Lost

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry sebelumnyaa, di chapter kemarin aku baru sadar kl aku nulis bulu werewolfnya Gregory warna cokelat keemasan. Seharusnya kan kelabu.____.v aku udah nge-edit bagian itu juga si :v

Enjoy~

Xerafina's POV

Setelah itu kudapati bulu-bulu halus berwarna merah marun tumbuh di kulit tanganku dalam sekejap dan suara retakan-retakan tulang yang berasal dari tubuhku membuatku terkejut. Namun semua itu tak dapat bisa terelakan ketika aku terjatuh hingga menyentuh tanah dan tubuhku semakin memanas.

Ku lihat tubuhku perlahan-lahan berubah menjadi seekor anjing yang cukup besar dengan bulu berwarna merah marun. Dan pada saat itu pula angin menerpa bulu-bulu indahku dengan kencang membuatku menggeram pada siapapun.

"Hi, Putri." Ujar seseorang di dalam benakku yang lantas membuatku terlonjak kaget. Aku mengepalkan kedua tanganku lalu membalas ucapan seseorang itu dalam pikiranku.

"Siapa kau?" tanyaku seraya menyadari bahwa aku tidak mengendalikan serigala ini. Aku hanya terduduk didalam sebuah ruangan hitam yang menampakkan seluruh pandangan yang dilihat serigala ini.

"Namaku Zane Whiteblood, serigala yang telah lama bersemayam ditubuhmu." jelasnya yang lantas membuatku menyeringai.

"Zane," panggilku, mencoba menyebut namanya yang terasa sangat pas di mulutku. "Kalahkan Xavier."

Kudengar Zane tertawa dibenakku dan kurasakan ia menggeram lebih keras. Wow, ia sangat mirip denganku.

"Aku merasakan hal yang sama denganmu saat aku melihat Xavier. Sesuatu yang aneh, kau percaya itu, 'kan?"

"Ya, aku ingin kau mengungkap apa yang terjadi dengan dirinya."

"Perkara mudah, Putri," jawabnya, kurasakan tubuh Zane pun menegang dan kedua kaki kirinya ia mundurkan serta tubuhnya yang sedikit ia rundukkan. "Maaf jika aku melukainya."

Kulihat Ayah kembali melolong dan Zane pun berlari kearah Xavier dengan kecepatan yang bahkan tak dapat Gregory tandingi.

Aku menyeringai ketika Zane langsung menerkam tubuh Lyon yang belum sempat bereaksi. Dengan cepat Zane menggigit leher Lyon yang alhasil membuat geraman keluar dari mulut Lyon.

Namun Lyon membalikkan posisi yang berhasil membuatku—atau Zane—berada dibawahnya. Dengan obsesi yang telah menguasai diriku dan Zane, untuk kedua kalinya Zane menggigit leher Lyon yang membuat geraman itu semakin mengeras.

Samar-samar kulihat cahaya hitam kembali bersinar dari tubuh Xavier. Namun perlahan-lahan cahaya itu semakin melebar dan cahaya biru ikut bersinar diantaranya, membuatku tersadar akan suatu hal.

Dengan segera ku pinta Zane untuk mengalahkan Lyon lalu berlari menjauh dari pack menuju Laut Hitam. Tak peduli dengan seruan dari para anggota pack ku serta kejaran beberapa werewolf, Zane semakin mempercepat gerakannya yang dibantu dengan eyetransku.

Sesaat setelah aku sampai di tepi pantai, kulihat beberapa werewolf berdiri menghalangi jalanku dan menggeram dengan kencang. Namun lagi-lagi rasa panas itu semakin membakar tubuhku dan sebuah sayap berwarna merah marun tumbuh dari tubuhku.

Dengan seringai yang tercetak jelas di wajahku, membuat Zane otomatis ikut tersenyum dan membalas geraman werewolf dihadapan kami.

"Buka jalannya." Ujar Zane pada werewolf yang berdiri di paling depan. Dan wow, jadi selama ini suara serak dan basahku itu milik Zane.

"Untuk apa?" tanya sang werewolf terdepan yang memiliki bulu berwarna hitam serta mata berwarna putih.

"Aku ingin bertemu Ibuku, Aqua Swans Moonlight." Ujarku pada akhirnya sembari mengambil alih tubuhku.

Kulihat mereka semua terpaku ketika melihatku dengan sayap berwarna biru yang mengembang di punggungku. Dan—astaga, rambutku berwarna biru pula dan sebuah gaun putih semata kaki tanpa lengan membalut tubuhku.

"Berhenti menatapnya seperti itu, anjing bodoh."

Seketika seseorang yang memiliki tubuh tegap dan tinggi menghalangi pandanganku, membuatku sedikit menggeram kesal.

"Kami akan pergi."

"Hei!" Aku meraih bahu pria dihadapanku ini seraya menyuruhnya untuk menatapku. "Siapa kau? Aku ingin bertemu Ibuku!"

"Kau gila? Ini adalah pack Darkmoon!" Geramnya lalu menarik tanganku dan membawaku berlari menjauh. Sekuat apapun aku menghentakkan tanganku agar ia melepaskan genggamannya, itu hanya akan menguras tenagaku yang tidak cukup banyak.

Setelah berlari cukup jauh, pria dihadapanku pun melepas genggamannya. Membuatku tersadar bahwa ia membawaku menuju apartmentku.

"Aku Klinx." ujarnya saat kami memasuki lift dan menuju lantai sembilan.

"Aku pernah dengar tentangmu. Matenya Grace 'kan?"

Kulihat Klinx menganggukkan kepalanya. "Ya, dan kau pasti Lyra James, atau mungkin Xerafina, anak dari Alpha Blake Xands."

Kali ini aku yang mengangguk. "Apa yang membuatmu datang kepadaku dan membawaku ke rumah?" tanyaku seraya menatapnya.

"Grace memintaku untuk menjagamu sejak Xander menjemputmu tadi, dan membawamu kemari jika kau dalam bahaya." jelasnya yang bertepatan dengan suara ting tanda kami sampai.

"Tidak ada bahaya yang mengancamku, Klinx." Sergahku sembari berjalan keluar lift.

"Ya, kau memang tidak sedang dalam bahaya," aku Klinx—kurasa. "Namun Grace memintaku untuk membawamu kemari secepatnya setelah duel antara kau dan para Alpha itu selesai."

"Kenapa?" tanyaku saat sudah berada di depan pintu lalu menekan kata sandi dan menarik kenop pintu hingga terbuka.

Mataku terbelalak lebar ketika kondisi apartmentku dalam keadaan kacau. Sofa kesayanganku mengeluarkan busanya, meja kaca yang berada di depannya pun terlempar entah kemana dengan serpihan-serpihan kaca yang menempel pada sofa.

Aku berjalan dengan hati-hati, memperhatikan sekelilingku dan mendapati sebuah cakaran yang cukup panjang di pintu kamarku. Tidak, bukan sebuah cakaran, namun banyak cakaran yang terukir di dinding apartmentku.

Aku memperhatikan sekelilingku sembari mencoba meresapi arti dari cakaran-cakaran itu. Dan dua buah spekulasi membuatku semakin was-was dengan apa yang sedang terjadi.

Satu, kawanan serigala datang untuk membunuhku namun tidak menemukanku sehingga mereka mengacak-acak apartmentku dan memberikan pesan rahasia dengan menyebutkan singkatan S.G.S—tertulis secara tidak teratur di dinding dekat dapur.

Dua, kawanan serigala datang untuk membunuhku namun ia hanya menemukan Grace yang berada di kamarnya lalu terjadilah pembelaan diri dari Grace yang menghasilkan cakaran-cakaran ini.

Tunggu,

Grace?

Sialan!

Persetan dengan Klinx yang terus berteriak memanggilku ketika aku berlari menuju arah dapur dan melompat keluar. Secara paksa aku menggunakan eyetrans dan terus berlari dengan tubuh Zane sembari mencoba mencari tau kemana Grace pergi.

Mendadak aku merasa pusing ketika aroma yang sangat menusuk hidungku mengotori udara malam, membuatku berhenti berlari dan menatap bulan yang perlahan-lahan meredupkan cahayanya.

Dengan segera aku mengembangkan sayapku dan menerbangkan diri menuju langit malam. Namun rasa pusing itu terus mengganggu pikiranku hingga aku terjatuh dan terbaring lemah di atas tanah.

"Zane, apa yang terjadi?"

"Aku tidak tau, Putri. Namun aku merasakan aroma seorang penyihir."

Aku pun mengambil alih tubuhku kembali, mengangkat kedua alisku penasaran lalu menyeringai. "Kau bisa beristirahat, Zane."

"Terima kasih, Putri."

Setelah itu aku kembali berlari sembari menahan aroma yang semakin menusuk di setiap langkahku, membuatku sesekali sempoyongan namun tidak berhasil menjatuhkanku.

Aku tidak akan kalah kali ini. Aku tidak akan kehilangan sosok Ibu untuk kedua kalinya. Aku menyayangi Grace layaknya ia adalah Ibu kandungku. Tidak akan ada yang bisa menggantikannya.

"Grace.." gumamku.

Seketika angin pun menerpa wajahku kencang entah darimana. Membuat bulu romaku terbangun dan kedua kakiku bergetar lemas.

Xerafina.

Lagi-lagi suara bariton menghiasi gendang telingaku untuk ketiga kalinya, membuatku semakin tidak fokus dengan jalan yang ku tempuh dan aroma menyengat itu tergantikan dengan aroma mint yang selalu menghantuiku.

Pada akhirnya aku pun terjatuh dan menabrak pohon pinus dihadapanku, membuat pelipisku dialiri aliran darah serta tangan kananku yang tertusuk ranting-ranting tajam.

Satu langkah lagi.

Aku mengerutkan keningku bingung, mencoba mencerna perkataannya lalu menolehkan kepalaku menuju belakang pohon pinus yang kini menjadi sandaranku. Disana aku mendapati sekelompok manusia berkaftan berwarna biru sedang berkerumun dan mendongak—menatap seseorang yang berada di paling depan.

Aku menganga saat melihat seseorang yang sedang berbicara dengan lantang itu, membuatku tak kuasa menahan emosi dan hendak menghampirinya. Bahkan aroma menyengat yang ia cemarkan di hutan ini pun membuatku semakin muak.

Hold on and wait for me.

Aku mendengus kesal ketika suara itu menyuruhku untuk tetap tenang. Membuatku memutar kedua bola mataku jengah sembari mencoba mengeluarkan ranting yang menusuk telapak tanganku.

"Apa? Siapa yang harusku tunggu? Bahkan aku tidak mengenalmu, sialan!" lirihku seraya kembali menyandarkan diriku pada pohon pinus dibelakangku. Kepalaku semakin pusing ketika darah yang mengalir dari pelipisku belum berhenti—walaupun sudah sedikit berkurang.

I'm sorry.

Itulah kalimat terakhir yang dapat kudengar sebelum aroma mint itu menghilang dan pandanganku menggelap di telan malam.

.
.
.

Aku membuka mataku ketika dinginnya udara menyapu kulitku. Membuatku mendongakkan kepalaku dan mengerjap beberapa kali. Aku berada di dalam sebuah ruangan yang terbuat dari besi, tanpa ventilasi dan hanya ada sebuah pintu dengan lubang persegi panjang dibawahnya.

Aku mengerang ketika kusadari kedua tangan dan kakiku dirantai pada dinding dibelakangku. Ku tarikkan kedua tanganku secara paksa yang lantas membuat sebuah geraman dari seseorang.

"Siapa kau?" tanyaku.

Ku dengar ia berdeham. "Masa bodoh." Ujarnya dengan suara serak.

Suaranya terdengar sangat familier di telingaku, membuatku seketika tercekat dan tak dapat bernapas dengan benar.

"Berapa lama aku tertidur?" tanyaku lagi.

"Lima hari."

"Lima?" pekikku.

"Sialan! Tidak bisakah kau—" Pria itu tidak melanjutkan perkataannya ketika ia mengangkat wajahnya dan menatapku tidak percaya. Begitu pun aku.

Kedua matanya berwarna kuning dan langsung mengingatkanku pada Xander. Namun dengan cepat aku  menghapus pemikiran itu lalu menggeleng pelan.

"Maaf jika aku mengganggumu."

"Tidak—Aku," kudengar ia tercekat lalu kembali berdeham keras, mencoba mengembalikkan suaranya. "Apakah aku mengenalmu? Kenapa rasanya aku telah mengenalmu lama sekali?"

Perlahan-lahan aku mengangguk sembari menatapnya ragu. "Aku tidak begitu mengerti, namun kau mirip—atau bahkan sama persis—dengan Xander Huigshtone."

Kulihat kedua mata kuningnya terbelalak, membuatku menelengkan kepalaku bingung yang lantas membuatnya menarik dan menghembuskan napasnya teratur.

"Aku Xander Huighstone,"

Apa?

"Bagaimana kau tau namaku dan wujud penampilanku? Apakah kau cenayang?"

Aku tersenyum tipis jika membedakan Xander dihadapanku dengan Xander yang biasanya ku jumpai. Aura Xander Huighstone yang berada dihadapanku ini terasa sangat nyaman dan menenangkan, bahkan ia banyak bicara.

"Bukan, aku hanya seorang elf dan baru saja mendapatkan kekuatan terbaruku—werewolf. Dan jika kau memang Xander Huighstone, maka siapa yang ku jumpai selama ini?" tanyaku balik yang lantas membuatnya mengerutkan dahinya dalam.

Wajah Xander terlihat sangat tirus dengan kedua kantung mata dibawah kedua matanya. Rambutnya terpangkas rapi seakan-akan ia baru saja mencukurnya beberapa jam lalu.

Mendadak rasa pening menjalar di kepalaku, membuatku memejamkan mataku sejenak dan merasakan dunia seakan-akan berputar mengelilingiku. Aku  mengerutkan kedua alisku, menahan rasa sakit yang terus menjalar di kepalaku ketika sebuah memori berdesakan masuk.

"Putri, kenalkan, ia adalah saudara kembarku, Xavier Huighstone."

"Apa yang kau lakukan, Xena?"

"Putri! Cepat masuk!"

"Xena, bukankah kita akan terus bersama?"

"Aku mencintaimu!"

"Ayo, kita harus pergi."

"Kita harus, Blake!"

"Kenapa kita tidak boleh memberitahu Xerafina, Ibu?"

"Ini akan menyakiti Xena, Yang Mulia Raja."

Aku membuka kedua mataku dengan napas yang terengah-engah, membuat rantai yang mencengkram kedua kaki dan tanganku menghasilkan bunyi. Aku menatap sekelilingku was-was, mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi di sekelilingku hingga kedua mataku kembali bertemu dengan Xander.

"Kurasa manteranya mulai menguap secara perlahan." Ujarnya yang lantas membuatku semakin mengerutkan kedua alisku dan menatapnya marah.

"Kau tau apa?" tanyaku dengan suara yang semakin meninggi.

Kulihat Xander tersenyum tipis lalu menunduk. "Maafkan aku, Putri, aku baru sadar bahwa itu kau."

"Apa maksudmu?" sinisku.

"Asap yang diakibatkan penyihir tadi membuatmu pingsan dan dibawa kemari. Penyihir itu merasa kesal karena seharusnya asap itu membuatmu kehilangan kendali tubuhmu dan tertidur berpuluh-puluh tahun," jelas Xander yang membuatku menggeleng tidak mengerti.

Kali ini Xander mengangkat wajahnya, ia menatapku dengan kepedihan yang tak berujung. "Penyihir itu menipuku, ia berpura-pura menjadi kakakku untuk menguasai pack dan seluruh werewolf. Namun saat itu aku merasakan hal yang aneh pada dirinya, ia menjadi lebih banyak bicara dan iris matanya berwarna merah. Dan saat aku sudah tau bahwa itu bukanlah kakakku, penyihir itu membawaku ke hutan dan berakhir disini, tertidur selama 74 tahun."

Aku membulatkan kedua mataku terkejut, tidak mempedulikan emosiku yang seketika menghilang dalam sekejap. "74 tahun? Lalu bagaimana dengan Xavier?"

Kulihat Xander mengulas senyuman tipis, secercah harapan pun terpancar dari sorot matanya. Perlahan-lahan ia mengangkat kedua bola matanya dan menatapku, seakan-akan harapan yang telah lama ia kubur kembali mencuat.

"Kau tau nama kakakku rupanya," ujarnya. "Kurasa kau telah bertemu dengan replikanya, Putri,"

Aku pun mengangkat kedua alisku bingung. "Kau tau, bahkan Xavier sudah tertidur selama 97 tahun dan sedang menunggumu untuk membebaskannya."

"Kau gila?" Aku tertawa hambar, entah karena kenyataan yang disampaikan Xander terlalu menyakitkan atau memang tidak ada yang perlu ditertawakan. "Aku dapat mencium aroma tubuhnya!"

"Kau salah, Putri," ujar Xander sembari menggeleng pelan. "Sebagai informasi untukmu, penyihir itu tidak mengikatmu beserta ragamu, ia mengikat jiwa. Ia menggunakan ragamu yang kosong itu, beserta kemampuanmu, untuk menjalankan misinya—membalas dendam kepada Xave selanjutnya karena telah memusnahkan Nightmare."

"Apa itu Xave dan Nightmare?"

Xander menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan-lahan lalu menggerak-gerakkan lengannya sejenak.

"Xave itu berarti orang terkuat di Ave—dunia ini. Ia memiliki semua kemampuan yang tidak di miliki manusia lainnya walaupun kemampuan yang mengalir ditubuhnya hanya satu. Tidak ada yang bisa mengalahkan seorang Xave sejauh ini, dan Xave sendiri akan menjadi seorang pemimpin secara otomatis," jelas Xander panjang lebar.

"Dan Nightmare adalah sekumpulan jiwa-jiwa kelam yang penyihir itu buat beberapa abad lalu untuk membunuh Xave pertama," ujarnya seraya menatap mataku lekat-lekat. "Yang Mulia Ratu Xave Liona Swans, nenekmu."

"Nenekku?"

"Ya, dan itu sebabnya penyihir sialan itu menyihirku dan Xavier, kau beserta keluargamu dan beberapa anggota pack. Ia berpikir kau adalah Xave selanjutnya dan kami akan terlibat dengan rencanamu untuk memusnahkan penyihir itu."

Aku memutar kedua bola mataku jengah sembari mendengus. "Bajingan sekali."

Xander pun mengembangkan senyumannya—namun kali ini lebih terlhat seperti seringai—lalu mengangguk-angguk.

"Kau sama sekali tidak berubah, Putri."

Aku hanya mengangguk ketika Xander mengatakan demikian. Persetan dengan hal yang bahkan terdengar tidak masuk akal—termasuk dunia ini—bagiku. Aku merasa cukup muak sampai sebuah pertanyaan terlintas di benakku.

Ku perhatikan sekelilingku sejenak, mencoba menggunakan eyetransku untuk berjaga-jaga namun tak berhasil sama sekali. Ku alihkan pandanganku lalu kembali menatap Xander yang kini sedang menundukkan kepalanya.

"Jika seharusnya asap itu menidurkanku selama berpuluh-puluh tahun, kenapa aku hanya lima hari? Lalu kenapa aku hanya kehilangan kesadaranku sementara kau kehilangan kendali akan tubuhmu? Dan apa maksud dari kehilangan kendali dirimu?"

Pandanganku pun turun menuju pakaian yang digunakan Xander ketika pria itu tak kunjung menjawab. Ia hanya memakai kaus berwarna putih serta celana kain sebatas lututnya, dan rambutnya yang hitam sangat mengingatkanku pada Xavier.

Sialan.

Aroma mint pun seketika menyeruak masuk ke dalam hidungku, membuatku tak kuasa menghirup udara disekitar ku banyak-banyak seakan menyadari keberadaan pria itu tidak jauh dariku.

"Asap itu justru mengembalikkan ingatanmu yang telah di manipulasi, penyihir itu melupakan mantera yang satu ini dan justru membuatnya dalam bahaya," jelas Xander seketika yang lantas membuatku menatapnya. "Sehingga ia menggunakan tubuhmu untuk menemui Xavier—yang entah dimana—lalu melakukan sesuatu yang bahkan aku tidak ingin membayangkannya. Dan kendali diri yang ku maksud berarti penyihir sialan itu telah mengambil hak kepemilikkan atas tubuhku. Aku sudah mati."

Aku pun menggeram marah, bukan untuk Xander, namun untuk penyihir itu. "Itu berarti ia membunuhmu, 'kan?"

"Semacam itu, Putri."

"Jadi ia menggunakan tubuhku?"

Xander pun mengangguk. "Kau mencium aroma Xavier, 'kan?" tanyanya.

Aku mengangguk kecil. "Ya, memangnya kenapa?"

Kulihat Xander menelan ludahnya berat lalu mengalihkan pandangannya dariku. "Aku pernah mengalaminya sesaat sebelum aku tertidur panjang," mulainya lalu menghela napas panjang. "Walaupun sedikit berbeda denganmu. Tapi itu adalah tanda bahaya, Putri."

Dan sekelebat memori pun kembali berdesakan memasuki benakku, membuatku tersentak ke belakang sembari memejamkan mataku. Hingga sebuah cahaya hitam menarikku dan Xavier terlihat diujung cahaya dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya.

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro