Flashback (02)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for really really laaaaaaaaaaate update eue author lagi stres akhir2 ini dan terlalu banyak tekanan sama praktek2 di sekolah eue mohon dimaafkeun. Doain yaa buat nextnya bisa lebih cepet.

Btw jangan lupa baca ff aku yang Ave, disana ngeceritain ttg Arthur, anaknya Romeo ouo

Enjoy~

Xerafina's POV

Kepalaku terasa berputar-putar tepat setelah aku membidik target dihadapanku dengan panah busur yang biasa kugunakan untuk berlatih. Kedua mataku sedikit memburam dan kakiku mulai bergetar lemas.

Namun aku menarik kemudian menghela napasku secara teratur, mencoba menstabilkan kinerja tubuhku lalu kembali meraih panah yang berada di punggungku dan mulai membidik target.

Jika aku berhasil mengenainya, maka taruhanku dengan Xavier akan dimenangkan olehku. Dengan kesepakatan siapapun yang kalah akan menceritakan segala hal tentang dirinya dan tentunya aku tidak akan kalah.

Aku memaksakan diriku untuk menjadi manusia biasa ketika aku sendiri belum dapat menguasai diriku. Aku seorang elf, untuk apa aku menjadi manusia biasa hanya untuk melindungi pandangan mata Xavier dari kedua sayapku yang mungkin saja membangkitkan luka hatinya saat mengingat kedua sayapkulah yang membunuh Ibunya.

Untuk apa aku melindungi hati dari seorang werewolf yang nyaris membunuh keluargaku walaupun mereka dibawah sihir hitam? Aku bisa membunuhnya tepat sebelum ia sadari. Namun kenapa aku hanya dapat memandanginya dan membiarkan keindahan mata hijau itu merasuki diriku dan membuatku jatuh cinta kepadanya?

Saat aku hendak menarik panahku dan siap melepaskannya, dapat kurasakan tubuhku perlahan-lahan melemas dan kakiku sudah tak cukup kuat untuk menahan beban tubuhku. Hingga sebuah tangan hangat menarik tanganku yang sudah tak lagi memegang panah busur dan satu tangan lainnya memeluk pinggangku.

Pandangan mataku pun berputar-putar dan memburam ditiap detiknya. Deru napasku menjadi lebih pendek dari biasanya namun jantungku berdetak lebih cepat.

Hingga pada akhirnya aku hanya dapat mendengar degupan jantung seseorang yang terdengar merdu dan menyakitkan bagiku. Seakan-akan jantung pria ini mengaduh kesakitan sembari meneriaki namaku disetiap detakannya.

Dan suara bariton yang sangat kukenali memasuki alam bawah sadarku, membisikkan kalimat-kalimat yang dapat membuatku tersenyum satu abad tanpa henti dan berakhir dengan sebuah kecupan hangat di keningku.

Dapat kurasakan satu tangannya meraih bahuku dan memeluknya erat, sementara satu tangannya lagi meraih lututku kemudian menggendongku. Aku tak begitu yakin kemana ia akan membawaku.

Namun dengan semerbak aroma hutan hujan yang seketika menusuk hidungku membuatku yakin bahwa ia membawaku ke dalam Istana dan langsung disambut dengan Ayah yang sedang menuntun kami ke dalam kamarku.

Hingga pada akhirnya aku dapat merasakan kehangatan ranjangku yang langsung membuatku menggeliat kecil dan sebuah tawa disampingku. Salah satu tangan hangat itu pun mengusap keningku dan mengecupnya beberapa kali. Kemudian kurasakan napas hangatnya menyapu telinga hingga leherku, membuat sebuah rasa aman menyelimutiku. Membuatku yakin akan sebuah cinta yang akan segera tumbuh diantara kami.

"Aku mencintaimu, Xena. Selamanya."

.
.
.

Aku terbangun ketika suara lolongan panjang serigala menghiasi malam bulan purnama. Membuatku bangkit dari ranjangku dan berjalan menuju balkon kamarku, bersandar pada pagar balkon seraya memperhatikan sesosok serigala yang cukup besar sedang mendongak menatap bulan dari atas tebing.

Seekor serigala dengan bulu yang cukup panjang berwarna emas itu kembali melolong, menggema diantara bulan purnama dan sebuah suara kepedihan mengalir diantaranya.

Aku tercekat ketika serigala itu menoleh kearahku, mata hitamnya berkilat-kilat dan menatapku intens. Jantungku pun berdetak kencang bersamaan dengan udara malam yang seketika menyapu tubuhku. Memberikan sensasi familier yang selalu kudambakan beberapa hari terakhir.

Seulas senyuman terukir di wajahku secara perlahan, membuat seekor serigala itu kembali menatap rembulan dan melolong dengan suara yang penuh dengan gairah. Tubuhku bergetar, seakan-akan ingin melompat dari kamarku dan menghampiri serigala itu kemudian mengklaimnya bahwa ia milikku.

Hei.

Perasaan macam apa ini?

Aku seorang elf.

Setelah itu dapat kulihat sesosok serigala tadi telah menghilang dari tempatnya dan berlari entah kemana. Membuat sebuah rasa kecewa menyusup masuk ke dalam diriku dan bersemayam disana untuk beberapa waktu.

Hingga sebuah suara pria yang sangat kukenali terdengar dari bawahku. Membuatku mengkira-kira bahwa itu adalah Xavier yang lantas membuatku langsung tersenyum.

Namun takdir berkata lain. Romeo berada dibawah sana dengan jubahnya, salah satu tangannya memegang tongkat sihirnya yang biasa ia gunakan dan satu tangannya lagi terselip di dalam kantung jubahnya.

Aku pun mendesah, perlahan-lahan menghilangkan senyumanku dan menunduk ke bawah seraya menatap pria yang lebih tua dariku beberapa tahun itu.

"Cepat turun, aku akan menunjukkan sesuatu padamu."

Aku menggeleng. "Tidak, aku masih sakit."

"Ayolah." Romeo pun memutar-mutarkan tongkat sihirnya hingga cahaya berwarna oranye terpancar, dan detik berikutnya ia menghilang dari tempatnya dan berdiri dibelakangku.

"Sejak kapan kau peduli dengan kesehatanmu?"

Aku memutar tubuhku, bersandar pada pagar balkon seraya bersedekap. "Sejak aku mencoba menjadi manusia biasa."

Kulihat Romeo tersenyum mengejek, ia ikut bersedekap dan kedua matanya menatapku lurus. "Jadi semuanya tentang Alpha Xavier lagi?"

"Apa urusannya denganmu? Kau keberatan?"

"Ya, aku keberatan."

"Untuk apa?"

Romeo terdiam. Namun kedua matanya semakin menatapku dan ia mulai berjalan mendekat. "Aku tidak suka saat kau mulai tertarik dengan Xavier."

Tidak seperti sebelumnya, getaran hati serta kakiku yang melemas itu tidak ada lagi saat aku berinteraksi dengan Romeo. Seakan-akan pria bermata hijau itu telah merenggut segala keindahan pada diri Romeo dan memindahkannya ke dalam dirinya.

"Kau yang mengenalkanku padanya." Jawabku seraya menahan getaran sayapku yang mulai masuk ke dalam mode bahaya.

"Tapi aku tidak bermaksud kau harus menyukainya."

"Aku telah menyukainya, jauh sebelum aku mengenalmu."

Oh astaga, Xerafina! Apa yang kau katakan? Sebuah cahaya oranye mengelilingi Romeo dalam sekejap, menandakan bahwa pria berdarah keturunan penyihir ini sedang emosi.

Namun aku tetap diam, tidak mengindahkan atau merasa takut sama sekali akan amarahnya yang sebentar lagi akan meledak. Justru aku merengkuh wajahnya, mengusap garis rahangnya yang tidak seindah milik Xavier lalu menatapnya penuh sesal.

"Apa kau menyukaiku?"

Sebuah pertanyaan bodoh yang mungkin saja akan membahayakan diriku terlontar begitu saja dari bibir sialanku. Membuatku merutuki diriku diam-diam lalu mengalihkan pandanganku dari Romeo untuk sejenak.

"Ya, aku menyukaimu."

Aku tercekat. Merasa terbodohi dengan sikapnya yang sangat tidak peduli dengan perasaanku dan diam-diam ingin membuatku cemburu. Namun semuanya begitu terlambat. Atau bahkan memang tidak pernah ada kata terlambat sejak awal.

Aku menyukai Xavier. Dan hanya itu yang kuingat selama ia pergi. Namun Romeo datang ke dalam kehidupanku dan mulai mengisi hari-hariku yang sebelumnya begitu terpukul karena kehadiran Xavier yang menghilang dalam sekejap.

Dan aku tersadar. Aku tidak pernah menyukai Romeo selama ini. Bayang-bayang akan seseorang yang bersembunyi dibalik bayangan pepohonan kala itu selalu terekam dibenakku, membuatku bertanya-tanya bagaimana rupa sang Alpha yang selalu berhasil membuatku penasaran.

"Aku sudah tau bahwa kau menyukai Xavier sejak dulu. Ayahmu bercerita bahwa keluarga Huighstone-lah yang melakukan penyerangan dibawah pengaruh sihir hitam. Sehingga aku melakukan pengintaian lewat dimensi lain, mengulang waktu dan mengikuti Xavier. Kalian bertemu tepat saat bulan purnama di tebing yang berada didekat Hutan Terlarang dan ia menyatakan perasaannya padamu. Aku tau, walaupun kau tidak menjawab namun kau mengatakan hal yang sama kepada dirimu. Aku benar?"

Aku menghela napas, hendak menjatuhkan kedua tanganku jika Romeo tidak meraih kedua tanganku dari pipinya lalu menggenggamnya erat. "Namun aku belum terlambat, 'kan?"

"Romeo-"

"Aku mohon, Putri." Kedua mata hitam itu pun mulai berbinar, membuatku menahan napas terkejut seraya menjatuhkan pandanganku darinya. Aku menunduk, tidak berani menjawab atau bahkan hanya sekedar menggeleng kecil.

"Sudah kuduga kau akan menolakku."

Dalam sekejap aku menggeleng, kembali mengangkat wajahku dan menatapnya mantap. "Aku tidak menolakmu, hanya saja, kau terlambat."

Kulihat Romeo mengerutkan kedua alisnya. "Maksudmu?"

"Aku menyukaimu sejak sembilan tahun lalu. Namun kau tidak peduli dengan perasaanku dan beralih kepada Clair, walaupun aku tidak begitu mengerti motifmu, tapi itu cukup untuk membuatku kembali beralih dan kembali pada Xavier. Maaf."

"Aku mengerti." Kali ini Romeo tersenyum. Perlahan-lahan ia melepaskan genggamannya pada tanganku lalu mengusap pipiku lembut. Kedua matanya terlihat sangat tersakiti hingga pada akhirnya aku dapat melihat setetes air mata yang hendak terjatuh dari sudut matanya.

Tak ingin merasa bersalah, aku pun memeluk Romeo erat. Menenggelamkan wajahku di dadanya yang selama ini telah menjadi sandaranku sembari mendengarkan detakannya jantungnya yang melambat.

"Kau boleh menyukaiku, aku tidak melarang itu. Namun aku tidak menjanjikan sebuah balasan. Dan kau masih diterima disini, Romeo, kau tidak sendiri. Maafkan aku."

"Terima kasih, Putri, maaf telah lancang untuk menyukaimu." Ujarnya seraya membalas pelukanku.

Aku pun tertawa kecil, mencubit pinggangnya pelan dan berhasil membuatnya ikut tertawa kecil. "Bodoh, siapa yang memberi peraturan bahwa kau tidak bisa menyukai gadis cantik sepertiku?"

"Oke oke, Putri cantik." Romeo pun melepaskan pelukan kami lalu mengusap puncak kepalaku lembut. "Kalau begitu aku benar-benar akan mengejar Clair mulai sekarang. Jangan cemburu padaku, ya?"

Untuk kedua kalinya aku tertawa. "Jika kau melupakanku akan kulepaskan kepalamu dari tubuhmu. Mengerti, penyihir?"

Romeo menghentakkan kakinya lalu memberikan sebuah hormat kepadaku. "Siap, peri!"

Kami pun kembali tertawa atas hubungan kami yang kuharap tidak akan ada yang berubah setelah pernyataan kami beberapa saat lalu. Berharap semuanya akan baik-baik saja kedepannya tanpa ada perselisihan.

"Kalau begitu aku pergi dulu, Putri." Romeo kembali memutar-mutarkan tongkatnya. "Cepatlah pergi tidur jika kau tak ingin Ayahmu membangunkanmu dengan cara melolong ditelingamu lagi."

"Ya ya, penyihir, aku mengerti."

Detik berikutnya Romeo menghilang dari pandanganku, membuatku menghela napas dan wajahku kembali muram. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa seperti ada sesuatu yang kurang tepat dan aneh?

Angin malam pun kembali menyapu tubuhku, menerbangkan gaun tidur serta rambut hitam keritingku yang menggantung bebas dibalik punggung. Semerbak aroma mint memasuki indera penciumanku dalam sekejap, membuat seulas senyuman di wajahku mengembang dan membuatku mendongakkan kepala seraya menatap pohon yang cukup besar tepat dibalik pembatas dinding Istana dengan pemukiman warga.

Xavier disana.

Kedua kakinya ditekuk diatas dahan besar pohon oak dengan salah satu tangannya bersandar pada badan pohon. Ia tidak memakai baju atasan hingga menampilkan tubuhnya yang berotot serta kekar. Ugh, sialan.

Kedua matanya menatapku intens, rahang serta otot-otot di tubuhnya terlihat menegang saat mata kami bertemu. Dan berbeda dari biasanya, kedua mata itu tidak berwarna hijau tua, melainkan berwarna hitam sekelam malam dan terlihat sangat menakutkan. Aku tidak mengerti.

"Now nothing can take you away from me. We've been down that road before, but that's over now."

Kali ini aku menunduk seraya menyembunyikan senyumanku, menyelipkan rambut hitamku dibalik telinga lalu kembali mendongak saat aku sudah berhasil mengendalikan ekspresiku.

"Aku mencintaimu, Xerafina Blake Xands."

Kali ini wujud Xavier kembali berubah menjadi seekor serigala yang sebelumnya kulihat diatas tebing. Serigala berbulu emas dengan corak putih itu menatapku sejenak sebelum ia kembali menatap bulan purnama sembari melolong kencang.

Hatiku bergetar saat Xavier melolong, seakan-akan sesuatu yang selama ini kucari dan menghilang telah kutemukan. Seakan-akan kekosongan hati yang telah terjadi selama sembilan tahun terakhir kembali terisi dengan kehadirannya.

Aku tersenyum, tidak ingin melepaskan pandanganku dari serigala gagah itu saat ia mulai melompat turun dari pohon dan berlari menjauh.

Kali ini aku yang mendongak menatap rembulan, menikmati sinarnya dan bertanya-tanya sampai kapan aku harus menahan hasratku untuk menjadi salah satu dari ras Xavier? Atau mungkin, sampai kapan aku harus tenggelam diantara pertanyaan-pertanyaan tentang jati diriku yang sesungguhnya tak akan pernah terjawab.

.
.
.

Tak seperti biasanya, Putri Viona datang ke Istana Maegovanen dengan pakaian santai serta rambutnya yang ia ikat menjadi satu. Dan tak lebih biasanya lagi, ia mengajakku untuk mengelilingi Istana sembari berbincang-bincang tentang para Bangsawan dan pack-pack yang ada di pulau ini.

Ia bahkan juga menceritakan tentang kehidupannya di Istana Cygnus dan betapa merepotkannya saat reputasi dirinya sudah terlanjur dikenal seantero Ave. Namun selama itu pula, aku hanya bisa tertawa. Tidak berani menimpalkan sesuatu walaupun sesekali aku menyatakan pendapatku.

Ia adalah seorang Putri Raja, bagaimana bisa aku tidak bersikap sopan walaupun terkadang tubuhku tidak ingin berkompromi? Ugh, aku kedapatan mendelik kearahnya beberapa kali tadi, membuatku ingin gantung diri jika sang Putri ikut membalas delikanku dan menatapku marah.

Dan pada akhirnya, perbincangan ini harus berakhir pada beberapa nama yang membuatku menjadi salah tingkah, jantung yang berdebar dan tak bisa tenang. Xavier dan Romeo.

"Jadi kau temannya Romeo?" Mulainya saat kami telah menduduki punggung Pegasus yang biasa kami gunakan untuk berlatih.

"Ya, seperti itulah."

"Dan kau menyukainya?"

Aku menoleh dan mendelik kearahnya, membuatnya tertawa lalu menaikkan kedua tangannya tanda menyerah. "Oke oke, aku tidak bermaksud untuk hal itu. Namun sikapmu menunjukkan bahwa kau menyukainya."

"Ya, dulu, tidak lagi sekarang." Jawabku sembari membenarkan posisi dudukku diatas punggung kuda bersayap ini. "Dan sepertinya sikapmu juga menunjukkan bahwa kau menyukai Xavier."

Oh sialan. Terkutuk dengan mulut tak tau diri ini. Kenapa ia bisa-bisanya mengatakan hal demikian kepada sang Putri Raja? Aku bisa dibuang ke Bumi setelah ini!

"Maaf."

Ku dengar Putri Viona tertawa, kemudian Pegasus miliknya mendekatiku lalu sang Putri mengusap puncak kepalaku. "Kau benar, dan tidak ada yang perlu kau mintai maaf. Dan omong-omong, sama sepertimu, itu dulu."

Diam-diam aku tersenyum, menelengkan kepalaku sekilas menandakan aku sudah siap untuk berjalan. Lalu kami pun mulai bergerak dengan bantuan kuda kami untuk mengelilingi Istana Maegovanen.

"Lalu?"

"Dan aku mulai tertarik dengan adikmu."

Entah kenapa aku tertawa setelah mendengarnya. Membayangkan bagaimana adik kembarku didekati oleh seorang Putri Raja dan harus kembali menjalani kehidupan yang tidak begitu mereka idamkan dengan terpaksa.

"Aku tau itu terdengar lucu, namun Gregory benar-benar mempesona. Aku akan menyukainya diam-diam." Jelas sang Putri yang lantas membuatku mengangguk-angguk. "Ini rahasia kita berdua, oke?"

"Oke."

"Jadi bagaimana hubunganmu dengan Xavier?"

Dalam sekejap aku tersedak ludahku sendiri. Terbatuk-batuk dengan pertanyaan Putri Viona yang sangat tidak dapat kuprediksi. Awalnya kukira ia akan menanyakan hal tersebut dengan membawa-bawa Romeo, namun ini... Xavier?

Untuk kesekian kalinya aku mendengar Putri Viona tertawa, membuatku mengusap-usap dadaku yang masih terkejut sembari mengendalikan ekspresiku agar terlihat lebih tenang.

"Kami tidak memiliki hubungan apapun. Hanya teman."

Kurasakan Putri Viona menoleh dan menatapku sembari menyeringai, membuatku mencoba fokus menatap ke depan dan mengabaikan wajahnya. "Tapi kalian saling menyukai, 'kan?"

"Entahlah."

"Ayolah, Xerafina, aku tau kau menyukainya." Godanya seraya berjalan lebih cepat dariku kemudian menghadang jalan Pegasusku dan membuat kami berhenti. "Aku tau kau menyukainya."

Aku pun mendesah. "Kau benar."

"Sejak kau bertemu dengannya di malam itu, 'kan?"

"Xavier bercerita padamu?"

Putri Viona mengangguk. "Ia bercerita tentang bagaimana saat kalian pertama kali bertemu di tebing yang berada di dekat Hutan Terlarang."

"Pertama kali bertemu di tebing?" Ulangku seraya memastikan kalimat Putri Viona.

"Ya, pertama kali."

Dan tepat pada saat itu aku sadar, Putri tidak tau tentang pembunuhan yang keluarga Xavier rencanakan. Membuatku sedikit bernapas lega lalu menatap dahi Putri Viona.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku pun menggeleng. "Tidak, aku hanya sedikit lambat akhir-akhir ini."

"Oke." Pegasus milik Putri Viona kembali berjalan dan membiarkan kami lewat saat sang Putri mulai berbicara. "Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi diantara kau, Xavier dan Romeo, namun aku yakin itu adalah cinta segitiga dimana kau hanya membalas cinta Xavier-walaupun kau sempat menyukai Romeo."

Kali ini aku tertawa kecil. "Kau cepat juga, Putri."

"Vee, jangan Putri." Ujarnya seraya menahan tawa.

"Oke, Vee."

"Oh ya, Xerafina." Vee pun menoleh ke belakang. Menatapku. "Maukah kau menceritakan apa yang terjadi semalam? Aku mendengar lolongan Xavier."

Aku tersenyum tipis, menarik napas panjang lalu membalas tatapan Vee seraya menggeleng tidak mengerti. Atau mungkin, pura-pura tidak mengerti.

.
.
.

"Xerafina?"

Aku menoleh ketika suara Gregory memasuki gendang telingaku, membuatku menatap adik terakhirku yang sedang menyembulkan kepalanya dari balik pintu itu yang kemudian membuatnya semakin melebarkan pintu dan masuk ke dalam kamarku.

"Apa?"

"Siapa wanita yang tadi bersamamu?"

Aku pun menutup buku yang sedang ku baca, kemudian bersandar pada punggung sofa kesayanganku sembari memperhatikan Gregory yang sedang mencoba duduk disampingku.

"Kau menyukainya?"

Gregory terlihat gugup saat aku mengatakan hal demikian. "Kurasa."

"Ia adalah Viona Xeria, seorang werewolf dan kau bisa menyimpulkan sendiri siapa dirinya saat ia berkunjung kemarin."

"Ya, aku sudah tau bahwa ia adalah Putri Kerajaan Cygnus, anak dari Yang Mulia Ratu Xave Juniel dan seorang werewolf."

Aku pun memutar bola mataku malas. "Kalau begitu sekarang kau bisa pergi."

"Aku memiliki hal lain untuk kubicarakan."

Tidak peduli dengan ucapan Gregory, aku mengalihkan pandanganku darinya lalu kembali membuka buku yang sedang kubaca tadi. Mencoba mengabaikan pria yang sedang membujukku untuk mendengarnya. Sampai pada akhirnya aku kalah saat ia mengatakan suatu hal yang menurutku belum pantas untuk seusianya.

"Aku dapat mencium aromanya."

"Gory, kau bisa bertanya kepada Ayah. Kau tau, 'kan, aku bukanlah seorang werewolf?"

"Aku tau, tapi aku sangat yakin bahwa kau tau tentang ini. Aku tidak ingin bertanya kepada Ethan atau Ayah karena aku sangat yakin mereka akan mengatakan 'tunggu sampai kau 100 tahun'."

Aku pun mendesah. "Kalau begitu tunggulah sampai kau 100 tahun."

"Ayolah, kau ingin aku mati penasaran?"

Aku mengangkat kedua alisku setuju. "Bukankan menyenangkan?"

Ku dengar Gregory menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa lalu kedua tangannya ia lipat di depan dada. "Aku berjanji untuk tidak bertemu dengannya sampai aku berumur 100 tahun jika kau mau menjelaskannya padaku."

"Gory.."

"Aku serius."

Kedua mata kami pun bertemu. Dan tatapan Gregory benar-benar menyiratkan bahwa ia serius dengan ucapannya dan membuatku mau tak mau menjelaskan hal yang seharusnya ia ketahui 84 tahun lagi.

"Oke, aku hanya akan menjelaskannya sekali. Kau dengar baik-baik." Aku pun menatap adikku lekat-lekat. "Ada sebuah kodrat alam abadi yang terjadi diantara werewolf. Pasangan mereka dipilihkan oleh seorang moon goddess, namun pasangan itu kemungkinan kecilnya bisa dari luar ras kita. Mereka disebut mate. Jika kau merasakan kehadirannya, kau bisa mencium aromanya dan begitupum sebaliknya-namun jika pasanganmu adalah seorang werewolf juga."

"Sialnya dari hubungan ini adalah kau maupun pasanganmu bisa menolak hubungan ini. Namun sebagai gantinya salah satu dari kalian pasti ada yang bunuh diri akibat stress atau semacamnya. Dan jika kalian saling menerima, kau harus melakukan penandaan. Nah sekarang aku sudah selesai menjelaskannya, bisa kau pergi?"

Gregory menggeleng. Ia masih bersi kukuh untuk kembali melanjutkan pembicaraan ini. "Bagaimana cara penandaannya?"

Aku terdiam. Tidak ingin menjawabnya karena aku tau ia akan semakin penasaran dan akan segera mencobanya jika ia tau. Kualihkan pandanganku dari dirinya dan kembali membaca buku. Hingga suara ketukan pintu kembali mengusikku dan membuatku menyahut masuk.

"Putri, makan malam sudah siap."

Aku mengangguk, melambaikan tanganku pada pelayan itu dan memberi isyarat baginya untuk keluar. Aku pun kembali membaca buku yang kini tidak lagi menarik di mataku, membuatku mendesah panjang lalu melempar buku itu keatas ranjangku.

"Kau belum menjawabku."

"Sialan, Gory, ini akan menjadi sensitif." Aku bangkit dan melaluinya, berjalan menuju walk in closet yang berada di sisi kiri kamarku dan masuk ke dalamnya. "Aku tidak ingin mati di tangan Ayah."

Aku tak mendengar jawaban apapun dari Gregory setelahnya. Membuatku menyimpulkan bahwa ia sedang bergelut dengan pikirannya sendiri dan mencoba mencari arti dari penandaan. Aku tidak peduli.

Detik berikutnya aku mulai mengganti pakaianku dengan rok berbentuk A berwarna hitam selutut dan dipadukan dengan sweater berwarna putih polos. Kedua telapak kakiku pun diselimuti dengan angkle boot wedges berwarna senada dengan sweaterku. Sementara rambut hitamku, kubiarkan menggantung dibalik punggungku dengan indahnya.

Setelah itu aku pun keluar dari dalam walk in closet dan berdecak kesal saat mendapati Gregory masih terduduk disana. Aku mendengus. Berjalan melaluinya begitu saja dan keluar kamarku dengan elegan.

"Selamat sore, Putri, apakah ada sesuatu yang perlu aku lakukan untukmu?" tanya seorang pelayan yang kini berjalan dibelakangku.

"Siapa saja yang datang dalam jamuan makan malam hari ini?"

"Alpha dari pack Gloody, Ratu Xeria Nathaniel dan Raja Charlie Brutte."

Aku memutar kedua bola mataku malas saat tersadar ada seorang Putri Kerajaan yang menghadiri makan malam kali ini. "Siapa Raja Charlie Brutte?"

"Dia adalah Raja dari pulau Vamps, ras Vampire."

Wow, Vampire. Aku sangat ingin bertemu dengan salah satu ras mereka. Aku dengar nenekku dulunya adalah seorang Vampire yang nyaris membunuh seluruh masyarakat Ave karena ia tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Membuatku bertanya-tanya seberapa kuat nenekku itu dulu? Apakah ada kemungkinan bahwa aku memiliki jiwa seorang Vampire? Ini sangat menarik.

Sampai pada akhirnya, kami sudah sampai di ruang jamuan makan malam. Seperti hari-hari biasanya, aku hanya memasang ekspresi datar dan tidak tertarik. Namun ketika aku mulai menjejakkan kakiku ke dalam, seluruh pasang mata teralih kepadaku. Membuatku semakin membulatkan tekadku untuk tidak peduli.

Namun demi kehormatan keluargaku, aku berhenti sejenak dibelakang kursi Ratu Xeria, membungkuk kecil lalu duduk dibangkuku. Setelah itu aku mengedarkan pandanganku dan terkejut setengah mati saat Xavier ada disana. Oh astaga, aku baru ingat, ia adalah seorang Alpha.

"Maaf aku terlambat."

"Kau selalu seperti itu, Putri Xerafina." Jawab Putri Xeria yang membuat para tamu tertawa-termasuk Xavier.

Detik berikutnya aku menatap kearah Ayah ketika ia mendentingkan gelas dengan bantuan sendok makan. Ia terlihat sangat serius dengan kedua mata kelabunya yang berkilat-kilat.

"Aku memiliki rencana untuk membangun sebuah pack di Vamps. Demi menjaga para keturunan half werewolf half vampire disana yang kurasa kurang akan pengetahuan tentang werewolf yang ada di dalam diri mereka. Masalah sang Alpha, kalian bisa menyerahkannya padaku, aku akan mencari yang terbaik nanti. Dan keanggotaannya, aku akan mengirim sebagian werewolf yang dapat kupercayai untuk membantu sang Alpha nantinya. Bagaimana, Raja Charlie?"

Aku mengalihkan pandanganku kepada seorang pria yang tengah duduk dihadapanku. Ia memiliki rambut berwarna krem yang disisir rapi kebelakang serta kedua matanya yang berwarna kelabu. Kulitnya terlihat sangat pucat walaupun aku sangat yakin bahwa itu hanyalah karena ia seorang Vampire.

"Aku siap menerima apapun di dalam pulauku. Asalkan bukan pemberontakan atau segala macam kejahatan. Kami sudah cukup damai untuk tidak bermasalah dengan para werewolf yang ada."

Aku mengangguk, merasa setuju dengan ucapan Raja Charlie. "Rafin? Bagaimana pendapatmu?" tanya Ayah yang lantas membuatku menatapnya.

"Aku setuju dengan pendapat Raja Charlie. Selama werewolf yang ada disana maupun yang akan dikirim kesana tidak melakukan pemberontakan dan Ayah bisa menjamin hal itu, aku tidak keberatan."

"Bukankah yang seharusnya bertanggung jawab akan jaminan tidak adanya pemberontakan dipegang oleh sang Alpha?" sahut Xavier dan sontak membuatku menatapnya.

Pria itu tersenyum dengan kedua matanya yang berbinar indah, membuat jantungku berdetak kencang dan dengan segera membuatku memutuskan untuk tidak menatapnya selama perbincangan dan makan malam berlangsung.

Dan sebuah argumen-argumen kecil sempat terlontar dari bibir Ratu Xeria. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Yang Mulia Raja Ricky dan Yang Mulia Ratu Xave Juniel. Memiliki dua kakak yang bernama Ratu Viona dan Raja Zake. Dan ia adalah satu-satunya yang tidak mendapatkan keturunan werewolf di dalam dirinya. Ia seorang elf, sama sepertiku.

Walaupun begitu, ia tetap memiliki kepribadian yang hangat dan jiwa sosial yang tinggi. Berbanding terbalik dengan Raja Zake yang sedikit pendiam dan dingin-seperti itulah masyarakat Ave mendeskripsikannya.

Pada akhirnya bincang-bincang ini tidak berlangsung lama, Raja Charlie dan Ratu Xeria menyetujui ide Ayah dan akan segera memikirkan segala jenis teknis untuk membangun pack ini.

Makan malam pun dibuka dengan Ayah yang mengajak kami semua untuk bersulang. Walaupun aku dan Xavier hanya meminum air mineral, namun itu tak menyurutkan semangatku yang jauh terpendam di dalam diriku.

Setelah aku menyelesaikan makan malamku, aku dapat melihat Xavier berdiri dari bangkunya, ia membungkukkan badannya sedikit lalu kedua pandangan matanya menatap dahi Ayahku.

"Maaf, Raja Blake Xands, namun bisakah aku meminjam Putrimu sebentar?"

Aku menelan ludahku gugup tepat setelah itu dan perlahan-lahan menatap Ayah yang kini sedang meminum winenya. "Untuk apa?" tanya Ayah seraya meletakkan gelasnya diatas meja.

"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya, Raja."

Ayah pun mengangguk. "Baik. Namun kau tak bisa membawanya keluar dari Istana."

"Aku mengerti, Raja." Xavier kembali membungkuk lalu meninggalkan tempatnya. Kemudian ia menghampiriku dan mengulurkan tangannya kepadaku. "Putri?"

Aku melirik kearah Xavier, menghela napas pelan lalu meraih uluran tangannya sembari berdiri dari bangkuku. "Aku mohon dengan sangat, jangan ada yang memasang telinga terhadap percakapan kami." Ujarku seraya menatap Raja Charlie yang kini sedang terkekeh.

"Kau bisa membacaku rupanya."

Aku mengangguk, membungkuk sejenak lalu berjalan meninggalkan ruangan ini dengan tangan Xavier yang menggengam tanganku erat.

Ia menuntunku menuju samping Istana tanpa berbicara hingga pada akhirnya ia melepaskan tanganku dari genggamannya. Ia memutar tubuhnya dan kedua matanya berubah menjadi hitam legam, mengingatkanku pada sepasang mata serigala yang sedang melolong semalam.

"Sesungguhnya aku melihatmu bersama Romeo semalam."

Oh sialan.

"Dan kau kalah dalam taruhan itu, Xena."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro