Kitten

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin untuk beberapa chapter yang udah dipost bakal ada perubahan sedikit. Gak banyak sih, tapi aku ngerubah sedikit ciri fisik. Maafkeunnn~

Enjoy~

Lyra's POV

Xavier melingkarkan tangannya di pinggangku dan menarikku kepangkuannya ketika pria yang kukenali dengan nama Xander datang bersama perempuan berambut biru laut serta matanya yang berwarna hitam.

"Jadi kau matenya Xavier, ya?" tanya perempuan itu, yang kurasa bernama Sky.

Aku mengangguk. "Ya, dan biar kutebak, kau pasti matenya Xander dan half-"

"Astaga! Bagaimana kau tau bahwa aku adalah half elemental?" tanyanya lagi dengan antusias.

Aku pun tersenyum lalu menggenggam tangan Xavier yang berada di perutku. "Entahlah, hanya saja saat kau datang aku dapat merasakan perubahan udara dan yah- aromamu berbeda."

"Hei, apakah kau werewolf?" tanya Xander, aku menoleh dan menatapnya, lalu mengedikkan bahuku.

"Jadi kau tidak tau kau ini apa?"

Entah ini hanya karena aku terlalu sensitive atau memang Xander yang sangat blak-blakan, membuat hatiku sedikit sesak.

"Secepatnya, aku akan tau."

Xander pun tertawa ketika tidak ada hal yang perlu ditertawakan. Membuat Xavier menggeram kecil di belakangku.

"Astaga, aku bahkan tidak dapat mempercayai perkataanmu." Ujarnya lalu tertawa lagi. Kali ini aku melihat Sky menyentuh lengan Xander seakan-akan memintanya untuk berhenti dan geraman dibelakangku pun sedikit mengencang.

"Jaga mulutmu, Xander." Desis Xavier pada kakaknya.

Setelah ia mendengar ucapan Xavier, Xander pun berhenti tertawa lalu menatap Xavier tajam. Seakan-akan ia akan membuat lubang di kepala Xavier. "Mana sikap sopanmu pada kakakmu, Xavier?" balas Xander.

Dapat kurasakan tangan Xavier mengeratkan rengkuhannya di pinggangku.

"Apakah kau pantas untuk dipanggil kakak?"

"Brengsek kau!"

Xander bangkit dari duduknya dan hendak menghampiri kami, namun ia terhenti ketika Sky menarik tangannya dan menggeleng. Xander pun berdecak lalu menghempaskan tangan matenya.

Bahkan kini Xavier ikut berdiri dari duduknya dan membuatku berada didepannya, menghadap langsung kearah Xander yang sedang menatapku-atau mungkin Xavier-marah.

Sial, mata oranyenya berkilat-kilat.

Aku tersentak ketika Xavier sudah didepanku. Badannya sedikit bergetar, namun ketika aku mulai menyentuh lengannya, sebuah aliran listrik kecil terjadi dan membuat tubuh atletis miliknya sedikit tenang.

"Maju kau, sialan!"

"Xander hentikan!"

Xander menoleh ketika Sky membentaknya. Bahkan aku yang pada awalnya menganggap gadis itu sangat polos, membuatku merubah pikiran saat kurasakan udara disekelilingku bergetar hebat.

Aku melongo ketika mate Xander merubah rambutnya menjadi warna platinum silver lalu memeluk Xander erat. Pria itu pun langsung tenang lalu membalas pelukan matenya dan menenggelamkan wajahnya dilekukan leher Sky.

"Maaf, Sky, aku tidak bermaksud." Gumam Xander, namun aku dapat mendengarnya.

Xavier secara tiba-tiba memutar badannya, menutupi arah pandangku dan menarik pinggangku agar lebih dekat dengannya. Matanya berubah menjadi hitam legam dan-baru kusadari-pupilnya berubah warna menjadi merah darah.

"Aku sudah memperingatimu, Lyra," Ujarnya dengan suara husky yang lantas membuat kakiku seperti jelly. "Dan kau melanggarnya." Aku mengernyit dan menatap Xavier bingung.

Bukannya menjawab tanda tanya di raut wajahku, ia malah memutar badannya dan menarik tanganku untuk mengikutinya.

"Mau kemana?" tanyaku.

Dia tidak menjawab dan terus menarikku sampai kami berada di parkiran mobilnya. Seketika mobil Range Rover berwarna putih menghiasi pendanganku dan detik selanjutnya Xavier membukakan pintu mobil itu tanpa mengatakan apapun.

Xavier sedikit mendorong tubuhku agar masuk ke dalam mobil ketika aku tak kunjung beranjak dari pijakanku. Setelah itu ia menutup pintunya, mengelilingi kap mobil dan duduk disampingku-dikursi pengemudi.

"Xavier, ada apa?" tanyaku sembari menoleh kearahnya. Namun kehadiranku seakan-akan tidak terlihat olehnya. Mungkin ia marah, pikirku.

Kenapa?

Range Rover ini pun mulai keluar dari pekarangan rumah yang dibawakan Xavier dengan lihai. Saat aku ingin bertanya lagi kemana kita akan pergi, seketika aku ingat jalan ini, ini adalah jalan menuju hutan terlarang-atau apartmentku.

Namun ketika kami nyaris sampai di apartmentku, mobil itu berhenti dan sang pemiliknya menoleh kearahku. Membuatku membalas tatapannya. Matanya masih berwarna hitam legam dengan pupil merah darahnya, oh, dan sebuah kilatan.

Ia marah.

Aku menelan ludahku takut lalu mengalihkan pandanganku. Namun sebuah tangan hangat meraih daguku dan memaksaku untuk menatap matanya. Ketika aku menoleh, aku baru menyadarinya jika wajah Xavier berada sangat dekat dengan wajahku.

"Kau merasakan kilatan-kilatan itu," ujar Xavier pada akhirnya.

"Kau memujinya,"

"Kau tenggelam didalam kilatan mata orayenya,"

"Dan kau menatapnya."

Aku menggigit bibirku gugup ketika ia menatapku intens, bahkan kini suaranya semakin dalam seakan-akan ingin menenggelamkanku kedalam pesonanya.

Rahang Xavier terkatup, namun dapat kurasakan bahwa ia menahan amarahnya. Jemari hangatnya pun mulai menelusuri wajahku yang berakhir tepat dibibirku, yang lantas membuatku berhenti menggigit bibir.

"Aku tidak suka jika kau melakukannya lagi." Ujarnya, yang lagi-lagi mengundang kernyitan didahiku dan tatapan bingung.

"Menatap pria lain," Bisik Xavier tepat didepan wajahku. "Dan menggigit bibir, itu membuatku tidak tahan untuk segera menan- ugh, lupakan." Xavier menjauhkan tangannya dari wajahku lalu kembali menyalakan mesin.

Namun tepat sebelum ia kembali menjalankan mobil, aku meraih wajahnya lalu memperhatikan lekat-lekat ciptaan Tuhan yang belum sempat ku perhatikan ini.

Matanya yang berwarna hitam-atau lebih tepatnya hijau tua, memiliki tatapan yang sangat dalam dan menggoda. Hidungnya yang sedikit besar dan patah, bibirnya yang tidak begitu lebar dan penuh sangat menggiurkan serta rahang yang tegas dan kokoh.

Tanpa kusadari tanganku berjalan dan mengusap rahang Xavier, membuat bulu-bulu ditangan serta leherku berdiri merasakan sensasi aneh yang terjadi.

Aku menyukai rahangnya.

Namun tanganku seketika terhenti ketika Xavier menggenggam kedua tanganku yang berada dipipinya. Sontak aku menatap matanya yang kini sudah kembali menjadi hijau.

Xavier meletakkan kedua tanganku dilehernya lalu mengangkat pinggulku dan membuatku duduk dipangkuannya. Awalnya aku terpaku atas apa yang ia lakukan, namun dengan segera aku merileks-kan tubuhku lalu kembali mengusap rahangnya.

Aku menyukainya.

"Kau menyukainya, sayang?"

Aku menghentikan aktifitasku ketika Xavier mengeluarkan suara. "Sangat." Jawabku lalu kembali mengusap-usap dan terfokus pada rahangnya.

Xavier pun tersenyum lalu melingkarkan tangannya dipinggangku, menarikku untuk semakin mendekat lalu mengecup bibirku kilat.

"Rahang ini akan menjadi milikmu seutuhnya sebentar lagi."

Aku menatap kearahnya lalu mengangguk antusias. Setelah itu ku lingkarkan lagi tanganku dileher Xavier lalu menatapnya penuh penyesalan.

"Omong-omong, aku minta maaf soal tadi. Aku tidak bermaksud memujinya, hanya saja-"

Xavier menempelkan bibirnya pada bibirku. Membuatku bungkam seribu bahasa dan memutuskan untuk memejamkan mata ketika ia mulai mengecup bibir bawahku.

Aku tidak membalas, bukan karena aku tidak mau, tapi aku- ugh, tidak mengerti.

Saat ia menyadari bahwa aku tidak membalas ciumannya, Xavier berhenti lalu menenggelamkan wajahnya dilekukan leherku. Dapat kurasakan bahwa ia mulai menghirup aromaku yang dapat membuatnya tenang.

"Xavier, tidakkah kau merasa khawatir tentang diriku? Bagaimana jika aku tidak bisa menjadi werewolf?" tanyaku, berusaha untuk tidak menyinggungnya.

"Tentu, kau bisa, sayang," ujarnya sembari menciumi rahangku. "Jika aku menandaimu, kau akan menjadi werewolf."

Aku tertegun. Aku baru tau. Selama ini Klinx-suami Grace, seorang werewolf-tidak mengatakan apa-apa soal itu. Ia hanya membahas tentang kehidupan para serigala dan menyuruhku untuk berhati-hati dengan Rogues.

"Sungguh?"

Seketika wajah Xavier muncul didepan wajahku, mengangguk dan ia menatap mataku lurus kedalam. Aku suka tatapan intensnya, walaupun terkadang itu benar-benar membuatku gugup.

Tangan kanan Xavier pun mengusap pipi kananku lembut, membuatku menekan pipiku pada tangannya layaknya seekor kucing. Ia pun terkekeh.

"Sepertinya kau sangat suka jika seseorang mengusap pipimu ya, kitten?"

Kurasakan kedua pipiku merona ketika Xavier memanggilku dengan sebutan kitten. Membuat senyuman diwajahku kembali mengembang lalu mengecup bibirnya.

"Jadi, kita akan kemana?"

"Ke rumahmu, kitten."

"Oke."

Aku memutar badanku untuk menyentuh jok yang sebelumnya ku tempati dan bermaksud untuk memindahkan diri dari pangkuan Xavier. Namun pria itu lagi-lagi menahan pinggangku dan membuatku menoleh kearahnya.

Xavier membuka kedua kakinya lalu mengangkat pinggangku agar aku dapat duduk diantaranya. Salah satu tangannya masih melekat dipinggangku dan yang satunya lagi memindahkan rambutku menjadi satu.

Aku pun menyandarkan badanku pada dada bidangnya, membuatnya menenggelamkan wajahnya dilekukan leherku dalam dan menghirup aromaku.

"Xavier, kapan kita akan kembali? Langit akan segera gelap."

"Sebentar lagi." Jawabnya tanpa menghentikan aktifitasnya.

"Xavier.."

Xavier pun melepaskan pelukannya padaku lalu meraih stir mobil yang kini berada dihadapanku. Ia mencium pipi kananku lalu menginjak pedal gas.

Selama diperjalanan kami tidak berbicara satu sama lain. Namun diam-diam aku menikmati kecupan Xavier dikepalaku sesekali.

Ketika kami mulai memasuki parkiran apartmentku, aku meminta Xavier untuk menekan aroma serigalanya agar Rogues tidak menyadari keberadaan kami, karena apartmentku ialah wilayah netral, siapapun bisa memasukinya.

Aku dan Xavier pun menuruni mobil Range Rovernya lalu berpegangan tangan-omong-omong, ia sudah memulai pengobatan intensnya itu. Aku membawanya menuju kedalam dan memasuki lift.

Aku menekan tombol panel yang bertuliskan angka 9, dimana ruanganku berada. Dan ketika kami hendak keluar dari lift, Xavier kembali melingkarkan tangannya dipinggangku.

Ting

Xavier menarik pinggangku lembut sembari keluar dari lift dan langsung menuju depan ruanganku. Namun ketika aku hendak memasuki kata sandi apartmentku, seorang pria yang sangat temperamental itu kembali menampakkan dirinya sembari bersandar didinding dekatku.

Kuraih tangan Xavier yang berada dipinggangku ketika kurasa ia akan segera menggeram dan mengeluarkan serigalanya kembali, dan berhasil.

Namun tangan kotor itu menepis tanganku dari alat pendeteksi sidik jari-salah satu pengaman apartmentku-dan membuatku sedikit meringis.

"Sepertinya kau menjual dirimu untuk kebutuhan sehari-hari ya?"

Aku menghiraukan ucapan Max-tetanggaku itu-lalu kembali menekan tombol-tombol kata sandi.

"Hei, bagaimana jika aku membelimu juga?"

Kali ini dengan segera aku menolehkan kepalaku lalu meraih wajah Xavier dan memaksa pria itu untuk menatapku. Matanya masih hijau, namun tidak dengan pupilnya.

Kudengar Max tertawa dan kembali berbicara. "Baiklah, Nona, jangan bercumbu dihadapanku. Setelah kau selesai dengannya, datanglah ke apart-"

Dengan gerakan cepat kupotong pembicaraannya dengan menekan lengan kananku dilehernya, tinju yang sudah berada diperutnya dan kaki kiriku yang berada tepat dibawah kelaminnya sehingga ia membentur dinding dengan keras.

Sorot mataku berubah menjadi tajam dan dingin ketika kusadari bahwa bibirnya mulai membiru. Terkadang aku bersyukur, apartment yang kutempati ini mulai terbengkalai dan tidak memiliki CCTV.

"Ini peringatan terakhir dariku untukmu," desisku sembari memperkencang tekanan dilehernya. "Kau tidak lebih baik dari sampah yang kemarin kau buang, brengsek. Dan jika kau melakukannya sekali lagi,"

Aku pun terdiam sejenak, sengaja menggantungkan kalimatku untuk melihat ekspresi ketakutan diwajahnya yang mulai membiru. Lalu kudekatkan bibirku didekat telinganya dan berbisik.

"Akan ku lepaskan kepalamu sebelum kau sadar."

Dan setelah itu aku menyikut wajahnya dengan tangan kananku yang berhasil membuatnya terkapar dilantai. Aku pun mendekati tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri lalu menepuk-nepuk kepalanya lembut.

Ku hampiri Xavier yang sedang menatapku dengan matanya yang sudah menghitam. Tanpa basa-basi lagi, aku memasukkan sandi apartmentku lalu menarik kenopnya dan mendorong pintu agar terbuka.

"Apa?" tanyaku saat ia memelukku dari belakang sembari menendang pintu agar tertutup.

"Wow, kitten, kau sangat keren. Aku menyukai adegan dimana kau berbisik padanya dan-"

Aku memutar tubuhku cepat lalu sedikit mendorong tubuh Xavier menuju dinding lalu melakukan pose yang kulakukan pada Max kepadanya-namun tidak dengan menekan lehernya. Kudekatkan bibirku menuju telinganya lalu berbisik.

"Seperti ini?"

Dapat kurasakan Xavier menahan napasnya sejenak lalu tertawa kecil. Ia meraih pinggangku dengan kedua tangannya lalu memutar balikkan posisi. Sehingga aku yang terpojokkan.

"Ya, seperti ini." Jawabnya lalu mencium bibirku lembut. Aku pun yang merasa bodoh karena tak mengetahui cara melakukan ini, kuputuskan untuk membalas ciumannya perlahan dan membuahkan sebuah senyuman diwajah Xavier disela-sela ciuman kami.

Perlahan-lahan aku menaikkan tanganku dan melingkarkannya dileher Xavier. Sehingga pria itu semakin mendorong tubuhnya kearahku dan memperdalam ciuman kami. Bahkan sesekali ia menggigit bibir bawahku.

Aku pun melepaskan ciuman Xavier pelan-pelan lalu menatap jauh kedalam mata hitam legamnya. Dan untuk kedua kalinya, aku mengusap-usap rahang pria itu tanpa kusadari. Membuatnya semakin memojokkanku dan menempelkan keningnya pada keningku.

"Aku tau ini terlalu cepat, tapi aku menyukaimu." Ucap Xavier lalu mengecup bibirku.

Seulas senyuman pun terlukis diwajahku dan untuk kesekian kalinya Xavier mengangkat pinggangku sehingga dengan otomatis aku melingkarkan kakiku dipinggangnya.

Setelah itu dapat kurasakan ia meletakkanku diatas ranjang dengan perlahan. Membuatku kembali tersadar bahwa ini adalah kali pertamanya aku merasakan tubuh tegap dan besarnya itu.

"Kau beristirahatlah sejenak sembari menunggu Grace." Ujarnya dari ujung ranjangku.

"Bagaimana denganmu?"

Xavier pun tertawa kecil lalu menghampiriku. Ia mengecup keningku lama lalu menopang tubuhnya dengan tangan kirinya yang berada disamping kepalaku.

"Kau ingin aku tidur bersamamu? Kalau ya, akan kupastikan besok kau tidak bisa berjalan dengan benar."

Aku terdiam sejenak, mencerna ucapan Xavier sedikit lamban lalu tertawa dengan wajah yang memerah saat menyadari apa yang ia maksud. Xavier pun menarik selimutku hingga batas leherku lalu kembali mengecup keningku.

"Aku akan beristirahat di sofa depan. Aku akan membangunkanmu saat Grace telah kembali."

Aku mengangguk. Lama-kelamaan mataku pun semakin berat, terpejam dan semuanya menggelap.

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro