Xander

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sorry for typo(s)~

Enjoy~

Lyra/Xerafina's POV

Aku menghembuskan napasku ketika lagi-lagi angin menerpa wajahku kencang. Namun kali ini pemandangan kota menyapa kedua mataku untuk pertama kalinya, bukan lagi hutan-hutan yang mengelilingi keberadaan rumah ini.

Sky dan Gregory telah menceritakan segala hal yang telah terjadi selama kami terpisah. Dimulai dari saat kami terpisah di hutan hingga Sky bertemu denganku untuk pertama kalinya kemarin.

Aku menghela napas berat, matahari mulai turun dan tepat pada saat itu pintu balkon dibelakangku terbuka.

"Ayo, turun."

Sekali lagi aku menghela napas lalu berbalik menatap Sky yang kini berada dalam balutan dress putih selutut tanpa lengan dengan renda-renda kecil diujungnya.

Aku meraih tangan Sky lalu berjalan kearah pintu kamarku bersamanya. Aroma hazelnut serta dior itu pun langsung menyeruak masuk ke dalam hidungku yang lantas membuatku menoleh kearah kanan dan mendapati seluruh pasang mata sedang menatapku kagum.

Aku merekahkan senyumanku lalu berjalan mendekati Ethan yang sedang menatapku bangga. Sky yang kini berada di samping kiriku meninggalkan tempatnya dan menuruni tangga yang berada dihadapannya.

"Putri Xerafina."

Aku mengangkat kedua alisku bingung lalu menatap keramaian dihadapanku lekat-lekat. Semua orang dihadapanku—termasuk seluruh saudaraku—membungkukkan tubuhnya hormat sejenak dan menghindari pandangan mata mereka dariku.

Aku melirik kearah Ethan serta Gregory yang berada dikananku, kedua adikku itu bahkan juga menjaga pandangannya dariku. Dan untuk kesekian kalinya aku menghela napas lalu berbisik pada Ethan.

"Apa yang harus aku lakukan, Ethan?"

"Menyapa mereka, Putri Xerafina."

Kali ini aku mengerutkan alisku bingung, namun cepat-cepat kembali bersikap normal mengingat kondisi saat ini sangat canggung.

"Selamat sore," aku menggigit bibir bawahku bingung. Ingin melanjutkan kalimatku namun aku terlalu bingung untuk mengatakan apa.

"Katakan sesuatu, Putri." ujar Gregory.

Hey, kenapa mereka memanggilku dengan sebutan Putri?

Aku menarik napas  panjang lalu menatap seluruh manusia dihadapanku satu-persatu. Memberikan sedikit harapan pada hatiku bahwa Xavier akan datang. Oh shit! Untuk apa aku mengharapkannya?

"Aku kembali, ya, jika itu yang ingin kalian dengar," ujarku setelah sadar apa yang harus kukatakan. "Aku, Xerafina Blake Xands, telah kembali untuk memimpin kalian, menjaga kalian dan bersatu dengan kalian."

Kali ini seluruh pandang mata menatapku haru, dan entah bagaimana dapat kurasakan sorot mataku menegas. Detik berikutnya kulihat Xander memasuki ruangan ini dengan tuxedo berwarna hitam dan aroma mint kayu-kayuan itu pun membuat jantungku berdetak kencang.

Aku mengalihkan pandanganku, mencoba menstabilkan detak jantungku setelah melihat seseorang yang membuntuti Xander lalu menundukkan kepala sejenak.

"Senang bertemu dengan kalian, Para Alpha dan pengikut setia Xands."

Seluruh manusia yang berada dihadapanku pun bersorak gembira dan menghampiriku yang berada diatas tangga. Namun dengan cepat aku mengangkat tangan kananku untuk menghentikan mereka lalu berjalan menuruni tangga.

Mereka meletakkan tangan kanan mereka di dada bagian kiri dan menundukkan kepala sejenak. Walaupun begitu, mereka tetap menjaga pandangannya dariku dan mengucapkan selamat.

Jantungku semakin berdetak kencang ketika aroma memabukkan itu semakin menyengat. Kakiku mulai bergetar lemas ketika ku paksa untuk tidak berhambur kedalam pelukan hangat Xavier yang membuatku mabuk akan dirinya.

Oh astaga!

Aku kembali menarik dan menghembuskan napasku secara perlahan, mencoba menyibukkan diriku dengan mereka para pengikut Ayah.

Namun tangan dingin seseorang menyentuh bahuku yang dibalut dengan dress brokat berwarna cokelat selutut dan berlengan sepanjang siku.

Aku menolehkan kepalaku dan mendapati seorang gadis cantik dengan mata berwarna biru safir sedang menatap hidungku.

"Putri Xerafina, lama tak bertemu denganmu," ujarnya sembari tersenyum manis. "Mungkin kau sudah lupa denganku."

"Ah, ya, kurasa begitu." Jawabku seadanya.

"Namaku Polarix, Putri Xera. Aku asisten pribadimu sekaligus pengawalmu." jelasnya yang langsung membuatku teringat akan Max.

"Dimana Max?" tanyaku.

Polarix terdiam sejenak lalu menunduk. "Alpha Ethan memecatnya tadi pagi."

"Bisakah kau panggilkan Max untukku?"

"Tapi—"

"Dirumahku, besok pagi." selaku yang lantas membuatnya mengangguk mengerti.

"Baik, Putri Xerafina," jawabnya patuh. "Aku permisi dulu." Ia pun menghilang dari pandanganku dalam sekejap, membuatku tersadar bahwa Polarix seorang elf.

Aku kembali memutar tubuhku untuk menyambut para pengikut Ayah, namun sebuah tubuh tegap menghalangi pandanganku dan membuatku sedikit mendongak.

Kudapati Xander berdiri tepat dihadapanku sembari memasukan kedua telapak tangannya ke dalam celana hitamnya. Wajahnya sangat mirip dengan Xavier, namun bibirnya terlihat lebih tipis dan matanya berwarna kuning.

"Ada yang ingin kutanyakan." Sama seperti yang lainnya, Xander  menjaga pandangannya dariku.

"Apa?"

"Maaf untuk menanyakan ini, apakah kau anak dari Aqua Swans Moonlight?"

Aku mengangkat kedua alisku lalu menatap matanya lekat-lekat. "Ya, ada apa? Kau membencinya juga?"

"Wow, tidak, Putri," ujar Xander sembari menggaruk tengkuknya. "Hanya ingin memastikan. Omong-omong aku minta maaf soal jati dirimu."

Aku memutar bola mataku lalu mendengus sebal. "Apa yang kau inginkan?"

"Tidak ada, hanya saja," kulihat Xander kembali memasukkan kedua tangannya ke dalam celana lalu menolehkan kepalanya kearah kanan. "Xavier ingin bertemu denganmu."

Astaga, tentu aku juga ingin! Kini jantungku berdetak semakin kencang ketika Xander menyebutkan nama Xavier dan seulas senyuman nyaris terlukis diwajahku.  Namun dengan cepat aku mendatarkan wajahku dan membuka suara.

"Aku tidak mau."

"Aku mohon, Putri, aku mohon."

"Tidak, katakan itu pada saudaramu."

"Kenapa?"

Aku bersedekap lalu menatapnya semakin intens. "Ia membenciku dan mencintaiku dalam satu waktu. Aku—"

"Xerafina?"

Aku menoleh dan mendapati pria yang masih cukup muda menatapku, aku perkirakan umurnya sekitar 30 tahun. Dan wow, aku baru sadar, ia menatapku.

"Ya?"

Kulirik Xander membungkuk dan mengundurkan dirinya dari hadapanku. Setelah itu kutatap pria yang memanggilku tadi.

Seketika jarak pandangku melebar dan menjernih—Sky bilang ini disebut eyetrans. Sebuah cahaya pun berpendar dari tubuh pria dihadapanku yang tak kunjung berbicara, hanya seulas senyuman dan sorot mata yang bahagia yang terpancar dari wajahnya. 

Perlahan-lahan aroma hutan menyeruak masuk ke dalam hidungku serta cahaya merah berpendar dari tubuhnya.

"Ayah?" panggilku secara tak sadar.

Pria dihadapanku pun semakin merekahkan senyumannya lalu mengusap kepalaku lembut. "Selamat kembali kerumah, Rafin."

Aku ingat, panggilan itu adalah panggilan kesayangan dari Ayah untukku. Aku pun merekahkan senyumanku lalu memeluk tubuhnya erat.

"Maaf membuatmu khawatir, Ayah."

"Oh, tidak, Ayah yang harus meminta maaf karena tidak bisa menjagamu, Rafin."

"Sudahlah, Yah, yang penting aku sudah kembali." ujarku pada Ayah.

Blake Xands, marga dikeluargaku sekaligus nama Ayah. Mantan Alpha terkuat beratus-ratus tahun lalu dan seseorang yang disegani, namun packnya mengalami kemunduran saat Ibu melahirkan Ethan dan Gregory beberapa puluh tahun lalu.

Sky bilang saat itu Red Fire—pack Ayah—mengalami perang dingin dengan pack Gloody—pack Xavier. Sehingga pada saat Ibu melahirkan, pack Gloody berhasil menghancurkan pack Red Fire hingga tersisa beberapa warrior dan omega serta Sierra—Beta dari Gregory.

"Jadi kau sudah bertemu matemu?" tanya Ayah yang langsung membuatku menahan napas terkejut. "Ah, pasti Alpha itu ya."

Aku melepaskan pelukan Ayah lalu menatapnya berbinar. "Aku rasa ia akan merejectku."

Kulihat Ayah membulatkan matanya, namun detik berikutnya ia tersenyum. Aku menggigit bibirku gugup lalu mengalihkan pandanganku dari Ayah sejenak, berharap Xavier tidak disekitar sini.

"Ia membenciku, aku tak tau harus marah atau apa. Tapi ini bukan salahku," jelasku pada Ayah. "Apa yang harus kulakukan?"

"Ia mengalami pengalaman buruk dulu. Seharusnya kau kembali padanya, bukan menjauhinya."

Aku menggeleng. "Ia membenciku—"

"Sampai kapan kau akan beranggapan ia benar-benar membencimu?"

Aku terkesiap. Ya, sampai kapan aku akan beranggapan seperti itu? Kenapa aku mendahulukan perasaanku daripada fakta yang ada? Kenapa aku harus menghindarinya ketika ia bahkan ingin menemuiku.

"Datanglah kepadanya, sayang, Ayah tau kau membutuhkannya."

"Bagaimana—"

"Aku tidak suka jika kau terlalu banyak berbicara, cepat hampiri adiknya dan bicaralah padanya di belakang," Ayah pun mengusap kedua pipiku lembut, membuatku menggeram kecil dan memintanya untuk terus mengusapnya. "Oh astaga, kau memang anakku, Rafin."

Setelah itu Ayah mencium keningku lalu mendorong tubuhku pelan untuk menghampiri Xander. Dan pada saat itu pula, kerumunan orang-orang yang melihatku berjalan langsung bergeser dan membiarkanku lewat.

Untuk kesekian kalinya aku menghela napas, namun perasaan gugup bercampur menjadi satu ketika kudapati Xavier mulai membalikkan badannya untuk menatapku. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan menatap lantai yang ku pijak.

Seketika hatiku merasa ragu untuk menghampiri Xavier, kedua kakiku pun berhenti berjalan dan kedua tanganku saling bertautan. Namun saat aku hendak berbalik dan menjauh, sepasang sepatu berwarna cokelat berhenti tepat dihadapanku.

Aroma mint kekayuan itu semakin membuatku lemas dan tak dapat ku pungkiri bahwa aku ingin menangis detik ini juga. Mataku mulai berbinar ketika tangan hangatnya menyentuh daguku dan membawanya naik untuk menatap kedua mata hijau tua itu.

Aku menelan ludahku gugup, air mata semakin bertumpukan dimataku dan Xavier mulai merengkuh wajahku lalu mensejajarkan wajahnya pada wajahku.

"Apakah kau baik-baik saja, sayang?"

Kurasakan setetes air mata terjatuh dipipiku. Suara huskynya menggetarkan hatiku dan berhasil membuatku luluh padanya.

Ibu jari Xavier menghapus air mata yang berada dipipiku, namun pandangannya tak kunjung lepas dariku.

"Aku merasa bodoh karena membuatmu menangis, kitten."

Dan kurasakan dekapan hangat Xavier menyelimuti tubuhku. Membuat seluruh air mataku terjatuh begitu saja dan membasahi kemeja hitamnya. Aku memukul dada bidangnya pelan, mencoba menahan kekesalanku padanya.

"Tak akan kubiarkan kau pergi dariku lagi," bisiknya yang membuatku semakin merapatkan diriku padanya. "Aku hanya ingin kau bersamaku."

Aku mengangguk didalam dekapannya lalu menghirup aromanya sebanyak mungkin. Walaupun aku baru saja terpisah dengannya selama 3 jam, rasanya seperti telah bertahun-tahun tak bertemu.

"Haruskah aku mengkonfirmasinya lagi siapa pria yang sedang bersama Putri Xerafina?" samar-samar kudengar suara Ayah menyebutkan namaku. Membuatku melepaskan pelukanku pada Xavier, menghapus jejak air mata diwajahku lalu menatap Ayah yang sedang menatapku.

"Haruskah, Rafin?" Tanya Ayah padaku, dan membuat semua pandang mata menatap Xavier—mereka masih menjaga pandangannya dariku omong-omong. Aku mengangkat kedua alisku sembari tersenyum tipis pada Ayah.

"Ia adalah Alpha dari pack Gloody, anak dari Simon Huighstone dan Rose Swan. Dan dalam istilah werewolf, ia adalah pasangan hidup Xerafina, Mate."

Aku menunduk malu ketika suara tepuk tangan menghiasi pendengaranku. Dari apa yang bisa kudengar, beberapa dari mereka mengucapkan selamat dan ada pula yang mengutarakan rasa iri mereka.

Xavier pun menarik tanganku lembut dan kembali membawaku kedalam dekapannya, membuat seulas senyuman terukir diwajahku. Kudongakkan kepalaku untuk menatap Xavier, ketika mata kami bertemu, seketika bibirku berkedut seakan-akan ingin segera menciumnya.

Sialan, Xavier melihatnya!

Seketika wajahku memerah padam saat kurasakan Xavier sedang tertawa. Aku kembali menenggelamkan wajahku didalam dekapannya lalu mencubit perutnya pelan.

"Oke oke, aku berhenti." Ujarnya dengan tawa yang tertahan.

Aku mendengus lalu kembali menatap wajahnya yang kini sedang merekahkan senyuman. Matanya yang kini berwarna hitam legam yang disertai dengan pupilnya yang mulai menjadi merah sedang menatapku lapar. Astaga, bunuh aku!

"Hentikan tatapan mesummu itu, Xav." bisikku. Namun dapat kurasakan bahwa seseorang yang menguping pembicaraan kami sedang tersedak.

Untuk kedua kalinya Xavier tertawa dihadapanku, membuatku semakin ingin menciumnya gemas. Saat ia telah berhenti tertawa, ku kecup bibirnya kilat yang lantas langsung membuatnya semakin merekahkan senyumannya.

"Kau menggodaku, Putri Xerafina."

Aku mengangkat kedua alisku dan sudut bibirku tertarik keatas secara otomatis ketika Xavier menyebutku dengan Putri Xerafina. Kali ini Xavier mengecup bibirku lalu menempelkan keningnya pada keningku.

"Aku ingin membawamu kembali kerumahku. Apakah kau mau?" tanyanya. Namun ketika aku hendak menganggukkan kepala, suara Ethan mengisi gendang telingaku dan membuatku memutar bola mataku jengah.

"Tidak ada yang akan kembali ke packmu, Alpha Xavier."

Seketika kami berada ditaman belakang pack Red Fire—atau mungkin Istana Kerajaan keluarga kami. Aku melepaskan pelukanku pada Xavier, namun tangan kekar itu tetap memeluk pinggangku protektif.

"Dia akan ikut bersamaku," ujar Xavier dingin. Dan ini dia, sisi lain diri Xavier yang selalu ia tunjukan pada orang lain. "Dan tinggal bersamaku."

"Tidak!" Aku terkejut ketika Ethan meninggikan suaranya. Membuat Xavier menggeram saat tubuhku tersentak kaget.

"Kau menakutiku mateku!"

"Dia kakakku, sialan!"

Aku menoleh kearah Xavier dan kudapati pria itu sedang memutar bola matanya jengah. Ia terlihat begitu muak dengan keberadaan Ethan. "Bagaimana bisa kau menyetujui hubungan Xander dengan Sky begitu saja?"

"Xander bukan tandinganku."

"Oh astaga, lihat siapa yang mencoba menjadi jantan sekarang," sahut suara lain yang berasal dari belakang kami. "Kau membicarakanku dari belakang, Xands?"

Xavier mendekatkan wajahnya padaku ketika aku mulai menyadari bahwa Xander telah muncul dihadapan kami.

"Xander akan segera lepas kendali, sebaiknya kita pergi dari sini." Bisiknya padaku. Namun tepat sebelum kami dapat beranjak dari tempat kami berdiri, Xander menolehkan kepalanya lalu menatap Xavier serius.

"Jauh didalam diriku, aku sangat menyesal karena telah melakukan ini sejak lama dan tak pernah mengatakan apapun tentang diriku," ujarnya lalu tersenyum masam dan kembali menghadap kearah Ethan. "Aku bukanlah seorang werewolf, aku adalah seorang elf dan memiliki kekuatan yang salah satunya adalah illusion."

Kurasakan napas Xavier bergetar hebat dan kedua matanya berkilat marah.

To be continue


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro