Meet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Alpha, ada dua werewolf yang ingin bertemu denganmu." ujar seseorang dari ambang pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Kudengar Xavier menggeram lalu bangkit dari tidurnya. Ia menatap Larry jengah lalu mengusap rambut hitamnya kebelakang. Wow, sexy.

"Siapa?"

"Salah satu dari mereka mengatakan bahwa namanya adalah Gregory."

Xavier menoleh kearahku dan menatapku seakan-akan memberiku peringatan untuk tidak bertemu dengan Gregory lagi. Setelah itu Xavier kembali menatap Larry sembari bangkit dari ranjang kami.

"Berapa jumlah mereka?"

"Dua, Alpha."

"Suruh mereka menunggu diperbatasan," titah Xavier yang lantas membuat Larry menganggukkan kepalanya dan menghilang dibalik pintu. "Dan kau, tunggu disini." Ujarnya padaku sembari membuka pakaiannya didepanku.

Didepanku?

DIDEPANKU?

Aku tercekat ketika Xavier bertelanjang dada. Otot-ototnya terbentuk dengan sempurna dan kotak-kotak diperutnya sangat indah.

Kudengar suara tawa Xavier terngiang ditelingaku, membuatku tersadar bahwa aku tertangkap basah sedang mengagumi tubuhnya yang mampu membuat kakiku bergetar lemas—bahkan disaat-saat seperti ini.

"Berhentilah menatapku seperti itu, sayang," Ujarnya sembari berjalan kearahku. Setelah itu ia menindihku dengan tangannya yang bertopang disisi tubuhku sembari menatapku intens dengan mata hijau tuanya. "Kau nyaris membangunkanku, tau?"

Bukannya merasa panik, sebuah senyuman merekah diwajahku. "Tidak." Jawabku lalu menjulurkan lidah—mengejeknya.

Dengan gerakan cepat ia menyambar bibirku dan menciumnya tanpa ampun. Membuatku sedikit kewalahan ketika ia mulai memaksa mulutku untuk terbuka dan memasukkan lidahnya kedalam mulutku.

Aku mengalungkan tanganku pada lehernya dan membiarkan Xavier menjelajah setiap inchi dari mulut dan bibirku. Setelah dirasanya kami butuh oksigen, Xavier melepaskan ciumannya lalu mengecup kedua mata, hidung dan keningku. Ia pun bangkit dari atas tubuhku lalu meraih handuk yang berada dilemarinya lalu berjalan kearah kamar mandi.

Sementara aku, masih terpaku diatas ranjang dengan cengiran lebar diwajahku. Namun detik berikutnya aku berguling-guling senang diatas ranjang sembari memekik tertahan.

.
.
.

Xavier's POV

Aku menarik pinggang Lyra yang berada dipangkuanku untuk lebih mendekat. Ya, aku memang melarangnya untuk ikut tadi. Namun entah bagaimana caranya ia bisa merayuku dan berakhir disini bersamaku dengan Ethan serta Gregory.

"Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanyaku.

Pria yang berhadapan langsung denganku adalah pria yang menatapku dengan sengit malam itu. Matanya berwarna gold, nyaris sama dengan bulu Lyon.

"Sebelumnya, namaku Ethan," ujarnya. "Kami datang tentu untuk membicarakan kembalinya Xerafina ke pack kami."

Aku mengernyitkan dahiku. Siapa Xerafina? Dan seketika kilasan akan dua hari lalu pun terbesit dibenakku, ketika pria disebelah Ethan—Gregory, kurasa—memanggil Lyra dengan sebutan Xerafina.

"Maksudmu, gadis ini?" tanyaku sembari melirik Lyra yang sedang menyandarkan kepalanya dibahuku.

"Ya, Xerafina, kakak kami."

Aku pun memutar bola mataku jengah lalu kembali menatap Ethan dengan Lyon yang nyaris mengambil alih tubuhku. "Aku tidak akan memberikannya padamu sekalipun kau adalah keluarganya."

"Tidak, kami akan membawanya pulang." Geram Ethan sembari berdiri, namun Gregory menahannya.

"Bagaimana kalau kita bertanya pada Xerafina? Apakah ia mau ikut dengan kami?" tanya Gregory.

Aku tertawa renyah lalu mengeratkan pelukanku pada Lyra. "Tidak, aku tidak mengizinkanmu berbicara padanya—" Aku menoleh kearah Lyra ketika ia menyentuh tanganku, mata almondnya membesar—memelas—seakan-akan memintaku untuk mengizinkannya berbicara pada saudaranya.

Aku menggeleng tegas, tidak membiarkan ia berbicara pada Ethan mau Gregory karena itu hanya akan memperumit masalah. Namun kedua mata merah marun itu berbinar memohon, bibir gadis itu maju beberapa senti dan tangannya ia  letakkan didadaku.

Oh shit.

Aku menghela napas, mengusap pipi kirinya lalu menggeleng. "Lyra tidak akan ikut, ia akan tetap bersamaku."

"Kalau begitu setidaknya biarkan kami berbicara padanya!" sahut Ethan yang lantas langsung membuatku menggeram marah.

"Tidak akan!"

"Xav.."

Aku menutup mataku sejenak ketika kudengar Lyra berbisik. Suara gadis itu terdengar sangat lembut dan menggoda disaat yang bersamaan. Aku menyukainya.

"Biarkan aku berbicara pada mereka." Lirihnya dengan mata yang masih berbinar.

"Lihat, dude! Apa yang kau lakukan padanya?! Biarkan saja ia berbicara pada saudaranya, bodoh!"

Aku memutar bola mataku jengah lalu mengangguk. Dan sebuah senyuman pun langsung merekah dibibir Lyra yang membuat jantungku semakin berdetak tak berirama.

"Hanya 5 menit dan aku akan tetap disini." Ujarku yang disambut dengan muka menjijikan Ethan yang tersenyum miring.

Lyra membalikkan tubuhnya lalu menatap Ethan dan Gregory serius. Kedua tanganya ia letakkan diatas meja lalu berdeham kecil. Diam-diam aku tertawa, ia sangat aneh harus menjadi orang yang serius seperti ini.

"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?" tanyanya serius.

Wow

Wow

Ini bukan Lyra yang ku kenal. Ia terlalu kaku dan serius, bahkan mata almondnya tidak seindah saat ia menatapku.

Entah ini perasaanku saja atau memang kedua pria di seberang meja kami sedikit ketakutan? Kedua alis mereka berkerut dan suara mereka bahkan tak keluar sama sekali.

"Bukankah kalian ingin bertanya sesuatu?" tanya Lyra lagi yang sontak membuatku mengembangkan seringaiku. Aku bangga terhadapnya, ia begitu mengintimidasi dihadapan pria lain.

"Xe—Xerafina, apakah itu kau?"

Aku mengalihkan pandanganku pada pria yang memiliki warna mata blue navy itu. Ia jelas terlihat lebih muda dari Ethan dan- yeah, tegas.

"Siapa Xerafina? Aku?" tanya Lyra lagi.

"Ya, kau. Namamu Xerafina," jawab Gregory. "Seharusnya kau ingat kami, Fin. Aku dan Ethan adalah adikmu. Apakah kau juga tidak ingat dengan Polarix, Grace,  Max, Aqua dan Blake?"

Kali ini aku mulai tidak mengerti kemana perbincangan ini akan berlanjut. Namun aku dapat melihat Lyra mengangkat kedua alisnya lalu menggeleng.

"Tidak, aku hanya kenal Grace dan Aqua," jawab gadisku santai. "Apakah tadi kau mengatakan Max?"

Kulihat Gregory mengangguk. "Ya, Max Milton." Aku mengerutkan keningku bingung, rasanya aku pernah mendengar nama itu.

"Max Milton? Apa hubunganku dengannya?" tanya Lyra dengan suara yang semakin dingin. Astaga, ia sangat tidak cocok dengan kepribadiannya yang ini.

Terlihat dengan sangat jelas bahwa Ethan dan Gregory merasa sangat terintimidasi dengan tatapan Lyra. Membuat Gregory sesekali harus mengalihkan pandangannya.

"Ia dan Polarix adalah asisten pribadimu. Namun tugas Max yang sesungguhnya ialah menjagamu."

Aku mengangkat satu alisku ketika Lyra memukul meja dihadapannya, membuat Ethan berkeringat dingin dan Gregory menunduk.

"Pecat dia atau lakukan apapun agar ia tidak dekat-dekat denganku!"

Aku pun mengusap-usap lengan kirinya ketika kurasakan emosinya akan meledak.

"Apa kalian tidak  mendengarku?" tanya Lyra sekali lagi sembari memukul meja untuk kedua kalinya. "Pecat dia dan jauhkan dia dari jarak pandang mataku! Oh, astaga ba—"

"Sshhh, sayang," Panggilku seraya meraih wajahnya untuk menatapku.  "Tenang, jaga emosimu."

Kedua mata tajam itu pun lambat-laun melembut, sedikit berbinar lalu menatapku menyesal. "Aku—"

"Jangan bicara." Ujarku yang disambut dengan anggukkan kepalanya, tangannya yang melingkar dileherku dan kepalanya yang ia tenggelamkan dileherku.

"Aku akan memanggil kalian lagi suatu saat." Tambahku seraya mengakhiri pertemuan kali ini dan meminta mereka untuk kembali pulang.

Ketika kedua adik Lyra itu mulai meninggalkan ruangan, Ethan menoleh kearahku dengan mata merah marunnya yang kubalas dengan seringai kemenangan. Aku tak peduli dengan segala umpatan yang ia keluarkan. Toh, Lyra tak akan kemana-mana. 

Aku kembali mengusap-usap punggung Lyra lembut, membuatnya semakin mengeratkan pelukannya pada leherku dan sebuah senyuman mengembang diwajahku. Lihat? Dia sangat berbeda dengan yang sebelumnya.

"Apa yang kau lakukan, kitten?"

Lyra menggeleng pelan, membuatku tertawa kecil lalu mengangkat tubuh gadis itu yang lantas membuat Lyra mengalungkan kakinya dipinggangku.

Aku berjalan menuju lantai bawah dengan Lyra yang masih menyembunyikan wajahnya dileherku. Kududukkan tubuhku di sofa berwarna putih gading berbentuk L pemberian Ayah lalu kuluruskan kedua kakiku agar Lyra dapat duduk dengan nyaman.

Lyra pun mengendurkan pelukannya pada leherku lalu mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Kedua mata almondnya terlihat sangat berbinar dan bibir gadis itu dimajukan—tanda ia merajuk.

"Ada apa, sayang?" tanyaku sembari melepaskan pelukanku dari pinggangnya.

"Aku ingin bertemu dengan Ethan dan Gregory lagi."

Aku menggeleng, memainkan surai hitamnya dengan tangan kiriku. "Untuk apa?"

Lyra menundukkan kepalanya, kedua tangannya ia majukan dan dilipat, lalu diletakkannya didepan leherku.

"Aku ingin bertemu Ayah," jawabnya lalu mengangkat wajahnya dan menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang berada didepan leherku. "Dan mengenalkanmu padanya."

Aku pun tertawa lalu mengecup bibirnya. "Ia pasti sudah kenal denganku."

"Bagaimana bisa?"

"Kau berada dibawah lindungan pack terbesar didunia, sayang. Dan semua orang sudah tau itu."

"Tapi aku ingin—"

"Tidak ada tapi-tapi, sayang," selaku sembari melingkarkan tanganku dipinggangnya lalu menggesekan hidungku pada hidungnya. "Kau tidak lapar?"

Lyra terdiam, ia terlihat sedang berpikir dengan serius. Aku pun mencium keningnya lembut, turun menuju kedua matanya, hidungnya dan berakhir dengan kecupan singkat dibibirnya.

Lyra mengangkat  kepalanya sedikit lalu menatapku serius—tidak terlalu serius seperti tadi. "Malam ini bulan purnama, ya?"

Aku mengangkat satu alisku bingung. "Ya, kenapa?"

"Jika aku seorang werewolf, maukah kau menandaiku?"

Aku terbelalak ketika mendengar pertanyaannya yang sangat—ugh, memalukan. Seharusnya aku yang memulai untuk mengatakan hal-hal seperti itu padanya, bukan ia. Bodoh.

"Apa yang sedang kau bicarakan, sayang?"

"Aku serius, Xav," ujarnya yang membuat kedua mata almond itu semakin membesar. "Aku—"

"Tidak, kitten," selaku yang kedua kalinya. "Aku akan menandaimu, secepatnya. Mengerti?"

Seulas senyuman pun terukir diwajah Lyra, membuatku ikut tersenyum dan mencium kedua pipinya yang merona.

.
.
.

Lyra's POV

Aku mengelilingi rumah Xavier yang— ugh, sangat besar ini ketika Xavier mengatakan akan ada rapat mendadak di ruang kerjanya.

Rumah yang bergaya eropa namun didominasi oleh warna putih dan gold ini terasa sangat luas dengan minimnya barang yang ada. Bahkan aku sangat menyayangkan bangunan rumah ini yang hanya dihuni oleh Xavier dan aku—secepatnya.

Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri tur singkatku dirumah Xavier yang berakhir pada taman yang sangat luas dipekarangan belakang rumahnya.

Angin menerpa wajahku kencang, membuat surai hitamku berterbangan diantara semilir angin. Aku beruntung hari ini aku menggunakan sweater kelabu milik Xavier yang sebatas pahaku dan celana bahan selutut.

Aku mendongakkan wajahku ketika aroma hazelnut dan dior itu kembali tercium. Namun aroma itu terasa sangat jauh dan sulit untuk ku capai.

Seketika jarak pandangku kembali melebar dan menjernih. Kulihat cahaya berwarna hitam mengelilingi Hutan Terlarang dan aroma yang lainnya kembali tercium. Blueberry.

Aku berjalan mendekat kearah hutan dimana aroma blueberry itu berada, namun sebuah geraman terdengar dibelakangku yang membuatku lantas berbalik. Xavier disana, dengan mata hitamnya.

Aku tersenyum lebar lalu berjalan menghampirinya. Ketika aku telah sampai dihadapannya, Xavier langsung meraih pinggangku dan menatapku dalam-dalam.

Aku mengangkat kedua alisku bingung lalu membalas tatapannya. "Apa?"

"Jangan menatap ke arah Hutan terlalu lama. Mereka bisa mendeteksi keberadaanmu."

"Mereka?" tanyaku bingung.

Xavier mendekatkan bibirnya pada telingaku dan berbisik. "Red Fire, mereka sudah tau keberadaanmu."

Aku mengangguk kecil lalu mengalungkan kedua tanganku pada leher Xavier. Menghirup aroma Xavier sebanyak mungkin agar dapat melupakan aroma blueberry itu.

"Xav.."

Kurasakan Xavier mengeratkan pelukannya pada pinggangku dan bergumam pelan.

"Aku ingin bertemu Gregory."

Aku menahan napasku terkejut ketika Xavier langsung meraih lututku dan membopongku menuju kamarnya. Rahang Xavier mengencang dan matanya berkilat marah ketika ia sudah menurunkanku.

"Hanya Gregory, ada sesuatu yang ingin kutanyakan." Ucapku takut-takut.

Xavier mengalihkan pandangannya dariku lalu berdecak. Detik berikutnya ia melepas bajunya dan bersedekap. Aku menelan ludahku gugup lalu bersandar pada dinding dibelakangku, dan tanpa kusadari aku menggigit bibirku yang langsung membuat Xavier menciumku.

Aku menahan tubuhnya yang bertelanjang dada dengan kedua tanganku. Membuatku sedikit mendongak untuk membalas ciumannya. Dan shit, dia sangat panas.

Kali ini Xavier meraih tengkukku dan pinggangku untuk semakin mendekat kearahnya. Sesekali Xavier menggigit bibirku dan lidahnya menyelinap masuk ke dalam mulutku serta bermain dengan lidahku.

Seketika kurasakan sebuah cairan mengalir dari bibirku, membuat Xavier berhenti menciumku dan rasa perih pun dengan segera merayap ke daerah bibirku.

Ku tatap Xavier penuh tanda tanya, namun sorot mata hijau tua Xavier menggambarkan sebuah penyesalan. Perlahan-lahan kedua tangan Xavier beranjak naik menuju wajahku, ibu jarinya mengusap bibirku lembut dan rasa perih itu kembali datang.

Aku mengerutkan keningku ketika Xavier mengecup bibirku lembut  beberapa kali. Membuatku meraih kedua tangannya yang ada dipipiku lalu menggenggamnya erat.

"Aku baik-baik saja," ujarku yang berhasil membuatnya menoleh. "Aku tidak melihatnya."

Detik berikutnya Xavier menempelkan keningnya pada keningku lalu mengusap kepalaku lembut, dan rasa perih itu berubah menjadi kehangatan serta kenyamanan yang tiada tara.

"Maafkan aku." Lirih Xavier. Aku pun tersenyum tipis dan kembali mengalungkan kedua tanganku dilehernya.

"Aku tau kau marah karena aku terus menyebut nama mereka," ucapku sembari menatapnya. "Maaf, aku tidak akan mengulanginya."

Xavier pun menggeleng. "Jika mereka memang adikmu, aku tak punya hak untuk melarangmu bertemu dengan mereka. Aku akan menyuruh Larry untuk memanggil mereka kembali kemari. Kau mau?"

"Kau serius?"

Wajah pria tampan dihadapanku pun tersenyum. "Tentu, sayang."


To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro