Duaenam.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf updatenya kelamaaan. Semoga ada yang waiting ya hoho :v Bacanya jangan pas penat biar ga pusiiing~

Enjoy~

Arthur's POV

Lingkungan sekitarku telah berubah menjadi sebuah ruang hampa berwarna emas saat aku membuka mata. Bahkan Luna sudah tak ada lagi di genggamanku.

Kuperhatikan sekelilingku dengan seksama, mencoba mencari Luna yang siapa tahu saja tengah berjalan kesana kemari.

Namun detik berikutnya aku melihat seorang wanita tengah berjalan ke arahku. Dengan rambutnya yang berwarna hitam sebahu serta kedua matanya yang berwarna biru, ia menatapku lurus dengan sorot yang begitu tegas.

"Kau melanggarnya, Xavewood." Aku terdiam, ingat akan suara ini. "Dan sebagai gantinya, kau harus melihat langsung proses pemisahan jiwa yang kau percepat hingga 3 hari."

Aku melongo. "Pe— pemisahan jiwa? Sekarang?"

Xave Liona pun berdecak, menjetikkan jemarinya dan ruangan ini pun berubah menjadi padang salju yang tengah dihujani badai benda putih itu. Langit sudah mulai menggelap saat aku mendongak, membuatku bertanya-tanya dimana tempat ini.

"Ini adalah tempat dimana Anna dan Vivian Jevier serta Zahira dan Helen Christoph dikuburkan." Ujar sang Xave seakan telah membaca pikiranku. "Kau tahu mereka, 'kan?"

Jelas aku mengangguk. "Anna adalah gadis yang meledak akibat pengendalian darah itu. Vivian gadis yang hilang serta kakak dari Anna. Dan Zahira-Helen adalah saudara kembar yang terbunuh saat peperangan terjadi di masa Xave Juniel." Jelasku tanpa diminta.

Xave Liona mengalihkan pandangannya, memutar arah tubuhnya menuju sebuah pohon besar yang tertutupi salju dan menjadi satu-satunya tumbuhan yang hidup.

"Anna dan Vivian adalah temanku dulu. Sangat dekat. Mungkin aku sudah menganggap mereka seperti saudara saat itu. Dulu kami bermain tidak hanya bertiga, namun bersama Vanessa dan Charlie juga.

Hingga pada suatu saat, aku jatuh cinta pada Charlie. Aku memberikan segala yang kupunya kepadanya namun Charlie sama sekali tak merespon. Ia hanya tertuju kepada Anna, gadis cantik bermata ungu dan berambut hitam.

Mulai saat itu aku mulai menjauhi Anna, menganggap dirinya telah merebut Charlie dariku dan mulai melakukan hal-hal jahat kepadanya. Bahkan aku selalu ingin membunuhnya karena ia menjadi sangat dekat dengan Charlie sejak itu.

Namun Charlie selalu mencegahnya. Setiap kali aku akan melakukannya, Charlie selalu mengetahuinya terlebih dahulu hingga seluruh rencanaku gagal.

Sampai pada suatu saat, aku mendengar kabar bahwa Charlie dan Anna akan melaksanakan pernikahan pada malam gerhana bulan biru. Pada saat itu, emosiku kembali memuncak. Aku, yang notabene saat itu adalah seorang gadis remaja yang telah menjadi Xave, benar-benar emosional dan bertekad akan membunuhnya hari itu.

Suatu hal lain, entah kenapa membuatku menahan diri untuk tidak membunuhnya saat aku memperhatikannya dari kejauhan. Anna tengah melatih pengendalian darahnya saat itu, aku tahu ia akan menjadi ratu Azurea dalam waktu dekat. Vivian juga ada di sana, memperhatikan sang adik.

Tak lama kemudian, aku melihat Charlie datang dari kejauhan. Wajahnya sangat berseri-seri dengan sebuket bunga di belakang punggungnya. Membuatku menarik napas panjang dan memperhatikan Anna kembali.

Ia tengah menyatukan kedua tangannya di depan perut sembari berkuda-kuda, tatapannya tertuju dengan tajam entah kemana yang kuyakini menuju dirinya sendiri—ia menggunakan sihir kembaran yang hanya bisa dilihat olehnya, itu sihir untuk membuat seseorang menjadi kembar.

Detik berikutnya, saat aku hendak melompat dan mencekik Anna, tubuhnya meledak dan hujan darah terjadi untuk beberapa detik. Dan rasa sesal itu memenuhi diriku. Membuatku mengurung diri di dalam kamar berhari-hari sampai pada akhirnya Charlie datang ke rumahku.

Ia menuduhku yang melakukan ini semua karena ia tahu, orang lain yang dapat mengendalikan darah selain Anna adalah aku, Xave Pertama. Kami bertengkar hebat, membuatku berjanji pada rasnya bahwa aku akan membantainya habis-habisan.

Sejak itu, aku bekerja keras. Memenuhi tugasku sebagai Xave dan memenangi perang, walaupun aku harus kehilangan Vivian yang saat itu telah bergabung dengan komunitas Penghisap Jiwa. Vanessa dan Anna pun ikut terhisap oleh Nightmare akibat kematian mereka yang tidak tenang.

Setelahnya aku baru tersadar bahwa Xave mencakup seluruh ras yang ada di Ave, termasuk vampir. Saat itu aku hendak meminta tolong kepada Charlie tentang mengendalikan vampir yang baru saja tumbuh di diriku dan meminta maaf soal pertengkaran waktu itu.

Namun kehadiranku disambut dengan tidak ramah oleh masyarakat Vamps, membuat emosiku kembali menanjak naik dan berakhir dengan aku nyaris membantai habis ras vampir jika pasanganku tidak datang untuk menahanku.

Dan setelahnya, aku memutuskan untuk menghapus diriku dari Ave untuk sekian lama sampai aku bertemu dengan Anna walaupun wujud serta namanya telah berubah. Aku bersalah kepadanya.

Kemudian aku mendengar bahwa dirinya bereinkarnasi beberapa ratus tahun setelahnya secara tak sempurna—ia tidak memiliki tangan—dan meninggal saat pertempuran bersama Xave Juniel 149 tahun kemudian. Dan ia bernama Helen Christoph, bersama reinkarnasi Vivian yang bernama Zahira Christoph.

Hingga sampai beberapa waktu lalu, aku telah menemukannya kembali, di ruang Xave yang berada di Cygnus." Xave Liona pun kembali berputar, kedua matanya berbinar sembari menatapku. "Dan kini ia bernama Lalluna Revolder, atau maksudku, Athenna Xeraphin Nathaniel."

Aku menahan napasku terkejut. Merasa tidak percaya dengan kalimat terakhir Xave Liona. Aku memang tidak begitu mendengarkan ceritanya sejak tadi, namun sejak ia bercerita tentang pembantaian di Vamps, membuatku teringat akan Luna dan memperhatikannya.

Ini tidak masuk akal.

Aku menggeleng, menepis pernyataan Xave Liona tentang Luna dan berharap ini hanyalah sebuah kejutan. Mereka hanya mempermainkanku.

"Aku serius, Arthur."

"Kau bercanda, Ratu."

Dalam sekejap kedua mata Xave Liona berganti menjadi merah darah, salah satu tangannya terangkat dan mengeluarkan cahaya keemasan.

Layaknya sebuah film, kilasan-kilasan zaman dulu sekali terputar di depanku. Menampilkan wajah Luna yang sedikit lebih pucat dan tegas, membuatku tercekat serta jantungku memompa dengan cepat.

Aku melihatnya. Saat Anna meledak, Vivian menghisap Nightmare, pembantaian di Vamps, pertemuan pertama sang Xave dengan Luna, seluruh perbuatan yang pernah Luna lakukan hingga percakapan-percakapan yang telah Luna sembunyikan dariku.

"Kau harusnya kembali kepada kami, Ratu Hitam."

"...Karena kau ada di sana, Luna, Sky membangkitkan jiwamu yang tidak tenang dan mengumpulkannya bersama jiwa-jiwa lain..."

"Sherina Xeraphin Nathaniel."

"Athenna Xeraphin Nathaniel."

"...Xave yang sesungguhnya bernama Xeraphin Nathaniel, menandakan itu adalah kita, Luna."

"Nathaniel twins."

Dan semuanya berakhir dengan tampak kalung berliontin hijau yang pernah kulihat menggantung di leher Luna. Kami belum pernah membahas itu sebelumnya, namun setiap kali aku bertanya, Luna akan mengatakan bahwa itu pemberian kedua orang tuanya.

Detik berikutnya gambar itu berganti menuju gambar Ratu Bellva, istri dari Raja Zake. Ia memakai kalung berliontin yang sama.

Semuanya membuktikan bahwa Luna adalah anak dari Raja dan Ratu Nathaniel. Keturunan Xave Juniel dan Raja Ricky. Ia telah bereinkarnasi sebanyak dua kali dan memiliki nama Anna Jevier, Helen Christoph, Lalluna Revolder serta Athenna dan seorang kakak yang kemudian menjadi adik.

Dan setelah perjalanan rumit yang harus ia dan saudaranya tempuh, kini keduanya harus kembali melewati masa itu untuk menyempurnakan kembalinya Jevier. Atau mungkin, Xeraphin Nathaniel. Dua sosok gadis yang telah berjuang sejak lama untuk hidup.

Semuanya menjadi masuk akal jika aku kembali mengingat bagaimana miripnya Luna dengan Xeraphin—maksudku, Sherina. Serta bagaimana bisa Raja Ricky merasuki tubuhnya saat itu.

Tanpa kusadari aku menghela napas pelan, menatap kedua mata sang Xave Pertama dengan pasrah kemudian mengangguk. "Aku tahu ini sedikit sulit untuk dicerna, namun aku percaya. Aku percaya segala hal yang telah kau tunjukkan kepadaku."

Xave Liona pun tersenyum, kemudian ia merentangkan kedua tangannya hingga keadaan di sekitar kami kembali berganti menjadi ruangan yang pertama kali kudatangi tadi. Di sana sudah ada Luna yang sedang terbaring di atas ranjang, Xave Juniel di sisi kirinya serta seberkas cahaya di sisi kanan.

Sherina.

Detik berikutnya dapat kulihat Xave Liona berjalan ke arah Luna, memajukan salah satu tangannya kemudian perlahan menariknya kembali. Bersamaan dengan itu, tubuh Luna pun bangkit dari posisinya dan terduduk di atas ranjang.

Aku menatapnya tak percaya. Wajah itu terlihat sangat tegas, seperti apa yang kulihat barusan dari visi milik Pertama. Kemudian berubah menjadi lebih dingin dan kedua tangan yang sebelumnya ada di kedua sisi tubuhnya menghilang.

Kemudian cahaya hitam mengelilingi tubuhnya, mengubah rambut silvernya menjadi hitam dan kedua tangan itu kembali ada. Wajah Luna pun kembali menjadi normal dan perlahan-lahan ia bangkit dari ranjangnya.

Xave Juniel terlihat memegangi lengan kanan Luna, membuat gadis itu menoleh ke arah Kedua kemudian membuka matanya. Kedua mata gadis itu berwarna ungu saat ini, membuat tubuhku sedikit bergetar saat mata kami bertabrakan.

Tak seperti biasanya, sorot mata Luna terlihat kosong dan hampa. Tak ada sedikit pun ekspresi di wajahnya. Membuatku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi pada gadis itu.

"Bersiaplah."

Aku mengangguk, menelan salivaku susah payah kemudian memperhatikan Luna yang kini tengah menatap Sherina yang masih berbentuk cahaya.

Perlahan-lahan kedua gadis itu diselimuti cahaya hitam. Dimulai dari ujung kaki, merambat naik dengan gerakan memutar kemudian menutupi seluruh tubuh keduanya.

Detik berikutnya aku mendengar suara jeritan melengking, darah terlihat menyiprat dari tubuh Luna yang lantas membuatku hendak berlari mendekati jika Pertama tidak menahanku.

"Diam dan perhatikan." Titahnya.

Aku menghela napas gugup, kembali memperhatikan Luna yang kini mengeluarkan udara dari kedua kakinya. Membuat gadis itu terbang rendah dan kembali disusul dengan cipratan darah yang mengotori lantai.

Kali ini suara yang lebih melengking memenuhi ruangan. Jerit penuh kepedihan memaksa telingaku mencernanya, membuatku mengepalkan kedua tangan sembari menatap Luna penuh kesakitan.

Suara retakan dan ombak laut pun menyerbu pendengaranku setelahnya, membuat darah yang mengalir keluar lebih deras hingga bahkan terlihat menetes dari ujung kakinya.

Sherina pun perlahan-lahan diselimuti cahaya terang, disusul dengan terbentuknya kedua telapak kaki yang telanjang dan perlahan-lahan membentuk bagian kaki.

Aku kembali menatap Luna, cahaya hitam disekelilingnya semakin menggelap serta darah yang mengalir semakin deras dari kedua ujung kakinya. Aku dapat mendengar ia menggeram saat suara kuda meringik dari dekatnya.

Membuatku tersadar akan seluruh suara yang telah terdengar dari arah Luna barusan adalah kekuatan yang akan diberikan kepada pemilik aslinya. Sherina.

Untuk kesekian kalinya, aku melihat darah kental menjauhi cahaya hitam. Terciprat keluar hingga membuat bekas noda di lantai keemasan ruangan ini serta ranjang di samping Luna. Setelahnya terdengar lolongan panjang menggema di ruangan, membuatku terdiam mematung sembari menahan napas.

Tidak mungkin.

Cahaya itu pun semakin berputar dengan cepat. Menghasilkan cahaya yang lebih besar dan kedua cahaya yang dihasilkan Luna dan Sherina beradu. Aku menyipitkan mata, mencoba untuk tetap melihat apa yang terjadi saat udara yang berhembus kencang menerpaku.

Samar-samar tubuh Sherina pun terlihat dari balik cahaya. Tak hanya Luna, tubuh gadis itu juga terlumuri darah. Dan lagi, aku baru tersadar, bahwa darah yang terjatuh dari tubuh Luna bergeser menuju bawah kaki Sherina kemudian terserap menuju tubuh gadis itu.

Atau lebih tepatnya, seseorang mengendalikan darah itu agar dapat menghampiri tubuh Sherina.

Saat udara di sekitarku mulai berhenti berhembus, cahaya di sekitar dua gadis itu pun ikut memudar secara perlahan. Memperlihatkan dua tubuh gadis yang kini diselimuti darah.

Aku berlari ke arah Luna, meraihnya tepat sebelum ia jatuh ke lantai dan membawanya ke dalam pelukanku. Kutenggelamkan wajahku di antara rambutnya yang berwarna hitam, menghirup aromanya banyak-banyak kemudian mengusap kepala gadis itu.

"Kau hebat, sayang, kau hebat." Gumamku tepat di samping telinganya, membuat gadis itu bergumam kecil dan seulas senyum tipis mengembang di wajahku. "Bertahanlah untukku."

"Ba— bayinya tid— tidak bisa." Parau Luna yang lantas membuat jantungku memompa dengan cepat seraya menciumi keningnya. "Ma— maaf."

Aku mengangguk sembari terus mencium keningnya hangat. "Tidak apa, sayang."

Luna pun ikut mengangguk. Ia tidak menitikkan air mata sedikit pun saat perlahan salah satu tangannya menyentuh dadaku dan satunya lagi meraih tanganku yang kini berada di pipinya.

"Dengarkan jantungnya."

Aku menjauhkan wajahku dari keningnya, menempelkan telinga kiriku di depan dadanya dan mendengar detak jantung yang begitu kurindukan. Senyuman pun semakin melebar di wajahku, membuatku kembali mengangkat wajah dan menatap Luna berbinar.

"Aku tahu kau bisa melakukannya, Luna."

Gadis itu pun tersenyum. Walaupun sedikit dipaksakan serta kedua matanya yang begitu sayu. "Karenamu." Ujarnya tepat sebelum ia menutup mata dan tak sadarkan diri.

Sekali lagi kutarik Luna ke dalam pelukanku sembari menoleh ke arah Xave Liona yang kini tengah membaringkan Sherina di ranjang.

"Terima kasih, Ratu."

Xave Liona pun menoleh, menatapku dengan seulas senyuman kemudian mengangguk. "Luna benar, semuanya karenamu."

Setelahnya aku menatap Xave Juniel. "Ratu, terima kasih telah memberikan keturunan yang sangat kuat untukku. Terima kasih banyak."

Wanita itu tersenyum lebar, ia menghampiriku kemudian mengusap kepalaku lembut. "Bukan karenaku. Kekuatan yang dimiliki Luna berkat dirimu, Arthur, ia kuat demi dirimu. Kau adalah alasannya untuk tetap bertahan dan hidup."

Aku mengangguk, kembali menenggelamkan wajahku di antara rambut hitam Luna dan membawanya berteleportasi menuju rumah. Di Maegovanen.

.
.
.

Saat aku membuka mata, suara ketukan pintu menghiasi gendang telingaku. Membuatku bangkit dari ranjang dengan malas kemudian membukakan pintu.

Seth berada di sana, dengan raut wajah yang cukup berantakan dan kotor, ia menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Aku dengar kau telah kembali dari 'pengalaman mengerikan' yang telah kulewatkan."

Salah satu sudut bibirku terangkat. "Itu sangat mengerikan, Seth, kau tidak akan mau melihatnya."

"Jadi apa pengalaman yang membuat sang Alpha tidak mau melihatnya?"

Aku membuka pintu kamarku lebih lebar, membiarkan Seth melihat Luna yang terbaring dengan pulas di atas ranjang. "Ia menjerit, mengeluarkan darah, mengalirkannya kepada Sherina, memberikan darah itu kepadanya, membuat Sherina hidup, memberikan kekuatan untuk Sherina sembari mengandung."

"Mengandung?" Pekik Seth tertahan sembari mendelik ke arahku.

Aku pun menyeringai ke arah Seth. "Ya, ia mengandung. Dua bulan."

"Kau gila!"

"Aku memang gila, Seth."

Seth pun menggeleng-gelengkan kepalanya sembari kembali menatap Luna. "Jadi, siapa Sherina?"

Kedua alisku mengerut bingung saat Seth bertanya demikian. "Kau tidak tahu siapa Sherina?" Pria itu pun mengangguk. "Bodoh! Dia pasanganmu!"

"APA?"

Kupukul kepala Seth saat ia berteriak dengan ekspresi yang cukup berlebihan. Membuat Luna melenguh yang langsung membuatku kembali merapatkan pintu dan mendelik ke arah Seth.

"Aku akan menceritakannya nanti, yang pasti nama pasanganmu bukan Xeraphin, namun Sherina. Temui aku di rumah pack tiga jam lagi."

Aku hendak menutup pintu jika Seth tidak menahannya dan kembali berbicara. "Tolong katakan pada Luna bahwa aku telah mengumpulkan kawanan untuknya."

Kali ini aku mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada asistenku kemudian menutup pintu. Saat aku memutar tubuhku, kudapati Luna tengah menatapku dengan selimut yang menutupi setengah wajahnya.

Seulas senyuman kembali mengembang di wajahku, membuatku berjalan menuju ranjang dan kembali berbaring telungkup di samping Luna. Gadis itu melirikku seraya menatapku dari samping.

"Hai, Nyonya Xavewood, sudah bangun?"

Kedua mata gadis itu melengkung, menandakan bahwa ia tengah tersenyum. "Sudah." Jawabnya dengan suara yang sangat serak.

"Kau butuh minum?" Luna pun mengangguk, membuatku menjentikkan jemari yang langsung di balas dengan anggukan kecil kepala Luna. "Sudah lebih baik?"

"Sudah."

"Ingin mandi?" Kali ini ia menggeleng. "Kenapa?"

Luna pun mengerjap. "Aku masih ingin bersamamu."

Senyuman di wajahku seakan-akan ingin selebar dua meter. Rasanya aku tidak ingin meghentikan senyumanku saat Luna terus menerus menatapku dengan sorot yang begitu polos. Ia cukup berubah.

"Boleh aku menciummu?"

Aku mengangkat kedua alisku tak percaya saat Luna bertanya tentang itu. Membuatku terkekeh kemudian mengangguk kecil. "Tentu, Luna."

Luna pun menurunkan selimut yang menutupi setengah wajahnya, membuatku mendekatkan wajah kepadanya kemudian menempelkan bibirku padanya.

Gadis itu memejamkan mata, disusul denganku yang meletakkan salah satu tangan di sisi tubuh Luna sebagai tumpuan kemudian ikut menutup mataku.

Seakan baru pertama kali berciuman, perlahan-lahan Luna mencium bibir bawahku, menghisapnya lembut dan alhasil membuatku kembali tersenyum.

Setelahnya aku membalas ciuman Luna tak kalah lembut. Seakan mengatakan kepadanya bahwa semuanya akan lebih baik dari hari kemarin. Aku akan berada di sisinya 24 jam dan tak akan membiarkan siapapun serta apapun menyentuhnya tanpa sepengetahuanku.

Saat dirasanya kami mulai kekurangan oksigen, aku menjauhkan wajahku, membuat Luna kembali menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya yang mulai memerah malu.

Aku kembali terkekeh, mencium kening gadis itu kemudian mengusap rambutnya ke belakang. "Siapa namamu, hm?"

Dapat kurasakan sesuatu memukul dadaku lembut. "Lalluna, bodoh."

Kulihat ia tersenyum, membuatku kembali mencium keningnya. "Haruskah aku memanggilmu Athenna?"

"Kurasa itu lebih baik. Aku tak ingin anggota pack bingung harus memanggilku apa."

"Bagaimana dengan Anna dan Helen?" Tanyaku hati-hati.

Luna pun menggeleng pelan. "Itu masa lalu. Jangan panggil aku seperti itu."

Sekali lagi aku mengecup keningnya dan kemudian menatap kedua mata ungu itu. "Baik, Athenna Xavewood."

Gadis itu semakin melebarkan senyumannya, membuat pipi memerahnya semakin terlihat kemudian ia menjauhkan selimutnya dari wajah. Kedua tangan hangat itu merengkuh wajahku seraya kedua matanya yang menatapku lekat-lekat.

"Aku tahu kau merasakan sesuatu yang berbeda dariku. Maka dari itu, aku mohon, jangan tinggalkan aku dengan alasan apapun itu." Aku mengangguk kecil. "Karena masih ada satu hal lagi yang belum kau sadari."

"Apa itu?"

Bukannya menjawab, Luna malah menciumku. Kali ini membawa perasaan familier yang biasa mengisi hatiku saat aku tengah berdua dengannya. Membuat jantungku berdebar dengan cepat saat Luna semakin menekan bibirnya padaku.

Tak mau kalah, aku membalas ciumannya. Menekan kepalanya agar tetap di atas bantal sehingga ia tidak perlu repot-repot menahan beban kepalanya hanya untuk menciumku.

Detik berikutnya Luna melepaskan bibirnya dengan lembut, kembali menatapku dengan ragu sebelum akhirnya ia kembali berbicara. "Janji akan selalu menemaniku?"

"Aku janji, sayang." Jawabku mantap.

Luna pun menarik napas panjang. "Nightmare bersemayam di dalam tubuhku dan akan segera terbangun." Ia langsung menggigit bibir bawahnya gugup saat aku tak kunjung bereaksi.

Namun saat melihat kedua matanya yang mulai ketakutan, dengan segera aku melebarkan senyumanku dan mengecup bibirnya beberapa kali. "Aku menyadarinya. Sejak awal kita datang kemari."

"Maksudmu?"

"Kau ingat hari pertama saat kita kemari?" Luna pun mengangguk. "Saat itu cahaya hitam membawamu menjauh dariku. Sementara cahaya oranyeku hanya dapat terdiam di tempat sembari mengganti penampilanku. Lagipula, yang memiliki cahaya hitam hanyalah Nightmare. Tak ada satupun yang memilikinya."

Luna pun mengalihkan pandangannya dariku, membuatku kembali mengusap puncak kepalanya sembari menempelkan dahiku pada dahinya.

"Jangan khawatirkan apapun lagi, segalanya akan segera berakhir. Kau hanya perlu melihat ke depan dan berjuang demi Ave. Aku akan selalu ada di sisimu, sampai kapanpun."

Gadis itu kembali menatapku, melingkarkan lengannya di leherku kemudian memejamkan mata. "Aku mencintaimu, Arthur, sampai akhir hayatku."

.
.
.

Luna's POV

Setelah melepas rasa rinduku dengan Arthur, kami pun bergegas mandi dan bersiap untuk menjenguk Sherina yang berada di Cygnus. Namun tepat sebelumnya, Arthur memasakkanku sebuah makan terlebih dahulu dan membiarkanku makan malam.

Saat makananku sudah habis, Arthur meraih piringku sembari mencium puncak kepalaku dan dengan segera menyucinya di dapur. Aku memperhatikan pria itu dari belakang, bertanya-tanya telah berapa lama aku tertidur.

"Sekitar dua hari. Kau masih memiliki banyak waktu untuk beristirahat, sayang."

"Bagaimana dengan kawanannya? Aku baru saja memiliki para vampir." Jawabku yang lantas membuat Arthur menoleh sejenak dan meletakkan piring yang ia cuci tadi di rak piring.

"Seth sudah melakukannya." Kedua alisku terangkat memastikan. "Ya, ia sendiri yang mengatakannya padaku. Dan kau berhutang Sherina kepadanya."

Aku tersenyum, mengingat janjiku kepada pria itu beberapa hari lalu yang lantas membuatku teringat akan perjanjian dengan Xave Liona. "Bagaimana dengan perjanjian itu? Kita sudah melanggarnya, Arthur.."

Arthur pun mengangguk, meraih pinggangku kemudian mengangkatnya dan meletakkan di atas meja makan. Ia meletakkan kedua tangannya di sisi pahaku, membuat wajahnya menjadi begitu dekat dengan wajahku.

"Xave Liona mengatakan bahwa tindakanku benar. Justru itu membuatmu dan Sherina menjadi lebih sempurna dan kuat. Sehingga ia membiarkanku menyentuhmu lebih lama. Dan lagipula, ini hari terakhir." Ujarnya dengan bibir yang sengaja ia majukan di akhir kalimat.

Aku terkekeh, memainkan bibirnya dengan jemariku kemudian menggigit ujung hidungnya. "Bagaimana perasaanmu saat tahu aku adalah Anna Jevier? Gadis yang meledak 762 tahun lalu?"

"Aku tidak percaya, tentu saja. Namun saat Xave Pertama menunjukkan bukti-buktinya, mau tak mau aku harus percaya karena Jackson terus menerus berteriak kepadaku bahwa mempercayainya adalah hal yang paling tepat."

"Kurasa Jackson benar-benar sudah terikat dengan Leah." Ujarku kemudian mengalungkan lenganku di lehernya. "Leah juga baru mengatakannya padaku bahwa ia memang sudah bersamaku sejak awal. Walaupun pada saat itu Anna belum mendapat shift pertamanya."

Arthur pun mengecup bibirku beberapa kali. "Aku yakin Helen sering bersama Leah dulu."

"Benar, mereka dulu sering bersama. Sebelum akhirnya Helen terbunuh di peperangan dan berakhir dengan kembali bereinkarnasi sebagai Athenna Xeraphin Nathaniel."

"Jadi Leah masih bersamamu?" Tanya Arthur antusias yang lantas membuatku terkekeh.

"Tentu."

Sejenak Arthur terdiam, ia memandangiku lekat-lekat hingga akhirnya kembali berbicara. "Kau tahu, Athenna, aku masih belum siap untuk bertemu dengan Raja Zake."

"Memangnya kenapa?"

"Sejak pelatihan sialan itu, kau ingat?" Tanyanya yang lantas kujawab dengan anggukkan. "Dan cepat atau lambat, ia akan menjadi ayahku juga."

Wajahku memanas dalam sekejap. Namun detik berikutnya aku tersadar dan menatap Arthur terkejut. "Kau benar!"

Kedua alis Arthur pun mengerut bingung. "Apa?"

"Raja Zake dan Ratu Bellva adalah kedua orang tuaku saat di Bumi! Astaga! Pantas saja wajahnya sangat familier."

Setelahnya Arthur tertawa, mencubit pipiku gemas kemudian menciumku sekali lagi sebelum akhirnya menjauhkan tubuhnya dariku dan mengulurkan tangan kepadaku. "Ayo kita jenguk Sherina terlebih dulu, setelah itu aku akan mengantarmu ke pack Slivood, pack dimana ayahmu memimpin."

"Kau tak ikut?" Tanyaku seraya meraih uluran tangan Arthur dan melompat turun dari meja.

"Tidak, aku ada janji dengan Seth dua jam lagi." Ujarnya seraya menatapku menyesal. "Maaf, sayang."

Aku mengangguk. "Kalau begitu nanti saja. Akan lebih baik jika ini menjadi kejutan di pesta dansa nanti untuk kedua orang tuaku. Beritanya belum menyebar, 'kan?"

Kali ini pria itu yang mengangguk.

"Para Xave masih menyembunyikannya. Hanya kau, aku dan Seth yang tahu."

"Seth tahu?"

"Aku hanya mengatakan kepadanya bahwa pemisahan jiwa telah selesai. Lagipula ia tidak akan menyebarkan berita itu jika ia belum melihat dengan mata kepalanya sendiri."

"Bagus kalau begitu."

Detik berikutnya kami telah berada di depan pintu ganda yang akan membawa kami ke dalam Istana Cygnus. Para penjaga di hadapan kami terlihat menatap kami penuh selidik yang tercampur dengan sorot kebingungan.

"Aku ingin menuju ruang Xave." Ujarku bersamaan dengan salah satu tangan Arthur yang semakin menggenggam tanganku erat.

Salah satu dari dua penjaga di hadapan kami pun berjalan mendekat, membungkukkan tubuhnya singkat di hadapanku kemudian berucap. "Maaf, Ratu Xave Lalluna, kami tidak tahu bahwa itu Anda."

Aku tersenyum seraya mengangguk kecil. "Bukan masalah."

Setelahnya penjaga itu kembali memundurkan dirinya, membuka pintu untukku dan Arthur kemudian tak lupa kuucapkan terima kasih kepadanya sembari berlalu masuk ke dalam.

Raja Xavier sendiri yang mengatakannya kepadaku waktu itu untuk menganggap Istana sebagai rumahku sendiri. Sehingga aku bisa datang kapan saja namun tetap mengutamakan privasi sang pemimpin Ave.

Dengan segera aku berjalan melewati lorong-lorong panjang, berbelok ke kiri dan menuruni tangga kayu. Aku ingat betul bahwa ruang Xave berada di lantai bawah tanah istana tepat di samping kanan tangga.

Setelah berdiri tepat di depan pintu ganda yang dijaga oleh dua orang Pegasus, aku mengatakan pada Arthur untuk menungguku di atas dan memberiku waktu sendiri. Arthur pun hanya mengiyakan permintaanku, mengecup pelipisku kilat sebelum akhirnya beranjak pergi.

Aku yang hendak menyentuh kenop pintu langsung terhisap mengingat cara kerja pintu ini. Kemudian kedua mataku langsung mendapati seorang gadis dengan rambut silver tengah berbaring pulas di atas sofa.

Lantas kedua sudut bibirku terangkat, berjalan menghampirinya kemudian berjongkok tepat di samping gadis itu. "Hai, Sherina." Sapaku yang kupastikan tak akan mendapat jawaban darinya.

"Aku senang kau telah mendapatkan tubuhmu." Lanjutku seraya memperhatikan wajahnya. "Kau sangat mirip denganku. Atau mungkin kebalikannya?"

Perlahan salah satu tanganku menjauhkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya. "Kau tidak berubah, Sherina, wajahmu tetap sama seperti 800 tahun lalu. Yah, walaupun kau melebih-lebihkannya dengan  mengatakan kita bereinkarnasi tiap 100 tahun sekali, itu tidak pernah membuatmu terlihat buruk di mataku."

Dan entah kenapa, kedua mataku pun mulai berbinar. "Terima kasih sudah menjadi Vivian Jevier sebagai kakakku, Zahira Christoph sebagai kakak kembarku dan Sherina Xeraphin Nathaniel sebagai adik kembarku. Maaf karena aku pernah tidak menginginkanmu ada di dalam tubuhku. Aku mencintaimu, Sherina."

Bersamaan dengan jatuhnya air mataku, aku memeluk tubuh lemas Sherina. Mendekapnya erat hingga tanpa kusadari sesuatu yang dingin menyentuh punggungku.

Anggap saja aku berhalusinasi, menginginkan gadis ini untuk cepat sadar dan menemani hariku mulai detik ini. Namun anggapan itu harus segera sirna saat suara khas seseorang bangun tidur terdengar di telingaku.

"Kau sudah berpidatonya?" Aku pun menahan napas. "Aku juga berterima kasih padamu, Athenna, berkat perjuanganmu dan tekadmu untuk hidup, kau membawaku kembali kepada dunia ini. Dan maaf juga karena telah membuatmu dan Arthur bertengkar. Aku telah berjanji akan mengembalikan semuanya, bukan?"

Perlahan-lahan aku mengangguk, menenggelamkan wajahku di bahunya seraya menahan tangis.

"Aku juga mencintaimu, adikku, atau mungkin sekarang kakakku."

Aku terkekeh, melepas pelukannya kemudian menatap kedua bola mata biru yang memberikan kesejukkan di wajahnya. "Dimana Pertama dan Kedua?"

"Sedang pergi. Mereka bilang akan datang lagi besok pagi." Jawabnya. "Dan bisakah kau bawa aku pada Seth?"

Dengan segera seulas senyuman mengembang di wajahku.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro