Huighstone

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lyra menggeliat ketika ia merasakan sesuatu yang kenyal terus menerus mencium wajahnya, membuatnya dengan terpaksa membuka matanya malas. Namun segera setelah ia melihat Xavier berada diatas tubuhnya sembari tersenyum manis, Lyra pun ikut tersenyum lalu mengecup bibir Xavier.

"Selamat pagi, Nona James." Sapa Xavier.

"Selamat pagi," jawab Lyra lembut. "Kau mengganggu tidurku, tau?"

Pria itu pun tersenyum lalu menenggelamkan kepalanya dileher Lyra. "Maaf, tapi melihatmu diam tak bergerak membunuhku secara perlahan-lahan."

Lyra tertawa saat Xavier mengutarakan perasaannya secara tiba-tiba, membuat pria itu mengangkat kepalanya dan menatap Lyra penuh tanda tanya. Dengan cepat Lyra menggeleng lalu mencoba menggeser tubuh besar Xavier dari atas tubuhnya. Namun usahanya sia-sia karena Xavier jelas-jelas memiliki tubuh yang 4x lebih besar darinya.

Keduanya terdiam ketika perut Lyra seketika berbunyi, meraung kepada pemilik tubuh bahwa mereka butuh makan. Xavier pun tertawa ketika wajah Lyra seketika memerah, membuat gadis itu memajukan bibirnya beberapa senti.

"Ayo, sepertinya kau butuh asupan makanan." Ujar Xavier setelah ia puas tertawa.

Lyra pun menatap Xavier sinis yang hanya dibalas oleh cengiran diwajah pria itu. "Apa?" Tanya Xavier.

"Kau menindihku, bagaimana bisa aku bangkit untuk makan?"

Kali ini telinga Xavier memerah, membuat Lyra menjulurkan lidahnya-mengejek-lalu tertawa. Bukannya segera beranjak dari atas gadis itu, Xavier malah ikut tertawa dan menikmati waktunya bersama Lyra.

Tok tok tok

Seorang Beta pun menampakan dirinya dari ambang pintu. Ia menunduk dan menjaga pandangannya agar tidak menatap Xavier ataupun Lyra.

"Tuan, sarapan sudah siap. Dan Tuan Besar sudah menunggu Anda dan Nona James di ruang makan."

"Ayah?!" kaget Xavier.

"Ya, Tuan."

Xavier pun menoleh kearah Betanya lalu beranjak dari atas tubuh Lyra. Ia berjalan mendekati Beta itu lalu bersedekap.

"Kenapa kau tidak memberiku pesan semalam?" tanya Xavier dingin. Bahkan Lyra yang tak melihat ekspresi Xavier pun merasakan ketegangan diantara Beta dan Xavier.

"Maaf, Tuan, tapi Tuan Besar memang tidak memberi kabar apapun. Tadi pagi ia datang dan mengatakan ingin bertemu denganmu." Jelas Larry-sang Beta.

Xavier menghela napas berat. "Ia pasti sudah tau tentang keberadaan Luna," gumamnya. "Baiklah, kau bisa kembali, Larry. Katakan pada Ayah kami akan turun nanti." Ujar Xavier pada akhirnya.

"Dimengerti, Tuan Xavier. Aku permisi."

Tubuh Larry pun menghilang dibalik pintu kamar Xavier. Ketika pria itu hendak kembali menuju ranjang, sebuah suara menghiasi benaknya.

"Sampai kapan kau akan membiarkannya?"

"Grace bilang ia belum bisa, bertahanlah sedikit."

"Sedikit kau bilang? Aku sudah menunggunya 119 tahun-"

"Kita, Lyon, bukan kau saja."

Lyon ialah seekor serigala yang telah mendiami tubuh Xavier sejak pria itu lahir. Ia memiliki bulu berwarna gold serta corak putih dari moncong hingga bagian bawah tubuhnya dan keempat kakinya. Berbeda dengan Xavier, Lyon justru sangat tidak sabaran. Namun keduanya memiliki persamaan yang hanya mereka saja yang ketahui.

"Xavier?"

Xavier membalikan tubuhnya lalu menatap Lyra. "Ya?" jawabnya sembari meraih handuk yang tergantung di dekat lemari.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Lyra yang kini sedang terduduk dipinggir ranjang.

"Ayah telah menunggu kita," ujar Xavier. "Dan sepertinya Ibu dan Xander juga."

Lyra pun mengernyit. "Xander?"

"Ya, dia kakakku. Kau harus berhati-hati dengannya, dia sangat temperamental."

"Sungguh?"

Xavier mengangguk sembari berjalan kearah Lyra, disampirkannya handuk dibahu kanannya lalu pria itu pun berlutut didepan Lyra dan meraih kedua tangan gadis itu. "Kenapa?" tanyanya lalu menciumi kedua tangan Lyra.

"Kau tau, aku selalu memiliki ketertarikan tersendiri pada seseorang yang temperamental."

Seketika kegiatan Xavier yang menciumi tangan Lyra pun terhenti. Mata pria itu menjadi hitam legam, tatapannya begitu tajam seperti ingin menembus kepala Lyra. Pria itu bahkan menggeram, tanpa ia sadari, ia meremas kedua tangan gadis itu.

"Apa maksudmu?" tanya Xavier dengan suara yang begitu dalam.

Lyra menelan ludahnya ketika Xavier semakin memperkuat remasan dikedua tangannya. "Aku menyukai seseorang yang temperamental."

"Lyra, kau, beraninya kau!" bentak Xavier tepat dihadapan gadis itu.

"Xavier, tanganku." Lirih Lyra dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis.

"Lyra-"

"XAVIER TANGANKU!"

Xavier melepaskan tangannya pada Lyra dan kedua mata hitam itu pun menghilang. Lyra meringis ketika ia mencoba menggerakan jemarinya, membuat Xavier tenggelam didalam penyesalan.

"Astaga, sayang, maafkan aku." Ujar Xavier sembari merengkuh wajah Lyra. Namun Xavier harus menelan perihnya kenyataan ketika Lyra mengelak dari rengkuhannya dan menatap dirinya tajam.

"Maafkan aku." Xavier menghela napas dan menatap Lyra penuh penyesalan. Kesakitan yang berada pada gadis itu pun ikut merayap ke dalam hatinya dan membuatnya merutuki Lyon yang tiba-tiba saja merasuki dirinya.

"Kau tau apa yang telah kau lakukan?" tanya gadis itu dingin.

Xavier pun mengangguk, entah kenapa ia merasa sangat terintimidasi untuk pertama kalinya. "Ya, aku meremukkan tanganmu. Aku akan menyembuhkannya, secepatnya."

"Kau bercanda? Bagaimana bisa tanganku cepat sembuh?" ketus Lyra.

"Perawatan intens, sayang, aku akan melakukannya untukmu."

Lyra terdiam sejenak lalu mengubah sorot matanya menjadi kecewa. "Kalau seperti ini bagaimana aku membantu Grace untuk berburu nanti, Xavier?" tanyanya parau.

Kali ini Xavier pun merengkuh wajah gadisnya itu dan mengecup kening Lyra lembut. "Aku akan menyuruh Larry untuk mengirimkan banyak daging untuk Grace."

"Tidak-Grace tidak suka." Jawab Lyra sembari menggeleng dan setetes air mata pun terjatuh dari matanya.

"Sayang," Xavier pun mengecup kedua mata Lyra yang lantas membuat gadis itu merasa nyaman. "Jangan menangis, kita akan pergi bersama membantu Grace. Akan ku pastikan ia mendapat banyak daging."

Lyra mengangguk kecil lalu mengecup bibir Xavier. "Terima kasih, seharusnya langsung kupatahkan saja lenganmu." Ujarnya yang disahut oleh tawa Xavier.

"Aku tau kau mempermainkanku barusan, namun sepertinya Lyon menganggapnya serius."

"Lyon?"

Serigala yang berada didalam tubuh Xavier pun bersorak girang ketika Lyra menyebut namanya. "Serigalaku." Jelas Xavier.

"Ah, begitu rupanya," kata Lyra lalu tersenyum lebar. "Kau harus menjaga emosimu, Lyon, atau kau akan menyakitiku lagi." Lanjutnya yang lebih ditujukan kepada jiwa lain yang berada di tubuh Xavier.

Xavier pun ikut tersenyum. "Dia bilang mungkin segalanya akan berubah setelah dia menandaimu."

Seketika kedua pipi Lyra memerah setelah Xavier mengatakannya terlalu blak-blakan. Membuat pria dihadapannya gemas dan segera meluncurkan kecupan di kedua pipi Lyra. "Maafkan Lyon yang terlalu blak-blakan, ia memang begitu."

Tanpa Lyra sadari, senyuman diwajah gadis itu sedikit memudar dan memancing sebuah pertanyaan dari Xavier. "Ada apa, sayang?" tanya Xavier sembari mendudukan dirinya di samping Lyra, meraih pinggang gadis itu lalu memangkunya dipaha kirinya.

"Aku yakin Grace sudah memberitahumu tentang diriku."

"Lalu?"

Lyra pun mengalungkan tangannya dileher Xavier lalu menunduk. "Aku takut aku hanyalah manusia biasa. Aku takut tidak bisa menjadi mate yang sempurna untukmu. Aku-"

Kalimat gadis itu terhenti ketika Xavier mencium bibirnya. Tak ada pergerakan sama sekali dari keduanya, membuat Xavier segera melepaskan ciumannya saat dirasanya sudah cukup.

"Jangan tinggalkan aku apapun yang terjadi dan percayalah padaku maka semuanya akan baik-baik saja," Ujar Xavier yang mengundang sebuah anggukan kecil. "Sekarang bersiaplah, Xander mungkin saja merusak pintu ini jika kita terlalu lama."

"Xavier.."

"Apa?" tanya Xavier ketika Lyra memanggilnya. Gadis itu pun menarik kedua tangannya pelan dan menunjukkannya pada Xavier. "Oh-" Sebuah seringai pun tercetak jelas diwajah Xavier, membuat Lyra bergidik ngeri lalu menjerit kaget ketika Xavier mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam kamar mandi.

.
.
.

"Selamat pagi, ayah," sapa Xavier sembari menuruni anak tangga yang diikuti Lyra dibelakangnya. "Mana Xander dan ibu?"

"Belum datang, mereka sedang menunggu Sky. Kau tau, kan, kalau kakakmu baru saja menemui matenya?" Ujar Simon tanpa menoleh kearah Xavier.

Xavier dan Lyra pun berdiri disamping ayahnya yang sedang sibuk memotong daging. Membuat sang ayah menoleh dan tersedak ketika ia mendapati Lyra dengan dress tanpa lengan selutut berwarna putih berdiri disamping Xavier.

"Berhenti menatapnya seperti itu." Geram Xavier pada sang ayah sembari menutupi tubuh Lyra dibalik tubuhnya.

"Ya, aku minta maaf soal itu," jawab Simon lalu menggeser bokongnya dan sedikit mendongak menatap Xavier yang sedang berdiri dihadapannya. "Hanya saja ini kali pertama aku melihatmu membawa gadis ke rumah ini."

Xavier mengembangkan senyumannya lalu kembali menunjukkan Lyra yang sedang tersenyum kearah Simon. "Dia Luna-ku, Lyra James."

"Lyra James," ulang Simon setelah mendengar nama gadis itu. "Sepertinya aku pernah mendengar namamu."

"Kau kebanyakan mendengar suara serigalamu, ayah," Ujar Xavier sembari menarik-hati-hati-tangan Lyra menuju kursi kosong diseberang kursi ayahnya. "Omong-omong, apakah kau masih bisa menyembuhkan luka?"

Simon pun mengangguk. "Tentu."

"Bagus! Bantu aku untuk menyembuhkan luka Lyra nanti."

Sang ayah berdecak lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruang makan. "Lakukanlah sendiri, anak pemalas, kau adalah Alphanya."

"Alpha?" tanya Lyra menahan pekikkannya.

Xavier pun menoleh kearah Lyra yang kini sedang membulatkan matanya, pria itu menyengir ketika Lyra menatapnya tak percaya. "Ya, memangnya tidak terlihat seperti itu, ya?"

Lyra menggeleng. "A-aku akan menjadi Luna?" tanya Lyra yang seketika membuat pipinya memerah malu.

Lagi-lagi Xavier mengusap kepala gadis itu lalu tersenyum. "Tentu, saat kau siap, sayang."

"Astaga! Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?"

"Aku berpikir untuk menyembunyikannya darimu saat aku tau kau sangat mengagumi seorang Alpha."

"Bukankah itu hal yang menyenangkan untukmu? Kenapa kau tak ingin aku mengetahuinya?" tanya Lyra yang masih shock.

"Yah, hanya saja, aku tak ingin kau menyukaiku hanya karena aku seorang Alpha."

Lyra pun tertawa lalu bangkit dari duduknya dan berpindah tempat menuju pangkuan Xavier. Gadis itu mengalungkan tangannya dileher Xavier lalu mengecup bibir Xavier yang sangat memabukkan. "Aku menyukaimu karena dirimu."

Xavier ikut tersenyum ketika calon Lunanya mengatakan hal demikian. Tak mau kalah, Xavier pun melingkarkan tangannya dipinggang Lyra dan didekatkannya pinggang gadis itu pada perutnya.

"Aku senang mendengar hal itu."

"Berani berjanji padaku, Alpha?"

Xavier tertawa ketika Lyra memanggilnya dengan jabatannya. "Tentu, Lily."

"Lily?" Gadis itu pun tertawa lalu kembali menatap Xavier. "Berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan meninggalkanku sendirian dan tidak akan berpaling dariku."

"Kau tidak perlu mengatakannya, sayang. Aku pasti akan memenuhi janjiku itu tanpa kau sebutkan," Jawab Xavier lalu menciumi wajah Lyra lembut. "Kalau begitu, ayo kita berjalan-jalan keluar nanti."

Lyra pun mengangguk semangat lalu hendak beranjak ketika didengarnya suara wanita memasuki rumah. Namun lengan kekar Xavier menahannya dan menyuruhnya untuk tetap ditempat karena mereka akan segera makan bersama.

"Xavier, kau sudah-Astaga!" Rose-sang ibu-terbelalak kaget ketika Xavier memangku seorang gadis di ruang makan. Sama seperti ayahnya, sang ibu pun tersedak ludahnya sendiri ketika ia melihat Xavier membawa pulang seorang gadis.

Lyra melepaskan pelukannya pada Xavier lalu mencoba berdiri untuk menyapa Rose, namun tangan kekar itu masih menahan pinggangnya secara protektif dan membuat gadis itu menghela napas.

"Ibu, ini Lyra James," ujar Xavier pada sang ibu yang masih mematung. "Luna-ku."

Kedua mata merah marun milik Rose pun melebar dan sebuah senyum mengembang diwajahnya. "Jadi kau gadis yang sering Xavier ceritakan. Kau sangat cantik, lebih dari apa yang sudah kubayangkan."

Lyra pun membalas senyuman Rose dengan hangat. "Ah, tidak juga."

"Xavier!"

Sebuah suara menggema dari ruang tamu, membuat pemilik nama yang dipanggil menghela napas dan dengan sangat terpaksa ia membiarkan Lyra berdiri dan menyuruhnya untuk duduk ditempat yang baru saja Xavier duduki. "Jangan melihat kearahnya. Aku tidak suka saat kau mencoba menatap pria temperamental itu."

"Sialan kau! Xavier aku mendengarnya! Cepat kemari, brengsek!"

Xavier memutar bola matanya malas lalu mengusap kepala Lyra lembut. Pria itu pun beranjak menuju ruang tamu dan membiarkan Lyra serta Rose berdua.

"Oh, kau ingin makan, ya?" tanya Rose pada Lyra. Lantas gadis itu mengangguk kecil lalu membuka suara. "Tapi Xavier memberikanku hadiah kecil dan aku tak dapat makan dengan kedua tanganku."

"Apa yang terjadi?"

Lyra mengangkat kedua tangannya dan Rose pun mendapati bercak biru di kedua tangan gadis itu. Surai hitam milik Rose seketika menjadi merah terbakar dan ia bangkit dari duduknya sembari memukul meja. "Sialan kau, Xavier! Kemari, bocah ingusan! Akan ku beri pelajaran kau!"

Lyra pun mengalihkan pandangannya dari Rose lalu menghela napas. "Apa hanya Simon yang tidak temperamental?"

"Sialan, aku mendengarnya, Lyra!" teriak Xavier dari ruang tamu.

To be continue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro