Duaempat.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf buat updatean kali ini rada pendek eue

Luna's POV

Aku menggeleng, menepis pemikiran anehku dan kembali teringat akan pria yang tengah berbicara padaku tadi.

Aku mendesah, meluruskan kedua kakiku seraya menatapa cahaya rembulan yang mulai menggelap.

"Kira-kira, apa yang terjadi setelah pemisahan jiwa selesai?" Gumamku, memikirkan masa depan yang sepertinya akan sedikit suram. "Apakah kegelapan akan menarikku?"

"Luna Lalluna?"

Aku terdiam, menolehkan kepalaku ke belakang dan mendapati sang dokter pack di sana. "Cheryl?"

Cheryl mengangguk. "Alpha Arthur memintaku untuk memeriksa kondisi tubuhmu."

Kali ini aku yang mengangguk, mengisyaratkannya untuk mendekat kemudian kembali duduk seperti biasanya.

Cheryl pun duduk di sebelahku, meletakkan tasnya di rerumputan kemudian kami saling bertatapan.

"Alpha mengatakan Luna terjatuh tadi, itu benar?" Aku mengangkat kedua alisku membenarkan ucapannya. "Apakah ada sesuatu yang terasa aneh setelahnya?"

Aku mencoba berpikir, mengulang kembali apa yang kurasakan setelah insiden tadi. "Mungkin hanya sedikit sakit untuk duduk dan emosiku tidak begitu stabil."

Kali ini Cheryl mengangguk, membuka tasnya dan mengambil stetoskop. Dikalungkannya benda itu di lehernya, kemudian benda bulat yang digunakan untuk—setauku—mendeteksi detak jantung ia letakkan tepat di depan dadaku.

Wajah wanita ini sangat serius, kedua alisnya mengerut bingung seraya menatapku tidak percaya.

"Bayinya tidak apa-apa. Namun apakah aku salah dengar jika di dalam tubuhmu ada banyak suara detak jantung?"

Aku terdiam, bingung harus menjawab apa hingga satu-satunya jawaban yang kudapatkan terlontar begitu saja dari bibirku. "Urusanku, kau tidak perlu tahu."

Cheryl terlihat menggigit bibirnya, pandangannya ia tundukkan dan benda itu ia jauhkan dariku. "Maaf telah lancang menanyakan hal itu, Luna."

"Bukan masalah, selama kau tidak membicarakannya kepada orang lain." Ujarku yang lantas membuatnya mengangguk. "Jadi kau sudah selesai?"

Cheryl terlihat kembali mengangguk, memasukkan stetoskopnya ke dalam tasnya kemudian beranjak berdiri. "Aku pamit kembali, Luna."

"Kau tidak bisa pulang sekarang, Cheryl, badai akan mengganggu pandanganmu. Sebaiknya kau singgah malam ini dan pulang besok pagi."

"Tapi Luna—"

"Cheryl?"

Wanita ini menghela napas pelan, menundukkan kepalanya sejenak setelah itu menatapku. "Baik, Luna, kalau begitu aku akan masuk ke dalam terlebih dahulu dan meminta izin sang alpha."

"Oke, sekalian tidurlah dengan nyenyak."

"Kau juga, Luna Lalluna."

Aku mengangguk, membiarkan wanita yang berstatuskan dokter di pack Arthur pergi meninggalkanku ke dalam.

"Kau tahu, semuanya akan terasa semakin berat saat matahari mulai terbit. Perjuanganmu di Azurea tidak sebanding dengan apa yang akan kita jalani esok. Lebih baik kau tidur."

Suara Sherina pun menghiasi benakku. Membuatku setuju dengan ucapannya seraya mengangguk-angguk kecil dan menatap langit malam yang tengah dihiasi bintang-bintang.

"Kita akan menjadi seperti bintang, Athenna, satu-satunya cahaya yang akan menerangi gelapannya langit malam. Kita akan membantu siapapun yang tersesat dengan bantuan cahaya yang kita miliki. Dan aku percaya, cahaya yang kita hasilkan, akan membawakan hasil yang lebih indah setelahnya."

.
.
.

Saat pagi menjelang, aku membuka kedua mataku dan mendapati Savanna tengah berdiri di depan cermin rias sembari menyisir rambutnya.

Aku mengusap wajahku, meregangkan otot-otot kemudian menenggelamkan wajah di antara empuknya bantal milik gadis ini.

"Jika kau mau sarapan, kau bisa membuatnya di dapur."

Aku hanya bergumam menanggapi pernyataan Savanna. Hari yang tak kuinginkan kedatangannya, menghampiriku juga pada akhirnya. Masa-masa sulit yang dikatakan Xave Liona dan Sherina membuatku ketakutan dan tak ingin turun dari ranjang.

"Oh ya, aku baru ingat, Cheryl sudah kembali pulang dan meninggalkanmu masakan di dapur. Katanya kau akan merasa lebih baik jika memakan itu."

Pada awalnya aku tidak berniat menjawab. Namun mengingat sifat gadis itu yang cukup dingin membuatku mengangkat sedikit wajahku seraya berucap. "Ya, terima kasih, Sana."

"Sebaiknya kau bangkit dari ranjang, Luna, Raja Charlie akan segera datang untuk mengujimu sebagai vampir dan membuat perjanjian tentang kawanan kemarin."

"Baiklah."

Setelahnya aku bangkit dari posisiku, masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh diri kemudian keluar dengan pakaian yang seadanya; celana jeans hitam selutut dan kaus oblong khaki.

Aku tahu di luar sana akan sangat dingin, namun Sherina—dengan sangat memaksa—ingin memakai pakaian ini karena katanya pakaian ini akan membawa keberuntungan. Tak ingin kalah begitu saja, aku juga memaksa dirinya untuk tidak meninggalkan diriku dan tetap membiarkan janin yang berada di dalam tubuhku tidak mati membeku.

Berikutnya aku berdiri di depan cermin rias, menyisir rambut silver kehitam-hitamanku dan mengikatnya menjadi satu. Savanna telah keluar dari kamar sejak aku masuk ke dalam kamar mandi tadi, sehingga aku dapat leluasa bercermin.

Bekas luka bakar yang berada di wajahku dengan ajaibnya perlahan-lahan memudar, memar yang berada di sudut mata dan bibirku pun telah menghilang.

Kali ini kedua mataku masih berwarna merah darah, namun bedanya yang kiri adalah milik Sherina dan kanan ada milikku. Hebatnya lagi—yang baru kusadari semalam sebelum tertidur—saat ini aku adalah seorang vampir sekaligus pengendali darah.

Sangat cocok. Aku membutuhkan darah untuk kelangsungan hidup Sherina. Sehingga aku hanya butuh memusatkan pikiranku terhadap sasaran dan mematikannya dalam sekejap.

Ketukan pintu pun mengaburkan khayalanku terhadap darah, membuatku menoleh seraya menyahuti seseorang yang tengah berdiri di balik pintu.

"Raja Charlie akan segera sampai, Xave Lalluna." Ujar seseorang dari luar.

"Tunggu sebentar." Jawabku sembari meraih mantel krem yang tergantung di balik pintu, memakainya kemudian membuka pintu. "Aku siap."

Tak lupa sepasang sepatu berwarna silver telah menyelimuti kakiku tepat setelah aku mengatakan hal itu kepada seseorang ini. Kemudian kuangkat wajahku dan mendapati seorang pria berambut pirang tengah menatapku.

"Sudah?" Tanya pria pemilik nama Ashlav ini.

Aku mengangguk, berjalan melewati pintu kemudian Ash menutupkan pintunya untukku. Kami pun berjalan melintasi lorong pendek yang memisahkan antara kamar Savanna dengan tangga menuju lantai bawah.

Di sana telah terdapat Savanna, Lalisa, Rion dan beberapa orang lainnya yang telah tergabung ke dalam kawananku. Saat seluruh pandang mata tertuju kepadaku, mereka semua langsung berdiri dan membungkukkan tubuh—terkecuali Savanna.

"Kami senang kau baik-baik saja, Xave Lalluna." Ujar Rion.

Aku tersenyum tipis seraya berdiri di hadapan mereka. "Aku akan selalu baik-baik saja."

"Kami senang mendengarnya." Balas Rion yang disusul dengan tegapnya tubuh mereka semua dan menatapku lagi. "Kami akan ikut denganmu kemana pun kau pergi."

Aku terkekeh, menepuk bahu Rion beberapa kali kemudian kembali menggantungkan tanganku di sisi tubuh. "Gunakanlah waktu kalian sebaik mungkin. Menjadi anggota kawananku bukan berarti kalian harus menghabiskan waktu 24 jam bersamaku tiap hari. Walaupun memang ada saatnya nanti."

Rion mengangguk. "Sesuai perintahmu, Xave Lalluna."

"Panggil saja Luna." Ujarku. "Oh ya, sekalipun beberapa dari kalian akan ikut denganku setelah ini, jangan biarkan Vamps terlepas dari pengawasan. Mengerti?"

"Mengerti, Luna." Kompak mereka semua, kali ini termasuk Savanna.

"Alpha, Raja Charlie telah datang." Sahut seseorang dari samping kiri ruangan. Savanna pun mengangguk, bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju pintu masuk.

Tepat sebelum para anggota pack ikut menghampiri Raja Charlie, Ash berdiri tepat di hadapanku sembari berbisik dengan sangat pelan—bahkan nyaris tidak terdengar. "Berhati-hatilah, Raja Charlie sangat sensitif jika sudah membahas Xave."

Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih kepadanya tanpa suara kemudian mengikuti arus menuju ruang tamu yang  belum kulihat sebelumnya.

Ruangan ini didominasi warna putih. Terdapat dua buah sofa berwarna kelabu yang membentuk huruf L serta beberapa bantal yang disarungkan dengan kain berwarna putih.

Di tengah-tengahnya terdapat meja persegi panjang berwarna lebih gelap dari sofa.

Kemudian tepat di atas meja tersebut ada lampu yang menggantung berbentuk setengah lingkaran. Cahaya yang dihasilkan pun cukup terang hingga aku sendiri dapat melihat apapun dengan jelas dari sini—belakang punggung-punggung besar dan tinggi anggota pack.

"Jadi, dimana Xave kita?"

Punggung besar itu pun bergeser, membiarkan wajah pucat dan tegas sang Raja Vampir melihatku dengan matanya.

Pria itu, yang kuyakini sudah berumur ribuan tahun, menyeringai ke arahku. Salah satu tangannya berada di saku celana dan satunya lagi berada di depan bibirnya, mengapit sebuah cerutu.

"Wow, jadi ini dia gadisnya." Kepulan uap kelabu memenuhi udara saat ia berbicara. Membuatku nyaris terbatuk saat bau rokok menyesakkan hidungku. "Kau sangat cantik, sama seperti pendahulumu."

Aku mengangguk. "Terima kasih, Raja Charlie."

Pria itu pun melepaskan cerutu dari bibirnya, meniupkan asap itu ke udara seraya menghampiriku. "Mari langsung ke intinya. Kau sudah mendapat kawananmu?"

"Sudah, Raja, berkat Alpha Savanna dan kawanannya."

"Savanna memang cerdas untuk hal itu." Balasnya saat ia telah berdiri tepat di hadapanku yang mengharuskanku untuk mendongak. "Aku hanya memiliki tiga syarat sebagai tanda aku menyetujui kawanan yang akan kuberikan untukmu."

Aku pun mengangguk. "Apa itu, Raja?"

"Satu, seperti apa yang kau katakan, kepalamu akan dipenggal jika ada pembantaian ras vampir. Dua," Pria itu pun menyesap cerutunya hingga membuat kepulan asap kembali mengotori udara. "Tunjukkan padaku bagaimana cara kau berburu. Tiga, temukan aku dengan Xave Liona."

Aku hendak mengutarakan pendapatku jika sang raja tidak menyela.

"Jika kau tidak bisa memenuhinya hari ini juga, kawanan yang akan diberikan kepadamu akan kutarik kembali."

Aku tidak tahu apa yang pernah terjadi di antara Raja Charlie dengan Xave Liona. Namun aku sangat yakin bahwa dengan mempertemukan keduanya adalah ide buruk.

"Aku tidak yakin dengan syarat ketiga. Maaf, Raja."

"Tidak, kau bisa." Sahut seseorang di dalam benakku.

"Kau bersungguh-sungguh, Xave Lalluna?" Tanya raja dengan kedua alis yang terangkat.

Aku pun menarik napas panjang. "Beri aku waktu." Kuputar tubuhku hingga membelakangi raja dan anggota pack. Mencoba meredakan perdebatan yang terjadi di dalam diriku serta meminta perizinan dari sang Pertama.

Hingga sebuah titik terang menghampiriku, membuatku kembali memutar tubuh dan menatap raja mantap. "Xave Pertama bersedia bertemu denganmu, Raja. Dan untuk syarat kedua, sehubung dengan gerhana bulan biru, aku akan melawan dua ekor beruang. Bagaimana?"

Tanpa ragu Raja Charlie menyetujui saranku. Membuatnya menjauhkan cerutu dari bibirnya lagi hingga asap sialan itu memasuki hidungku.

"Aku memberimu waktu sepuluh menit untuk bersiap. Gunakan saja sihirmu untuk membuat dua ekor beruang. Aku menunggumu di pekarangan belakang."

"Baik, Raja."

Setelah itu sang pemimpin Vamps kembali keluar rumah pack dengan para pengawalnya. Membuat Savanna mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot yang cukup santai.

"Itu pertanda baik, Luna, kau berhasil membuatnya terpukau."

"Terpukau?" Apa gadis ini sakau? Atau akunya saja yang tidak memperhatikan ucapan pria tua itu? Dari segi hal apa yang membuat Savanna dapat mengatakan bahwa Raja Charlie terpukau?

Savanna mengangguk. "Raja Charlie akan lebih banyak berbicara dengan cerutu di bibirnya serta menghisap cerutu itu jika ia menyukai seseorang. Maksudku, menyukai bukan dalam hal perasaan."

Aku mengangguk-anggukkan kepala, menatap Savanna serius kemudian berucap. "Ini sangat random. Namun, jika ada sesuatu yang terjadi padaku setelah ini, jangan biarkan siapapun memeriksaku selain Cheryl dan kau. Mengerti?"

Gadis itu terdiam sejenak, membalas tatapanku seakan bertanya ada apa namun dengan segera ia menyetujui perkataanku. Karena ia pasti tahu, bahwa sebentar lagi, memang akan ada sesuatu yang tidak beres.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro