Wings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ethan Dolan as Xavier Huighstone

Stefanie Scott as Lyra James

Enjoy~

Author's POV

"Alpha, ada seekor werewolf dan sesuatu yang belum diketahui jenisnya berada didekat wilayah teritori."

Ethan yang sedari tadi hanya memainkan kerlap-kerlip sihir pun seketika terdiam ketika Betanya memberikan sebuah informasi yang sangat jarang untuk ia dengar. Kedua mata gold Ethan pun berkilau lantas pria itu bangkit dari duduknya, berjalan kearah pintu dan menepuk bahu sang Beta.

"Panggil Gregory untuk datang dan katakan padanya bahwa kita akan bertemu dengan Xerafina."

"Baik, Tuan."

Ethan langsung melesat menuju lantai basement rumah mewahnya ketika ia merasakan hal baik akan terjadi. Ia sudah menunggu kesempatan ini sejak lama, bahkan ia sudah melatih kemampuan sihir yang diturunkan oleh ibunya hanya untuk melacak keberadaan Xerafina.

Pria berusia 23 tahun itu pun langsung menyambar baju oblong berwarna hitam serta celana jeans selutut untuk berjaga-jaga dan dimasukkannya kedalam tas ranselnya.

Tak lama setelah itu, pintu berwarna kelabu itu pun terbuka dan menampakkan sosok yang terlihat lebih muda dari Ethan sedang berjalan sembari tersenyum lebar.

"Kau menemukannya?"

Ethan pun ikut tersenyum lebar. "Ya, aku menemukannya."

"Dimana dia?" tanya Gregory antusias. Namun seketika Ethan tersenyum masam dan membuat Gregory mengerti apa yang sedang dipikirkan kakaknya.

"Ia telah bertemu matenya yang seorang Alpha, ya?" tanya Gregory lagi.

Ethan pun mengangguk, ia mengepalkan tangannya kuat lalu memukul meja kerjanya hingga retak. "Namun kupastikan ia akan kembali kepada kita."

Namun Gregory malah tertawa lalu meraih tas ransel sang kakak, ia ikut memasukkan pakaiannya yang ia bawa kedalam ransel lalu menyampirkannya dibahunya. Gregory pun berjalan kearah pintu, hendak berjalan keluar namun suara Ethan membuatnya menghentikan gerakan.

"Kenapa kau tertawa?"

Gregory menoleh ke belakang, menatap Ethan dengan seringai kecil dibibirnya. "Tak semudah yang kau bayangkan."

"Semuanya begitu mudah jika aku yang menjalankannya."

"Tidak jika lawanmu adalah Alpha dari Gloody."

.
.
.

Ethan dan Gregory pun berlari dengan kekuatan werewolf mereka, walaupun tidak seutuhnya menjadi werewolf, keduanya masih bisa berlari secepat bangsa mereka.

Diperjalanan, Ethan terus menerus mengumpat kesal mengingat mate Xerafina ialah Alpha dari musuh bebuyutan pack mereka. Sementara Gregory, hanya terdiam dan terus berlari sampai pada akhirnya Gregory mengangkat tangan kanannya—menandakan bahwa mereka harus berhenti.

Aroma vanilla pun menyerbu masuk kedalam hidung kakak beradik itu, membuat keduanya saling bertatapan lalu berjalan menuju aroma vanilla itu berasal.

Sampai pada akhirnya, Gregory mendapati seorang pria sedang memeluk seorang gadis yang memancarkan aroma vanilla itu dengan sangat erat. Namun tatapan pria itu tertuju kearahnya.

"Apa yang kau lakukan ditengah malam seperti ini, Sir?" tanya Gregory.

"Bagaimana denganmu?"

Gregory melirik kearah Ethan, namun sang adik mendapati wajah sang kakak sedang tertekuk kesal yang berhasil membuat Gregory tertawa terbahak-bahak.

"Seorang Alpha rupanya," ujar Ethan sembari melangkah mendekat kearah Xavier dan menatap gadis beraroma vanilla itu. "Apa yang Alpha lakukan di tengah malam seperti ini?"

"Bukan urusanmu, dan berhenti menatap istriku seperti itu."

Ethan berhenti melangkah dan lantas menatap Xavier sengit. Namun dengan cepat Gregory menghalangi jarak pandang Ethan dari Xavier lalu  ditatapnya Xavier tegas.

"Maaf, Alpha, tapi aroma Luna-mu sangat mirip dengan aroma seseorang yang kami kenal."
Xavier pun menggenggam kedua bahu gadis didekapannya dan membuat sedikit jarak diantara keduanya, "Apakah kau kenal mereka?"

Ethan menggeram kecil ketika dilihatnya gadis beraroma vanilla itu mulai menolehkan kepalanya. Dan tepat pada saat itu, Ethan serta Gregory menelan ludahnya terkejut dan menatap gadis dihadapannya tidak percaya.

"Ka—kakak?"

Suara Ethan sedikit bergetar ketika kedua mata almond berwarna merah marun itu menatapnya dengan mata terbelalak. Membuat Xavier menggeram dan memeluk kepala gadis dihadapannya, seakan-akan memintanya untuk berhenti menatap Ethan dan Gregory.

"Xe—Xerafina?"

Kakak beradik itu menahan napasnya ketika gadis yang mereka panggil dengan nama Xerafina mengangguk kecil. Mengundang sebuah kernyitan didahi Xavier.

"Tapi aku lupa siapa mereka."

Ethan dan Gregory pun menghela napas mereka kecewa, membuat seringai kecil tercetak diwajah Xavier.

Sampai pada akhirnya, Xavier pun merendahkan tubuhnya lalu meraih lutut Lyra, membopong gadis itu pergi dan menjauh dari kedua pria yang menatap kepergian sang kakak pilu.

Xavier menoleh kearah Lyra ketika dirasakannya gadis itu mengeluarkan ringisan dari bibirnya. Xavier pun melompat ke dahan-dahan pohon yang cukup tinggi, meletakkan tubuh Lyra diatas dahan lalu mengusap kening gadis itu lembut.

"Ada apa, sayang?"

Lyra memejamkan matanya, tubuhnya meringkuk kesakitan dan keringat dingin pun membasahi tubuhnya. Xavier merengkuh tubuh Lyra hangat, membiarkan kepala gadis itu bersandar pada dada bidangnya.

Xavier mendongak menatap bulan, malam ini bukanlah bulan purnama, namun kenapa Lyra seketika seperti sedang heat? Tubuh gadis itu memang memanas dan aroma tubuhnya semakin menyengat.

"Tutup matamu." ujar Lyra parau.

"Apa yang kau lakukan?" panik Xavier tanpa melepaskan pelukannya pada Lyra.

"Tu—Tutup matamu."

"Apa yang akan kau lakukan—"

"AKU BILANG TUTUP MATAMU!"

Xavier pun menggeram lalu ia menutup matanya, dan rengkuhan ditubuh Lyra menjadi lebih erat. Namun detik berikutnya Xavier merasakan seperti sesuatu akan keluar dari punggung gadis itu, membuatnya menurunkan kedua tangannya menuju pinggang Lyra dan memeluknya erat.

Lyra meremas pakaian Xavier ketika bulu-bulu yang cukup besar mulai tumbuh di punggungnya. Bahkan Lyra mendongak menatap rembulan yang nyaris sempurna dengan kedua matanya yang kini berubah menjadi biru laut.

Sebuah sayap berwarna biru muda pun terbentang dipunggung Lyra, membuat gadis itu menggeram dan lantas—dengan sangat terpaksa—Xavier membuka matanya.

Rahang Xavier terkatup marah, kedua matanya berubah menjadi hitam dan ia menggeram marah pada gadis dihadapannya. Lyra pun mengalihkan pandangannya, ia mengusap rahang Xavier lembut dan menatap kedua mata hitam legam itu penuh sayang.

"Segelnya telah terbuka," ujar Lyra—bukan, seseorang yang menggunakan tubuh Lyra—dengan lembut. "Kau akan melihat banyak hal setelah ini, Huighstone."

Xavier terus menatap kedua mata biru laut itu intens, membuat sebuah secercah senyuman terlukis diwajah Lyra. Kedua tangan gadis itu pun merengkuh wajah Xavier, menariknya agar lebih dekat dengan wajahnya lalu membalas tatapan Xavier lembut.

"Jika kau menerima keadaan Lyra kelak, maka aku akan mencabut obsesinya terhadap darah. Dan jika kau menolak, aku akan membuatnya menjadi seperti seorang psikopat."

Xavier kembali menggeram kesal, namun kedua tangannya terus melingkar dipinggang gadis itu secara protektif. "Kembalikan gadisku." Titah Xavier.

Seseorang itu pun mengangguk dan sebuah cahaya berwarna biru mengelilingi Xavier dan Lyra. Detik berikutnya, cahaya biru itu menghilang dan kedua mata Lyra kembali tertutup, tubuh gadis itu melemas seakan-akan ia telah mengeluarkan banyak energi.

Kedua tangan Xavier kembali meraih bahu dan punggung Lyra, mendekapnya erat sembari menggeram kearah langit malam.

"Panggil Dokter ke rumahku dalam waktu 5 menit."

Tangan kanan Xavier turun dari punggung Lyra menuju lutut, lalu dibopongnya tubuh tak berdaya gadisnya itu. Dengan cekatan Xavier melompat menuju tanah lalu berlari secepat mungkin menuju rumahnya yang berada tepat diujung hutan.

Setelah sampai, ia mendobrak pintu rumahnya kasar lalu berlari menuju kamarnya yang berada dilantai dua. Diletakkannya dengan lembut tubuh Lyra diatas ranjang lalu terdengar sebuah ketukan pintu dari luar.

Xavier menolehkan kepalanya dan menatap sang Dokter kepercayaannya yang kini mulai memasuki ruangannya takut-takut. Xavier pun berjalan kearah Dokter itu lalu meraih kerah sang penyembuh.

Xavier sudah siap dengan segala umpatan yang berada dibibirnya, namun segala ingatan akan cerita Grace seketika berputar dibenaknya dan membuatnya hanya bisa menatap Glenn—Dokter itu—marah.

"Sialan!" Xavier menghempaskan Glenn dari genggamannya lalu kembali berjalan menuju Lyra. Diraihnya tangan dingin gadis itu lalu dikecupnya seluruh permukaan tangannya.

Selagi menunggu Glenn memeriksa keadaan Lyra, Xavier terus menerus menggumamkan kata maaf pada gadis itu, walaupun sesekali Xavier mengumpat kesal dengan datangnya Ratu dari ras peri.

"Alpha," panggil Glenn yang tak digubris oleh Xavier. "Luna baik-baik saja, namun aku menemukan sesuatu yang janggal,"

Kalimat itu sukses membuat Xavier mendongak marah dan menatap Glenn dengan mata yang berkilat. Ia sudah siap melayangkan sebuah tinju jika Glenn tak segera melanjutkan kalimatnya.

"Aku mendengar sesuatu dari dalam tubuhnya. Tidak terlalu jelas namun terdengar seperti lolongan. Walaupun aku sangat yakin bahwa yang sebenarnya aku dengar ialah sesuatu yang akan datang dari masa depan."

"Sialan kau! Berhentilah mengatakan tentang kekuatan melihat masa depanmu, brengsek! Jadi apa yang terjadi dengan Lyra?" bentak Xavier yang lantas membuat Glenn menelan ludahnya gugup.

"Ba—banyak yang akan terjadi, Alpha. Ia akan menjadi werewolf pertama yang memiliki sayap."

"APA?"

.
.
.

Lyra's POV

Aku membuka mataku perlahan-lahan ketika cahaya yang terang menusuk kedalam mataku. Ketika aku berhasil membuka mataku, rasanya seperti tubuhku berputar-putar, kepalaku terasa sangat berat dan mataku sedikit buram.

Aku menolehkan kepalaku dan mendapati Xavier sedang tertidur sembari menggenggam tanganku. Ku lepaskan tanganku dari genggamannya lalu mengusap kepalanya lembut.

Rambut hitamnya yang lebat terasa sangat lembut ditanganku, seakan-akan memintaku untuk terus mengusapnya.

Sebuah tangan hangat pun meraih tanganku yang berada di kepala Xavier. Ku alihkan pandanganku dan mendapati Xavier sedang menatap kearahku dengan mata hitam legamnya, serta kantung mata yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Kau sudah membaik, sayang?"

Suara huskynya terdengar sangat sexy ketika ia baru saja terbangun dari tidurnya. "Aku rasa," Jawabku seadanya. "Berapa lama aku tertidur?"

"2 hari."

Aku pun mengangkat kedua alisku, rasanya aku baru tertidur beberapa jam. Aku mengalihkan pandanganku dan memandangi kamar yang kukenali sebagai kamar Xavier. Ruangan ini bahkan lebih besar dari kamar apartmentku, dindingnya yang berwarna putih serta gordyn yang berwarna merah marun membuat kamar Xavier terasa sangat nyaman.

Setelah itu kualihkan pandanganku dan menatap pakaian yang kupakai. Berbeda dengan yang terakhir kali kupakai. Seolah-olah bisa membaca pikiranku, seketika Xavier membuka mulutnya.

"Bukan aku, para pelayan wanita yang menggantinya."

Aku mengangguk mengerti lalu menepuk ranjang kosong disebelahku, meminta Xavier untuk berbaring bersamaku.

Aku membalikkan tubuhku ketika Xavier meraih pinggangku dan menarikku untuk lebih dekat kepada tubuh hangatnya. Setelah itu ku rengkuh wajahnya lalu mengusap kedua kantung mata yang membuatku tak nyaman sedari tadi.

"Apa yang kau lakukan selama aku tertidur?" tanyaku sembari menatap mata hitamnya yang lambat-laun menjadi hijau tua.

"Menatap wajah cantikmu dan menemanimu selama kau tertidur."

Rona merah pun menghiasi wajahku yang entah bagaimana bentuknya saat ini. "Lalu apa arti dari kantung mata ini?"

Kudapati Xavier mendekatkan wajahnya padaku lalu mengecup bibirku lembut. Ia menempelkan hidung mancungnya pada hidungku dan kembali mengecup. "Aku memiliki kebiasaan buruk jika terus menerus merasa tertekan."

"Apa?"

"Tidak tidur dan tidak melakukan apapun selain menatap masalah yang ada dihadapanku."

Aku pun mengernyitkan dahiku. "Jadi aku masalah bagimu?"

Xavier mengangguk. "Bukankah aku sudah pernah mengatakannya? Melihatmu diam tak bergerak membunuhku secara perlahan-lahan."

Aku mengalihkan pandanganku dari mata hijau tua itu gugup, namun detik berikutnya sebuah geraman kecil terdengar ditelingaku.

"Jangan alihkan pandanganmu dariku, sayang, kau menyakitiku." Kata Xavier sembari mengeratkan pelukannya pada pinggangku. Aku pun menenggelamkan kepalaku didada bidangnya, meletakkan kedua tanganku tepat didepan dadanya lalu menggigit bibirku gugup.

"Maaf."

"Untuk apa, sayang?"

Kurasakan tangan hangat itu mengusap-usap kepalaku lembut, membuat aliran listrik kecil mengalir didalam tubuhku. "Tidak menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi padaku."

Xavier terdiam dalam waktu yang cukup panjang, namun tidak dengan kedua tangannya yang masih ingin menyentuhku. Aku tau, diam-diam ia berdebat dengan Lyon akan suatu hal yang aku sendiri tak tau.

Namun pada akhirnya kudengar Xavier menghela napas lalu mencium puncak kepalaku lama. "Aku sudah tau beberapa hal dari Grace dan apa yang kulihat. Sejauh ini, aku hanya memiliki dua pertanyaan."

Aku mendongakkan kepalaku, menatap kedua mata hijau tua itu lalu mengangguk. "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Dua werewolf itu, dan apa hubunganmu dengan Aqua?"

Aku menahan napasku terkejut ketika Xavier mengenal Aqua. Apakah mereka bertemu saat aku tertidur? Atau Xavier telah melihatku?

Aku menelan ludahku gugup ketika kurasakan aura intimidasi mengelilingi tubuh Xavier. Ku pejamkan mataku sejenak lalu menatap Xavier mantap.

"Dua werewolf itu, Ethan dan Gregory. Saat aku melihatnya, sebuah cahaya berwarna merah marun mengelilinginya dan aku percaya bahwa mereka adalah keluargaku. Tapi aku tidak pernah ingat akan kehadiran mereka," jelasku yang lantas membuat kedua mata hijau tua itu kembali menghitam.

"Dan Aqua, dia—"

"Alpha, ada dua werewolf yang ingin bertemu denganmu."

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro