamkan kepalaku di dalam dekapannya.

"Kalau tidak mau menjawab setidaknya jangan tertawakan aku." Ujarku yang lantas membuatnya berhenti tertawa dan meraih bahuku, hingga kini ia mensejajarkan wajahnya dengan wajahku lalu tersenyum lebar.

"Bukan seperti itu, sayang. Hanya saja aku terheran-heran bagaimana bisa seorang Xena menjadi sangat penasaran akan suatu hal? Bukankah ia sangat tidak suka bertanya?" candanya yang malah ku balas dengan cubitan di perut kotak-kotaknya yang bahkan sangat terasa hingga bagian luar bajunya.

"Aku banyak berubah beberapa puluh tahun terakhir."

Xavier pun mencubit pipi kiriku, terkekeh pelan lalu kembali mengecup bibirku. "Tetaplah seperti ini, akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan hatimu."

"Kau sudah mendapatkan hatiku, bodoh."

"Ya, oke," ujarnya seraya menarik tanganku dan memelukku erat. "Kau milikku dan selamanya menjadi milikku. Kita adakan rapat dadakan besok pagi di Cygnus dan Maegovanen. Bagaimana?"

Aku pun mengangguk setuju. Entahlah, mungkin dengan kehadiran Xavier seperti sedia kala akan membuat semuanya membaik. Karena yang ku tahu, Xavier yang mereka kenal ialah Xavier yang sangat royal dan tak memandang bulu. Benar-benar tipe idealku.

.
.
.

Sebelum matahari benar-benar terbit, Xavier mengantarku menuju rumah yang berbeda pulau dengan rumahnya lalu berkunjung sebentar untuk sekedar berbincang dengan keluargaku.

Perbincangan yang terjadi hanya sekedar membahas masa lalu dan penyesalan Xavier karena telah melakukan kesalahan fatal diantara dua kubu. Dan selama perbincangan itu mengalir, kedua tangan kekar Xavier tak ada henti-hentinya memeluk pinggangku yang berada di pangkuannya, membuat wajahku semakin panas di setiap salah satu anggota keluargaku menatapku dengan sorot menggoda.

Hingga pada akhirnya Ayah membuka pembicaraan tentang apa saja yang telah terjadi selama Sky menemukanku hingga ia menjerumuskanku ke dalam tempat terkutuknya.

Sesekali ku dengar Xavier menggeram kecil, membuatku bersandar pada dada bidangnya yang lantas membuatnya menghela napas panjang. Apa aku berbuat salah?

"Ini sudah hampir pagi, kau beristirahatlah bersama Xerafina." Ujar Ibu seraya menatapku dengan bahagia. Ia memang sangat mirip denganku-tidak, terbalik. Aku sangat mirip dengan Ibuku, memiliki rambut berwarna hitam serta mata yang berwarna merah dan porsi tubuh yang kelewat tinggi serta tidak terlalu gemuk maupun kurus.

"Tidak, Nyonya Xands, aku akan kembali ke pack. Mungkin saja ada suatu hal yang harus ku urus sebelum rapat di adakan." Jawab Xavier dengan suara bariton yang selalu membuat kakiku bergetar lemas.

Ibu pun mengangguk, mengajak kedua adikku serta Ayah untuk meninggalkan kami dan pergi tidur. Ketika mereka telah jauh dari jangkauan kami, dengan gerakan cepat Xavier mengangkat kakiku lalu meletakkannya di sofa sehingga kini aku tertidur dan tubuh besar Xavier menindihku dengan kedua tangan hangatnya sebagai tumpuan di samping kepalaku.

Sofa berwarna hitam yang berbentuk persegi panjang dan terbuat dari beludru ini menjadi sangat hangat ketika perlahan-lahan Xavier menghembuskan napasnya tepat di depan wajahku dan membuatku mengalihkan pandanganku darinya sembari tersenyum.

"Apa yang membuatmu tersenyum, Xena?" tanyanya sembari mengusap dahiku lembut.

"Entahlah." Jawabku masih tak berani menatapnya.

Ku dengar Xavier terkekeh lalu mengecup hidungku, membuatku semakin merekahkan senyumanku lalu merengkuh wajahnya sembari menatap lurus kearah mata hijaunya.

"Sejak kapan kau menyukaiku?" tanyanya dengan nada sangat rendah. Sialan, bahkan di saat-saat seperti ini kakiku masih gemetaran.

"Sejak kita pertama kali bertemu?" jawabku sedikit ragu. Aku bukanlah wanita yang peduli dengan hal-hal kecil seperti ini, jadi jangan permasalahkan keraguanku ini.

"Kenapa kau tidak mengatakan padaku bahwa aku adalah matemu dulu?" tanyaku yang langsung membuatnya terdiam sejenak.

"Karena aku tau bahwa aku tidak mungkin bisa mendapatkan hatimu." Jawabnya yang lantas membuatku menghela napas dan memainkan jariku di garis rahangnya.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

Xavier pun mengalihkan pandangannya dariku untuk beberapa saat. "Karena caramu menatapku dan menatap Romeo berbeda, kau selalu tersenyum disampingnya namun tidak jika disampingku, kau selalu bersedia untuk membantunya namun tidak jika aku yang memintanya, dan kau selalu baik-baik saja jika bersama Romeo namun tidak jika bersamaku."

Aku tersenyum setelah mendengar penuturannya, membuatku merengkuh wajahnya lebih erat lalu menatapnya penuh cinta.

"Satu, aku menatapmu dengan cara berbeda karena aku terlalu gugup untuk menatap kedua matamu. Dua, kau memang tidak pernah melihatku tersenyum karena seluruh pandanganmu hanya terjatuh kepada mataku. Tiga, aku sengaja melakukannya karena aku tau kau akan melakukan yang terbaik untukku. Terakhir, kau memang selalu membuatku tidak baik-baik karena hanya dengan mendengar suaramu saja sudah membuat kedua kakiku bergetar."

Xavier pun menurunkan pandangannya menuju bibirku, menatapnya cukup lama hingga akhirnya ia mendekatkan wajahnya pada wajahku.

"Ekhem."

Aku terkejut setengah mati ketika kami di pergoki sedang ingin berciuman, membuat Xavier langsung bangkit dari atas tubuhku dan terduduk disampingku.

"Maaf mengganggu kegiatan kalian, anak muda. Namun aku harus mengingatkan pria ini untuk segera ke rumahnya karena aku mendapatkan panggilan darurat."

Kulihat Xavier mengangguk, mengecup keningku kilat lalu menyambar jaket kulit yang Gregory pinjamkan. Aku pun bangkit dari tidurku lalu mengekori Xavier hingga keluar Istana.

"Kau akan terbang?" tanyaku seraya menyamakan jalanku dengan langkah besar miliknya.

"Ya, sayang, tidak ada yang lebih cepat dari itu," Jawab Xavier sembari merengkuh tubuhku lalu kembali mengecup keningku lembut. "Segeralah membasuh diri dan tidur. Aku tidak ingin melihat luka-luka sialan itu mengotori tubuhmu nanti."

Aku pun mengangguk, memeluk tubuhnya sejenak lalu melambai kearahnya saat ia mulai mengembangkan sayap hitamnya dan terbang menembus gelapnya malam.

"Rafin?"

Aku menahan napasku gugup ketika Ayah memanggilku, membuat wajahku memanas seketika saat mengingat bahwa Ayah-lah yang memergoki barusan.

"Aku melarangmu untuk melakukan penyatuan sebelum kalian menikah secara formal."

Aku mengangguk, membalikkan badanku lalu berhambur ke dalam dekapan Ayah. "Ya, tentu, Ayah."

Kurasakan kedua tangan besar dan hangat Ayah mulai mengusap punggungku, memberikan sejuta kehangatan yang bahkan melebihi hangatnya sentuhan Xavier.

"Alpha Xavier memang pria yang pantas untukmu, Rafin." Ujar Ayah yang sontak membuatku mengusapkan pipiku pada tubuh panasnya.

"Kenapa Ayah mengatakan hal seperti itu?" tanyaku.

Ku rasakan Ayah menghela napas, mengusap puncak kepalaku lalu menopang dagunya pada kepalaku.

"Ia yang merencanakan ini semua. Ia merelakan dirinya di tangkap oleh Sky agar dapat memberikanmu waktu untuk mendapatkan ingatanmu kembali."

"Kenapa ia menghapus ingatanku?"

Lagi, ku dengar Ayah menghela napas. "Entah, ia tidak pernah mengatakannya. Namun Ibumu bersi keras bahwa itu karena ia tidak ingin dirinya mengganggu proses pengembalian ingatanmu."

Aku pun mengangguk lalu mendongak menatap mata kelabu milik Ayah. "Maaf karena telah membuat kalian susah."

Kulihat Ayah tersenyum seraya membalas tatapanku, ia mengeratkan pelukannya padaku lalu mengecup keningku hangat.

"Tidak, seharusnya Ayah yang mengatakan hal itu. Maaf karena telah melibatkanmu ke dalam masalah ini, Rafin."

"Bukan masalah, Ayah, aku senang karena bisa membantumu."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro