Alum Letih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alum Letih
NaruHina Fluffy Day 11
ⓒMasashi Kishimoto
Hanaamj

.

.

.

.

"Begitu damai layaknya nirmala. Waktu sebelas tahun bukanlah alasan untuk merasa bosan bertingkah romansa."

.

.

.

.

Sudah pukul 22.00 malam. Dengan pikiran kosong karena letih, ia melepas sepatu kerja dan meletakkannya di atas rak secara asal. Bagian kepala terasa berat dan berdenyut. Mata sayu yang cukup mengatakan bahwa, ia ingin istirahat sekarang juga. Tas jinjing yang berat membawa map dokumen, terasa begitu menekan batinnya. Muak dan ketegangan jiwa. Memikirkannya membuat ia ingin menghilang secara tiba-tiba dari dunia ini. Benar-benar merasa kosong layaknya lakuna.

Uzumaki Naruto―pria itu percaya bahwa, ia masih kuat untuk menekan engsel pintu dan membukanya. Sekarang, apa yang terjadi? Ia hanya meremas erat besi dingin itu tanpa membukanya dan masih berdiam lelah di sana. Pikirannya masih tidak ingin diajak untuk bekerja sama, sebentar saja―hilangkan denyut menggila itu dari kepalanya.

Lelah sekali, sungguh...

Saat Naruto menghela nafas, ia dikejutkan dengan pintu yang terbuka. Suara paduan engsel besi dan deritan kayu berat menjadi senada begitu dibuka pelan oleh wanita berparas anggun, yang rambutnya diikat asal―membiarkan beberapa rambut bebas terurai. Senyum penuh kasih sayang wanita itu kembangkan, begitu melihat kehadiran suami yang  telah mencari nafkah hingga larut malam tiba.

"Selamat datang," tuturnya dengan irama yang halus.

Secercah titik kehangatan dalam dada penuh kehampaan menghampiri. Meski terlalu lelah untuk berbicara, Naruto hanya membalas dengan senyuman. Bukan senyuman tanda tidak peduli. Bukan pula senyuman biasa, melainkan senyum yang mewakilkan rasa dari lubuk hati terdalam akan kasih cintanya. Ah, ia seperti mendapatkan sumber energinya sekarang. Biarkan ia tenggelam dalam segi paradigma kasih sayang ini.

Tangan berkulit putih Hinata, menyentuh tangan kekar suaminya yang membawa tas kerja. Ia mengambil alih tas itu, dan menggantungnya di kapstok dinding sebelah pintu. Masih dengan genggaman halus, wanita itu menautkan jemari mereka. Suhu malam setelah gerimis dari luar begitu kontras dengan suhu tangan lembut yang hangat dari dalam rumah. Sungguh terasa kehangatan sebagai seorang ibu dari anak-anaknya.

"Masuklah. Suhu di luar lebih rendah dari biasanya," Hinata berkata. Masih lekat dengan senyum penuh penyambutan. Semakin menggenggam erat tangan Naruto.

Pria bersurai pirang itu menggelengkan kepala sebagai jawaban. Matanya memandang bahu sang istri yang nampak seperti lekukan sempurna. Terus ia pandangi dan berpikir. Mungkinkah bahu istrinya adalah tempat ternyaman untuk menyandarkan kepala? Oh, benar―rasanya begitu menghangatkan. Ia menenggelamkan kepalanya di sana. Meski hanya diam tiada tenaga, namun nyaman sekali. Naruto begitu terbuai.

Bukan hal yang perlu dikejutkan oleh Hinata saat melihat suaminya pulang dalam keadaan lelah berat. Pekerjaannya sebagai dokter sungguh menguras tenaga. Terlebih lagi, selepas beberapa minggu lalu virus corona telah dinyatakan hilang. Meskipun begitu, masih banyak hal yang harus ditangani tenaga medis. Tidak sempat bernafas, begitu perumpamaannya. Sekarang ini juga, Hinata hanya mampu mengelus puncak kepala suaminya dengan pelan.

"Terimakasih." Ia menatap sayu wajah istrinya dari samping, masih dengan posisi yang sama.

"Terimakasih kembali, Dokter." Senyum kecil kembali terlihat di wajah pria itu kala mendengar penuturan tersebut. "Kau sudah bekerja keras untuk mereka―tidak, untuk kami. Terimakasih, suamiku." Tangannya terus bergerak mengusap, namun berhenti sejenak. Hinata memilih mendekap Naruto dalam pelukannya.

Hingga jarum jam bergerak lebih lama, hingga sunyi malam semakin menyapa, hingga gerimis malam kembali bersuara. Naruto diam-diam menelusuri punggung Hinata, mengusap ke dalam. "Kau sudah cukup hangat bagiku." Saat sejenak tidak mendapat jawaban dari istrinya, Naruto melepas pelukan secara perlahan. Tidak ada paksaan di sana. Hinata juga sudah merasa cukup untuk menyambut suaminya pulang. Mereka harus beristirahat sekarang.

Meski sudah terbiasa, Hinata tidak bisa menghilangkan kebiasaan untuk tidak memerah akan perlakuan suaminya. Ia memandang lantai, menyelipkan helai rambut biru gelapnya ke belakang telinga― terlihat begitu salah tingkah dengan manisnya.

"Mengapa manis sekali, Humaira-ku ini?"

Humaira? Panggilan suami-istri khas Arab itu?

Hinata lebih salah tingkah kali ini. Padahal gerimis malam masih mengantarkan suhu dingin yang bertiup-tiup. Tidak bisakah menyamarkan pias merah hangat di wajahnya itu? Sekarang saja, jantungnya berdetak keras begitu kentara. Wanita itu dalam hati mulai menyalahkan sang suami dan hatinya sendiri. Ayolah, ini bukan pertama kali Naruto memberikan panggilan sayang sejenis itu. Sudah sebelas tahun lamanya. Waktu untuk berani membalas, Hinata!

"Wahai, Habibi. Tidak lelahkah engkau selepas pekerjaanmu? Mengapa tidak masuk terlebih dahulu?" Dalam hati, Hinata berteriak malu sebenarnya. Sesaat, setelah berani menatap lurus bola mata sewarna biru laut milik suaminya, kedua tangan lembut mulai menelikung rahang tegas. Perlahan, membuka bingkai kacamata sang dokter yang menjadi penghalang jatuhnya keindahan sebuah siratan mata di antara mereka. Bola mata jernih keduanya sudah jatuh terlalu dalam, melupakan keadaan malam yang kian larut didorong waktu. Mengabaikan pula pertanyaan yang baru saja dilontarkan tadi.

"Humaira..."

Naruto tersenyum lembut. Rasa lelah batin kian tersapu perlahan. Sempat merasa bodoh karena ingin menghilang dari dunia―sebab tanggung jawabnya yang berat sebagai dokter. Padahal, istri cantiknya ada di sini. Seseorang yang setia selalu menantikan kehadirannya pulang ke rumah mereka. Menantikan pula, rengkuhan hangat dan ciuman selamat datang. Oh ya, apakah ia belum memberikan ciuman rindu kepada istrinya?

Saat tangan Hinata masih setia hinggap di kedua pipinya, Naruto menarik pinggang wanita itu untuk mendekat. Tangannya yang bebas dari rengkuhan menyibak poni rata sang istri untuk memberikan ciuman hangat di kening. Hinata tidak lagi menyentuh wajah suaminya, melainkan tangannya yang berpindah melingkar pada leher pria itu. Usai dengan dahi, ia mengusap pelan surai biru gelap Hinata. Kemudian, ciuman berlanjut ke puncak kepala, ke sisi pelipis, mata yang terpejam, kedua pipi, hidung dan selesai.

"Meski telat, biarkanlah. Assalamu'alaikum, Bunda," Naruto berucap dan tersenyum dengan tampak riang. Oh, ini yang Hinata suka.

Wanita dengan paras anggun tersenyum hangat, lalu tertawa pelan. "Wa'alaikumussalam, Ayah. Meski Ayah menyebalkan." Bibirnya mengerucut pura-pura merajuk. Naruto gemas dibuatnya.

Kecupan terakhir, di bibir. Sang dokter merapatkan jarak di antara mereka. Meski dengan usapan sayang pada puncak kepala, Naruto tidak ragu untuk memperdalam jalinan mereka. Ah, rasa letihnya berguguran sekarang. Meski gerimis belum reda, Hinata begitu menghangatkan baginya. Lebih dari sekedar cukup, wahai Pengalum Letihku. Wahai, kekasih abadi.



END

1. Just Information:
、Lakuna: Ruang kosong atau bagian yang hilang.
、Habibi-Humaira: Panggilan sayang suami-istri berasal dari bahasa Arab.
Jumlah kata: 948 kata (hanya cerita).
Tag: @Kimonoz  dan kkiittssuunnee

2. Note:
Pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepala ini; acuh itu sebenarnya peduli atau tidak peduli? Apa cerita ini manis? Apa ceritanya bertele-tele? Kalau ada sesuatu yang tidak mengerti bisa ditanyakan. Atau ada saran?
Tapi, di samping itu, senang banget akhirnya bisa ikut parsitipasi NHFD lagi.

3. Tanggal pengingat: 10 sampai 12 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro