Delapanbelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Aku terdiam saat elf di hadapanku masih mencoba meyakinkan Raja Xavier. Tidak berminat untuk mendengarkan kata-katanya dan hanya ingin kembali bermanja ria dengan Arthur. Namun vampir sialan di dalam tubuhku memaksaku untuk datang ke tempat ini.

Sejauh yang kudengar dan kumengerti, elf ini bernama Julius Zeen, adik dari Sammy. Ia telah lama hidup di bawah tekanan sebagai salah satu dari prajurit Hitam dan terus mencoba mencari keberadaanku hingga sebuah kesempatan menjemputnya.

Bagiku penjelasan Julius tidak begitu meyakinkan. Karena ia hanya terus mengatakan bahwa sang kakak benar-benar sudah terjatuh ke dalam kegelapan dan Julius tak ingin mengikuti jejak kakak serta ayahnya.

Namun tiba pada saatnya ketika Julius mendesah pelan dan berakhir dengan mengenalkan dua orang temannya yang berada di sel lain.

"Wanita tadi adalah Lauren Zavee Xands, adik dari Nicholas." Ujarnya. "Lauren dan pria tadi adalah seorang pengendali yang dikenai kutukan kegelapan oleh sihir para Pegasus yang dipelajari oleh Sammy 150 tahun yang lalu. Dan salah satu efek sampingnya, mereka menjadi seorang werewolf."

Aku hendak membuka mulutku dan mengatakan sesuatu. Namun samar-samar aku dapat melihat Xeraphin tengah berdiri di samping Julius yang masih berusaha keras meyakinkan raja.

"Ia benar."

Aku pun menghela napas. "Lalu?"

"Biarkan ia masuk."

Aku menghela napas panjang, mencoba mengurangi beban yang diberikan Xeraphin kemudian menghampiri Raja Xavier yang tengah menatap Julius jengah. "Yang Mulia, bisakah aku berbicara kepada mereka sendiri?" ujarku sembari menunduk.

Salah satu tangan raja menyentuh bahuku, menepuknya beberapa kali. "Semua keputusan berada di tanganmu."

Aku mengangguk, memperhatikan tungkainya yang perlahan-lahan menjauhiku. Suara pintu berderik terdengar tak lama setelahnya, membuat udara berhembus lembut dan rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.

Perlahan aku mengangkat kepala, memperhatikan Julius yang tengah berada di balik jeruji dengan tatapan lelah. Ia terlihat baik-baik saja, walaupun kantung mata yang begitu gelap menggantung jelas di bawah mata pria itu.

Kemudian kuhampiri Julius yang kini tengah menatap hidungku, membuatku sedikit kesal saat ia tak kunjung membalas tatapanku. "Apa yang kau ketahui tentang Ratu Hitam?"

"Dulu ia bernama Sky Gracy Stace. Namun telah mati dibunuh oleh Yang Mulia Ratu Xerafina. Dan satu-satunya makhluk terkuat setelah Ratu Hitam adalah kau, Xeraphin."

"Xeraphin?" Wow, apalagi ini?

Julius mengangguk. "Leluhurku, Sky, memberikan kemampuan untuk melihat jiwa padaku dan Sammy. Beliau ingin aku dan Sammy membangunkan Nightmare yang telah tertidur di dalam dirimu sejak lama. Sammy tahu itu. Itu sebabnya kami tahu kau adalah Xeraphin, sekaligus Nightmare dan Xave."

Aku terdiam ketika sebuah pertanyaan terngiang di benakku. Leluhur? Kududukkan diriku di lantai marmer yang cukup dingin seraya memperhatikan Julius yang ikut terduduk di hadapanku. "Kau orang pertama yang tahu bahwa aku bukanlah aku."

"Aku tahu." Julius pun menghela napas. "Itu terdengar tidak masuk akal dan sulit untuk dipercaya. Namun inilah kenyataannya, Ratu. Dan bukan hanya kau seorang yang berada di dalam kegelapan, Lalluna Revolder juga. Kalian bisa bersatu dan mengalahkan Nightmare itu sendiri."

"Aku pernah membaca tentang seorang penyihir hitam yang menampung jiwa-jiwa kelam di dalam tubuhnya." Ujarku sembari menunduk, tak kuat lagi untuk menahan kepalaku yang begitu berat dalam sekejap.

"Aku menganalisanya dengan fakta-fakta yang pernah kutemukan di dalam beberapa buku tentang dunia ini yang bersangkutpaut dengan kekuatan Penghisap Jiwa. Dan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dengan membunuh dirinya sendiri kemudian dibakar di dalam api biru."

"Tidak, itu salah." Aku mengangkat wajah ketika Julius menyangkal pernyataanku. "Masih ada beberapa cara lain."

Aku menggeleng tidak mengerti. Membuat kepalaku kembali berdenyut kesakitan dan pandanganku memburam.

"Satu, kau bisa membangunkan dan melepas Nightmare sebelum kau membunuhnya. Dua, kau bisa memberikannya tubuh bayi berusia dua hari dan memasukkannya kesana kemudian membakar tubuh bayi tersebut. Tiga, kau bisa membunuh saudaramu. Dan empat, memberikan pasanganmu sebagai makanan Nightmare."

Aku mendelik ke arah Julius, membuatnya merendahkan tubuhnya dan mengubah posisinya menjadi bersujud. Tanpa kusadari aku menggeram pelan, merasa tidak terima dengan pernyataan Julius yang terakhir.

Setelahnya pria itu berdeham pelan, mencoba mengangkat wajahnya perlahan dan menatap hidungku takut-takut. "Maaf, Ratu, aku tidak bermaksud."

"Jangan sebut aku dengan sebutan ratu!" Kugebrak jeruji besi di hadapanku hingga bergetar. "Persetan dengan ratumu dan aku tidak mau tahu lagi tentang apapun itu! Jika kau memang ingin bergabung dengan kami, buktikan pada kami! Sial!"

Napasku menderu, merasa begitu berat setelah mengeluarkan emosiku yang telah lama terpendam. Kualihkan pandanganku pada pintu besi yang berada di sisi kiri ruangan seraya mencoba menstabilkan napasku. Diam-diam berharap Arthur akan datang dan menyeretku keluar seperti yang pernah kulakukan padanya.

Namun harapanku terlalu tinggi.

Kukembalikan tatapanku pada Julius yang masih setia pada posisi bersujudnya dengan tubuh yang sedikit gemetaran. Membuatku menghela napas panjang kemudian bangkit dari dudukku.

"Aku perlu berpikir."

Setelahnya aku melangkah keluar yang langsung disambut oleh para penjaga yang akan mengekoriku mulai sekarang. Aku pun menyusuri lorong dengan pencahayaan yang cukup redup dalam diam, memperhatikan sekelilingku sekaligus mencari keberadaan pintu Xave yang dikatakan Raja Xavier tadi.

Aku menoleh ke arah kanan, menatap seorang pria yang berperawakan besar serta memiliki sayap berwarna silver. "Dimana ruang Xave?"

"Di ujung lorong, Ratu Xave Lalluna. Pintunya berwarna hitam dengan garis perak." Jawab pria itu dengan kepala yang menunduk.

"Kau tahu dimana Xave sebelumnya berada? Mengapa aku tidak pernah melihatnya? Bukankah Ave adalah dunia abadi?"

Pria itu menggeleng pelan. "Maaf, Ratu, saya tidak tahu. Namun menurut kesaksian dan sejarah yang ada, para Xave pergi menuju suatu dimensi lain dan beristirahat di sana bersama pasangan mereka. Tapi mereka masih tetap dapat datang kemari, walaupun tak semua orang dapat melihatnya, Ratu."

Aku pun mengangguk, mengucapkan terima kasih kepadanya kemudian berjalan lebih cepat agar dapat menemukan pintu itu dengan segera.

Seperti apa yang dikatakan penjagaku ini, pintu itu berada tepat di ujung lorong. Berjenis ganda dengan tuas pintu yang panjang. Ada dua penjaga lainnya di sana, dengan bentuk Pegasus berwarna putih serta sebuah tongkat disalah satu sisi tubuh mereka.

Kedua makhluk itu menurunkan kepala mereka saat aku telah berada di hadapannya, mempersilakanku untuk mendekat ke arah pintu kemudian menyentuh tuas itu. Sebuah sengatan listrik menyapa kulitku, membuat jantungku yang tak lagi berdetak menjadi bergetar semangat.

Tak seperti pintu-pintu lainnya yang akan terbuka saat aku mencoba membukanya, pintu itu justru menyerapku dan membawaku masuk ke dalam ruangan di belakangnya. Menampilkan ruangan yang cukup besar dengan cahaya keemasan serta barang yang tertata rapi.

Rak-rak besar menjulang nyaris di setiap pinggir dinding, buku-buku tebal pun ikut meramaikan rak tersebut dan beberapa jubah serta tongkat tertata rapi di dalam satu rak khusus yang berwarna hitam.

Aku berjalan mendekat, memperhatikan lekat-lekat barang yang ada di dalam ruangan ini dengan perasaan senang yang menggelegar di hatiku.

Kemudian mataku terpaku saat aku melihat wadah transparan berbentuk lingkaran melayang di tengah ruangan. Wadah itu disinari langsung oleh cahaya keemasan yang seakan-akan membuatmu berpendapat bahwa itu adalah cahaya malaikat.

Lagi-lagi aku berjalan menghampirinya, berdiri tepat di samping wadah itu dan perlahan-lahan mengusapkan jemariku di bibir wadah. Entah bagaimana caranya, angin pun berhembus lembut di wajahku, membuatku menutup mata seraya menikmati angin segar ini.

"Kami tahu kau akan datang, Lalluna."

Aku membuka mataku denagn terkejut saat suara seseorang menggema di gendang telingaku. Membuatku bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang memasuki ruangan ini. Padahal Raja Xavier mengatakan bahwa ruangan ini hanya dapat dimasuki oleh Xave.

Namun dua sosok wanita cantik yang tengah tersenyum ke arahku membuatku tersadar. Dengan kedua sayap emas serta warna kedua bola mata mereka yang berbeda, menunjukkan bahwa mereka adalah Xave. Leluhurku.

"Oh, Yang Mulia." Sapaku seraya membungkukkan badan.

Salah satu di antara mereka pun terkekeh. "Kau sama dengan kami, anak muda. Tidak perlu merasa formal."

"Ya, sebaiknya kau menghentikan keformalanmu itu karena sebentar lagi kau akan menjadi seorang ratu, Lalluna." Tambah wanita lainnya yang memiliki mata berwarna hijau.

Aku mengangguk kecil, mengangkat wajahku dan menatap dua orang wanita di hadapanku lekat-lekat. Saat mataku bertemu dengan pemilik mata berwarna hijau itu, sebuah memori seketika memanggilku. Membawaku menuju ke masa kecilku yang saat itu tengah berburu beruang di Bumi.

Kedua mata hijau itu di sana, di samping kakek tua yang selalu membantuku membawa hasil tangkapanku. Wanita itu juga selalu bersama kakek tua sebelum sang kakek membantuku membawa beruang pulang ke rumah.

"Kau mengingatku rupanya." Ujar wanita itu seraya berjalan mengitari wadah dan berdiri tepat di sampingku. "Aku senang ingatanmu masih sangat bagus."

"Ya, aku sangat ingat denganmu." Balasku.

Wanita itu tersenyum. "Aku Juniel Xeria Rosemary, Xave kedua. Berasal dari kalangan peri."

Aku kembali mengangguk. Kemudian Xave Juniel berpindah tempat hingga kini wanita bermata biru dengan rambut hitam sebahu berdiri tepat di hadapanku.

"Aku berasal dari ras peri juga, Liona Swans dan Xave pertama. Senang bertemu denganmu, Tiga."

Seulas senyum entah mengapa terulas di wajahku. "Aku Lalluna Revolder, berasal dari bumi dan masih tidak tahu darah apa yang mengalir dominan di dalam tubuhku. Dan aku Xave ketiga."

Setelahnya Xave Juniel menarikku ke dalam dekapannya. Membuatku menahan napas terkejut dan entah mengapa rasanya seperti aku telah kembali ke rumah. Dekapan erat Xave Juniel mengingatkanku akan ibu. Begitu nyaman hingga aku sendiri tak ingin lepas darinya.

"Aku senang kau masih dapat bertahan sejauh ini, Luna." Ujar Xave Juniel. "Kau sangat tangguh, aku yakin Ave akan berhasil melawan kegelapan dengan bantuanmu."

Aku mengangguk. Dan dengan ragu membalas pelukan Xave Juniel. "Bisakah aku meminta waktumu sedikit, Kedua?"

"Ambil saja semua waktuku, Luna."

"Kalau begitu biarkan aku memelukmu lebih lama."

Entah kenapa suaraku pecah di akhir kata. Kedua mataku mulai berbinar dan sesak mulai merasuki hatiku. Kerinduan akan rumah serta kasih sayang ibu membuatku ingin menangis. Ditambah dengan dekapan Kedua yang seakan-akan mengatakan bahwa aku akan aman di dalam dekapannya.

Aku pun memejamkan mata dan tanpa kusadari air mata mulai merembes jatuh, membasahi kedua pipiku dan terjatuh di kaus Xave Juniel. Aku hendak menyekanya seraya menjauh, namun tangan dingin milik Juniel menahan kepalaku sembari mengusap-usap puncak kepalaku lembut.

"Keluarkan saja. Kami mengerti."

Tanpa ragu lagi, aku mengeratkan pelukanku pada Xave Juniel. Merasa ingin menangis sehebat-hebatnya namun hanya beberapa tetes yang berhasil keluar. Kedua mataku sudah terlalu lelah untuk menangis dan memproduksi air mata.

"Aku dan Juniel akan menjelaskan segala hal yang tak kau pahami tentang cara kerja Xave dan musuh-musuh yang akan kau hadapi. Termasuk keturunan Sky, teknik licik mereka hingga pack yang kini berada di bawah pimpinan salah satu keturunan Sky."

Aku mengangkat wajahku, menatap Xave Liona dengan tatapan sayu kemudian mengangguk kecil. "Aku siap mendengarkan."

Sebuah sofa pun seketika menampakkan diri di dekat kami. Membuat Juniel menarikku untuk duduk di atas sofa kemudian kembali membawaku ke dalam dekapannya. Aku tidak mencoba melawan, toh, aku memang menyukai pelukannya.

Seraya menjelaskan segala hal tentang dunia ini secara detil, tak lupa aku menanyakan hal-hal lainnya yang tak ada satupun manusia dapat menjawabnya selain para Xave. Seperti 'bagaimana bisa jiwa vampir dan werewolf menjadi satu?' 'bagaimana bisa aku tidak merasakan kehangatan saat Leah mengambil alih tubuhku?' dan 'bagaimana bisa aku memiliki dua mate secara tidak langsung?'

Selain berbagi pengalaman dari yang terdahulu, tak jarang kami juga bersenda gurau. Sesekali Pertama dan Kedua meledekku tentang kedekatanku dengan Arthur yang tidak sangat biasa. Mereka mengaku bahwa saat mereka menemui pasangan hidup masing-masing, pihak pria tidak begitu sering menempel dan membiarkan mereka bebas.

Entah sudah berapa lama kami menghabiskan waktu bersama, suara seseorang seketika memanggilku dari luar pintu. Membuatku bangkit dari sofa kemudian menatap kedua terdahuluku dengan senyum lebar.

"Aku akan menyempatkan untuk datang kemari sebelum bulan menghilang. Dan aku sangat senang dapat bertemu dengan kalian, Xave Liona, Xave Juniel." Ujarku yang dibalas dengan senyuman serta anggukan dari mereka. "Terima kasih untuk hari ini."

Kemudian aku melangkahkan tungkaiku menuju pintu, kembali menyentuh tuas pintu tersebut dan terserap keluar. Aku terkejut saat sepanjang lorong dipenuhi oleh kerabatku. Di antaranya ada Arthur, Seth, Karl, Ardeen, Cheryl dan Zeon.

Saat aku telah berhadapan dengan mereka, semuanya terlihat bernapas lega dan perlahan-lahan mengundurkan diri. Menyisakan aku, Arthur dan Seth. Bahkan Pegasus yang tadi menjaga pintu ini ikut meninggalkan tempatnya.

"Kau berhutang penjelasan terhadapku, Luna." Suara Arthur terdengar begitu rendah.

Aku mengangguk, menarik napas sejenak kemudian memeluk lenganku sendiri saat rasa dingin kembali menyelimutiku. "Ya, ayo kita bicarakan ini di perpustakaan."

"Aku ingin di sini."

"Banyak yang dapat mendengar."

"Aku telah memanipulasi udara."

Kali ini aku menatap Arthur sembari mencoba melupakan denyutan sakit yang kembali datang di kepalaku. "Aku sudah mengatakannya, 'kan, kalau aku adalah seorang vampir dari ras Merah?"

Arthur pun mengangguk.

"Dan di dalam diriku ada sebuah jiwa yang telah lama tertidur. Namun baru saja terbangun saat serangan brutalku kepadamu pagi itu. Dan pada saat itu juga, aku bertemu seseorang yang begitu mirip denganku di dalam mimpi. Ia membela jiwa vampir itu dan aku membela Leah. Kami berebut tempat untuk menguasai tubuhku ini.

"Sampai hingga pada akhirnya jiwa itu mengalah dengan syarat ia ingin meminum darah pasangannya. Aku menurutinya. Dan dari awal aku sudah menyadarinya bahwa vampir ini memang bukan pasanganmu, namun pasangan orang lain. Hingga seorang gadis menyuruhku untuk mengatakan siapa nama yang muncul di benakku selain namamu adalah pasangan vampir ini. Alhasil, Seth lah yang entah mengapa bisa terucap.

"Lagipula, Seth juga merasakannya sesaat setelah aku—maksudku, vampir itu—menghisap darahnya. Ya, 'kan?" Tanyaku seraya menatap Seth. Dan pria itu pun membalas dengan mengangguk. "Namun kali ini tidak, 'kan? Kau tidak merasakan apapun?"

"Aku tidak dapat merasakannya." Jawab pria itu seraya menatap Arthur yang tengah menatapnya penuh selidik. "Aku berani bersumpah, Alpha, aku tidak merasakan apapun saat Luna masih dalam bentuknya yang seperti ini."

Kali ini Arthur mengalihkan pandangannya dan menatapku. Kedua bola matanya berubah menjadi oranye dan berkilat-kilat. Mati kau.

"Kau boleh pergi, Seth."

Seth pun menundukkan wajahnya sejenak sebelum pergi meninggalkan kami. Dan ketika dirasanya pria itu sudah tak ada di sini, Arthur menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya kembali menatapku.

"Ratu ingin kau segera ke Xilvonia."

Aku mengangkat kedua alisku seraya menarik napas panjang. "Maukah kau mengantarku, Arthur?"

Pria itu terlihat tersenyum tipis, merengkuh wajahku dengan kedua telapak tangan besarnya dan mencium bibirku dengan lembut. Aku pun membalasnya, mengalirkan segala keresahanku selama ini kepadanya.

Tak seperti biasanya, Arthur menciumku tidak begitu lama. Setelah menggigit lembut bibir bawahku, ia merengkuh bahuku seraya menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Salah satu tangannya pun mengusap-usap puncak kepalaku lembut, menghantarkan berjuta-juta perasaan nyaman dan aman kepadaku.

"Jangan lukai dirimu lagi, sayang, jangan biarkan beban apapun menumpuk di dalam dirimu sendirian. Berikan padaku. Kau adalah sebagian dariku dan kau adalah duniaku. Kau mengerti?"

Aku mengangguk di dalam dekapannya. Dan secara perlahan kedua tanganku pun menyelinap masuk ke dalam kausnya, menyentuh dadanya yang membuat darahku berdesir dengan cepat. Kudengar Arthur menggeram, membuatku diam-diam tersenyum kemudian meletakkan telingaku tepat di depan dadanya.

"Aku merindukan jantungmu yang selalu berdetak cepat di saat bersamaku."

Dapat kurasakan Arthur mengecup puncak kepalaku. "Ya, aku juga merindukan detak jantungmu, Luna."

Aku menggeleng, menyandarkan kepalaku pada dadanya kemudian memejamkan mata. "Jantung ini sudah tidak akan berdetak lagi. Kau tahu itu."

"Tidak, jika jiwa itu keluar dari tubuhmu, jantungmu akan kembali berdetak."

"Bagus kalau begitu." Aku pun mendongak, mencoba menatap kedua mata Arthur yang kini sudah kembali menjadi biru. "Kau harus mendengarnya tepat setelah jantungku kembali berdetak."

Arthur tersenyum, membalas tatapanku kemudian mengecup keningku lama. "Tentu." Kedua tangan pria itu pun turun menuju pinggangku. "Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu bahwa kau adalah seorang Xave."

Tanpa ragu aku pun berucap. "Aku seorang Xave, Tuan Xavewood."

Dalam sekejap Arthur merengut, membuatku kebingungan saat ia menjadi seperti ini hanya dalam sepersekian detik.

"Kenapa?" tanyaku.

Arthur pun semakin memajukan bibirnya, membuatku tersadar bahwa ia tengah bergurau. Aku terkekeh sembari berjinjit, mengecup bibirnya beberapa kali namun bibir pria itu masih setia dengan rengutannya.

"Ada apaaa?"

"Jika kau menjadi Xave, pasti akan banyak orang yang harus hadir di dalam pernikahan kita nanti. Dan itu menandakan aku harus mengeluarkan tenaga ekstra hingga waktuku untuk bersamamu akan berkurang."

Tepat setelahnya aku tertawa, melepaskan tanganku dari balik kausnya kemudian memeluk leher Arthur sembari berjinjit. Pria itu pun ikut tertawa, memeluk pinggangku erat seraya mengangkat tubuhku. Secara otomatis aku melingkarkan kakiku di pinggangnya dan kedua mata kami bertabrakan.

"Ayo kita ke Xilvonia."

Aku mengangguk dengan semangat, kembali memeluk lehernya dengan erat seraya menenggelamkan wajahku pada lekukan lehernya.

Perlahan-lahan dapat kurasakan sesuatu yang lembut menyapu kulit lenganku, membuatku mendongak dan melihat apa yang tengah terjadi. Aku baru tersadar bahwa aku masih menggunakan gaun pendekku hingga akhirnya Arthur memberikan mantel kremku serta mengganti gaunku menjadi kemeja panjang hitam dan celana belel senada.

Arthur pun mulai melayang rendah dan membawaku menaiki undakan tangga menuju lantai atas. Sesampainya di atas seluruh pandangan mata langsung tertuju kepada kami, membuatku kembali menenggelamkan wajah di lekukan leher Arthur sementara pria itu terkekeh.

Saat kami hendak keluar dari kerajaan, para penjaga menahan kami. Membuat Arthur menghentikan sihirnya dan aku pun turun dari gendongannya. Tak lama setelah itu ratu datang dengan seorang gadis yang terlihat familier, membuatku kembali menundukkan kepala sejenak.

"Kalian ingin ke Xilvonia?"

Aku hendak menjawab, namun Arthur menyelaku. "Ya, aku akan mengantarnya."

Ratu Xerafina terlihat tersenyum. "Sebaiknya biarkan Luna datang ke Cosmos terlebih dahulu. Ia membutuhkan sayapnya dan aku sudah mengatakan pada Ratu Xeria bahwa Luna akan segera datang. Kemudian ke Xilvonia dan Vamps."

Arthur pun mengangguk. Ia menoleh ke arahku kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Sesuai dengan perintahmu, Yang Mulia."

"Oh ya." Arthur mengangkat kedua alisnya saat Ratu Xerafina kembali berbicara. "Kau bisa ikut bersama Luna jika kau mau, Arthur, selama tidak mengganggu jadwal yang sudah ditetapkan untuknya."

Seulas senyuman ikut mengembang di wajah Arthur. "Dengan senang hati, Ratu."

Aku pun mengembangkan sayap hitamku, mencoba membawanya terbang bersamaku dan Arthur menuju Cosmos, yang kalau tidak salah, kota para peri.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro