Flashback (03) - END

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Another sorry for this chapter. Maaf kl kelamaan eue mungkin setelah ini kl komentarnya bagus aku bakal buatin another sequel yang pendek.wkwk atau mungkin anak mereka--Savanna.

Btw maaf ya kl chapter kali ini rada beda sama yang pernah di tulis pas bagian percakapan Xerafina sama Xavier yang aku lupa ada dimana x)

Enjoy~

Xerafina's POV

"Sesungguhnya aku melihatmu bersama Romeo semalam."

Oh sialan.

"Dan kau kalah dalam taruhan itu, Xena."

Aku pun menghela napas panjang, menatapnya lurus dan entah mengapa mataku terasa panas dalam sekejap. Seakan-akan aku tak sanggup untuk menjelaskan apa sebenarnya telah terjadi diantara aku dan Romeo.

"Kau menyukai Romeo, ya?"

Astaga astaga! Bukan seperti itu!

Aku ingin berbicara, namun lidahku kelu. Dan sudah kupastikan suaraku akan bergetar jika aku berbicara yang tentunya akan melukai imejku yang terlanjur kuat.

Aku menggeleng, namun sepertinya belum dapat membuat Xavier percaya. Aku berdeham, mencoba menstabilkan suaraku lalu membuka suara.

"Tidak, kami hanya teman-setidaknya sampai semalam. Mungkin ia akan mulai menjauhiku sekarang."

Kedua alis Xavier berkerut. "Apa yang terjadi diantara kalian?"

"Itu rahasia."

"Ah." Xavier pun mengalihkan pandangannya sejenak lalu kembali menatapku dengan kedua mata hijau tuanya yang siap melelehkan diriku.

"Ini memang gila, tapi maukah kau pergi ke packku besok? Anggotaku kehilangan semangat untuk membela Maegovanen akibat berkurangnya populasi wanita di rumah pack."

Aku tertawa tanpa kusadari, membuat Xavier menatapku sembari tersenyum dan tanpa berkedip. Aku yang menyadari hal itu perlahan-lahan berhenti tertawa dan dapat kurasakan wajahku memerah dalam sekejap.

Untuk kedua kalinya aku berdeham. "Tentu, jika Ayah mengizinkan."

"Aku harap kau diizinkan, Putri."

"Hei hei, tidak ada kata Putri untukmu."

Kali ini Xavier tertawa kecil. "Dimengerti, Xena."

Aku pun mengangguk. "Jadi kau memanggilku hanya untuk ini?"

"Tidak." Xavier kembali meraih tangan kiriku. "Aku ingin kau membayar taruhanmu."

"Jadi apa-"

"Hei! Apa yang kau lakukan dengan Putri Xerafina?!" Aku mendongak ketika suara yang tak asing lagi menggema di telingaku. "Xerafina! Menjauh dari pria itu!"

Aku menghela napas dan bersedekap saat Gregory hendak berancang-ancang untuk melompat dari balkon kamarku. "Dia temanku, Gory, kau masuklah."

"Temanmu?" Gregory terdiam dengan kedua alis yang mengerut.

"Ya, temanku."

Ku lihat Gregory mengangguk kecil. "Dia seorang Alpha?"

"Ya, Pangeran Gregory." Sahut Xavier sembari membungkuk kecil yang lantas membuatku menoleh dan menatapnya seraya menahan tawa. "Ada yang bisa kubantu?"

"Bagus! Tentu ada! Kalau begitu kau dan Xerafina sebaiknya naik dan mengobrol denganku!"

"Tidak semudah itu, anak muda." Timpalku sembari mendongak dan menatap Gregory. "Kau harus meminta izin kepada Ayah terlebih dahulu dan menjadi asistenku selama satu minggu. Bagaimana?" tawarku sembari berbisik yang tentunya masih akan di dengar oleh adikku ini.

"Ya, ya, ya, baiklah. Ethan akan membawa kalian masuk."

Aku terdiam. Ethan?

Detik berikutnya aku mendapati diriku sudah berada di dalam kamar. Dan Xavier yang merasa canggung dengan keadaan disekitarnya hanya berdiri di dekat jendela sembari mengkaitkan jemarinya di belakang punggung.

"Jadi, apa yang bisa kubantu, Pa-"

"Gregory." Potong adik terakhirku itu. "Dan Ethan." Ujarnya seraya menunjuk remaja laki-laki yang sedang bersandar pada pintu kamarku.

"Kembar?"

Diam-diam aku tersenyum saat wajah Xavier kebingungan. "Ya, Ethan lahir lebih dulu dariku."

Dan sebuah penyesalan tercetak jelas diwajah Xavier, membuatku ikut teringat peristiwa pembantaian keluarga Huighstone kepada keluargaku beberapa tahun silam. Mungkin jika aku terlambat menyelamatkan Ibu, Gregory dan Ethan tak mungkin ada disini.

Atau mungkin aku juga tidak akan pernah bertemu Xavier.

.
.
.

Aku menatap tajam kepada seluruh pria tanpa kaus dihadapanku yang kini sedang tertunduk. Terkejut akan kehadiran seorang wanita yang tiba-tiba dan pastinya karena para penjagaku yang terus menerus mengikutiku membuat mereka sadar akan statusku.

"Aku dengar kalian kekurangan semangat kerja." Mulaiku seraya mengedarkan pandangan dengan suara yang bahkan membuat diriku sendiri merinding. "Dan alasan dibalik semua itu adalah karena wanita?"

Kulihat pria-pria itu menegang, membuat Xavier diam-diam tersenyum dan begitu pun aku. "Apakah dengan kehadiranku cukup untuk membangun semangat kalian lagi?"

Perlahan-lahan mereka mengangkat kepala dan seluruh pasang mata tertuju kepadaku yang masih menatap mereka tajam. Aku bersedekap, memandangi satu persatu pria yang kini sedang berkumpul di pekarangan belakang pack Gloody secara intens.

"Kalian bisu?" Aku mendengar geraman kecil. "Jawab aku, sialan!"

Kali ini geraman itu semakin membesar. "Payah! Anjing macam apa kalian? Mengaku pack terbesar namun kalah hanya karena wanita? Sialan! Jika kau ingin banyak wanita yang datang maka tunjukkan kekuatan kalian! Apa kau tidak malu, mendapat sebuah nasihat dari seorang wanita? Oh ayolah, kemana anjing yang selalu melolong dan berjaga setiap malam?"

Geraman itu semakin terdengar saat aku hendak kembali berbicara. "Tunjukkan padaku bahwa kalian memang yang terkuat. Dan sebagai gantinya, aku akan mengirimkan beberapa bantuan dan sering berkunjung. Mengerti?"

"Mengerti, Putri."

Wow, suara-suara bariton, husky dan bass menggema ditelingaku. Membuat kedua kakiku bergetar dan jantungku berdebar kencang. Dasar gila.

"Bagus." Aku pun membalikkan tubuhku lalu berjalan masuk ke dalam rumah pack. "Jadi, apa yang bisa kubantu saat ini?"

"Putri, Anda tidak boleh bekerja. Biarkan saya saja yang membantu mereka." Aku menoleh, menatap asistenku yang bernama Polarix acuh lalu kembali berjalan menuju dapur.

"Putri, biarkan kami saja yang melakukannya untuk Anda." Kali ini, Max, pelatih fisik serta penjagaku.

Aku terdiam, tak berminat membalas ucapan mereka. Aku membuka kancing gaunku sembari mencari dapur dengan Polarix serta Max yang mengekor. Saat kancing gaunku sudah terlepas semua, aku melepasnya hingga kemeja hitam yang lengannya telah kulipat hingga ke siku serta celana jeans hitam selutut menyelimuti tubuhku.

Kuberikan gaun yang kugunakan tadi kepada Polarix, dan detik berikutnya stiletto yang menghiasi kakiku berubah menjadi sepatu kets dengan tinggi diatas mata kaki berwarna putih polos.

Dan tak lupa aku menyapu rambutku kebelakang dengan jemariku, mengumpulkannya menjadi satu lalu tangan kananku membuat bentuk lingkaran tepat dibagian rambutku yang telah menjadi satu.

"Putri?"

Aku berhenti berjalan, memutar tubuhku dan mendapati kedua asistenku beserta para werewolf pack ini sedang mengekoriku sejak tadi. Aku menghela napas.

"Apa, Max?"

"Kau tidak-"

"Sialan kau." Aku memutar bola mataku malas. "Jadi, Xavier, dimana dapur?"

Xavier pun menoleh kearahku dengan seulas senyuman diwajahnya. "Kau sedang berjalan kearah yang benar, Putri."

Aku mengangguk, kembali mengikuti jalan yang tengah ditempuh oleh kedua kakiku dan berakhir disebuah dapur yang cukup besar.

Dapur ini didominasi oleh warna silver, dengan rak yang berwarna senada menempel di dinding berbentuk huruf L. Banyak pintu-pintu kecil yang menghiasi rak tersebut. Membuatku tentunya akan kesulitan untuk mencari sesuatu.

"Max, jangan biarkan seorang pun mendekat atau pun melihat kearah dapur kecuali Xavier. Dan Polarix, jangan biarkan seorang pun mendengar percakapanku dengan Xavier, termasuk kau." Ujarku seraya menuju meja makan yang berbentuk persegi panjang.

"Mengerti, Putri." Jawab keduanya bersamaan.

Dan tepat setelah itu, Xavier pun menampakkan dirinya dan berjalan kearahku. Membuatku menghela napas kemudian memutar tubuh dan menyandarkan tubuhku pada meja makan tersebut.

"Ada apa, Xena?"

Aku melipat kedua tanganku di depan dada, menyembunyikan rasa gemetarku yang datang dalam sekejap.

Aku menatapnya. "Apa aku melakukan hal yang benar?"

Pria itu pun tersenyum. "Tentu, aku berhutang padamu."

"Bagus." Kedua kakiku melemas dalam sekejap, membuat tubuhku jatuh ke lantai dan Xavier menangkap tubuhku tepat waktu. "Hutangmu sudah lunas."

"Apa?" Sebuah kerutan terlihat di kedua alisnya. "Xena, apa kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk, menatap kedua mata hijau itu dan membuat kedua kakiku semakin lemas.

"Ini menjelaskan kau tidak baik-baik saja, Xena. Akan aku panggilkan Max-"

Aku menutup kedua mataku sembari merapatkan diriku pada Xavier. "Jangan."

"Xena.."

"Aku baik-baik saja." Jelasku. "Aku hanya tidak terbiasa melihat terlalu banyak manusia disekitarku."

Xavier terdiam. Membuatku merutuki diri sendiri kenapa bisa aku mengatakan suatu hal yang bahkan keluargaku sendiri tidak tau. Aku menghela napas, hendak kembali berbicara namun Xavier menyelanya.

"Kalau begitu aku akan menyuruh mereka untuk menjadi babi atau rusa."

Aku tertawa, menampilkan gigi rapiku yang lantas membuat sebuah kekehan terdengar dari Xavier. "Apakah Tuan Putri ingin makan?"

Ku buka kedua mataku. "Tidak, letakkan saja aku di kursi. Tolong."

Selanjutnya kedua tangan kekar Xavier meraih lutut serta bahuku, mengangkatnya secara perlahan-lahan kemudian suara decitan kursi yang bergesekkan dengan lantai terdengar.

Xavier menurunkanku dengan hati-hati saat ia hendak membuatku terduduk di kursi. Dan sebuah ulasan senyuman rahasia menghiasi wajahku tanpa Xavier sadari.

"Terima kasih." Ujarku seraya kembali mendatarkan ekspresiku.

Kali ini Xavier tersenyum. "Bukan masalah, Xena." Ia pun membalikkan badan. "Jadi apa yang ingin dilakukan Tuan Putri di dalam dapur ini?"

Aku mengembangkan senyumku diam-diam, menatap punggung besar Xavier lalu menenggelamkan wajahku pada kedua tanganku yang dilipat di atas meja.

"Menenangkan diri. Atau mungkin jika aku sudah cukup kuat untuk berdiri, aku akan membantumu memasak."

"Aku tau ada suatu hal yang mengganggumu."

Aku terdiam. Merasa kagum dengan kepekaan Xavier dan merasa bingung harus menjawab apa. Aku memejamkan mataku, mencoba mencari-cari alasan logis untuk jawaban Xavier yang tentunya cepat atau lambat tidak bisa kusembunyikan.

"Kau sama seperti Xander." Aku masih terdiam. "Selalu menyembunyikan sesuatu dan tidak ingin berbaginya denganku. Namun cepat atau lambat, aku akan tau hal apa yang ia sembunyikan."

Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku, membuka kedua mataku dan mendapati kedua mata hijau tua itu sedang menatapku tulus. "Aku tau bahwa Xander adalah seorang elf dan memanfaatkan kekuatan ilusinya untuk menipuku akibat masa lalu. Namun aku harus berpura-pura untuk tidak tau karena aku ingin ia terbuka denganku."

"Kau tau?"

Xavier lagi-lagi tersenyum. "Aku sangat yakin ia juga mengatakan untuk tidak menunjukkan sayapmu kepadaku."

"Bagaimana kau bisa-"

"Everybody have their own secret."

Aku mengangguk, menarik napasku secara perlahan lalu memijat keningku sejenak. "Aku melihat masa depan."

Xavier terdiam, namun dengan segera ia meletakkan dua cangkir susu cokelat di meja lalu menarik kursi yang ada di depanku.

"Saat aku mengganti sepatuku, untuk sepersekian detik aku dapat menyentuh permukaan lantai kayu rumah ini. Dan sebuah kilasan tentang kau, aku dan Gregory beradu kekuatan melintas di benakku. Aku juga dapat melihat bahwa kedua matamu berwarna hitam dengan pupil berwarna merah. Aku-"

"Aku sudah mengalaminya."

"Apa?" Aku terbelalak. Dia sudah mengalaminya?! "Maksudmu?"

Xavier menarik salah satu cangkir dihadapan kami, mengaduk isinya dengan sendok kecil lalu menatap pusaran air yang ia buat. "Aku seorang pengendali waktu."

Aku tersedak ludahku sendiri.

"Sesaat setelah kau meninggalkanku di tebing malam itu, aku selalu ingin menghilang dari kehidupanmu akibat sesal yang kurasakan. Aku kabur menuju masa depan dan berharap aku tidak akan bertemu denganmu. Namun takdir berkata lain, aku bertemu denganmu. Oh, tidak, kau menemukanku."

Xavier pun menatapku. "Diatas tebing, tempat kita bertemu."

"Diatas tebing, tempat kita bertemu."

Aku tak dapat menahan senyumanku lagi saat kami mengucapkannya bersamaan. Membuatku semakin terjatuh ke dalam pesona dari seorang pengendali waktu ini.

"Aku sudah tau segala yang akan terjadi diantara kita."

Wajahku memanas. "Di-diantara kita?"

"Aku tidak ingin menjelaskan perihal itu kepadamu." Aku mengangguk. "Namun ada dua hal yang dapat kuberitahu padamu."

Aku pun mengangkat kedua alisku bingung. "Apa?"

"Satu, kau selalu menganggapku sebagai seseorang yang penting."
"Sungguh?" tanyaku sembari mengembangkan sebuah senyuman.

Pria bermata hijau tua itu mengangguk. "Dan yang kedua, semuanya berjalan sesuai idemu disaat kau sendiri sudah melupakannya hingga saat itu terjadi dan bahkan hingga seterusnya."

Aku menggeleng, tidak mengerti ucapan Xavier dan terus menatapnya. Hingga untuk kesekian kalinya, Xavier kembali tersenyum. "Dan apakah kau ingin tau sebuah rahasia yang akan abadi?"

Aku mengangguk.

"Aku mencintaimu."

.
.
.

Aku berlari ketakutan disaat seseorang melayangkan sebuah serangan kearahku dan Viona. Membuat gadis itu bertransformasi menjadi seekor serigala sementara aku mengembangkan sayapku.

Sialan, seharusnya tidak seperti ini.

Aku mengepakkan sayapku agar dapat melihat siapa yang melayangkan mantera kepada kami. Namun yang kudapat hanyalah aura kegelapan yang terus menyapu kulitku.

"Xerafina Blake Xands?" desisan menyeramkan seketika memasuki gendang telingaku. Membuatku merinding dan terus mencari-cari keberadaan penyihir yang menyerang kami.

"Apa yang seorang Xave lakukan di tempatku?" suaranya kembali menggema, namun kali ini banyak sekali suara yang berkumandang.

Astaga! Persetan dengan kedua sayapku dan suara itu!

Aku pun melesat turun, memeluk tubuh besar Viona lalu membawanya terbang menuju Istana Maegovanen. Sesampainya disana aku dapat melihat Xavier sedang memasuki Istana dan sepertinya akan bertemu denganku cepat atau lambat.

Perlahan-lahan aku menurunkan Viona tepat di depan pintu gerbang. Kemudian meninggalkan pesan kepada para penjaga untuk mengantar sang Putri kembali pulang.

Sebelum berlari meninggalkan Viona di depan pintu gerbang, tak lupa aku izin mengundurkan diri kepadanya dan melesat cepat menuju kamarku.

Tepat setelah aku membuka pintu, sebuah kehangatan langsung menyelimutiku. Membuatku membalas pelukannya dan menenggelamkan wajahku didada bidangnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Xavier seraya melepaskan pelukan kami lalu menatapku.

"Kau pikir aku akan baik-baik saja disaat kau mengatakan bahwa hari ini adalah awal dari segala permasalahan yang ada?" kulihat Xavier menghela napas. "Dan sialnya aku sudah melihat kejadian ini beberapa jam lalu. Dan lebih sialnya lagi, aku sudah memiliki ide untuk ini."

Xavier pun tersenyum pahit, mendorong pintu yang masih terbuka dibelakangku lalu menarik tanganku menuju ranjang.

"Duduklah."

Aku menurutinya.

"Katakan padaku." Ujarnya seraya duduk dilantai lalu meraih kedua tanganku untuk ia genggam.

"Hapus ingatanku."

Rahang Xavier menegang, namun tak menyulutkan sebuah senyuman pahit di wajahnya. Kedua mata hijau tua itu pun mulai memerah, menatapku penuh pilu yang lantas membuatku ingin menangis.

"Ayo, kita berpisah untuk sementara dan kembali lagi di lain waktu."

Xavier menunduk, membuatku merasa sangat bodoh dengan apa yang telah kulakukan. Lagipula, jika aku sudah melihat kilasan masa depan itu, kenapa pula aku harus mengikutinya? Aku bisa merubahnya jika aku mau.

"Kau hapus ingatanku secara perlahan, kemudian atur sedemikian rupa kejadian-kejadian yang akan membuatku seperti sedang di desak oleh para penyihir itu." Suaraku pun pecah diakhir. "Kemudian gunakan kekuatanmu untuk menemuiku dan bawa aku menuju dirimu."

"Aku tidak bisa." Bisiknya.

Aku mendongak, mencoba menahan air mata yang akan segera turun. "Kau bisa. Katakan pada Ayah bahwa ini adalah idemu dan demi kebaikanku."

"Aku tidak bisa, Xena." Ujarnya parau.

Ku tundukkan kepalaku hingga dapat menatap Xavier. Mendapati pria itu sedang menangis karena kebodohanku membuatku benar-benar merasa bodoh. Ia mencintaiku sepenuh hatinya. Namun apa yang bisa kulakukan? Menerima cinta seorang werewolf disaat aku sendiri bukanlah seorang werewolf membuatku patah hati.

Oh.

Aku mencintainya juga.

"Kita akan tetap bersama, Xav." Ujarku seraya memejamkan mata saat sebuah memori kembali melesat di benakku. Membuatku tersenyum miris saat aku melihat diri Xavier sedang menangis dalam diam disaat kami sedang tertidur bersama.

Perlahan-lahan aku membuka mataku dan kembali menatap kedua matanya. Namun aku sangat terkejut saat dalam sekejap Xavier menempelkan bibirnya pada bibirku. Ia memejamkan matanya dan dapat kulihat air mata kembali menetes dari kedua matanya.

Ini ciuman pertamaku.

Dan Xavier mencurinya.

Aku kembali memejamkan mataku perlahan-lahan, mengikuti pergerakan bibir Xavier yang terus menciumku. Hingga kedua telapak tangannya meraih kedua pipiku dan ia memperdalam ciumannya.

Namun ciuman itu tak bertahan lama, saat aku mulai kehabisan oksigen, Xavier langsung melepaskan bibirnya dan ia mengecup puncak hidungku.

"Katakan padaku sekali lagi bahwa aku bisa melakukannya." Pintanya tanpa melihat kearahku.

Aku menurunkan pandanganku, menempelkan dahiku pada dahinya lalu menarik napas panjang. "Kau bisa melakukannya, Xavier."

.
.
.

Aku menggeleng, menekuk kedua lututku hingga aku terjatuh lemas di lantai. Max pun dengan sigap meraih lenganku untuk ia lingkarkan di lehernya sehingga kini aku dapat berdiri dan sesekali mengerang kesakitan.

"Maaf, Putri-"

"Diam, Max."

Aku pun kembali mencoba menguping pembicaraan di dalam tanpa mempedulikan sakitnya perutku yang seketika menjadi panas.

"Bagaimana jika aku mengatakan ini pada Xerafina?"

"Tidak, Ethan."

"Kenapa kita tidak boleh memberitahu Xerafina, Ibu?" tanya Gregory-aku sangat hafal suara cemprengnya.

Setelah itu kurasakan telingaku berdengung, membuat kakiku semakin lemas dan tubuhku bergetar hebat.

"Astaga, Putri!"

Kurasakan tangan kiri Max melingkar di pinggangku, membuatku semakin ingin merapatkan kedua mataku yang tak kuasa lagi untuk tetap terbuka.

"Xena!"

Samar-samar aku mendengar Xavier memanggil namaku dari kejauhan, namun seketika ia sudah berada dihadapanku dengan kedua mata hitamnya yang berkilat-kilat.

Dengan segera Xavier meraih lenganku yang berada di leher Max, meraih lututku lalu membawaku menuju kamar yang berada di lantai teratas.

"Xav.." lirihku saat Xavier sudah membaringkanku di atas ranjang. Sementara ia sedang duduk di bibir ranjangku sembari menggenggam kedua tangan gemetarku.

"Ada apa?"

Aku menelan ludahku berat lalu menatap kedua mata hitamnya yang sudah memandangiku sejak tadi. "Apa yang akan terjadi?"

"Tidak akan ada yang terjadi, Xena."

"Kau serius?" tanyaku lagi yang lantas membuat Xavier mengangguk.

"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu, Putri Xena?" Canda Xavier yang malah membuatku takut dalam sekejap.

"Ya, tentu ada, bodoh. Aku tidak mungkin bertanya seperti itu jika tidak ada yang menggangguku." Kesalku yang lantas membuatnya tertawa.

"Kau benar," ujarnya sembari mengangguk untuk kedua kalinya. "Oh iya, ada suatu hal yang ingin ku sampaikan padamu,"

Aku pun mengangkat kedua alisku, masih mencoba menahan gemuruh di perutku yang berteriak kesakitan.

"Jika aku menghilang dari kehidupanmu, tolong katakan padaku bahwa kau mencintaiku sebelum aku benar-benar menghilang. Jangan katakan apapun selain itu. Aku tau ini terdengar tidak masuk akal, namun percayalah, aku berbeda."

Xavier pun menarik napasnya, meraih kedua pipiku lalu menempelkan dahinya pada dahiku. Diam-diam aku tersenyum ketika ia menatap lurus ke dalam mataku, membuatku tenggelam ke dalam lautan hijau di matanya yang selalu berhasil meyakinkanku.

"Omong-omong aku menyukai mata merah marunmu. Jangan biarkan kekuatan elfmu mengambil mata kesukaanku itu. Jangan biarkan siapapun mengambil keindahan mata itu dariku dan jangan biarkan seorang pun melihat betapa indahnya kedua matamu."

Aku pun menitikkan air mata tanpa kusadari, dan detik selanjutnya bibir Xavier sudah mendarat di bibirku. Membuatku terpaku untuk beberapa detik. Ku pejamkan mataku perlahan-lahan, membiarkan momen indah ini mengalir bersamaan dengan waktu yang terus berjalan.

Hingga pada akhirnya kurasakan Xavier melepaskan bibirnya dariku, mengusap rambutku lembut lalu kehangatan dari dirinya seketika menghilang begitu saja. Seakan-akan keberadaan dirinya dihisap oleh bumi dalam sekejap.

"Aku mencintaimu, Xav." Gumamku tanpa bisa membuka mata.

"Maafkan aku, Xerafina."

Dan tepat setelah itu, sebuah kilasan memori akan aku dengan Xavier berputar dibenakku. Membuatku terlarut dalam kesedihan yang sepertinya tak memiliki ujung.

Namun perlahan-lahan, ketika kilasan itu terus berputar di benakku, perasaanku mulai berubah. Aku mulai bertanya-tanya siapa wanita dan pria yang mengisi benakku ini. Apakah ia kedua orang tuaku? Namun kenapa aku berada di sudut pandang sang wanita?

Dan perlahan-lahan sebuah kekosongan di hatiku terbuka. Seakan-akan seseorang telah membawa hati dan jiwaku bersamanya. Aku merasa tidak lengkap. Aku merasa kehilangan.

Detik berikutnya, aku tersadar bahwa ada seseorang yang menteleportasikanku menuju suatu tempat. Membuatku membuka mata perlahan-lahan dan cahaya yang menyelinap masuk melewati jendela mobil menusuk mataku.

Aku menyipitkan mataku ketika seseorang bermata hitam menatapku penuh pilu, seakan-akan akulah yang membuatnya seperti itu. Dan seakan-akan aku adalah sesuatu yang seharusnya tidak berada jauh darinya.

Seketika jantungku berdenyut nyeri, mataku menjadi berair dan perlahan-lahan mataku memburam. Entah apa perasaan yang kurasakan saat ini, namun seperti ada sesuatu yang hilang cepat atau lambat.

Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk menuruni jendela, menoleh keluar jendela dan menatap pria itu.

"Hei, kemarilah." Ujarku sedikit serak pada pria itu.

Sebuah ulasan senyuman pun terlukis diwajah tampannya, walaupun aku sangat yakin bahwa ia tidak menyertai hatinya untuk tersenyum padaku.

"Ya, ada apa, Putri Xerafina?"

Aku pun mengernyit. Suaranya sangat familier, namun kenapa rasanya begitu aneh?

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?" tanyaku.

"Ya, Putri." ujarnya lalu membalas tatapanku yang lantas membuat sebuah getaran terjadi di tubuhku. "Aku ingin minta maaf padamu, untuk segalanya yang telah terjadi diantara kau dan aku. Walaupun aku sangat yakin bahwa kau tidak ingat. Dan aku mencintaimu."

Entah harus menjawab apa saat ia mengatakan ia mencintaiku. Aku mengerjap untuk beberapa kali, memperhatikan setiap inchi dari wajah tampan dihadapanku lalu menekan tombol pintu mobil dan dalam sekejap pintu itu pun menghilang.

Dengan gerakan cepat aku menuruni mobil lalu memeluk erat tubuh pria itu, membuat sebuah isakan kecil keluar dari mulutku. Dapat kurasakan perlahan-lahan tangan hangatnya mulai merengkuh tubuhku dan membalas pelukanku tak kalah erat.

"Siapapun kau, aku berterima kasih padamu, dan tolong jangan berhenti untuk mencintaiku." Lirihku.

Perasaan familier dan kehangatan pria ini membuatku tidak ingin melepaskannya barang sedetik. Aku menyukainya sejak mata kami bertemu beberapa detik lalu. Tidak, aku terjatuh ke dalam pesona lautan mata hijaunya yang sangat memabukkan.

"Rafin, ayo, kita harus pergi." Ujar Ayah dari dalam mobil.

Perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku, mendongakkan kepalaku lalu menatap mata hijau tua yang sudah memandangiku lebih dulu.

"Ya, aku tidak akan berhenti untuk mencintaimu. Bukankah kita harus tetap bersama, Putri? Seperti yang kau katakan dulu sekali."

Aku pun mengangguk, merengkuh wajah pria itu lembut lalu mengecup bibirnya kilat.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku saat ini, memoriku akan dirimu begitu buram dibenakku. Namun aku yakin bahwa kau seseorang yang penting bagiku, dan aku berjanji akan tetap bersamamu hingga akhir. Tunggu aku, ya?"

Kulihat pria itu mengangguk mantap, mengusap rambutku lembut lalu mencium keningku.

"Selamat jalan, Putri."

Dengan berat hati aku menjauhkan diriku dari pria itu, kembali masuk ke dalam mobil dan pintu sialan itu menampakkan dirinya lagi. Ketika aku hendak menatap pria itu, ia sudah hilang dari pandanganku. Membuat jantungku kembali berdenyut sakit.

Setelah itu mobil yang dikendarai Ayah pun melaju dengan cepat, melayang diatas pepohonan dan terbang diantara langit biru keemasan pagi ini. Jantungku berdetak dengan sangat cepat ketika bayangan akan pria itu kembali bermunculan di benakku, membuatku menggigit bibirku khawatir dan tanpa kusadari mengundang sebuah tanya dari adikku.

"Kau kenal pria tadi?" tanya Ethan.

"Tidak."

End.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro