Our Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menggerakan jemariku ketika sebuah cahaya menarikku ke dalamnya, membuatku membuka mata secara perlahan dan tidak mendapati apapun di sekitarku—hanya ranjang yang sedang ku tiduri dan sebuah sensasi hangat yang mendekapku.

Semuanya terasa gelap dan dingin. Kakiku bahkan bergetar kedinginan ketika kurasakan sebuah balok es seperti menempel di kakiku. Aku mengerang kecil ketika aku mencoba mendongak, membuat seseorang yang mendekapku terbangun dan menatapku dengan mata sayunya.

“Kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara yang sangat serak.

“Ya.”

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lagi yang membuat benakku mencari-cari siapa pria yang sedang mendekapku ini. Dan sebuah nama pun melintas di benakku. Xavier Huighstone.

Kali ini aku mengangguk, menghela napasku lalu merengkuh wajah Xavier lembut. Apakah ini perasaanku saja atau memang wajah Xavier terasa sangat kurus? Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena cahaya yang biasanya menyinari kami di padamkan.

“Kau terasa sangat kurus, Xav. Apa yang terjadi?” Suaraku tidak seperti biasanya, aku tau itu. Lagi pula ini juga bukan seperti suara Zane. Suara ini terasa sangat ringan dan dingin, membuatku berdeham dan mencoba mengembalikkan suaraku.

Sesuatu yang hangat seketika menyentuh jemariku yang perlahan-lahan mulai mendingin, membuatku menatap Xavier lekat-lekat hingga kurasakan napasnya berhembus tepat di depan wajahku.

“Aku merindukanmu.”

Aku baru sadar bahwa tangan Xavier memeluk pinggangku sedari tadi, membuatnya menarikku untuk lebih dekat lalu di tenggelamkannya kepalanya di lekukan leherku.

Sesuatu yang hangat kembali menyapa leherku ketika lambat-laun napas Xavier menjadi pendek dan dapat ku simpulkan bahwa ia terisak. Untuk apa?

“Aku merindukanmu juga, Xav,” ujarku seraya mengusap-usap dadanya yang terasa sangat panas. “Berapa lama aku tertidur?”

Xavier tak menjawab, ia hanya menghirup aromaku hingga dalam sekejap ia sudah menyambar bibirku dan menciumnya lembut. Aku terpaku untuk beberapa saat, merasa bingung harus melakukan apa. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mataku dan membalas ciumannya.

Tak seperti biasanya, bibir Xavier terasa kering dan hambar. Entah apa yang terjadi padanya selama ini hingga membuatku melepaskan bibirku padanya dan menatap kedua mata hitamnya yang terasa sangat gelap.

“Berapa lama?”

Ku lihat Xavier menarik napasnya panjang lalu membalas tatapanku. “22 hari.”

Aku membulatkan mataku tidak percaya, menggeleng kecil lalu menelusuri wajah Xavier dengan jemari dinginku. “Apa yang terjadi?”

“Aku tidak bisa menjelaskannya—“

“Kenapa?”

“Xena, aku tidak—“

“Katakan padaku, Xav.” Suaraku pun mulai meninggi.

“Aku tidak bisa, Xena! Ini menyakitkan!”

Aku langsung menciut ketika suara Xavier berubah menjadi sangat rendah dan membentakku secara bersamaan. Membuat kaki serta tanganku bergetar ketakutan. Ku dengar ia menghela napas lalu mencium keningku lama dan sebuah kehangatan pun merayap cepat ke dalam tubuhku.

“Maaf, aku tidak bermaksud menaikkan nada suaraku,” ujarnya lalu memainkan rambut ku yang menutupi sebagian wajahku. “Hanya saja, aku tidak siap.”

Aku pun mengangguk, menundukkan kepalaku sejenak lalu kembali menatapnya. “Kau harus siap, karena aku harus tau apa yang terjadi.”

“Oke,” Xavier pun menjentikkan jarinya, dan seketika cahaya penerangan di kamar kami menyala. Aku menahan napasku ketika ku dapati wajah Xavier sangat kurus yang di sertai kantung mata yang sangat dalam serta lebam-lebam di wajahnya.

Pandanganku pun turun menuju tubuhnya, kaus yang ia pakai memiliki sobekan dimana-mana dan sebuah cakaran yang cukup panjang terlukis di sepanjang tangan kanannya. Bahkan tubuh kekarnya tidak sebesar sebelumnya.

Ku alihkan pandanganku menuju ruangan yang sedang ku tempati, tidak layak. Sangat berantakan, barang-barang berserakan di lantai, sofa putih yang berada di ujung kasur mengeluarkan busanya, pintu menuju balkon terlepas dan kacanya pecah. Aku menggeleng tidak percaya saat aku menyadari bahwa ini adalah kamarku yang berada di Cygnus.

Di dinding kamarku terdapat banyak cakaran serta bercak darah. Pakaian yang kugunakan juga sedikit sobek dan terdapat banyak darah yang membekas pula. Bahkan pintu kamarku terlepas dari engselnya dan kenopnya lepas entah kemana. Tak terasa embun di kedua mataku mulai merangkak naik, membuat pandanganku buram dan lantas memeluk tubuh kurus Xavier.

“Apakah ini—apakah ini perbuatanku?”

“Tidak semuanya, sayang.” Jawab Xavier seraya mengusap rambutku lembut.

“Aku mohon, jangan tutupi apapun dariku,” ujarku yang mulai terisak. “Katakan padaku apa saja yang sudah terjadi, aku mohon.”

Xavier pun menghela napas, kembali menjentikkan jemarinya yang lantas cahaya di kamarku kembali padam lalu merengkuh tubuhku.

“Sesaat setelah Xander mengatakan suatu hal tentang nenekmu, kau pingsan dan tidak terbangun selama dua hari. Setelah itu kau mulai terbangun setiap pukul satu dan mulai menarik rambutmu sembari berteriak marah. Delapan hari kemudian, Romeo datang dan mencari tau apa yang terjadi padamu, namun kau malah mendorongnya dan membuatnya terjatuh hingga ke lantai satu melewati balkon itu. Empat hari setelahnya, Ayahmu datang dan mengatakan bahwa ia akan membawamu menuju Xilvonia, namun lagi-lagi kau menarik rambutmu sembari berteriak-teriak marah dan mencakar dinding. Kau menyudutkan Ayahmu dan nyaris membunuhnya. Aku hanya ingin bercerita sampai sini.” Jelasnya yang lantas membuatku semakin terisak.

“Maaf, aku sangat bodoh.”

“Tidak, aku tau kau tidak akan berbuat hal sebodoh itu.”

Aku menggeleng, sangat tidak setuju dengan perkataannya sembari mendongak. “Dan kau, apa yang terjadi padamu? Apa aku menyiksamu juga?”

Ku lihat Xavier menyunggingkan senyuman miring, ia terlihat tidak nyaman dan sakit pada waktu yang bersamaan. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”

“Apa yang kau lakukan?”

“Aku akan memberitahumu nanti saat kau sudah pulih,” jawabnya seraya mengusap dahiku lalu kembali menciumnya. “Sekarang mandilah, aku akan meminta para pelayan merapikan kamarmu. Aku menunggumu di depan pintu, oke?”

Untuk beberapa saat aku terdiam, memandangi wajah tampan dihadapanku lalu mengangguk kecil.

.
.
.

Seluruh pasang mata tertuju padaku ketika aku keluar dari kamarku dengan gaun hitam kebesaran yang membalut tubuhku. Rambut hitamku di ikat setengah dan sepasang ankle boot wedges berwarna merah menyala menyelimuti kedua telapak kakiku yang mulai membeku.

Entah Xavier akan membawaku kemana dengan pakaian seperti ini, yang pasti setelah aku keluar kamar mandi tadi seorang pelayan yang sedang merapikan kamarku mengatakan bahwa aku harus menggunakan gaun serta wedges ini.

Lady, perkenalkan, namaku Charles. Aku yang bertugas menjagamu selama bepergian, Lady.”

Aku mengangguk ketika seseorang membungkuk kearahku, membuatku menoleh dan menatap Xavier yang kini sedang mengalihkan pandangannya dariku.

“Kita akan kemana?” tanyaku pada seseorang itu.

“Barat daya Xilvonia, Lady, kau akan mendapatkan pelatihan khusus disana.”

Aku pun mengernyitkan alisku bingung. “Pelatihan apa?”

Kulihat Charles terdiam sejenak. “Kekuatanmu.”

“Kekuatanku?” tanyaku tak percaya. “Hei, aku sudah dapat megendalikan elf serta werewolfku!”

“Bukan itu, namun yang lain, Lady.”

“Apa?”

“Eh—“

“Vampire?” tanyaku yang lantas membuat Charles terpaku dan dengan sangat jelas memberikanku jawaban atas segala hal yang terjadi. Aku adalah Vampire. Sementara Zane dan elfku hanyalah peralihan jati diriku yang masih labil.

Aku pun mendengus, mengangkat dagu Charles sedikit kasar lalu menatapnya jauh ke dalam dirinya.

“Apakah aku salah satu dari rasmu?” tanyaku yang lantas membuatnya gemetar ketakutan. Bahkan pria berambut putih ini kesulitan untuk menelan ludahnya.

“Jawab aku.” Desisku saat ia tak kunjung ingin membuka mulutnya.

“Sshh, sayang,” sebuah tangan hangat pun merengkuh tubuhku dari samping, meraih tanganku yang berada di dagu Charles lalu mencium pelipisku lembut. “Cukup, oke? Tidak ada yang mengatakan bahwa kau adalah Vampire. Hanya saja ini permintaanku, aku ingin tau apa yang terjadi padamu.”

Ku tatap kedua mata sayu yang sedang menatapku, hendak memarahinya jika sebuah getaran aneh tidak mengalir di tubuhku dan membuat amarah itu hilang dalam sekejap, tergantikan dengan perasaan nyaman serta aman yang selalu kurasakan setiap berada di sisinya.

“Kita pergi sekarang, kau tak keberatan, ‘kan?”

Aku mengangguk seraya menjawab pertanyaan Xavier. Sementara Charles sudah membalikkan tubuhnya dan membawa kami menuju pekarang depan Istana.

Aku baru sadar bahwa bulan tengah tergantung diatas kami, membuatku menatap bulan untuk sesaat lalu mengamati gerak-gerik pelayan yang sedang menuntun kami menuju mobil.

Setelah kupikir-pikir, sangat berat bagi Charles untuk kemari. Di kelilingi oleh para werewolf yang siap menerjangnya kapan saja jika ia melakukan hal-hal yang membuat mereka tersinggung, pasti akan membuatnya terpaku sepanjang hari jika bukan Xavier yang melindunginya.

“Kau ikut, ‘kan?” tanyaku pada Xavier saat Charles membukakan pintu mobil limusin yang akan kami gunakan.

Xavier pun menggeleng. “Aku ingin, tapi tidak bisa,” ujarnya lalu merengkuh tubuhku ke dalam dekapannya. “Kau akan baik-baik saja, Xena, semuanya akan baik-baik saja.”

“Bagaimana kau tau bahwa aku akan baik-baik saja saat kau tak akan ada disana?”

Kurasakan tangan hangat Xavier mengusap rambutku, ia menghela napas berat dan dapat ku dengar degup jantungnya yang berdetak sangat cepat.

“Aku selalu mengawasimu.”

Perlahan-lahan aku mengangguk, memberikan seluruh kepercayaanku pada Xavier lalu melepaskan dekapan pria itu berat hati. “Apakah keluargaku tau?”

“Mereka tau.”

“Oke,” ujarku seraya berjalan mundur perlahan-lahan. “Aku akan merindukanmu.”

“Aku juga.”

Belum sempat aku berbalik badan, Xavier kembali menarik pinggangku lalu menempelkan bibirnya pada bibirku. Dan setetes air mata pun terjatuh begitu saja dari sudut mataku, membuat Xavier melepaskan bibirnya dariku perlahan-lahan lalu menyeka air mataku.

“Jangan menangis, aku akan mengunjungimu jika Raja mereka membiarkanku masuk,”

Aku pun mengangguk, menghela napas berat lalu kembali berjalan mundur.

“Aku mencintaimu, Xena.”

“Aku juga.”

.
.
.

Aku memukul-mukul kaca dihadapanku dengan brutal ketika aku melihat darah seekor rusa mengalir dengan deras di balik kaca sialan ini. Kedua taringku sudah memanjang dan seluruh kekutanku teralih menuju tangan kiriku yang masih berusaha untuk memecahkan pembatas ruangan ini.

Ku alihkan pandanganku dan ku dapati kursi yang terbuat dari kayu berada di belakangku. Dengan segera ku raih kursi itu lalu ku lemparkan menuju kaca dihadapanku. Namun yang terjadi ialah kursi itu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil dan beberapa darinya menusuk kulitku.

Sialan, apa peduliku.

Aku menggeram kesal ketika ruangan putih di sekelilingku terasa sangat sempit dan kecil, membuat emosiku melunjak naik dan ruangan ini pun bergetar hebat.

Ku langkahkan kakiku mundur, mengambil ancang-ancang untuk menerobos ruangan ini lalu berlari dengan kekuatan penuh. Saat jarakku dengan kaca sialan itu sudah dekat, ku hentakkan kakiku dari pijakkanku lalu melompat dan menendang kaca itu. Sialnya, kaca itu tidak memberikan sedikit celah dan aku tersungkur jatuh di lantai yang dingin ini.

Dingin.

Ya, apa lagi?

Seketika bayangan akan Xavier beberapa hari lalu membuatku terpaku, sebuah perasaan yang bahkan aku tidak dapat mengenalinya lagi menghiasi benakku. Perasaan yang selalu hadir di setiap pria itu berada di sampingku dan mendekapku erat. Perasaan yang selalu hadir pula di setiap Ayah memelukku dan perasaan yang selalu hadir di saat kerabatku berada di sisiku.

Kehangatan? Bagaimana rasanya?

Aku tersenyum hambar mengingat bagaimana berubahnya diriku sejak Charlie—Raja Vampire—memasukkan ku kemari tiga hari lalu. Ia tidak memberikanku makanan maupun minum, ia hanya memberikanku sekantung darah segar yang masih menggantung di samping pintu yang entah terbuat dari apa—aku bahkan mematahkan lengan kananku—dan belum pernah ku sentuh sama sekali.

Entah apa yang di inginkan Charlie hingga membuatku tersiksa dengan hanya melihat darah yang mengalir dari balik ruangan ini yang tiap harinya tentu berbeda.

Aku pun bangkit dari posisiku, memojokkan diriku lalu meringkuk sembari memeluk kedua lututku. Semua memoriku akan Xavier kembali berputar di benakku, di mulai dari saat Xander mengenalkannya padaku hingga kejadian tiga hari lalu.

Lagi-lagi aura dingin itu merayap naik ke dalam tubuhku, membuatku gemetaran dan menarik rambutku kesal. Bibirku pun bergetar sembari mengeluarkan umpatan-umpatan yang selalu ku pendam beberapa hari terakhir sementara kedua tangan serta kakiku mendingin dan bergetar lemas.

Aku tak kuat. Hatiku telah berteriak sakit sejak Charles mengatakan bahwa aku akan mendapati perawatan intens untuk mengeluarkan atau bahkan memendam kekuatan Vampireku. Hatiku meronta, namun apa daya jika Charlie telah mengurungku disini selama tiga hari tanpa sedikit pun asupan untuk tubuhku atau sebatas penjelasan kenapa aku disini.

Aku merindukan kehangatan. Kehangatan dari keluarga besarku, kehangatan dari kerabatku dan kehangatan dari Xavier. Aku ingin berbicara dengan Zane. Aku ingin mengeluarkan sayap merah marunku yang selalu bergetar semangat setiap saat aku memanggilnya. Aku ingin berlari, aku ingin terbang, aku ingin tertawa. Aku ingin segalanya.

Guncangan di hatiku pun terasa semakin jelas, membuat air mata jatuh begitu saja di pipiku dan membasahi pipiku yang sudah membeku. Aku menggeleng, menyeka air mataku saat teringat janjiku pada diriku sendiri untuk tidak meneteskan air mata lagi. Semuanya akan baik-baik saja.

Namun lagi-lagi air mata itu terus jatuh membasahi pipiku, membuat kedua tanganku kembali menarik rambutku marah dan kedua kakiku menendang serpihan-serpihan kayu di dekatku.

Aku berteriak sekencang mungkin, mengeluarkan amarahku yang telah terpendam lama sembari menangis sejadi-jadinya. Aku benci ini, aku benci diriku yang lemah. Kemana Xerafina yang selalu kuat dan ditakuti musuhnya? Kemana Xerafina yang selalu berhasil mengatasi masalahnya dan tak pernah menyerah?

Di telan bumi.

Aku terpaku, dalam sekejap otakku memberhentikan seluruh pemberontakanku dan terdiam begitu saja saat sebuah suara yang serak dan basah menggema di benakku. Membuatku semakin terisak sembari memukul dadaku dengan kepalan tanganku.

Sialan, Putri, apa yang kau lakukan?

Zane, apa itu kau?

Kau pikir siapa lagi, Putri?” tanyanya yang lantas membuatku menyeka air mata di wajahku lalu menyandarkan tubuhku pada dinding di sampingku. “Oh astaga, ayolah, aku merindukan Putriku yang selalu memberikanku perintah.

Perlahan-lahan otakku mendingin, sedikit lega karena pada akhirnya ada yang mengajakku berbicara. Aku pun menghela napasku, memejamkan mataku sejenak lalu kembali menarik kedua kakiku dan memeluknya.

Apa kau ada disana selama ini?” tanyaku.

Ya,  dan aku menunggu perintahmu,

Aku terkejut saat mendengar ucapan Zane. Ia menungguku?

Sepertinya Vampire sialan itu telah membuatmu buta, Putri. Apakah kau tidak lihat? Mereka hanya merehabilitasimu atas tindakan brutalmu satu bulan yang lalu. Mereka melakukan hal yang harus mereka lakukan. Mereka tidak ingin kau menjadi Vampire gila yang akan membantai seluruh Ave seperti apa yang nenekmu nyaris lakukan. Mereka bersimpati. Alasan Charlie memberikanmu sekantung darah karena ia tau kau akan membutuhkannya. Lagipula itu adalah darah Xavier, kau telah terikat dengannya dan hanya dengan itu kau bisa melupakan haus serta laparmu. Setelah ini, kita akan kembali pulang. Setelah kau meminum darah itu dan menghancurkan kaca sialan ini. Mengerti?

Aku terdiam untuk beberapa saat, meresapi perkataan Zane baik-baik lalu sebuah kehangatan perlahan-lahan merayap naik dari ujung kakiku. Aku menelan ludahku gugup lalu menarik dan menghela napasku teratur, memantapkan tubuhku kemudian berdiri dan meraih sekantung darah yang belum pernah ku sentuh.

Tepat setelah aku meraih sekantung darah itu, sebuah gelas transparan seketika menampakkan wujudnya dihadapanku yang lantas membuatku meraih gelas itu. Sebuah meja kecil pun perlahan-lahan keluar dari bawah lantai yang berada di pojok ruangan, membuatku memundurkan diriku sedikit sembari menunggu meja tersebut berhenti.

Ku letakkan gelas transparan itu di atas meja lalu ku sobek plastik yang membungkus darah Xavier dengan gigi taringku. Setelah tersobek, ku tuangkan sedikit darah Xavier ke dalam gelas tersebut. Sial, bahkan aroma mintnya masih dapat ku cium.

Semua, Putri, kau hanya akan bertahan selama seperempat jam di bawah matahari jika hanya sedikit.” Ujar Zane yang kuyakini sedang membahas darah yang akan ku minum.

Aku pun mengangguk, menuangkan semua darah yang berada di dalam kantung itu ke dalam gelas. Setelah itu ku buang kantung sialan itu sembarangan dan kuraih segelas darah yang akan menjadi asupanku. Asupan?

Aku tertawa hambar saat menyadari diriku yang perlahan-lahan memiliki sifat ke-vampire-an, membuatku tersenyum miring lalu meneguk habis darah Xavier. Dan seketika perutku kembali bergemuruh—tidak, tidak seperti biasanya—membuat jantungku memompa dengan cepat dan seulas senyuman terukir di wajahku.

“Ayo, kita selesaikan ini.” Gumamku seakan-akan menyemangati diriku sendiri.

Setelah itu aku kembali menjauhi kaca yang menjadi pembatas ruanganku dengan dunia luar. Mengambil ancang-ancang sejenak lalu kembali berlari dengan sekuat tenaga. Ku hentakkan tubuhku dari pijakanku lalu ku tendng kaca sialan yang sedari tadi tidak ingin pecah itu.

Bunyi nyaring khas suara kaca pecah pun membuatku tersenyum puas saat aku tau bahwa aku berhasil keluar dari ruangan tersebut. Dan tepat setelah itu, aku mendapati seorang pria dengan rambut bewarna krem serta kedua matanya yang berwarna kelabu sedang berdiri tak jauh dariku dengan seulas senyuman di wajahnya.

“Aku senang kau telah kembali menjadi dirimu, Putri Xerafina,”

Aku mengangkat kedua alisku bingung, mengangguk pelan lalu menatap kedua matanya. Ku lihat Charlie berjalan kearahku, di tangannya ada sebuah handuk berwarna putih dan tas kecil berwarna putih.

“Aku sangat lega kau berhasil melewati pergulatan antara Vampire dan werewolf di dalam dirimu. Omong-omong, Charles akan mengobati lukamu. Nah sekarang, kau bersiaplah.” Ujarnya seraya memberikanku handuk serta tas berwarna putih itu.

“Untuk apa?”

“Kembali ke rumah, Putri,” Charlie pun semakin merekahkan senyumannya. “Dan selamat atas pernikahanmu.”

.
.
.

Tepat setelah aku sampai di Maegovanen, Viona langsung membawaku masuk ke dalam kamarku dan meriasku dalam waktu yang singkat. Ia menyuruhku menggunakan gaun berwarna putih dengan rok yang mengembang hingga ke lantai dan ankle boot wedges berwarna putih. Setelah itu Gregory, Ethan bersama satu gadis lainnya—yang kuyakini ialah Alina, matenya Ethan—datang ke kamarku dan membawaku berteleportasi menuju Cygnus.

Sesampainya disana, aku dapat melihat Ibu sedang menangis haru dan langsung memelukku. Ia meminta maaf karena tidak pernah berinteraksi padaku karena ia terlalu takut, entahlah, aku juga tidak terlalu mengerti. Kemudian Ayah menarik tanganku dan mengucapkan beberapa hal untukku ke depannya, hingga yang tersisa di ruangan ini hanya ada Ethan serta Gregory.

Setelah memeluk kedua adikku erat, mereka merekahkan senyuman lebar lalu menarik kedua tanganku dan di kalungkannya di kedua tangan mereka. Ethan berdiri di samping kananku sembari membawa bunga yang seharusnya aku bawa, sementara Gregory yang berada di samping kiriku membawakan sebuah kotak kecil berwarna merah marun.

Dan semuanya terasa sangat lambat saat aku mendapati Xavier dengan balutan tuxedo hitam sedang memaksakan sebuah senyuman diwajahnya, membuat jantungku berdenyut sakit dan memompa dengan cepat. Apakah ia tidak ingin melaksanakannya? Kenapa seperti ada sebuah paksaan diantaranya? Atau ini hanya perasaanku saja?

Xavier pun mengulurkan tangannya saat aku sudah berada dihadapannya, membuatku meraih tangannya yang sudah mulai membaik lalu menggigit bibirku gugup. Seakan tak menyadari kegugupanku, Xavier hanya menarik tanganku lembut yang lantas membuatku menaiki undakan tangga yang menjadi pijakan Xavier sedari tadi.

Aku memperhatikan Ayah yang kini sedang menyampaikan hal-hal kecil untuk kami, namun aku terkejut setengah mati saat ku dapati Ayah beserta tamu yang hadir membeku. Aku pun menoleh kearah Xavier, ku dapati ia sedang menunduk dan perlahan-lahan memutar tubuhnya dan menatapku.

Kedua kaki serta tanganku pun bergetar ketakutan, kedua alisku mengerut dalam saat kedua mata hitamnya berkilat-kilat dan menatapku serius. Namun segala ketakutan itu segera sirna saat Xavier meraih pinggangku lalu mencium bibirku lembut. Aku merasakan sebuah kerinduan dan penyesalan yang terdalam darinya, membuatku melepaskannya secara perlahan lalu meletakkan kedua tanganku di depan dadanya yang sudah mulai kembali normal.

“Ada apa?”

Xavier pun merengkuh tubuhku, menenggelamkan kepalanya di lekukan leherku lalu mengusap-usap rambutku lembut. Sementara aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis sembari membalas pelukan Xavier.

“Aku menyesal. Aku sangat menyesal telah mengirimmu kepada para Vampire. Aku tidak tau bahwa kau akan melukai dirimu separah ini dan kekosongan di hatiku semakin menjadi-jadi saat aku tau kau terus menggeram marah. Seharusnya aku saja yang menjagamu disini, seharusnya aku saja yang memberikanmu sebuah istirahat, seharusnya aku saja yang berada di posisimu.”

Air mata mulai berjatuhan di pipiku, membuatku mengeratkan pelukanku pada Xavier sembari menahan isakan yang akan segera keluar.

“Tidak, kau melakukan hal yang benar. Aku sadar bahwa werewolf beserta elfku tidak akan meninggalkanku. Tidak akan ada yang bisa mengubahku terkecuali aku yang ingin merubahnya,” jawabku nyaris terisak. “Terima kasih, dan aku mencintaimu.”

Setelah itu aku pun tersadar, Xavier menangis karenaku. Ia menahan segala kegelisahannya demi diriku. Diriku yang terlanjur bodoh dan mementingkan nafsu Vampireku.

Bahkan setelah sekian lama menjalin hubungan bersama Xavier, aku baru sadar bahwa ialah satu-satunya pria yang dapat merubahku. Satu-satunya pria yang bisa membahagiakanku tanpa ku sadari. Dan satu-satunya pria yang bisa membuatku sadar bahwa aku sangat di cintai.

Terima kasih, Xavier Huighstone, aku mencintaimu.

END.

Sesungguhnya aku ga percaya ff ini udah end x") thanks for the votes and comments, itu buat aku semangat banget buat ngerjainnya. Makasi juga buat viewers yang baca doang, aku tau kalian terlalu asik bacanya jadi lupa ngevote x")

Dan aku berencana buat bikin sequel tentang anak mereka nanti. Kl ada yang nungguin/? Atau setuju, tolong tinggalkan jejak.gihiii~ terima kasih banyaaak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro