Flashback (01)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Xerafina's POV

Aku terlonjak kaget ketika suara debaman terdengar di telingaku. Dengan segera ku alihkan pandanganku menuju pintu kamarku dan memandanginya sejenak, mencoba menahan hasrat untuk tidak langsung berlari keluar kemudian membunuh siapapun yang berani membuat debaman seperti tadi.

Benar saja, sebuah debaman kembali terdengar, namun kali ini berasal dari pintu kamarku yang seketika terlepas dari engselnya dan menampakkan empat serigala yang menatapku lapar. Astaga, ini terlalu mudah.

Kedua sayapku pun mengembang dengan semangat, membuatku tersenyum miring lalu membalas tatapan mereka meremehkan. Ku mundurkan kaki kananku ke belakang, berancang-ancang untuk menerkam mereka sebelum mereka menyadari gerakanku.

Serigala-serigala itu pun menggeram, berlari kearahku dengan air liur yang berjatuhan dari mulut mereka. Menjijikkan.

Dengan secepat cahaya aku terbang kearah mereka, memutuskan kepala mereka dari tubuhnya dan memberikan sobekan panjang dari leher hingga ekor mereka.

"Sialan!"

Aku meringis ketika salah satu dari serigala itu memojokkanku, menggigit sayapku dan mencakar punggungku. Namun dengan sekuat tenaga, kembali ku kepakkan sayapku lalu ku siku bagian dadanya, membuat sebuah erangan darinya dan memberikan kesempatan emas bagiku.

Ku putar tubuhku dalam sekejap, menyikut rahang serigala itu dengan kuat lalu kembali memutuskan kepalanya dari tubuhnya. Kemudian kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di sikuku, membuatku melirik kearahnya lalu menyeka darah yang keluar.

Setelah itu aku pun berlari mencari siapapun yang dapat kutemukan, namun tepat setelah aku keluar dari kamarku, banyak sekali anggota packku yang kini tengah terbaring kaku di lantai, membuatku menelan ludahku takut lalu berlari berlawanan arah.

Peluh mulai menuruni wajahku, jantungku pun mulai berdebar kencang. Setelah berlari menyusuri Istana sendirian, seketika aku teringat oleh Ibu yang sedang ingin melahirkan. Dengan segera aku berlari menelusuri tiap lorong yang tak luput dari bangkai serigala, membuatku sulit bernapas dan memutuskan untuk terbang dengan sayapku.

"Xerafina!"

Aku menajamkan indera pendengaran dan penciumanku, mencoba mendeteksi keberadaan Ibu dengan aroma serta suaranya.

"Xerafina!"

Aku menoleh kearah pintu yang berada di samping kananku, mengendusnya untuk beberapa saat lalu menendang pintu itu dengan sekali hentakan. Dengan segera aku berlari kearah aroma Ibu berasal, mengikuti lorong yang cukup panjang dan berakhir dengan ruangan besar yang sedikit redup serta Ibu yang sedang menjerit ketakutan-atau mungkin kesakitan.

"Ibu!"

Dan tepat setelah itu kulihat cahaya berwarna biru tua perlahan-lahan mulai bersinar, membuatku terbelalak dan mengembangkan sayapku dalam sekejap lalu melesat cepat ke arah Ibu.

Aku pun berhenti tepat dihadapan Ibu yang kini mulai membuka kedua kakinya untuk melahirkan. Detik berikutnya ku rasakan sayapku bergetar semangat akibat sinar yang dipancarkan cahaya biru tua itu, membuat cahaya merah marun bersinar dari sayapku seakan-akan ingin melindungi Ibu dan membunuh seseorang itu secara bersamaan.

"Ibu, aku disini, bisa kau dengar aku?" tanyaku dengan suara bergetar seraya menggenggam tangan Ibu dan membiarkan cahayaku mulai mendominasi ruangan. Ku lihat Ibu mengangguk, wajahnya terlihat sangat tersakiti dan tangannya begitu dingin.

"Tunggu sebentar, oke?"

Setelah mencium telapak tangan Ibu, ku balikkan tubuhku untuk menatap wanita sialan yang telah berani mencoba membunuh Ibuku. Membuat sebuah gemuruh di perutku naik ke permukaan dan cahayaku semakin bersinar terang.

Aku pun memejamkan mataku, menarik napas perlahan-lahan lalu mengendus aroma di sekitarku demi mengetahui aroma lain yang tersisa. Sialnya ada dua aroma berbeda disini, namun salah satu darinya terasa seperti aroma milik Ayah dan satunya lagi terasa menyengat.

Pada akhirnya kuputuskan untuk menyerang yang memiliki aroma menyengat dengan kedua mata terpejam. Ia berada jauh di depanku dengan sebuah sihir hitam yang mengelilinginya. Oh, dia tersihir rupanya.

Dengan cepat ku datangkan sebuah pedang emas di tanganku, kemudian melesat dengan kecepatan tinggi kearahnya lalu membagi tubuhnya menjadi dua sebelum ia tersadar akan pergerakanku. Tepat setelah itu cahaya merah marunku semakin bersinar terang, membuatku menghela napas panjang lalu kembali menghilangkan pedang itu, berlari kearah Ibu dan membantunya melahirkan.

"Atur napasmu, Ibu." Ujarku seraya menggenggam kedua lututnya. Persetan dengan para dokter pack dan para pelayan yang tidak ada disini.

Namun ketika cahayaku perlahan-lahan menghilang, sebuah aroma mint yang sangat menyejukkan memasuki hidungku. Membuatku ingin menoleh dan menatapnya namun kini Ibu sedang mendorong adikku untuk keluar dari perutnya. Sialan.

"Oke, terus, Ibu. Aku tau kau bisa."

Aku pun terus membantu menyemangati Ibu untuk melahirkan adikku, beriringan dengan aroma yang mirip seperti Ayah serta aroma mint itu menjauh dariku. Aku tidak peduli dan memang seharusnya tidak usah peduli.

Hingga pada akhirnya aku mendengar sebuah suara tangisan menggema di ruangan ini, membuatku menoleh menuju selangkangan Ibu dan mendapati seorang bayi dengan berlumuran darah sedang menangis. Oh my God.

Aku menelan salivaku susah payah, dan perutku seketika kembali bergemuruh seakan-akan menyuruhku untuk menjilati darah menjijikkan itu. Untungnya akal sehatku kembali mengambil alih, membuatku meraih bayi yang berlumuran darah itu lalu melakukan telepati kepada Ayah untuk segera datang.

Tak lama kemudian Ayah beserta Sierra-sang Beta-dan Polarix pun datang, ia langsung membantu Ibu yang sepertinya akan mengeluarkan satu bayi lagi dari dalam perutnya sementara aku langsung menyerahkan bayi yang ku pegang kepada Polarix. Dan dalam sekejap kesadaranku pun hilang bersamaan dengan jatuhnya tubuhku ke lantai.

.
.
.

Aku mengerjapkan mataku ketika angin kencang menyelinap masuk ke dalam kamarku. Menarikku paksa dari mimpi indahku dan membuatku terduduk di atas ranjang. Pasti Ayah yang memindahkanku kesini dan membuka pintu balkon, pikirku.

Setelah itu aku pun bangkit dari atas ranjangku, berjalan menuju pintu balkon yang berada tidak jauh dari ranjangku dan hendak menutupnya jika suara senandung seseorang tidak menggema di telingaku.

I cant put anything in my head,

My eyes close at the thought of you

I let out a sigh

You still look beautiful in my dreams,

It's like my heart stopped

I want to look into your face under the dazzling sunlight

And tell you,

Thank you for making me live as the me right now

Dan sebuah aroma mint yang tak lagi asing membuatku memejamkan mata, merasakan nikmatnya aroma ini hingga tanpa ku sadari aku telah terbang menuju tempat dimana aroma itu berasal.

Tak mau kehilangan untuk kedua kalinya, dengan segera aku mempercepat kedua sayapku dan berhenti tepat di belakang seorang anak laki-laki yang bertubuh tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil dan sepertinya seumuran denganku.

"Kenapa kau kemari, Putri?" tanya sebuah suara yang sangat rendah dan lantas membuat bulu romaku berdiri. Tidak, bukan takut, namun perasaan yang seperti tidak ingin kehilangan dan ingin terus mendengarnya.

"Aku mendengarmu bersenandung, dan tanpa kusadari aku sudah berada disini." Jawabku blak-blakan.

Anak laki-laki itu pun membalikkan badanya, wajah hingga bagian pinggangnya tertutupi oleh bayangan pepohonan di malam hari yang lantas membuatku tidak dapat melihat wajahnya.

Namun sepasang mata hijau tua itu dalam sekejap mengambil alih duniaku, membuatku terdiam untuk beberapa saat dan terus menatapnya. Aku pun baru tersadar saat kedua mata hijau tua itu juga menatapku sejak tadi, membuatku ingin terus menikmati pesona kedua mata laki-laki itu sendirian.

"Kau tidak boleh bertemu denganku, Putri, aku seorang penjahat." Ujarnya dengan suara yang semakin rendah. Oh sial, kakiku mulai bergetar.

"Seorang penjahat tidak mungkin mengakui bahwa dirinya seorang penjahat," jawabku seraya berjalan mendekat kearahnya. "Siapa namamu?"

Laki-laki itu pun ikut berjalan mendekat kearahku perlahan-lahan. "Kau tidak boleh mengetahui namaku, Putri Xerafina."

"Kenapa?"

"Kau mungkin akan membenciku suatu saat."

Entah apa yang membuat seulas senyuman terukir diwajahku. Namun saat kami berhenti melangkah dan berhadapan satu sama lain, aku dapat merasakan sesuatu yang sangat tulus diantara laki-laki ini. Membuatku menunduk sejenak lalu kembali menatapnya intens.

"Apa kau laki-laki yang berada di Istanaku tadi?" tanyaku yang langsung membuatnya membalikkan badan dan kembali berjalan menuju ujung tebing. "Jadi aku benar, Tuan Aroma Mint?"

Ia pun terdiam, memandangi pepohonan yang berada dibawah kami lalu kembali memutar tubuhnya dan membalas tatapanku tak kalah intens. "Ya, apakah kau akan membunuhku sekarang?"

Terkutuk dengan mulut sialanku ini yang malah tertawa tanpa keinginanku dan membuatku kembali berjalan mendekat kearahnya.

"Aku tau keluargamu dipengaruhi oleh sebuah sihir, dan cara terakhir untuk menghentikkannya yaitu membunuh seseorang yang memiliki cahaya berwarna hitam di tubuhnya," jelasku yang lantas membuat sebuah geraman tertahan dari dalam tubuhnya. "Dan maafkan aku karena telah membunuh seseorang itu."

Detik berikutnya kurasakan sebuah kehangatan menyelimutiku, membuatku menahan napas terkejut saat menyadari bahwa laki-laki ini lah yang memelukku. Namun lambat-laun kedua tanganku pun tergerak naik, membalas pelukannya lalu mengusap-usap punggung hangatnya.

"Sialan, Putri, aku menyukaimu sejak lama. Namun aku malah melukaimu dan tidak dapat memberitahumu atau bahkan menghentikannya. Maafkan aku."

Diam-diam aku tersenyum sembari menyandarkan kepalaku di bahunya. "Bukan salahmu." Ujarku.

Kemudian secara perlahan laki-laki ini pun melepas pelukannya, ia kembali menatapku dan sekilas dapat kulihat bahwa ia tersenyum. Sialan, haruskah aku menghancurkan pepohonan yang mengganggu pemandangan indah dihadapanku ini?

"Kalau begitu," ucapnya seraya membungkuk padaku. "Namaku Xavier Huighstone, Putri Xerafina."

.
.
.

9 years later

"Putri, bisakah kau kemari?"

Aku menoleh saat suara Romeo menggema di telingaku, membuat kedua kakiku bergetar gugup dan jantungku berdetak kencang. Seulas senyuman pun terlukis di wajahku, membuat Romeo ikut merekahkan senyumannya lalu kembali memintaku untuk menghampirinya.

Aku menyukai Romeo sejak sembilan tahun yang lalu ketika ia beserta keluarganya datang dan memberikan selamat untuk Ibuku yang telah melahirkan kembali. Dan sejak laki-laki yang kutemui malam itu memperkenalkan dirinya, kami tidak pernah lagi saling bertemu atau bahkan untuk sekedar mendengarnya bersenandung. Membuatku tidak jadi untuk mencoba menyukainya dan beralih pada Romeo.

Tak butuh waktu lama, aku pun sudah berada di samping Romeo berkat bantuan kedua sayap merah marunku. Setelah itu kurasakan Romeo meraih telapak tanganku, menggenggamnya erat lalu membawaku terbang menuju langit.

"Ada apa?" tanyaku sesaat setelah kami berhenti terbang.

"Aku ingin sekali menjelajah lebih jauh."

Aku pun mengangkat kedua alisku bingung seraya menatapnya dari samping. "Maksudmu?"

"Aku ingin pergi menuju Utara, Timur dan Barat. Aku sangat penasaran dengan keberadaan para Pengendali, Pegasus, Vampire dan Peri."

"Hei, kau sudah memiliki Peri disini." Candaku yang lantas membuatnya tertawa.

Namun setelah itu sebuah kerutan di dahinya membuat jantungku berdetak khawatir. Seakan-akan ada sebuah tujuan lain di balik keinginan mendadak Romeo. Aku pun menghela napas, menyandarkan kepalaku pada bahunya lalu menatap hamparan pohon dihadapan kami.

"Apa ada sesuatu yang lain?" tanyaku lagi yang langsung di balas dengan gelengan kepalanya.

"Tidak, kurasa," jawabnya seraya melepaskan genggamannya dariku lalu merengkuh bahuku erat, membuat wajahku memanas dan jantungku semakin memompa dengan cepat. "Aku ingin mengenalkanmu dengan teman-temanku besok. Apakah Ayahmu mengizinkannya?"

"Entahlah, mungkin jika kau yang meminta izin ia akan setuju."

Romeo pun menjentikkan jemarinya. "Kalau begitu sudah dipastikan. Aku akan datang besok. Jam tujuh pagi, oke?"

"Oke."

.
.
.

Aku tersenyum lebar saat pria yang memiliki mata berwarna kuning itu menarik tanganku dan mengajakku untuk terbang dengan kedua sayap kami. Pria yang ku kenali dengan nama Xander itu ternyata adalah seorang elf, walaupun ia mengaku-aku pada kakaknya bahwa ia seorang werewolf. Entahlah, aku juga tidak terlalu peduli.

Selagi mengelilingi Istana dengan sayap kami, Xander tak ada hentinya berbicara. Ia terus mengatakan hal-hal lucu yang membuatku tertawa hingga menangis. Bahkan tak jarang ia memasang wajah konyol demi melihatku tertawa. Sialan.

Waktu terasa begitu cepat ketika pada akhirnya kami kembali menginjak daratan, dengan segera aku dan Xander menyimpan sayap kami lalu ia tersenyum lebar kearahku.

"Itu sangat menyenangkan, Putri Xerafina. Kita harus melakukannya lagi lain kali."

Aku pun mengangguk dan membalas senyumannya. "Tentu, Xander, kau bisa datang kapanpun."

"Sungguh?" tanyanya dengan salah satu matanya yang seketika berubah warna menjadi oranye.

Lagi-lagi aku tertawa, memegangi perutku yang sangat sakit lalu menepuk bahu Xander kecil. "Tentu, Xander, aku akan mengatakannya pada para penjaga nanti."

"Terima kasih, Putri."

"Xander!"

Kami berdua langsung mengalihkan pandangan kami ketika suara bariton khas pria menggema di telingaku. Kemudian ku dapati seorang pria bertubuh tegap dengan kedua mata hijau tua yang sangat mempesona berjalan kearah kami.

Astaga.

Aku menelan ludahku ketika ku sadari pria itu menggunakan setelan formal berwarna hitam beserta jubah berwarna merah tua bertengger dipunggungnya. Ia seorang Alpha? Semuda ini?

"Oh, hi, bro!" sapa Xander.

Bodohnya diriku masih tidak bisa berpaling dari seorang pria yang Xander panggil dengan sebutan bro ini. Apakah ia kakaknya? Dan kenapa kedua mata hijaunya terasa sangat tidak asing?

Seketika angin berhembus kencang kearah kami, sementara aroma mint yang tak asing lagi menyeruak masuk ke dalam hidungku secara tidak sabaran. Kedua kaki serta tanganku pun gemetaran, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya dan desiran aneh mengalir di tubuhku.

Pria ini sempurna. Bahkan lebih sempurna daripada Romeo yang selalu ku puja-puja. Tubuhnya tinggi dan besar, rambut hitamnya yang sedikit berantakan terlihat sangat sexy, rahangnya sangat tajam dan terbentuk, walaupun wajahnya terkesan dingin namun aku sangat percaya bahwa ia memiliki aura yang hangat dan-ugh, kedua mata hijaunya mengalihkan duniaku. Seakan-akan aku harus masuk ke dalam matanya dan tenggelam diantaranya untuk selamanya.

"Selamat pagi, Putri Xerafina." Sapa si bro dengan suara baritonnya lalu membungkuk hormat dihadapanku.

Aku pun mengerjap, mengambil alih kesadaranku lalu berdeham kecil. "Ya, selamat pagi. Kau kakaknya Xander?" tanyaku penasaran.

Pria ini pun mengangguk, tersenyum kecil kearahku yang lantas membuatku menahan napas. Astaga, bunuh aku! Bunuh aku! Ia sangat menawan, rasanya aku ingin sekali berlari ke dalam dekapannya dan mengklaimnya bahwa ia milikku. Sialan!

"Ah, iya, aku lupa," ujar Xander yang lantas membuatku menoleh kearahnya. "Putri, kenalkan, ia adalah saudara kembarku, Xavier Huighstone."

Aku pun sedikit terbelalak, kembali menatap pria yang bernama Xavier ini lalu tersenyum kearahnya. "Kau sangat mirip dengan Xander."

"Terima kasih, Putri." Ujarnya hendak kembali membungkuk tapi aku mencegahnya.

"Jangan bersikap terlalu formal padaku, Xavier, dan panggil aku tanpa Putri."

Ku lihat Xavier kembali mengangguk, kedua mata hijau tuanya tak sengaja bertabrakan dengan mataku dan dengan segera ia mengalihkan pandangannya menuju langit di atas kami.

"Baik, Xerafina."

Sebuah senyuman semakin merekah di wajahku, membuat Xander berdeham lalu berbisik padaku. "Jangan lupa berkedip, Putri."

"Xander.." panggilku seraya tertawa kecil kearahnya yang kini mulai berlari menjauh meninggalkan kami. Ku alihkan pandanganku untuk kembali menatap kedua mata Xavier yang untuk kedua kalinya bertabrakan dengan mataku.

"Maaf, Pu-Xerafina, seharusnya aku tidak menatapmu."

"Bukan masalah," jawabku seraya terkekeh. "Kau bisa menatapku."

Dalam sekejap kedua mata hijau tua itu pun menatapku, membuat sebuah aliran listrik kecil mengalir ditubuhku dan membuat jantungku ingin lompat dari tempatnya.

"Ugh, Xerafina, aku sangat menyukai kedua matamu."

"Aku juga menyukai matamu," jawabku spontan yang langsung membuat kami berdua mengalihkan pandangan kami masing-masing. "Maaf, aku terlalu spontan."

Baru kali ini aku mendengar sebuah tawa yang sangat merdu, membuat kakiku semakin lemas dan lantas membuat kedua sayapku bergetar ingin segera dilepaskan.

"Ingin berjalan-jalan?" tawarnya seraya kembali menatapku ragu-ragu.

"Ya, boleh."

Xavier pun berjalan di sampingku, membuatku ikut melangkahkan kaki dan berjalan kemana saja.

"Jadi kau temannya Romeo?" tanya Xavier.

"Ya, begitulah," jawabku sembari menyelipkan rambut hitamku di balik telinga. "Kau juga?"

"Kami sudah berteman sejak kecil."

Aku pun mengangguk, melirik kearah Xavier sejenak dan mendapati pria itu tak henti-hentinya menatapku. "Dan kau seorang Alpha?"

"Bisa di bilang begitu. Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa mendapatkannya di usiaku yang baru 18 tahun, 'kan?"

Tipe ideal! Dia seumuran denganku.

"Ya, tentu saja. Lagipula peraturan dunia ini untuk menjadi seorang Alpha harus berusia 150 tahun terlebih dahulu."

Kali ini aku menatapnya-tidak terlalu mendongak, namun tidak tidak sejajar-dan untuk ketiga kalinya mata kami kembali bertemu. Seulas senyuman terlukis diwajahnya, membuatku ikut tersenyum lalu mengalihkan pandanganku darinya.

"Kau benar. Namun entahlah, Ayahku yang memintanya, jadi apapun itu harus aku turuti," jelasnya. "Dan yang pasti aku bukan penganut aliran gelap. Kau aman bersamaku, Xena."

Haruskah aku mengeluarkan sumpah serapahku dihadapan pria tampan dan mempesona ini? Sejak kapan ia bisa merayuku seperti itu? Wajahku pun semakin memanas-atau bahkan saat ini sudah memerah padam-dan sebuah tawa meluncur begitu saja dari bibirku.

"Kau orang pertama yang mengatakan hal seperti itu, Xavier," ujarku masih mengalihkan pandanganku darinya. "Dan terima kasih untuk nama panggilannya."

"Kau menyukainya?"

Aku pun mengangguk. "Ya, sangat menyukainya."

"Xavier!"

Aku mengangkat pandanganku ketika suara seorang gadis memanggil Xavier dari kejauhan, membuat sebuah ulasan senyuman menghilang dari wajahku saat gadis itu berhambur ke dalam dekapan Xavier.

Ku lihat Xavier dengan ragu membalas pelukan gadis dihadapannya, membuat kedua mata kami kembali bertemu dan sialnya mataku mulai berbinar. Apa ini? Kenapa hatiku seketika berteriak sakit? Kenapa jantungku kembali berdetak normal namun dengan tempo yang lebih lambat?

"Viona, lepaskan."

Viona?

Bukankah ia anak sulung dari keluarga Kerajaan Immortal? Kenapa ia bisa disini?

"Oh, astaga," ujar Viona saat kami bertemu pandang kemudian ia membungkukkan badannya. "Putri Xerafina."

"Tidak, tidak," cegahku lalu membungkukkan badanku kikuk. "Putri Viona, senang bertemu denganmu."

Viona pun kini memelukku, mengusap-usap punggungku lalu meletakkan kedua tangannya dibahuku sembari menatap mataku lurus. "Bagaimana keadaan adik-adikmu? Sehat?"

Dengan segera aku mengangguk. "Ya, mereka belum bisa keluar rumah karena-yah, kau tau sendiri bagaimana sifat Ayah."

"Aku senang mendengar bahwa adikmu baik-baik saja, Xerafina."

"Terima kasih, Putri." Ujarku lalu tersenyum tipis.

"Oh iya, apakah Ibumu sedang ada di dalam? Ada sesuatu yang perlu ku bicarakan dengannya."

Untuk kedua kalinya aku mengangguk. "Ibu ada di dalam. Perlu ku antar?"

"Tidak perlu," Viona pun tersenyum. "Terima kasih!"

Gadis itu pun berjalan menjauh dariku dan Xavier yang kini diselimuti kecanggungan. Membuat sebuah dehaman terdengar dan lantas ku lirik pria di sampingku yang sedang menatapku menyesal.

"Aku tidak bermaksud-"

"Tidak apa," selaku seraya tersenyum kearahnya. "Bukankah Viona memang seperti itu?"

Xavier mengangguk. "Aku tau, tapi biarkan aku meminta maaf padamu, Xena."

"Untuk apa?"

"Ugh-untuk-untuk serangan dadakan Viona."

Tanpa ku sadari sebuah tawa meluncur begitu saja dari bibirku, walaupun aku sangat yakin bahwa hatiku saat ini masih berteriak sakit. Namun melihat kedua mata hijau tua itu benar-benar serius dan terselip sebuah penyesalan diantaranya, membuat hatiku membaik dan sebuah harapan muncul dalam sekejap.

"Baiklah, Xav."

"Omong-omong, kau sibuk nanti malam?" tanyanya.

Aku pun terdiam sejenak. "Tidak-kurasa."

Seulas senyuman terlukis di wajah Xavier, membuat jantungku kembali berpacu dengan cepat dan seulas senyuman ikut terukir di wajahku.

"Walaupun aku tau ini tidak terlalu sopan untuk rakyat sepertiku, tapi maukah kau pergi berlatih bersamaku?" tawarnya seraya mengulurkan tangan kanannya kepadaku yang lantas langsung ku sambut tanpa berpikir dua kali.

"Tentu."

Kami pun kembali berjalan menelusuri jalan setapak yang kini membawa kami menuju pekarangan belakang Istana dengan tangan kami yang saling bertautan, membuat wajahku sedikit memerah dan kakiku semakin bergetar lemas.

"Ah, Xena, apakah tidak apa jika aku ikut berlatih disini?"

"Tentu, Alpha, tidak ada larangan untukmu." Jawabku seraya menoleh dan menatapnya.

Sialan, kini ia sedang membalas tatapanku dengan seulas senyuman diwajahnya. Membuatku kembali mengalihkan pandanganku dan menatap lurus kearah lapangan rumput yang kini sedang menunggu kami.

"Putri Xerafina?"

Aku dan Xavier pun berhenti melangkah, menoleh ke belakang dan mendapati Romeo disana. Ia sedang tersenyum sembari membawa membawa dua gerobak yang berisikan bunga-bunga hias.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku seraya berjalan kearahnya dan meraih salah satu gerobak yang ia bawa. "Kenapa tidak memakai sihir saja?"

Ku dengar Romeo tertawa, ia mengusap kepalaku lembut lalu menatap Xavier yang kini berada dihadapannya. "Kau sudah datang rupanya."

"Kau lihat Xander?" tanya Xavier yang lantas membuatku menoleh dan menatapnya.

"Kau ingin pergi?" tanyaku.

Xavier tersenyum. "Ya, kurasa. Kau sudah bertemu Romeo, Putri."

Aku pun menghela napas, melirik Romeo sekilas lalu kembali menatapnya. "Bukankah kita akan berlatih bersama?

"Aku akan kembali lagi jika kau mau, Putri."

Aku mengernyit bingung, kenapa dalam sekejap ia kembali memanggilku dengan Putri? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa ia tidak seharusnya memanggilku seperti itu?

"Tenang saja, Putri," ujar Romeo yang lantas membuatku kembali menatapnya. "Seorang Alpha akan menepati janjinya."

Aku pun mengangguk, dan untuk kesekian kalinya kembali menatap Xavier dan menghela napas. "Oke, pada jam empat. Bagaimana?"

Kali ini Xavier mengangguk sembari menghampiriku, kemudian ia menyelipkan rambut hitamku ke belakang telinga lalu berbisik tepat di telingaku.

"Tunggu aku, Xena."

Dalam sekejap aku pun tersenyum saat Xavier mulai berlari menjauhiku, jantungku semakin berdetak kencang dan rasanya aku akan segera menangis. Tanganku pun ikut bergetar hingga tawaku pecah begitu saja di udara.

"Kau menyukainya?" tanya Romeo yang seketika membuatku menoleh menatapnya dan berdeham kecil.
"Tidak."

"Kau menyukainya, Putri."

Aku pun menggeleng, menarik gerobak itu dengan bantuan sihir elfku lalu menatapnya. "Sudahlah, jangan bahas itu."

Ku dengar Romeo tertawa, ia menatapku sekilas lalu ikut menarik gerobaknya dan berjalan disampingku.

"Aku bertemu dengan seorang gadis cantik tadi,"

Wow, Romeo, terima kasih telah memberikan sesak di hatiku.

"Ia seorang werewolf, sekiranya kau mengenalnya, kau mau mengenalkannya padaku, 'kan?"

Aku menoleh kearahnya, menatapnya malas lalu mendengus. "Apa imbalan untuk itu?"

Kini Romeo membalas tatapanku seraya tersenyum miring. "Xavier Huighstone,"

Aku pun kembali mendengus seraya menatap ke depan, namun perlahan-lahan senyuman di wajahku mengembang. Bayangan akan sepasang mata hijau itu terngiang di benakku dan berputar-putar seperti ingin aku terus mengingatnya.

"Aku tau kau tertarik dengannya, Putri."

Entahlah, mungkin mulai saat ini aku akan mencoba melupakan Romeo dari hatiku dan mencoba untuk menyukai Xavier. Aku tidak begitu yakin Xavier juga akan menyukaiku, meskipun ia mengatakan sangat menyukai kedua mataku, itu bukan berarti ia akan menyukaiku juga, 'kan?

"Ya, oke, Tuan Xavewood," aku pun tertawa. "Jadi bagaimana ciri-ciri gadis itu?"

Romeo berdeham, kami berhenti berjalan lalu sebuah visi akan seorang gadis tergambar dihadapanku seakan-akan ada sebuah alat proyektor yang menampilkan dirinya. Seorang gadis dengan rambut yang berwarna kelabu serta mata berwarna merah sedang berjalan menuju rumah pack Ayah.

"Clair Avrush," gambaran akan gadis itu pun menghilang dari hadapanku. "Seorang yatim piatu, kedua orangtuanya meninggal saat terjadi peperangan antara Xave dan Kegelapan. Dan dia adalah salah satu petarung terbaik yang Ayah miliki dan seorang pemimpin Warrior."

Ku lihat Romeo menganga, ia menggeleng tak percaya dan matanya berbinar kagum. "Ayo, kita ke rumah pack."

"Aku tidak bisa, Gregory dan Ethan akan menangis seharian jika aku tidak menemaninya sesaat lagi."

"Ayolah."

Aku menggeleng, menepuk bahu Romeo pelan lalu memberikan gerobak yang ku bawa tadi padanya. "Kapan-kapan saja, oke?" Setelah itu aku langsung berlari ke dalam Istana dan meninggalkan Romeo yang masih mematung di tempatnya.

To be continue

Sumpah ini abal banget x") maaf kl kurang greget x") dont forget to gimme vomment!ouo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro