The Missing Memories

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Would you tell me I was wrong?

Would you help me understand?

Are you looking down upon me?

Are you proud of who I am?

There’s nothing I want to do

To have just one more chance

To look into your eyes

And see you looking back

If I had just one more day

I would tell you how much that

I’ve missed you since you been away

But it’s dangerous

-

Xerafina’s POV

Aku membuka kedua mataku secara perlahan ketika cahaya yang menyilaukan menusuk ke dalam kelopak mataku, membuatku mengerjap beberapa kali dan tersadar bahwa aku tidak berada di tempatku tadi. Bahkan cahaya menyilaukan itu mulai meredup.

Kulihat Xavier berada jauh dihadapanku, namun perlahan-lahan ciri fisiknya berubah dan menjadi seorang remaja laki-laki dengan kaus oblong hitam serta celana pendek merah.

Ia terlihat menatapku untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya ia berdeham dan suara yang sangat familier berdengung di telingaku, membuatku tersenyum tanpa henti ketika ia mulai berbicara.

"Hi, Xena. Ini aku, Xavier Huighstone. Seseorang yang selalu menunggumu untuk kembali. Sesungguhnya aku sangat berterima kasih kepada Romeo Xavewood karena mau membantuku untuk membuat visi ini. Dan aku tidak tau pasti kapan kau akan melihat ini, namun menurut Romeo kau akan melihatnya saat ingatanmu telah kembali, di saat packmu dan packku diambang kehancuran,"

Perlahan-lahan senyuman di wajahku pun menghilang, tergantikan dengan kedua alisku yang mengerut dan menatapnya bingung.

"Jika kau bertanya-tanya dimana diriku saat kau telah mendapatkan ingatanmu kembali, maka aku ada di tebing dimana kau menemukanku ketika aku sedang bersenandung untukmu untuk pertama kalinya. Kau tau, Xena, aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini sebelum kau menemukanku,”

Sebuah ulasan senyuman pun mengembang di wajahnya dengan tulus, membuat hatiku secara mendadak berdenyut sakit. Ku pejamkan kedua mataku sejenak, mencoba menahan air mata yang akan segera turun lalu kembali menatap Xavier yang kini masih tersenyum padaku.

“Entahlah, Xena, rasanya aku benar-benar seperti berbicara padamu. Seakan-akan kau ada dihadapanku sembari menatapku dengan kedua mata merah marunmu,” lanjutnya yang lantas membuatku menggigit bibir untuk menahan isakan yang akan segera meluncur.

“Omong-omong waktuku sudah tidak banyak. Aku sangat berharap padamu bahwa kau bisa membunuh penyihir sialan itu kelak. Dan masalah Ibuku yang meninggal, itu bukan salahmu. Aku tau kau hanya mencoba untuk melindungi adik-adikmu dan keluargamu, Ibuku pantas mendapatkan itu,” ujarnya dengan senyuman yang lambat laun menghilang.

Kini kedua mata hijaunya itu pun menghitam dan berkilat-kilat, tidak ada pupil merah diantaranya. Air mata terus berjatuhan di pipiku, membuatku menutup mulut dengan kedua tangan dan berharap isakanku tidak dapat di dengar oleh siapapun.

Kulihat Xavier menarik napas secara teratur, berbicara pada seseorang di hadapannya lalu menatapku. “Aku tidak biasanya memohon pada seseorang, namun—ugh,  kali ini aku akan melakukannya. Tolong tahan emosimu dan jangan biarkan segala sesuatu mengendalikanmu, berpikirlah dengan jernih dan setelah itu tunggu aku untuk sementara. Kau sudah berjuang cukup keras, Xena.  Dan maafkan aku karena pernah menyalahkanmu serta membohongimu,”

Setelah itu Xavier pun menggaruk tengkuknya sejenak, lalu kembali menatap lurus ke mataku—walaupun aku sangat yakin ia tidak benar-benar melihatnya. “Aku mencintaimu sampai maut memisahkanku darimu. Aku tidak peduli jika kau tidak membalas cintaku. Dan persetan dengan segala hal yang menimpamu, Xena, aku akan tetap disampingmu sampai akhir hayatku.”

Perlahan-lahan visi akan Xavier pun kembali menyatu dengan cahaya hitam yang kembali menyelimutiku, membuat kedua kakiku bergetar lemas dan terduduk; melayang diantara cahaya-cahaya hitam yang terus mengelilingiku.

Sekelebat memori pun kembali memutari cahaya yang mengelilingiku, membuatku merasa pusing dan seketika tertarik kedalam memori itu.

.
.
.

Flashback

Aku terpaku ketika kudengar Ibu berteriak dari dalam ruangan dimana Ayah melakukan rapat mendadak untuk seluruh anggota pack, membuatku berhenti tepat di depan pintu dengan perasaan yang gelisah.

“Itu adalah pemikiran yang sangat jahat, sayang.” Aku yakin itu suara Ayah.

“Tapi kita harus, Blake!”

“Kita tidak mungkin melakukan itu pada, Rafin. Apa kau gila? Apa penyihir itu telah mendesakmu sehingga melakukan ini? Apa yang ia ancam? Nyawa Xerafina?”

Aku menahan napasku ketika Ayah mulai mengatakan sesuatu yang bahkan membuat otakku menjadi lamban dalam sekejap.

"Penyihir itu pikir Xerafina adalah Xave selanjutnya, jadi kita harus menyembunyikannya!"

"Mom, tenanglah, Xerafina bisa menjaga dirinya. Dia bahkan lebih kuat dari Gregory." timpal seseorang yang kuyakini ialah Ethan.

Sesungguhnya aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, hingga suara Xavier memasuki gendang telingaku.

Xavier?

"Ini memang salahnya karena telah mengundang penyihir itu tanpa sengaja. Aromanya memang sangat terasa bahwa ia adalah seorang Xave, namun bagiku ia sama sekali bukan, Yang Mulia Ratu."

Ya, aku memang mengundang penyihir sialan itu tanpa sengaja. Saat itu aku sedang bermain dengan Viona di tempat pelatihan para werewolf ketika hari semakin gelap. Kami bermain hingga berada di perbatasan dan sengaja memasuki kawasan para penyihir karena kami sangat penasaran.

Namun belum sempat kami menjelajah jauh, seseorang menyerang kami yang lantas membuatku tanpa sengaja mengeluarkan aroma khas keturunan Xave dan mengepakkan sayapku sembari membawa Viona pergi.

Keesokkan harinya, setengah dari populasi penjaga Kerajaan Cygnusㅡrumah kamiㅡmati dengan mengenaskan. Beberapa dari mereka ada yang kehilangan kepala, satu mata yang hilang atau bahkan seluruh anggota tubuh mereka terpisah dengan inisial S.G.S di setiap inchi kulit mereka. Aku hanya bisa memendam segala hal yang terjadi hingga pada akhirnya Xavier memaksaku untuk bercerita dan tanpa kusadari Ibu menguping pembicaraan kami dan seperti inilah hasilnya sekarang.

"Kau mencoba membelanya, Xavier?" tanya seorang pria bersuara serak yang kurasa itu SimonㅡAyah Xavier.

"Tidak, hanya saja itulah yang terjadi."

"Jadi kau setuju dengan pendapat Ratu?" tanya Ayah kali ini, entah pada siapa.

"Entahlah, hanya saja ini akan menyakiti Xena, Yang Mulia Raja." Oh, Xavier.

Aku merasakan getaran aneh di perutku secara mendadak, membuatku mengerang kesakitan hingga penjaga yang berada di dekat pintu menghampiriku.

"Kau baik-baik saja, Putri?"

Aku menggeleng, menekuk kedua lututku hingga aku terjatuh lemas di lantai. Penjaga itu pun dengan sigap meraih lenganku untuk ia lingkarkan di lehernya sehingga kini aku dapat berdiri dan sesekali mengerang kesakitan.

"Maaf, Putriㅡ"

"Diam, Max."

Aku pun kembali mencoba menguping pembicaraan di dalam tanpa mempedulikan sakitnya perutku yang seketika menjadi panas pula.

"Bagaimana jika aku mengatakan ini pada Xerafina?"

"Tidak, Ethan."

"Kenapa kita tidak boleh memberitahu Xerafina, Ibu?" tanya Gregoryㅡaku sangat hafal suara cemprengnya.

Setelah itu kurasakan telingaku berdengung, membuat kakiku semakin lemas dan tubuhku bergetar hebat.

"Astaga, Putri!"

Kurasakan tangan kiri Max melingkar dipinggangku, membuatku semakin ingin merapatkan kedua mataku yang tak kuasa lagi untuk tetap terbuka.

"Xena!"

Samar-samar aku mendengar Xavier memanggil namaku dari kejauhan, namun seketika ia sudah berada dihadapanku dengan kedua mata hitamnya yang berkilat-kilat.

Dengan segera Xavier meraih lenganku yang berada di leher Max, meraih lututku lalu membawaku menuju kamar yang berada di lantai teratas.

"Xav.." lirihku saat Xavier sudah membaringkanku di atas ranjang. Sementara ia sedang duduk di bibir ranjang sembari menggenggam kedua tanganku.

"Ada apa?"

Aku menelan ludahku berat lalu menatap kedua mata hitamnya yang sudah memandangiku sejak tadi. "Apa yang akan terjadi?"

"Tidak akan ada yang terjadi, Xena."

"Kau serius?" tanyaku lagi yang lantas membuat Xavier mengangguk.

"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu, Putri Xena?" Canda Xavier yang malah membuatku takut dalam sekejap.

"Ya, tentu ada, bodoh. Aku tidak mungkin bertanya seperti itu jika tidak ada yang menggangguku." Kesalku yang lantas membuatnya tertawa.

"Kau benar," ujarnya sembari mengangguk untuk kedua kalinya. "Oh iya, ada suatu hal yang ingin ku sampaikan padamu,"

Aku pun mengangkat kedua alisku, masih mencoba menahan gemuruh di perutku yang berteriak kesakitan.

"Jika aku menghilang dari kehidupanmu, tolong katakan padaku bahwa kau mencintaiku sebelum aku benar-benar menghilang. Jangan katakan apapun selain itu. Aku tau ini terdengar tidak masuk akal, namun percayalah, aku berbeda,”

Xavier pun menarik napasnya, meraih kedua pipiku lalu menempelkan dahinya pada dahiku. Diam-diam aku tersenyum ketika ia menatap lurus ke dalam mataku, membuatku tenggelam ke dalam lautan hijau di matanya yang selalu berhasil meyakinkanku.

“Omong-omong aku menyukai mata merah marunmu. Jangan biarkan kekuatan elfmu mengambil mata kesukaanku itu. Jangan biarkan siapapun mengambil keindahan mata itu dariku dan jangan biarkan seorang pun melihat betapa indahnya kedua matamu.”

Aku pun menitikkan air mata tanpa kusadari, dan detik selanjutnya bibir Xavier sudah mendarat di bibirku. Membuatku terpaku untuk beberapa detik. Ku pejamkan mataku perlahan-lahan, membiarkan momen indah ini mengalir bersamaan dengan waktu yang terus berjalan.

Hingga pada akhirnya kurasakan Xavier melepaskan bibirnya dariku, mengusap rambutku lembut lalu kehangatan dari dirinya seketika menghilang begitu saja. Seakan-akan keberadaan dirinya dihisap oleh bumi dalam sekejap.

“Aku mencintaimu, Xav.” Gumamku tanpa bisa membuka mata.

Beberapa detik berikutnya ku lewati dengan berdiam diri, membiarkan perutku yang bergemuruh sirna beriringan dengan waktu yang tak kunjung berhenti.

Aku menghela napas ketika kurasakan kedua kelopak mataku mulai berkedut, seakan-akan memintaku untuk membukanya. Maka dari itu aku mencoba membukanya perlahan-lahan, membiasakan diriku dengan cahaya yang menyelinap masuk melewati jendela mobil yang menjadi sandaran kepalaku.

Aku menyipitkan mataku ketika seseorang bermata hitam menatapku penuh pilu, seakan-akan akulah yang membuatnya seperti itu. Dan seakan-akan aku adalah sesuatu yang seharusnya tidak berada jauh darinya.

Seketika jantungku berdenyut nyeri, mataku menjadi berair dan perlahan-lahan mataku memburam. Entah apa perasaan yang kurasakan saat ini, namun seperti ada sesuatu yang hilang cepat atau lambat.

Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk menuruni jendela, menoleh keluar jendela dan menatap pria itu.

"Hei, kemarilah." Ujarku sedikit serak pada pria itu.

Sebuah ulasan senyuman pun terlukis diwajah tampannya, walaupun aku sangat yakin bahwa ia tidak menyertai hatinya untuk tersenyum padaku.

"Ya, ada apa, Putri Xerafina?"

Aku pun mengernyit. Suaranya sangat familier, namun kenapa rasanya begitu aneh?

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?" tanyaku.

"Ya, Putri," ujarnya lalu membalas tatapanku yang lantas membuat sebuah getaran terjadi di tubuhku. "Aku ingin minta maaf padamu, untuk segalanya yang telah terjadi diantara kau dan aku. Walaupun aku sangat yakin bahwa kau tidak ingat. Dan aku mencintaimu."

Entah harus menjawab apa saat ia mengatakan ia mencintaiku. Aku mengerjap untuk beberapa kali, memperhatikan setiap inchi dari wajah tampan di hadapanku lalu menekan tombol pintu mobil dan dalam seketika pintu itu pun menghilang.

Dengan gerakan cepat aku menuruni mobil lalu memeluk erat tubuh pria itu, membuat sebuah isakan kecil keluar dari mulutku. Dapat kurasakan perlahan-lahan tangan hangatnya mulai merengkuh tubuhku dan membalas pelukanku tak kalah erat.

"Siapapun kau, aku berterima kasih padamu, dan tolong jangan berhenti untuk mencintaiku." Lirihku.

Perasaan familier dan kehangatan pria ini membuatku tidak ingin melepaskannya barang sedetik. Aku menyukainya sejak mata kami bertemu beberapa detik lalu. Tidak, aku terjatuh ke dalam pesona lautan mata hijaunya yang sangat memabukkan.

"Rafin, ayo, kita harus pergi." Ujar Ayah dari dalam mobil.

Perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku, mendongakkan kepalaku lalu menatap mata hijau tua yang sudah memandangiku lebih dulu.

"Ya, aku tidak akan berhenti untuk mencintaimu. Bukankah kita harus tetap bersama, Putri? Seperti yang kau katakan dulu sekali."

Aku pun mengangguk, merengkuh wajah pria itu lembut lalu mengecup bibirnya kilat.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku saat ini, memoriku akan dirimu begitu buram dibenakku. Namun aku yakin bahwa kau seseorang yang penting bagiku, dan aku berjanji akan tetap bersamamu hingga akhir. Tunggu aku, ya?"

Kulihat pria itu mengangguk mantap, mengusap rambutku lembut lalu mencium keningku.

"Selamat jalan, Putri."

Dengan berat hati aku menjauhkan diriku dari pria itu, kembali masuk ke dalam mobil dan pintu sialan itu menampakkan dirinya lagi. Ketika aku hendak menatap pria itu, ia sudah hilang dari pandanganku. Membuat jantungku kembali berdenyut sakit.

Setelah itu mobil yang di kendarai Ayah pun melaju dengan cepat, melayang diatas pepohonan dan terbang diantara langit biru keemasan pagi ini. Jantungku berdetak dengan sangat cepat ketika bayangan akan pria itu kembali bermunculan dibenakku, membuatku menggigit bibirku khawatir dan tanpa kusadari mengundang sebuah tanya dari adikku.

“Kau kenal pria tadi?” tanya Ethan.

“Tidak.” Jawabku singkat tanpa ingin menatapnya.

“Sungguh? Kenapa kau terlihat begitu sangat dekat dengannya?”

“Memangnya kenapa?”

Kurasakan Ethan terdiam sejenak. “Bukankah ia yang mencoba untuk membunuhku—“

“Sialan, hentikan itu, Ethan!”

“Hei! Tolong jaga mulutmu, Tuan Putri.” Sahut Ayah yang masih sibuk menyetir.

Astaga, apa yang terjadi denganku? Kenapa segalanya terasa sangat rumit dan menyusahkan? Aku bahkan tidak lagi merasakan kehangatan keluargaku sejak Ethan dan Gregory hadir, seakan-akan aku terlahir hanya untuk menyendiri dan tidak berinteraksi dengan siapapun.

Seketika kurasakan jarak pandang kedua mataku melebar dan menjernih, membuatku sedikit pening dan kembali bersandar pada jendela kaca disampingku.

“Kau baik-baik saja, Xerafina?” tanya Ibu seraya menoleh kebelakang dan menatapku.

Aku pun mengangguk. “Ya, hanya sedikit pusing.”

“Ada sesuatu yang terjadi?”

“Pandangan mataku melebar dan menjernih dalam sekejap. Membuatku sedikit pusing.”

Ibu pun mengangguk, mengusap lututku kembut lalu tersenyum. “Semuanya akan baik-baik saja.” Ujarnya seraya kembali ke posisi awal.

Aku menghela napas ketika Ayah mulai mendaratkan mobilnya di pulau Selatan, dimana ras werewolf dan penyihir berada. Apakah ia bodoh? Kenapa menurunkan kami disini?

“Astaga! Sihir penyihir itu menarik kita!”

“Apa?” pekik Ethan, Gregory dan Ibu bersamaan. Sementara aku tidak tertarik sama sekali.

Setelah itu mobil kami pun menghantam tanah dengan keras, walaupun begitu, itu sama sekali tidak akan merusak mobil kami. Ayah pun kembali melaju diantara hutan-hutan dan jurang yang mengelilingi kami, tidak mempedulikan aura-aura jahat yang sudah berkumpul disini sejak tadi.

Dan ketika Ayah hendak membanting kemudinya, ia berseru pada kami semua yang lantas membuat jantungku semakin berdetak kencang.

“Cepat! Semuanya keluar!”

Belum sempat aku membuka pintu mobil, sebuah busur panah telah menancap di jantung Ayah yang lantas membuat Ibu berteriak histeris. Aku pun yang melihatnya hanya bisa menelan ludahku berat lalu berlari keluar mobil secepat mungkin.

Sesekali aku tersungkur karena kakiku yang melemas, ditambah dengan ketidakrataan tanah yang menjadi pijakanku membuatku tak jarang berguling-guling dan berakhir di pinggir jurang.

Setelah berhasil bangkit, aku kembali berlari kemanapun kakiku melangkah. Persetan dengan sepatu yang terlepas satu dan pakaianku yang sobek dibagian lengan serta rokku.

Mendadak jarak pandangku semakin melebar ketika kulihat seekor serigala sedang menatapku, membuat perutku bergemuruh kencang dan desiran aneh menjalar di dalam tubuhku.

Sebuah seringai tercetak di wajahku ketika kedua sayap merah marunku mengembang dan mengepakkan sayapnya dengan semangat. Dengan cepat aku meraih leher serigala itu lalu memutuskannya dari tubuhnya tanpa ia dapat bereaksi barang sedetik.

“Astaga, moon goddess! Kau mengagetkanku, Putri!” ujar seseorang yang lantas membuatku menoleh menatapnya.

“Siapa kau?” tanyaku dengan suara yang serak dan basah.

“Aku Grace Laxvord,” ujarnya yang lantas membuatku menghilangkan seringai di wajahku sembari memutar kedua bola mataku. “Atau mungkin Grace Xands. Aku kenal Ayahmu, Blake Xands, ‘kan?”

Perlahan-lahan aku mengangguk. “Apa rasmu?” tanyaku sangat tidak beretika.

Kulihat Grace pun tersenyum. “Werewolf, Putri.”

“Sudah berapa lama kau hidup?”

“342 tahun, Putri.”

“Apakah kau tau tentang pembantaian yang terjadi di Istana?”

Grace pun mengangguk. “Aku tau, Putri, Blake yang menyuruhku untuk mencari tau siapa dalang di balik ini semua.”

“Siapa itu?” tanyaku tergesa-gesa. “Pemilik singkatan S.G.S, ‘kan?”

“Ya,” ujarnya. “Bagaimana jika kita membicarakan ini di rumahku?”

“Aku ingin disini.”

Kulihat Grace semakin mengembangkan senyumannya. “Menurut para cenayang yang bekerja sama denganku, ia adalah wanita yang akan mengaku-aku menjadi pengendali elemen. Ia adalah wanita yang akan mengaku-aku menjadi kakakmu dan ia memiliki rambut berwarna biru serta mata berwarna hitam. Dan nama aslinya adalah Sky Grace Stacy, atau mungkin Sky Blake Xands saat menjadi kakakmu.”

Aku pun mengepalkan kedua tanganku marah, membuat sebuah geraman keluar dari mulutku dan sayapku yang bergetar semangat.

“Bajingan!”

Seketika angin berhembus dengan kencang, membuatku mendongak dan menatap tepat menuju tebing yang seperti mengajakku datang untuk berkunjung. Seakan-akan tebing itu memintaku untuk datang dan singgah untuk beberapa waktu.

“Bagaimana jika kau hidup bersamaku dan kita mencari wanita itu bersama-sama?” tawar Grace yang lantas membuatku kembali merasakan gemuruh di perutku.

“Ugh,” erangku seraya terjatuh di tanah dengan kedua tanganku yang memeluk tubuhku kesakitan. “Aku mau, tapi kau siapa?”

Flashback End

To be continue

Sorry kl kurang memuaskan.puahahahahahaha aku lagi gencer banget ngerjain ini ff sampe ff aku yang satu lagi terabaikan, dan padahal aku berniat bikin Xavier rada kalem disini tapi gabisa x”v jan lupa vomment ya!ouo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro