Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari-hari telah berlalu setelah hari pernikahanku dengan Xavier. Suasana pack Gloody kembali menghangat, keadaan keluargaku juga telah membaik. Ditambah dengan berdamainya kedua pack, Gloody dan Red Fire, membuat hatiku semakin senang.

Beberapa pria membantuku merapikan apartmen yang kutinggali bersama Grace waktu itu. Sementara sebagiannya lagi membantu membersihkan istana dan membangun rumah pack baru yang berguna untuk menambah daya tampung para anggota pack.

Grace berada di sampingku saat aku berdiri tepat di depan jendela yang berada di dapur. Menatap rembulan yang tengah bersinar sembari tersenyum, mengingat bagaimana cerita ini dimulai hingga menuntunku kembali pada Xavier.

"Aku berhutang cerita padamu, Nak."

Aku menoleh, menatap kedua mata Grace lembut. "Aku sudah tahu, Bu. Aku tahu alasan di balik kenapa beberapa tahun terakhir kau tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Kau berada di bawah tekanan Sky jauh sebelum aku bertemu Xavier. Kau dilarang berbicara padaku karena kau tahu aku bisa saja mendapatkan kembali ingatanku."

Kali ini Grace yang tersenyum, ia meraih kedua bahuku seraya membawaku untuk menghadap ke arahnya. "Dan dengan diam-diam, aku melihat kegigihanmu untuk memecahkan semuanya, aku masa bodoh dengan tekanan Sky sehingga aku kembali berubah menjadi manusia saat kau datang bersama Max. Aku mencintaimu layaknya kau adalah anakku, Xerafina."

Kami pun berpelukan. Kuakui Grace lebih berperilaku seperti seorang ibu dibandingkan ibuku sendiri. Entah itu karena Grace yang memang sangat ingin memiliki seorang anak atau ibuku sendiri yang tak pernah memberikan perhatiannya padaku.

"Putri, Alpha Xavier datang," ujar Max tiba-tiba. Aku pun melepaskan pelukan Grace, mengangguk kepadanya dan menyuruh Max untuk membiarkan Xavier masuk.

"Kau bisa ajak Klinx untuk masuk ke dalam pack, Bu, kalian akan sangat diterima," ujarku seraya menggenggam kedua tangan Grace dan menggoyang-goyangkannya.

Grace menggeleng lemah. "Tidak, sayang, terima kasih."

Aku memajukan bibirku tanda merajuk. "Oh ayolah, Bu, aku tidak bisa jauh darimu."

"Tidak, sayang."

"Ahh ibu, ayolah." Kali ini aku mengeluarkan jurus mengedipkan mata berkali-kali kepadanya, membuat Grace tertawa kemudian tersenyum lebar.

"Oke, baiklah. Aku akan ke packmu besok, Luna."

"Oh astaga Luna." Aku pun tertawa. "Panggil aku Putri, Nyonya Grace Laxvord," ujarku seraya berpura-pura menjadi seorang putri kerajaan yang jahat.

Kami kembali tertawa, membuatku menarik Grace ke dalam pelukanku hingga sesosok yang sangat kudambakan terlihat sedang bersandar pada dinding dapur seraya bersedekap. Ia menatapku dengan seulas senyuman yang selalu menjadi kesukaanku.

"Aku mencintaimu, Bu."

"Aku juga mencintaimu, Xerafina."

Kali ini Grace melepaskan pelukannya, menatap kedua mataku sejenak seraya menghela napas dalam. "Cepatlah, tatapan pria itu menandakan sudah tidak bisa menunggu lebih lama." Sekali lagi kami tertawa saat tiba-tiba Grace mendorongku untuk menghampiri Xavier.

Ternyata pria itu ikut tertawa, mengulurkan tangannya kemudian meraih tanganku. "Grace, datanglah ke pack kami kapan pun kau mau. Kau akan disambut di sana."

Grace semakin merekahkan senyumannya. "Terima kasih, Alpha."

Xavier pun mengangguk. "Terima kasih juga telah menjaga Xerafina, Grace."

"Dengan senang hati."

Aku dan Xavier melangkah pergi. Membiarkan para pria membantu Grace yang masih merapikan apartmennya. Kudongakkan wajahku untuk menatap kedua mata Xavier, membuatnya membalas tatapanku seraya tersenyum miring.

"Sayang, jangan menatapku seperti itu."

"Kenapa?" tanyaku.

Xavier pun melirikku sejenak sebelum ia menekan tombol lift. "Hentikan saja."

"Tidak mau."

Pria itu pun memutar badannya, membalas tatapanku lekat hingga dapat kurasakan wajahku memanas malu. Oh ya ampun.

Xavier menyengir, menarikku ke dalam lift saat bunyi 'ting' terdengar. Kami masih saling berpegangan di dalam keheningan. Entah kenapa merasa canggung dengan status yang kami miliki saat ini.

Atau,

Memang sifat Xavier yang sesungguhnya seperti ini. Pendiam.

Tepat sebelum kami berhenti di lantai satu, Xavier menarik tanganku, mengecup bibirku lembut kemudian bertingkah seperti tidak ada apa-apa. Aku tertawa lepas, melepaskan genggamannya, dan memeluk lengan kekar pria itu.

Saat kami melangkah keluar, kurasakan kehangatan menjalar di pelipisku. Setelah bibir kenyalnya menyapu pelipisku, ia menciumi puncak kepalaku berkali-kali sebelum akhirnya ia menghentikan langkah dan berbisik tepat di telingaku.

"Aku mencintaimu, Xerafina."

Aku tersenyum lebar, mengusap-usap pipiku di lengannya kemudian berbalik untuk menghadap pria itu. Xavier tengah tersenyum manis, kedua matanya yang berwarna hijau tua menghanyutkanku di tengah samudra cinta yang tak berujung.

Kurengkuh wajahnya, menjijitkan kakiku kemudian mencium bibirnya lembut. Kedua tangan Xavier pun menyapa pinggangku, memeluknya erat hingga aku sempat terkejut.

"Xav...." Panggilku setelah aku melepaskan bibirku darinya. Walaupun begitu, jarak wajah kami masih begitu dekat.

"Apa, sayang?" Aku menggigit bibir bawahku ragu sebelum akhirnya mengangkat kedua mataku untuk kembali menatapnya. "Oh astaga, jangan buat aku ketakutan."

Aku terdiam untuk sejenak. "Aku mau buang air kecil."

Tepat setelah itu tawa Xavier meledak, begitu pun aku. Membuatnya langsung menggendongku dan berlari menuju mobil kami yang tak jauh dari sini.

Saat di perjalanan, dengan bodohnya Xavier menawarkan pilihan untuk buang air kecil di tengah hutan yang kubalas dengan pukulan manja di dada bidangnya. "Dasar bodoh," ujarku seraya tertawa.

Xavier berkendara dengan cepat di tengah hutan walaupun sekali-kali kudapati ia melirikku. Aku pun yang kebingungan harus melakukan apa sembari menahan keinginanku untuk ke kamar mandi memutuskan untuk mengubah arah dudukku. Kusandarkan punggungku pada pintu mobil, menatap pria itu dengan seulas senyuman miring sembari bersedekap.

"Sayang, aku bilang jangan tersenyum seperti itu," ujarnya saat sudut bibirnya ikut tertarik ke atas.

Aku hanya terdiam, mengamatinya lekat-lekat hingga membuat pria itu tertawa kecil dan menoleh ke arahku. "Sayang, hentikan itu."

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku jadi tidak fokus, mengerti?"

Kali ini aku tertawa seraya menyandarkan tubuh pada bangku dan kembali menatapnya lekat-lekat. "Tidak, Tuan."

Mendadak Xavier menghentikan laju mobilnya, meraih daguku kemudian mencium bibirku lembut. Aku tersenyum seraya membalas ciumannya, merengkuh wajahnya dengan kedua tanganku sembari beranjak dan duduk di pangkuannya.

Xavier memeluk pinggangku erat, membuatku segera melepaskan ciuman kami dan menatapnya panik. "Astaga, Xavier, aku sudah tidak tahan untuk buang air kecil!"

Pria ini kembali tertawa terbahak-bahak. Meraih stir mobil dan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Kakiku terus bergetar sembari memeluk leher Xavier dan menenggelamkan wajahku di lehernya. Membuat pria bermata hijau tua ini semakin menginjak pedal gas dalam.

Kemudian mobil kembali terhenti, membuatku melingkarkan kaki di pinggang Xavier dan dirinya yang menggendongku. Ia berlari ke dalam rumah secepat mungkin sembari memelukku agar tidak terjatuh. Membuatku diam-diam tertawa karena kebodohan kami.

Beberapa kali aku mendengar pertanyaan kebingungan dari para penjaga Istana maupun perawat kebun. Namun Xavier tidak menghiraukannya, ia terus berlari dengan cepat hingga tanpa kusadari kini kami sudah berada di dalam kamar mandi.

Ia menurunkanku, menatapku panik yang kubalas dengan pelototan. "Keluaaaarr!"

"Maaf, aku lupa." Xavier keluar sembari tertawa. Mengundang tawa pula dari diriku sembari membuang air kecil.

Setelah selesai, aku menyempatkan diriku terlebih dahulu untuk bercermin. Merapikan penampilanku sebelum akhirnya keluar dan mendapati Xavier tengah terduduk di pinggir ranjang sembari memainkan jarinya.

Aku tersenyum saat ia mendongak dan membalas senyumanku. Setelahnya kuputuskan untuk duduk tepat di sampingnya seraya menyandarkan kepalaku pada bahu Xavier.

"Xav?" panggilku.

Xavier berdeham. Tangan kekarnya merengkuh bahuku agar dapat lebih rapat dengannya.

"Xavier?" panggilku lagi.

"Apa, sayangku?"

Aku semakin melebarkan senyumanku. Mendongak menatapnya kemudian mengecup rahangnya. "Aku mencintaimu."

END

Actually harini anniv/?nya Ave karena udah genap setahun. Tapi yang ada di draft aku cuma ini. Dan sebut aja ini juga karena aku rindu sama XeVier. Enjoy!~♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro