I) Kulacino. [twoshots : 1/2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

kulacino (ku•la•ci•no)
; genangan air di permukaan bidang, seperti meja, yang terbentuk akibat gelas dingin atau berisi minuman dingin.

...

Levi menerka; kenapa mereka selalu datang di hari yang sama?

Gadis itu--bersurai hitam panjang dengan wajah kusam dan mata yang tidak menampilkan sorot hidup sama sekali, berjongkok dan berdoa di hadapan makam yang tidak Levi ketahui.

Makam orang yang dikunjungi mereka berhadapan--hingga setiap hari Kamis, Levi tidak bisa tidak mengabaikan kehadirannya. Cukup mengganggu mengingat gadis itu bisa datang di lain hari; tapi, siapa tahu hari kematian orang itu sama dengan kematian ibunya? Alasan penuh tebakan itulah yang membuat Levi tidak berani mengusirnya, kemudian ia hanya berjongkok dan ikut berdoa.

Nayanika kelabunya menatap Levi ketika selesai, dan saat Levi hendak beranjak dari tempatnya, gadis itu menyapa (yang entah mengapa, mampu membuat gemuruh di hati Levi).

"Hei."

Levi diam, tidak berbalik; tidak menjawab. Ia belum mengumpulkan keberanian untuk sekadar menyapanya, atau bahkan menatapnya. Wajah suramnya tak ayal menumbuhkan nuraga dalam diri Levi. Tapi, pertanyaannya; mengapa?

"Aku berbicara denganmu."

Levi melihat sekelilingnya, benar. Tidak ada sesiapapun yang berada di sekitarnya, dan gadis itu tentu tidak bodoh untuk berbicara sendiri (yang mana Levi meragukan hal ini, sebab, kau bisa saja menjadi gila karena kehilangan orang yang disayangi).

Setelah seribu satu pertimbangan, Levi mengumpulkan keberaniannya dan membuka suara, "Ada apa?"

Gadis itu berdiri, menepuk-nepuk paha yang terbalut rok rajut hitam (lupakan keraguan Levi, karena gadis itu jelas-jelas memakai bahan yang bisa mengekspos tubuhnya secara langsung) dan merapikan jepit rambutnya; yang mana membuat Levi penasaran, kenapa gadis itu selalu menggunakan seluruh pakaian dan aksesoris yang sama ketika melayat?

Namun, sekali lagi, itu bukan porsinya untuk tahu.

"Mau minum kopi bersama?"

Padahal Levi sibuk--rapat antara para direktur tepat setelah ini, dan Levi menemukan dirinya mengangguk.

Levi tidak bisa membatalkan keputusannya tatkala manik abu itu menunjukkan secercah cahaya--yang biasanya tidak ada.

Levi mengerang dalam hati.

Apa benar ini Levi Ackerman yang kelewat cuek hingga mematahkan hati ratusan wanita?

.

.

.

Levi tidak suka minum kopi. Lebih tepatnya, tidak bisa. Kopi itu pahit dan tenggorokan Levi selalu sakit bila menelannya. Maka dari itu, Levi tidak pernah tidak menolak ketika diajak Hangë Zoe serta Farlan Church--sahabat baiknya, minum kopi. Levi akan berdiam diri di ruang kerjanya sembari menyesap teh hitam yang--ia cukup rajin untuk membuatnya.

"Siapa namamu?"

Levi sedang minum kopi yang dibencinya kala gadis berkemeja itu bertanya. Levi luar biasa heran, kenapa tiba-tiba ia minum kopi disini; bersama orang asing yang ditemuinya selama dua bulan?

"Levi," jawabnya. "Levi Ackerman."

Dentingan porselen membuat Levi mendongak, dan gadis itu sontak tersenyum tidak nyaman. Ia hampir menjatuhkan cangkirnya--dan Levi bersyukur itu tidak terjadi, karena kekacauan bisa saja datang (Levi tidak menyukainya).

"Kau?" Cukup adil Levi bertanya balik, melihat gadis itu hanya diam sesaat setelah bertanya dan mendapatkan jawabannya. Kulminasi keheningan tidak menyenangkan dan kulacino gelas Levi membuat ia masygul; menciptakan raya anala anantara pikirannya. Ia tidak bisa bereunoia--atau memang tidak ingin? Sebab gadis di hadapannya ini memunculkan rasa tidak nyaman yang seolah menyerangnya. Namun, bisa saja itu semua hanya delusi. Levi yang sahaja tentu tidak ingin merumitkan segala hal, bukan?

"Mikasa," daksa anindhita miliknya membeku--yang Levi tidak tahu mengapa. "Hanya Mikasa," dengungnya ketika Levi menunjukkan tanda-tanda ingin menanyakan nama lengkapnya.

Levi mengangguk-angguk. Ia menyesap kopinya--hampir memuntahkannya, sebenarnya. Kopi pahit Levi menjadi bena karena rupa anindya gadis itu (yang Levi akui, karena ia tidak pernah tertarik pada gender perempuan).

Mereka tenggelam dalam senandika masing-masing, bertanya-tanya; apakah ia tidak nyaman denganku?

Meski jawabannya sudah jelas betul--bahkan pegawai kafe ingin mendera mereka; tidak tahan dengan suasana kelewat jatmika yang amerta.

"Kau... Menyukai apa?"

Levi sangat dekat dalam memukul dirinya sendiri--karena pertanyaan bodoh apa itu? Bisa saja gadis itu risak; ingin segera pergi dan aksa dari pria menyeramkan seperti dirinya. Tidak disangkanya, Mikasa menjawabnya--seolah itu bukan apa-apa.

"Aku menyukai... Citraleka."

Levi dibuat keheranan olehnya; apa itu citraleka? Levi tentu tidak pilon, hanya saja kosakata itu baru didengarnya. Levi sangat bestari--diusianya yang menginjak tiga persepuluh abad, ia sudah menjadi direktur utama.

"Citraleka adalah pejabat yang tugasnya menulis prasasti. Aku... Ingin menjadi seperti mereka."

Levi berani bersumpah--suara gadis ini adiwarna; menenangkan gundah dalam basirah yang Levi heran--sejak kapan gulana itu gata? Resah dalam sanubari yang ada sedari ia kehilangan asa.

"Kenapa tidak menjadi penyanyi? Suaramu bagus."

Celaka--Levi terlalu jujur. Ia tidak bisa mengontrol kalimatnya; bisa saja Mikasa terluka. Binar dahayunya membuat Levi kehilangan fokus, melupakan tujuan sebenarnya Levi berada disini; untuk memuaskan rasa penasarannya.

Wanodya itu tersenyum sekilas, tertangkap oleh visus Levi--mengandung dama dalam harsa. Apa yang membuatnya bahagia? Levi tidak mengerti.

"Kau orang pertama yang bilang suaraku bagus."

Lupakan tata krama disini--karena kalimat itu mampu membuat Levi berdesir; apa sebabnya? Apa karena dipuji? Bukan--bukan karena itu. Levi paham untuk menyadari ia (mungkin) sudah jatuh dalam akara suka anitya miliknya sendiri. Ribuan pujian dilayangkan oleh para gadis berbeda untuknya, namun mengapa hanya satu yang meraih baswara?

"Senang mendengarnya."

Levi tidak terbiasa menggoda--menjawab dengan baik, pun, tidak. Paling-paling kata ketus yang familier dengannya. Tapi, kenapa kali ini ia malah mencoba menarik atensinya? Bersama gadis ini; Levi seperti bukan dirinya.

"Omomg-omong, umurmu berapa?"

Gadis itu mulai aktif. Levi mengangkat sebelah alisnya dan berpeluh--menjawab, sebab sepertinya ia tertarik pada gadis remaja? Disaat usianya sudah terbilang tua untuk dipanggil paman. "Tiga... puluh."

Mikasa mengerjap, tampak terkejut--yang sudah diduga Levi.

"Aku sembilan belas, senang bertemu denganmu."

Levi terkesiap, sudut bibirnya tertarik kecil. Membuatnya bertanya lagi; mengapa?

Seharusnya ia tak memberi aksama pada citta yang menganggapnya cocok dijadikan dayita.

Karena demi Tuhan--bukankah mereka terlihat seperti bumantara dan ancala yang lengkara?

.

.

.

Hari Kamis. Rutinitas yang sama, waktu yang sama; bedanya, kali ini tidak ada Mikasa. Meski kerap Levi merasa candala; mencaci benak faktitus bak menyingkap jamanika haki yang ternyata kampana. Untuk siapa? Tidak diragukan lagi; tentu saja Mikasa.

Uap kopi hitam (yang entah sejak kapan disukainya) sudah hirap tatkala pintu kafe terbuka, menampilkan gadis yang selama ini di tunggunya; memunculkan gejolak janardana jelampah yang merapah. Levi menemukan dirinya mengangguk dan tersenyum kecil ketika gadis itu menyapa.

Baskara begitu baswara kala Mikasa membawa pesanannya dan menaruhnya di meja yang sama dengannya. Tindakan kecil yang menyenangkan hatinya itu membuat Levi bertanya; apakah ini cinta? Levi tidak pernah renjana seperti ini sebelumnya.

"Bagaimana harimu?"

Tidak pernah bosan dilayangkan Levi, walau akan berakhir dengan satu jawaban sama; baik. Levi tidak mengerti, apanya yang baik? Tirta amarta hampir tidak termaktub dalam gurat wajahnya; saujana. Meski tidak sporadis, tetap saja taksa; niskala, persistensi.

Tapi, Levi hanya akan mengiyakan dan mulai menceritakan harinya. Levi tidak mengerti; mengapa ia repot-repot menjelaskan miliknya yang begitu membosankan dan tidak ada perubahan? Tidak--Levi hanya suka melihat indurasmi dalam nayanika kelabu milik Mikasa; membuatnya tampak seperti sangat menghargai cerita Levi yang--tata bahasanya, sangat payah. Tidak apa, Levi senang. Sempena seperti Mikasa tidak datang dua kali di dunianya; sahmura bagaikan chandra paling indah yang Levi tahu.

Levi ejawantah menjadi bukan dirinya; mangkus menciptakan elegi yang disulap seperti bianglala. Walau Mikasa memberi fiat; gapah mengurai kelindan yang makin semrawut dalam pikiran Levi. Tidak apa, Levi senang. Mikasa lebih indah dari arunika maupun swastamita, bernas membuat karsa menjeremba.

Levi tidak mengerti; mengapa hanya dengan menatap Mikasa, perasaan ingin memilikinya semakin anggara?

.

.

.

Anila cakrawala cumbana buana, ciptakan astu dalam diri Levi tidak henti-hentinya. Bersamaan dengan itu, ambu biji kopi menyeruak; memaksa indra hirup manusia untuk mencecap, tak pedulikan rasa muak insan-insan para pegawai kafe yang bergelut dengannya; amerta.

Levi tidak mengerti; jika bentala diciptakan guna merasakan bagaskara, mengapa redum mega mencabar dirgantara di atas sana? Perasaan Levi risak; khawatir menyertai.

Akara atma derana menghadapi ina, tapi mengetahui Mikasa lebih terlambat dari biasanya saja membuat pletora neonatal. Nabastala tak jua berhenti berserapah, saking kuatnya sehingga membuat ayar khas hujan tercium; petrikor yang seharusnya muncul setelahnya.

Levi gundah gulana--bagaimana jika terjadi sesuatu pada Mikasa?

.

.

.

Teyan lembayung sandyakala lindap; dan Mikasa mengatakan semuanya baik-baik saja.

Levi tidak mengerti; mengapa wanodya senang sekali menyimpan resah sendiri, asrar jenggala yang Levi cukup peduli untuk tahu? Kukila kalis kirmizi kama; kirana. Baginya Mikasa tampak seperti itu. Meski kantung mata besar itu tidak bisa luput dari perhatiannya, bak miang yang tak kunjung hilang.

"Apa yang terjadi?"

Ambigu; anantara khawatir atau suka. Jamanika jumantara swakarya Dewa, belenggu kanagara lazuardi mahligai--Mikasa. Gadis itu tidak tampak hidup, yang sekali lagi membuat Levi bertanya; apa alasannya?

"Tidak ada."

Bui suryakanta, litani dengan lokananta. Levi tidak bodoh untuk memahami situasi yang terjadi, namun begitu heran karena benda kristal yang dipanggil air mata dengan cepat turun dari mata Mikasa. Levi tidak menemukan dirinya derana tatkala dengan blak-blakan ia berkata,

"Aku menyukaimu." Levi mengerjap, tidak menyangka ia akan tenggelam dalam bhama. Tapi, Levi menganut prinsip; sudah basah kepalang tanggung, jadi kenapa ia tidak meneruskan pernyataan mendadaknya itu?

"Aku menyukaimu, sejak kita pertama bertemu. Kau bisa menceritakan hal yang berat kepadaku, jika ingin. Tak perlu sungkan."

Levi tidak bergeming; caci derai yang sejak kapan menjadi menyebalkan itu. Walau, ia menemukan Mikasa tersenyum. Sendu; perih; penuh kenangan. Membuat Levi bertanya; ada apa dengan senyumnya?

Levi menatap manik Mikasa--mangata nirmala nestapa. Bersumpah menghancurkan ancala tinggi yang menghalangi mereka berdua. Anala balabad terasa menyayat--dan Levi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak sakit hati. Dekap litani mencipta lara, membuat Levi menjura; masygul akan masa depan niskala.

Mikasa tampak lemah sekali, bak pitarah relikui; repui, rimpuh. Levi ingin melindunginya. Pertanyaannya; bagaimana?

Andaikata senandika bisa disuarakan, segala gundah gulana Levi pasti terselesaikan. Tapi--tentu saja, tidak bisa. Terlebih, Levi malu. Aneh, rahara sepertinya mampu membuat pria seperti Levi Ackerman tersipu?

Levi bingung; buhul asmaraloka mereka seperti apa? Romansa? Orang asing? Atau, hanya akara; anitya.

Pijar harsa dalam sorot Mikasa tidak ada; kehilangan kampa. Yang membuat Levi bertanya; apa sebabnya?

Levi terlalu takut menyuarakan rasa penasarannya. Ia khawatir membuat gadis itu tidak nyaman; walau mereka sudah bertemu selama empat bulan, apa itu sudah bisa dibilang teman?

Tatkala Levi menginginkan lebih, Tuhan malah menghukumnya. Tak memberikan aksama pada Levi yang meronta-ronta.

Walau sekali lagi, Levi menerka; untuk apa Mikasa menyembunyikan asrar bentala yang membuat mereka tidak bisa bersama?

Aksa; bak bianglala diujung buana.

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro