𐙚˙⋆.˚05. Teman Amarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue suka sama lo."

Beberapa detik setelah Harsa mengungkap perasaannya, bibir Jingga terkunci rapat. Matanya tak berkedip menatap bola mata Harsa yang hanya tertuju padanya. Hidungnya mencium aroma roti dari arah kantin. Lalu telinganya mendengar suara blender yang sibuk melumatkan buah mangga menjadi cairan.

Setelah menebak-nebak arti dari kata yang Harsa ucapkan, Jingga menurunkan sudut bibirnya. Gadis itu memundurkan tubuhnya ke kursi, sembari menutupi baju seragamnya yang bernoda dengan jaket Harsa. "Harsa, gue lagi serius. Tolong, sekali ini aja jangan ngusilin gue."

Jingga sebenarnya tidak yakin, jika Harsa akan mendengarkan permintaannya. Terlebih lagi, pemuda itu selalu saja melakukan hal-hal yang berbanding terbalik dengan sikap Jingga. Lalu sekarang? Harsa menangkup satu pipi dengan salah satu tangannya. Wajah pria itu mendekat ke arah Jingga, lalu bertanya, "Lo liat wajah gue sekarang? Apa lo gak bisa liat keseriusan di wajah gue?"

Bukannya berpikir, dan mencari keseriusan di balik tatapan Harsa, Jingga malah merasakan wajahnya memanas. Apalagi ketika helaan napas Harsa hampir menyentuh kulit wajahnya. Dibanding berlama-lama duduk dan ditatap Harsa dengan tatapan serius, Jingga lebih memilih memundurkan tubuhnya dan berdiri.

Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun sikap Harsa saat ini tergolong tenang tanpa niat jahat, tetapi hal ini malah dirasa tidak wajar bagi Jingga. Jingga lebih tenang saat Harsa membuat keributan, dibanding berkata-kata serius yang terlihat tulus.

"Gue salah. Seharusnya gue gak nanya lo. Lagian, mana ada maling yang mau ngaku," kata Jingga menyadari kesalahannya sendiri.

Harsa menarik sudut bibirnya ke atas. Dia mengungkap, "Seenggaknya, lo dapet pengakuan hati gue, kan?"

"Meskipun yang jadi maling hatinya, lo sendiri, Ji," balas Harsa.

Semakin Harsa berkata-kata, semakin Jingga mengepalkan tangannya. Jingga akhirnya menyerah untuk menginterogasi Harsa. Setiap ditanya, Harsa tak memberi jawaban yang Jingga mau. Pemuda itu hanya membicarakan sesuatu yang dianggap Jingga sebagai bualan semata.

Jingga akhirnya memberanikan diri untuk menatap ke arah Harsa. Dia menunjukkan kepalan tangannya pada Harsa dan memperingati, "Lo mungkin bisa lolos kali ini. Tapi, kalo lo ketahuan sebagai penyebab karya seni rusak. Siap-siap dapet tonjokan."

Bukannya merasa takut, Harsa malah tersenyum. Pemuda itu berdiri dari duduknya, kemudian melangkah mendekati Jingga. Tak ada ketakutan ataupun keraguan yang ada di benaknya. Padahal, ketika dia berusaha mendekati Jingga, Jingga selalu memberinya pukulan, tamparan, atau bahkan cubitan.

"Lo... lo... lo mau ngapain?! Mau gue pukul sekarang?" tanya Jingga.

Harsa menundukkan wajahnya, kemudian menyentuh ristleting yang ada pada jaket miliknya. Pemuda itu sengaja menariknya ke atas, hingga tubuh Jingga terbungkus jaket miliknya. Setelah itu, Harsa menyentuh rambut Jingga. Meskipun Jingga akhirnya menghempaskan tangan itu, dengan wajah memerah.

"Noda kopinya masih ada, tetapi udah gak terlalu basah kayak tadi 'kan?" tanya Harsa.

Jingga terpaksa mengangguk, meskipun enggan membalas pertanyaan Harsa. Setelah itu, Harsa berpesan, "Kalo gitu, pake dulu aja jaket punya gue. Takutnya dalema---"

Belum sempat Harsa mengakhiri ucapannya, Jingga sudah lebih dulu mendaratkan kepalan tanganya pada kepala Harsa. Gadis itu mendorong Harsa menjauh dari tubuhnya, dengan tatapan seperti kucing liar yang enggan ditatap apalagi disentuh. "Kotor!"

Harsa merasakan denyutan pada kepalanya. Namun, tak lama setelah itu dia tertawa kecil. Apalagi melihat Jingga memeluk tubuhnya sensiri, tanpa berniat melepaskan tangannya pada jaket milik Harsa. Meskipun Jingga tidak menyukai motif harimau, sebagai simbol geng anak nakal sekolahnya. Akan tetapi mau tidak mau, Jingga tak memiliki penutup lain untuk membungkus tubuhnya dari arah pandang orang lain seperti Harsa.

"Gu... gu... gue pinjem dulu jaketnya," kata Jingga.

Harsa berhenti menertawakan tingkah malu-malu Jingga yang ternyata membutuhkan bantuannya. Pemuda itu kemudian melirik ke arah pintu keluar dan berkata. "Ji, mau taruhan?"

Jingga mengernyitkan kening, lalu bertanya, "Taruhan apaan?"

Harsa menyentuh helaian rambutnya, dan berhenti dibekas pukulan Jingga. Pemuda itu melengkungkan sudut bibirnya, kemudian berkata, "Kalo gue terbukti jadi pelaku perusak karya seni, lo bebas mukulin gue semau lo."

"Ya, emang itu niat gue dari awal," kata Jingga sembari menyilangkan tangan di depan dada.

Setelah itu, Harsa melanjutkan, "Tapi... sebelum itu, gue bakal bantu lo nemuin pelaku sebenernya."

"Dan kalo gue berhasil nemuin pelakunya, lo harus jadi pacar gue," lanjut Harsa.

Satu persatu perkataan yang keluar dari bibir Harsa, membuat Jingga mengernyitkan kening. Pemuda yang biasanya mengganggu dan tak suka melihat ketenangannya, kini tiba-tiba menawarkan bantuan bersyarat. Parahnya lagi, dia mengatakan keinginannya tanpa rasa malu ataupun beban sedikit pun.

Berbeda lagi dengan Jingga yang semakin mengernyitkan kening. Entah apa yang terjadi pada Harsa. Namun, Jingga masih belum bisa percaya sepenuhnya pada pemuda yang biasa mengusilinya itu. Ada sebuah perasaan berlandaskan keraguan yang membuat Jingga terdiam, mencerna keinginan Harsa atau tujuan akhir pemuda itu.

"Setelah dirasukin setan, sekarang lo dirasukin arwah?" tanya Jingga heran.

Harsa menggapai tangan Jingga. Dia berniat menyentuh punggung tangan Jingga dengan bibirnya. Namun, Harsa masih mengingat batasannya. Pemuda itu akhirnya menyentuh bibirnya sendiri dengan jempolnya, baru kemudian menempelkannya pada punggung tangan Jingga. "Gue janji, bakalan nemuin pelakunya, sekaligus mantesin diri buat jadi pacar lo."

•••

Sepulang sekolah, lagi-lagi langit sudah berwarna oranye, dengan dihiasi awan-awan pencantik langit. Di saat seperti ini, Jingga pulang sekolah dengan jaket Harsa yang masih setia menempel di tubuhnya. Bukan hanya jaket saja, tetapi ingatan Jingga saat dirinya mengobrol bersama Harsa pun, masih terngiang-ngiang di pikirannya.

"Ji!" panggil seorang gadis dengan rambut diikat kuda.

Suara gadis itu menyadarkan Jingga dari lamunannya, hingga akhirnya dia melirik ke samping dan berkata, "Elsa?"

Elsa tersenyum, dan menyentuh jaket yang dikenakan Jingga. Dia berkata, "Dari tadi gue liat, lo izin pake jaket di kelas. Apa lo sakit? Kenapa pake jaket anak geng pembuat onar?"

Elsa mendekatkan bibirnya ke Jingga, dan berbisik, "Sejak lo pake jaket ini, banyak orang yang ngomongin lo."

Jingga menurunkan sudut bibirnya, lalu membalas, "Gue udah terbiasa diomongin. Lagi pula, kalo pun gue ngelepas jaket ini, belum tentu ada orang yang mau minjemin jaketnya sama gue."

"Loh? Emangnya lo kenapa?" tanya Elsa heran.

Jingga tersenyum kikuk, dan membalas, "Seragam gue kena tumpahan kopi, dan tadi bajunya jadi... agak sedikit nerawang."

Elsa mengernyitkan kening, dan membalas, "Harusnya lo bilang sama gue. Kalo gue tahu, gue pasti bantuin lo."

"Tapi... tumben anak-anak geng yang dilabeli musuh osis itu nyerahin jaketnya sama lo? Ada maksud dan tujuan apa, orang-orang itu nolongin lo?" tanya Elsa.

Pertanyaan Elsa baru dipikirkan Jingga sekarang. Jingga terdiam, dengan kening mengernyit. Awalnya dia pikir, Harsa memberikannya jaket hanya untuk mengusilinnya. Karena Harsa mengatakan pada teman-temannya, jika jaketnya bau dan tidak dicuci selama berbulan-bulan.

Namun kenyataannya? Jingga tak mencium aroma tak sedap pada jaket milik Harsa. Aroma parfum pemuda itu mungkin masih menempel, tetapi baunya tidak mengusik indera penciuman Jingga.

Satu persatu tingkah dan ucapan Harsa mulai dipikirkan Jingga. Hingga akhirnya, Jingga menarik kesimpulan. "Apa setelah diskors, Harsa bener-bener mau berubah? Dia gak akan cari masalah, beneran mau bantuin gue dan dia beneran suka sama...."

Kesimpulan Jingga berakhir, ketika Jingga sudah keluar gerbang sekolah, dan menemukan sosok Harsa di lapangan umum. Pemuda itu dikerumuni teman-temannya, beserta dengan murid sekolah lain yang berstatus sebagai musuh Harsa.

Jingga pikir mereka hanya berkumpul untuk mengobrol biasa, tetapi lama kelamaan Jingga melihat Harsa mendaratkan satu pukulan pada orang di depannya.

"Harsa!" teriak Jingga.

••• 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro