Duadua.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf ya kali ini partnya rada pendek :v buatnya pake sistem kebut 5 jam sama part 21 :v

Enjoy~

Luna's POV

Setelahnya aku mengangguk, membalas pelukan Sherina kemudian menyandarkan daguku pada bahunya. "Seharusnya kau mengatakan ini lebih awal."

"Kenapa?"

"Akan lebih mudah bagimu untuk mendapatkan tubuh jika aku tahu ini. Kita tidak perlu bertengkar dan membuat tubuhku hingga memar. Kita tidak perlu membuat Arthur menyakiti dirinya sendiri hiingga menderita hanya karena aku."

Kali ini Sherina mengangguk. "Kau benar. Aku sangat menyesal karena telah melukaimu, Athenna, aku akan membayar segalanya. Aku akan mengembalikan kebahagianmu yang telah kurebut."

"Tidak, bodoh, ini sudah kodrat seorang Xave."

"Terima kasih, Anna, aku merindukanmu."

Aku pun kembali mengangguk, mengusap-usap punggung Sherina yang menghantarkan sejuta kenyamanan tak terhingga untukku. Awalnya, aku tak berharap bahwa gadis ini adalah saudariku. Namun saat ia mulai menyebutkan namanya, sebuah getaran di hatiku menjelaskan segalanya. Ikatan sepasang anak kembar.

"Luna!"

Aku tersentak kaget ketika suara Arthur memasuki benakku.

"Menjauh dari lapangan! Prajurit garis depan Darkmoon datang! Masuk ke dalam!"

Dengan segera aku melepas pelukanku pada Sherina, menatapnya cemas yang dibalas dengan guratan kebingungan di wajahnya.

"Darkmoon menyerang, bisa kau kembali ke dalam tubuhku?"

Sherina pun menggeleng. "Aku akan menghadapinya."

"Arthur akan mengamuk jika kau melakukannya."

"Dia tidak akan."

Aku menghela napas gusar. "Oke, sekarang cepat masuk ke dalam tubuhku dan panggil Pegasus itu."

Detik berikutnya jiwaku kembali tersentak ke dalam. Sihir yang digunakan Sherina untuk membuat mantra pelindung runtuh hingga kini kebisingan di luar sana dapat terdengar.

Aku melihat serigala berbulu hitam dengan aroma amis tengah berlarian, mengejar beberapa anak kecil yang tengah menjerit ketakutan.

Dengan segera Sherina melaju ke arahnya, menerkam serigala itu dengan sekali hentakan dan melemparnya ke langit. Udara pun mulai berputar cepat tak jauh dari serigala itu, membuat dirinya menjadi runcing kemudian memakan habis tubuh sang serigala.

Darah pun berjatuhan di atas salju, membuat warna benda putih itu memudar tergantikan dengan warna hitam yang menyerap cepat ke dalamnya. Setelahnya Sherina berlari menuju samping istana, di sana kami mendapati Arthur tengah berada di bawah cengkraman tiga serigala sekaligus.

Detik berikutnya aku memaksa Sherina untuk mundur, membuatku mengambil alih kembali tubuhku dan memanggil Leah. Kami berlari dengan sekuat tenaga, menabrak salah satu serigala itu hingga beberapa kali terguling.

Serigala itu menggeram keras ke arahku, taringnya telah memanjang dan air liur membasahi mulutnya. Aku pun membalas geramannya lebih keras, mencoba memutar balikkan posisi namun tak berhasil.

Akalku pun mengatakan sesuatu yang gila: meminta Sherina untuk mengambil alih sebagai vampir. Dan gadis itu benar-benar menerimanya.

Ketika tubuhku berubah menjadi seorang manusia—bersamaan dengan taringku yang memanjang, dengan segera Sherina menggigit leher serigala itu dalam-dalam. Ia menghisap habis darah serigala itu yang alhasil membuat Sherina menyeringai bangga.

Setelahnya aku kembali mengambil alih, menyingkirkan tubuh serigala itu dari atas tubuhku kemudian bangkit sembari menyeka darah yang tersisa di sekitar mulutku. Aku kembali berlari, mencari keberadaan Arthur yang sudah tak lagi berada di tempat tadi.

Namun ketika mataku mendapati beberapa serigala yang berada di pihak kami telah mati terbunuh hingga menyisakan sang alpha, beta dan beberapa pasukan, tubuhku mulai bergetar. Kedua mataku berbinar dan entah mengapa sebuah kekuatan mengalir dengan deras di dalam tubuhku.

Aku berjalan menuju sekumpulan kawanan Darkmoon yang tengah mengincarku terang-terangan. Menghiraukan panggilan bahaya yang berdenting keras di dalam tubuhku, Sherina dan Arthur.

Seketika sekelebat bayangan terlintas di benakku. Menampilkan wajah seorang gadis bermata biru tengah menatapku sembari tersenyum. Aku mengenalnya, terasa sangat tidak asing hingga suara Xeraphin terngiang.

"Vanessa Northwolf. Teman lama."

Dan suara lainnya ikut terdengar. "Biarkan aku mengatasinya, Athenna, mereka kawananku."

Kemudian dapat kurasakan setengah jiwaku tertarik entah kemana, membuat Vanessa mengambil alih di setengah bagian yang tertarik tersebut dan suaranya yang sangat serak terlontar dari bibirku.

"Siapa yang menyuruh kalian datang kemari?" Tanya Vanessa dengan suara yang lantang. Membuat serigala-serigala itu terdiam terpaku seperti apa yang pernah terjadi saat di Cygnus beberapa waktu lalu.

"Lu— Luna Vanessa?"

"Tidak mungkin."

Sekumpulan serigala itu mulai terlihat ketakutan mengingat leluhur mereka tengah berada di sini. Membuat salah satu dari mereka mengubah diri menjadi seorang elf dan merapalkan mantra dengan lirih.

Detik berikutnya sosok yang begitu ingin kusumpah serapahi menampilkan wujudnya. Membuatku berdecih kesal dan mau tak mau harus terus menatapnya.

"Alpha Sammy, apakah benar, jiwa yang berada di dalam tubuh Ratu Lalluna adalah Luna Vanessa?" tanya elf itu.

Sammy pun menoleh ke arahku, menatapku lekat-lekat dan tubuhnya tersentak kaget. Namun detik berikutnya ia tersenyum tipis, ia menundukkan wajahnya kemudian menekuk kedua kakinya dan membawa salah satu kakinya ke belakang.

"Luna Vanessa, senang—"

"Hentikan pasukanmu dan jangan mengganggu ketertiban, Sammy!"

Sammy menyentakkan kepalanya, dan dalam sekejap ia telah berada di hadapanku dengan wajahnya yang menjijikkan. "Dengan senang hati, Luna Vanessa." Jawabnya.

Dan Sammy pun memundurkan langkahnya, menyapu tangannya di udara hingga perlahan-lahan pasukannya menjauhkan diri dari istana.

"Terima kasih, Athenna."

"Luna!"

Pandanganku mulai mengabur, kepalaku terasa sangat berat dan samar-samar aku dapat melihat Arthur serta Seth tengah berlari ke arahku. Membuat kedua sudut bibirku tertarik ke atas sebelum akhirnya kegelapan menarikku dengan paksa.

.

.

.

Lagi-lagi aku terbangun di atas ranjang, namun bedanya Arthur tak ada di sampingku. Suara air terjatuh dari sisi dinding sebelah kanan mengatakan segalanya, membuatku mengambil kesimpulan bahwa pria itu tengah membilas diri.

Kutolehkan wajahku pada nakas yang berada di sisi kiri, menatap jam kecil yang tengah mendentingkan jarum detiknya dengan tempo yang sama dan mendapati waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Entah pagi, atau malam.

Tak lama setelah itu, aroma vanilla menyeruak masuk ke dalam hidungku. Membuatku kembali menoleh menuju pintu di sebelah kanan dan menemukan Arthur sedang mengusap rambutnya dengan handuk.

Aku pun tersenyum, menatap kedua matanya yang langsung dibalas oleh kedua mata biru laut itu. "Hai, Putri, sudah bangun?"

Aku mengangguk, meregangkan tubuhku sejenak kemudian kembali menatap pria itu lekat-lekat. "Sekarang masih malam?"

"Sudah pagi lagi, Putri, kau tidur cukup lama."

Aku menggigit bibir bawahku cemas yang langsung mendapat perhatian dari Arthur hingga pria itu ikut berbaring di sampingku. Ia bertelungkup, namun kedua tangannya menjadi sandaran untuk tubuhnya dan wajahnya berada tepat di atasku.

"Ada apa, sayang?"

"Maaf, lagi-lagi aku tidak mendengarkanmu."

Arthur pun mengangguk. "Aku tahu, kebiasaan ibu hamil memang suka semena-mena."

Tepat setelah itu aku tertawa, menepuk bahu pria itu pelan kemudian mencolek hidungnya. "Tapi aku serius, maaf soal itu."

"Bukan masalah. Aku sudah terbiasa dengan dirimu yang sedikit pembangkang."

Aku hanya menyengir setelahnya, mencubit pipi pria itu kemudian kembali berucap. "Aku mulai berpikir untuk memberikan Seth dan She— Xeraphin waktu."

"Dengan tubuhmu sebagai perantaranya?"

"Tidak, aku memiliki cara lain." Ujarku. "Apakah boleh?"

"Tentu saja, bodoh, untuk apa kau meminta izin padaku?"

"Hanya memastikan. Takut-takut Alpha merasa cemburu lagi."

Arthur pun merengut, membuatku kembali tertawa dan terhenti seketika saat gelombang mual itu menyapaku. Dengan segera aku berlari ke dalam kamar mandi, membuka penutup kloset dan memuntahkan apapun yang tersisa ke dalam sana.

Tak lama kemudian Arthur menyusul, ia merengkuh tubuhku dari samping sembari mengurut punggung atasku hingga leher. "Bertahan, sayang, bertahan. Kau cukup kuat untuk ini."

Setelah dirasanya sudah keluar semua dan hidungku menjadi tersumbat, Arthur meraih lututku seraya membawaku menuju ranjang dengan menggendong tubuhku.

Ia membaringkannya tepat di tempatku tadi tertidur, menyelimutiku dengan selimut tebal kemudian mengecup keningku lembut. "Kau harus istirahat lagi, Luna."

Aku menggeleng. "Aku harus ke Vamps."

"Xeraphin tidak membutuhkan pelatihan."

"Bukan itu maksudku, aku butuh kawanan."

Arthur pun mendesah panjang. "Oke, kita akan ke Vamps nanti sore. Setelah kau istirahat dan Xeraphin bertemu dengan Seth."

.

.

.

Aku dan Arthur mengamati kedua pasangan yang baru kali bertemu itu di pekarangan belakang istana. Bahkan Seth terlihat terpaku saat melihat Sherina yang tengah berjalan ke arahnya.

"Hai, Seth." Sapa Sherina yang langsung membuat Seth tersenyum dan menghampiri Sherina agar dapat memeluk gadis itu.

"Hai juga, Xeraphin."

Sherina terlihat membalas pelukan Seth, ia menenggelamkan wajahnya di dada pria itu kemudian bergumam pelan. Detik berikutnya yang lantas membuatku dan Arthur terkejut adalah Seth langsung menandai Sherina tepat saat itu.

Entah kenapa wajahku memanas, mengingat kejadian yang telah aku dan Arthur alami dua bulan lalu. Arthur yang sepertinya menyadari hal itu tertawa, ia merengkuh tubuhku dari belakang kemudian mengecup tanda yang ia buat.

"Arthur, jangan mulai."

Pria itu kembali tertawa, mencium pipiku dari samping kemudian menyandarkan dagunya di atas kepalaku. "Aku bingung, bagaimana bisa Seth menandai Xeraphin yang terbuat dari cahaya?"

Aku pun mengangkat bahuku sekejap. "Menurutku Seth menandai langsung jiwa Xeraphin. Itu bisa dilakukan, kurasa, selama Xeraphin menggunakan sihir Pegasus yang ia miliki."

"Ratu Lalluna benar-benar pintar sekarang."

Aku terkekeh, meraih lengannya yang berada di sekitar bahuku. "Sebaiknya kita biarkan mereka memiliki privasi. Lagipula aku harus menyusun rencana."

"Dimana kau akan menyusun rencanamu itu?"

"Perpustakaan."

Arthur mengangguk, melepaskan rengkuhannya pada tubuhku kemudian menggenggam erat tanganku. Kami pun berjalan menuju dalam istana, melewati tiap-tiap lorong istana yang terkesan unik sembari mencari-cari keberadaan perpustakaan.

Sesekali kami—aku dan Arthur—bergurau. Terus mencoba memperbaiki kerusakan yang pernah terjadi di antara kami hingga segalanya kembali berjalan normal. Walaupun aku tahu Arthur masih menyimpan sedikit rasa berat hati di dalam dirinya karena aku adalah seorang pengendali, ia masih mencoba untuk menerimanya.

Sampai seketika aku mendapati tulisan "PERPUSTAKAAN" di atas kayu yang tertempel di sebuah pintu, kami berhenti berjalan. Seorang penjaga yang tengah memegang tombak pun menatap kami sejenak, kembali menundukkan wajahnya dan mempersilakan kami masuk.

Pintu itu pun terbuka sendiri saat kami hendak membukanya, membuatku dan Arthur saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya menjejakkan kaki ke dalam. Udara khas buku-buku pun menyeruak masuk ke dalam hidungku. Membuahkan rasa nyaman dan tenang bagiku.

Tak seperti perpustakaan Arthur, perpustakaan ini terlihat sangat luas dengan rak-rak yang tak begitu tinggi. Di tengah-tengah ruangan terdapat beberapa meja serta bangku. Di atas meja itu pun terdapat sebuah buku yang cukup tebal dan bertuliskan "A-Z" yang kurasa adalah daftar buku-buku yang ada di sini.

Dengan segera kudaratkan bokongku di atas bangku, membuka buku itu perlahan dan langsung mencari-cari buku yang ingin kubaca. Setelah menemukan beberapa judul buku yang ingin kuinginkan, aku berbicara pada Arthur tentang judul tersebut, bermaksud untuk meminta pria itu mengambilkannya.

Namun dengan segera buku-buku itu terbang menuju ke arahku. Menumpukkan dirinya dengan rapi di atas meja dan membuatku tersenyum lebar. "Maaf jika aku mengabaikanmu, Pangeran Xavewood."

Arthur pun tertawa, mengusap-usap puncak kepalaku sejenak kemudian mengangguk.

Aku pun mulai membaca dengan bantuan sihir peri yang akan membuatku cepat mencerna kata-kata yang ada di dalam buku dan menuliskannya pada sebuah catatan. Dimulai dari buku sejarah dan segala hal tentang Pegasus, kemudian para vampir dan peri.

Buku-buku yang telah kupanggil dan tak kutahu lagi berapa banyaknya telah kuhabiskan dengan membaca dalam kurun waktu empat jam. Bahkan ketika aku menutup buku terakhir, aku telah mendapati Arthur tengah tertidur di atas meja dengan tangan kanannya sebagai bantalan.

Kuperhatikan wajah itu lekat-lekat. Terlihat semakin tirus dan dewasa tanpa kusadari. Luka-luka yang sempat menghiasi wajahnya pun sudah menghilang, tergantikan dengan peluhnya yang berjatuhan.

Kemudian kuputuskan untuk melipat kedua tanganku di atas meja, meletakkan kepalaku di atasnya kemudian kembali memperhatikan wajah pria yang telah mencuri waktuku selama ini. Pria yang telah mengajariku untuk bertahan hidup dan pria yang telah membawaku menuju sebuah takdir yang harus kupenuhi.

Arthur Rush Xavewood.

Rasanya seperti sudah lama tidak memanggil namanya. Buih-buih kerinduan memenuhiku saat mengenang masa-masa tenang kami di Bumi. Kedua mataku pun mulai berbinar. Entah mengapa begitu merasa berterima kasih kepadanya yang telah membuatku menjadi seorang gadis yang kuat.

Tak bisa kubayangkan jika saat itu Arthur tak pernah datang ke rumahku. Jika Arthur bukanlah pasanganku dan jika Arthur bukanlah siapa-siapa di dalam hidupku. Akankah aku masih hidup?

Entahlah, air mata terjatuh begitu saja dari kedua sudut mataku.

Perlahan-lahan kedua kelopak mata itu terbuka, menampilkan satu-satunya mata yang dapat membuatku tak berdaya. Aku pun tersenyum saat mata kami bertemu, membuatnya sedikit terkejut saat ia melihat air mata terjatuh dari mataku.

Salah satu tangannya yang bebas pun meraih pipiku, menyeka air mata yang terjatuh dan merengkuhnya lembut. "Kenapa kau menangis, sayang?"

Aku menggeleng, menahan getaran suaraku yang akan segera pecah jika berbicara.

"Apa aku berbuat salah? Maaf karena telah tertidur." Ujarnya kemudian bangkit dari posisinya dan menarik bahuku lembut menuju dekapannya.

Aku pun membalasnya erat, menenggelamkan wajahku di bahunya kemudian menangis. Tangan hangat itu mengusap puncak kepalaku penuh kasih sayang, membuatku semakin merapatkan diri kepadanya dan menumpahkan segala perasaanku kepadanya.

"Tidak." Ujarku dengan suara yang bergetar. "Hanya saja—" Aku pun menarik napas. "Terima kasih."

"Untuk apa, hm?"

"Menjadikanku hidup."

Setelahnya aku kembali menangis. Merasa begitu beruntung karena dapat bertemu dengan pria seperti Arthur. Pria yang tidak pernah kubayangkan kehadirannya dan tak pernah kuharapkan. Namun Tuhan mengatakan hal lain, Ia mempertemukanku dengan pria yang telah mencintaiku sejak lama.

Pria yang akan menjagaku seumur hidup.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu, Lalluna."

Aku tak menjawab dan perlahan-lahan menghentikan tangisanku. Kuusap kedua mataku pada kausnya, mengangkat wajahku untuk menatap pria itu sembari menggigit bibir bawahku ragu.

"Tidak. Aku benar-benar berterima kasih karena dengan kehadiranmu, aku mengerti apa yang dinamakan cinta, sabar, penantian panjang, depresi dan segala hal lainnya. Dan dengan itu juga, aku mengerti bahwa takdir akan selalu mempertemukanmu dan aku. Serumit apapun rintangan yang telah kau dan aku jalani. Terima kasih banyak."

To be continue

Gaess jan lupa baca cerita "You Like an Ice Cream" karya Fazelxx yaaa genrenya romance gtuu.

Dan jangan lupa tinggalkan vomment sebagai apresiasi! OuO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro