Dualima.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadaa~ hoho part dadakan sebagai permohonan maaf jumat lalu ga ngepost. Walaupun pendek, tolong dimaklumi ya :>

Aku lagi nyiapin part 26nya. Kemungkinan buat next part bakal panjang dan siapin otak kalian yaa karena ini bakal bikin penat/?

Jujur aku sendiri yang bikin rada bingung juga pas buat chapt 26 /inipart25woy

Sorry for typo(s)

Enjoy~

Luna's POV

Dua beruang di hadapanku tengah mengaum dengan keras, menjatuhkan lendir-lendir dari dalam mulutnya. Mereka tampak lebih lemah dari apa yang telah kubayangkan saat menciptakannya beberapa menit lalu.

Setelahnya Sherina—atau sebut saja aku—mendesis ke arah beruang tersebut, menampakkan taring-taring panjangku kepadanya kemudian berlari menyerang dengan dua bilah pisau di kedua tangan.

Aku melompat bertepatan saat salah satu dari beruang itu mengayunkan tangannya untuk menerkamku. Detik berikutnya kutancapkan kedua pisaunya tepat di tenggorokan sang beruang dan menyayatnya hingga perut.

Darah langsung membasahi kedua tangan serta pisauku setelahnya, membuatku menyeringai puas saat beruang ini terkapar jatuh di bawahku. Aku pun berdiri di atas tubuh beruang itu seraya mengalihkan pandangan pada beruang satunya lagi.

Tampak tak terima, ia mengaum lebih keras. Kepulan asap putih keluar dari hidungnya dan tubuh beruang itu mulai bergerak ke arahku.

Aku meludah, mempersiapkan kedua pisauku lagi seraya melompat dan berlari ke arahnya. Namun beruang yang satu ini lebih sigap dari yang sebelumnya, ia bahkan berhasil menyapu tubuhku dengan sekali hempasan hingga tertabrak pohon besar di belakangku.

"Luna.."

Jatuh dengan posisi terduduk, aku merasa belum puas. Aku bertekad untuk kembali bangkit agar dapat mengalahkan beruang itu. Sialnya, belum sempat aku berdiri dengan tegak, beruang itu sudah kembali menyerangku hingga membuat kulit bahu serta perutku sobek dengan sekali cakaran.

Sial.

Aku terhuyung hingga terjatuh tepat di antara kedua akar besar pohon, menatap beruang sialan itu dengan pandangan buram sembari menyumpahinya dengan sumpah serapah.

Namun tubuhku menjadi panas dalam sekejap, walaupun rasa dingin milik Sherina masih menguasai tubuhku, dapat kurasakan sesuatu yang mendidih membakar tubuhku. Sesuatu yang dapat menaikkan kekuatanku telah memenuhi tubuhku.

Napasku menderu serta perutku menjadi ngilu saat aku mencoba berdiri. Membuatku menggigit bibir bawahku menahan sakit sembari menatap beruang itu tanpa melepaskan pandangan barang sejenak.

"Maju."

Tepat saat beruang itu kembali mengaum dan hendak menerkamku, aku membuang kedua pisau yang berada di genggaman. Menyatukan kedua tanganku di depan perut sembari berkuda-kuda dan menatap sang beruang dengan pandangan yang mulai mengabur.

Samar-samar aku dapat mendengar Raja Charlie bergumam "tidak mungkin" beberapa kali. Memberikan sensasi familier menyerbu diriku yang tengah mati rasa.

Saat namaku diteriakkan oleh anggota pack dan sang beruang hanya berjarak dua meter dariku, mendadak udara di sekitar berhembus dengan kencang. Beruang di hadapanku telah berhenti berlari dan terdiam di tengah udara—melayang rendah.

Aku menatapnya penuh amarah, napasku semakin memendek dan detik itu pula aku melepaskan kedua tanganku hingga tubuh sang beruang meledak, menyisakan kepalanya yang tengah menatap kosong langit.

Kemudian kusempatkan untuk melirik ke arah tubuhku, memerika kondisi tubuhku yang kini telah lengket akan darah dengan pandangan yang telah buram sepenuhnya dan mengelilingiku.

Tepat sebelum aku terjatuh dan hilang di antara kegelapan, lagi-lagi aku dapat mendengar gumaman Raja Charlie yang tengah berdiri jauh dari kerumunan anggota pack yang sedang mengelilingiku.

"Tidak mungkin dia adalah sang adik."

.
.
.

Saat seorang anggota pack mengangkatku dengan sihirnya menuju rumah pack, dapat kurasakan jiwaku kembali tertarik menuju cahaya terang. Kedua mataku terbuka dengan perlahan saat Savanna tengah melirik ke arahku cemas sembari berlari kecil di sampingku.

"Panggil Cheryl kemari."

Aku pun menatap sekeliingku dengan mata sayu, mecoba mengatakan sesuatu namun tak satupun anggota tubuhku yang mau berkompromi—selain kedua mata, otak dan organ dalam.

Saat seseorang itu telah meletakkanku di atas sofa, dapat kulihat Savanna terduduk di lantai yang bertepatan di sampingku. Kedua mata hijaunya menatapku ketakutan dan air wajahnya menunjukkan bahwa ia khawatir setengah mati.

"Saya yang membuat Anda seperti ini. Maaf, Ratu Xave Lalluna." Ujarnya kemudian memundurkan tubuhnya dan bersujud ke arahku. "Seharusnya saya dapat membantu Anda tadi, bukannya hanya terdiam dan menonton. Tolong berikan hukuman mati kepadaku, Yang Mulia Ratu Xave."

Kedua mataku berair detik berikutnya, entah harus menanggapi ucapan Savanna seperti apa karena aku tahu bahwa hidupku memang tidak akan semudah apa yang telah kubayangkan.

Sherina dan Raja Xavier telah mengatakannya, seakan-akan menjadi bukti bahwa kehidupan seorang Xave memang tak pernah mudah.

Aku ingin menghentikan aksi Savanna yang malah diikuti oleh anggota pack lainnya. Membuatku ingin menangis detik ini juga serta memenggal kepalaku sendiri karena tidak kuat dengan kebrutalan hidup ini.

Namun mendadak wajah Arthur menghiasi benakku yang berhasil menjatuhkan dua tetes air mata dalam waktu yang bersamaan. Aku membutuhkan pria itu. Aku membutuhkan pelukannya. Aku tak mau sendiri. Aku tak mau hidup di dalam kesendirian.

"Hentikan itu." Parauku. "Aku sudah memaafkan kalian."

"Tapi Ratu—"

"Aku mohon." Entah mengapa, saat ini aku mulai terisak. "Hentikan."

Perlahan aku melihat mereka semua bangkit, berdiri dengan kedua tangan yang saling bertautan di depan tubuh dan pandangan yang tertunduk.

"Bolehkah saya mengobati Anda, Ratu Xave Lalluna?" Tawar Savanna yang lantas kujawab dengan sebuah anggukkan. "Kalian semua boleh beristirahat." Lanjut Savanna kepada bawahannya yang langsung diiringi dengan bubarnya mereka semua dalam diam.

Namun Lalisa tetap berada di dekat kami, berjalan ke arahku kemudian berdiri di ujung sofa. "Aku— Saya bisa membantu Ratu untuk menyembuhkan luka."

Kemudian Savanna menolaknya untukku, mengatakan bahwa tak seharusnya sang adik menyembuhkanku karena suatu hal. Di luar dugaan, Lalisa menerimanya dengan baik, ia bahkan tersenyum ke arahku sebelum akhirnya pamit mengundurkan diri dan meninggalkan ruangan.

"Biarkan aku yang menyembuhkannya." Ujar Raja Charlie dari belakangku. "Dengan perantara cahaya, semua yang tidak harus kuketahui akan tetap aman. Aku berani bersumpah untuk hal itu."

Aku dan Savanna terlihat beradu pandang dalam beberapa detik, hingga akhirnya aku berhasil meyakinkan gadis itu bahwa Raja Charlie yang akan menyembuhkanku. Setelahnya gadis itu mengundurkan diri, membuat sang raja menatapku dan segalanya berubah.

Rumah pack bukanlah lagi rumah pack. Melainkan sebuah ruangan hampa nan kosong yang dipenuhi oleh warna putih. Disalah satu sisinya ada sebuah bangku yang terbuat dari kayu dan terlihat sangat nyaman.

Bahkan aku baru tersadar bahwa saat ini aku tengah berdiri.

Raja Charlie memintaku untuk duduk di bangku tersebut yang langsung kuturuti. Setelahnya kedua tangan pria tua itu mulai mengeluarkan cahaya kelabu yang perlahan menerpa tubuh bagian atas.

Awalnya aku merasa biasa saja, namun saat cahaya itu mengenai perutku, sebuah hentakan menghantamku keras. Membuatku meringis kesakitan sembari menekan bagian bawah perutku.

Kedua mataku terpejam saat rasa sakit itu semakin menjadi-jadi, menghasilkan jeritan panjang dari bibirku dan berakhir dengan napasku yang menderu.

Saat semuanya perlahan-lahan kembali normal, aku membuka mata dan menatap Raja Charlie dengan peluh yang berjatuhan di bagian sisi kanan tubuhku. Membuat sang raja membalas tatapanku dengan sorot yang tak kalah bingung.

"Aku memiliki suatu pertanyaan." Aku mengangguk, membiarkannya bertanya. "Apakah kau Anna Jevier?"

Kedua alisku mengerut sembari menggelengkan kepala. "Siapa dia?"

Raja Charlie terlihat tidak percaya setelah mendengar jawabanku. "Gaya itu. Menautkan kedua tangan di depan perut sembari berkuda-kuda, aku tahu itu gaya Anna Jevier. Jika kau bukan dirinya, tidak mungkin kau tahu itu."

"Bagaimana Raja tahu bahwa gaya tadi milik Anna Jevier?"

Raja pun menarik napas. "Aku, Anna, Vivian, Vanessa dan Liona dulu berteman. Kami semua tahu bahwa Anna akan menjadi seorang ratu Azurea karena Liona—yang saat itu telah menjadi Xave—melihat masa depan. Namun sial bagi kami, Liona tak pernah tahu jika Anna akan meninggalkan kami dengan cara yang tragis."

"Meninggal?"

"Ya." Raja Charlie mengalihkan pandangannya dariku. "Ia meledak saat mencoba pengendalian darah dengan dirinya sebagai media itu sendiri. Aku melihatnya, dengan mata kepalaku sendiri yang saat itu tengah menghampirinya."

"Anna.." Dan sebuah memori akan panggilan itu membuatku tersadar. Membawaku menuju beberapa hari lalu saat aku dan Sherina tengah berbicara di Xilvonia.

"Terima kasih, Anna, aku merindukanmu."

Aku tercekat. Merasa semuanya masuk akal saat Savanna menceritakan hal itu, aku merasa sangat familier dan tidak tahunya diriku tentang gerhana bulan biru.

Sekalipun aku memang bukan warga Ave pada awalnya, seharusnya aku sudah tahu tentang ritual itu karena dulu ibu menceritakanku segala hal yang ia akui sebagai dunia khayalannya.

Ibu.

Ibu pasti tahu tentang ini. Ia pasti tahu tentang aku adalah reinkarnasi dari Anna Javier. Sehingga ia tidak menceritakannya.

Aku pun mendesah, menatap mantan calon suamiku dulu sekali dengan canggung kemudian menelan salivaku berat. "Ya, aku memang Anna, sahabatmu."

Raja kembali menatapku. Terlihat secercah harapan di kedua matanya. Membuatku tersenyum kecil kemudian mengangkat kedua bahuku singkat.

"Hai, Charlie."

Ia terlihat membalas senyumanku, hendak memelukku namun aku mengangkat tangan kananku—menghentikan aksinya.

"Gerhana bulan, Charlie, kau lupa?"

"Ya, aku lupa." Ujarnya. "Aku benar-benar merindukanmu, Anna."

"Kau tidak merindukanku?" Kali ini suara cempreng Sherina yang terdengar. Membuat Charlie mengerutkan alisnya sembari menatapku dalam bingung. "Vivian Jevier. Kau benar-benar jahat, Charlie, sampai-sampai melupakanku."

Kali ini kedua alis pria itu terangkat. Senyuman semakin melebar di wajahnya. "Oh astaga! Vivian! Aku senang kalian kembali bersatu!"

"Namun sekarang aku adalah adiknya!" Aku—atau lebih tepatnya Sherina—tertawa. "Dan kau sudah tidak bisa menyukainya lagi, Char, dia milik orang lain."

Charlie pun mengangguk seraya terkekeh. "Aku tahu. Arthur, 'kan?"

"Benar." Jawab Sherina kembali tertawa. "Omong-omong, bisakah kau kembalikan kami ke Ave? Kurasa Cheryl sudah datang."

"Siapa Cheryl?"

"Dokter pack dari Red Fire, pack Arthur."

Charlie pun kembali mengangguk. "Sekali lagi, aku senang telah bertemu dengan kalian. Kita harus merayakannya setelah perang selesai, Jevier."

Aku ikut mengangguk. "Dengan senang hati, Charlie."

Detik berikutnya kedua mataku kembali tertutup, menarikku menuju suatu tempat hingga yang kini dapat kurasakan adalah kelembutan sofa yang tadi kutiduri.

Perlahan aku membuka mata, mengerjap beberapa kali hingga akhirnya mendapati Cheryl tengah menatapku khawatir. Peluh pun berjatuhan dari keningnya, membuatku tersenyum tipis ke arahnya yang langsung dibalas dengan helaan napas lega.

"Alpha nyaris membunuhku karena tidak dapat melindungimu, Luna Lalluna, maafkan aku."

Aku pun terkekeh. "Seharusnya aku yang meminta maaf karena kau nyaris terbunuh oleh Arthur." Ujarku. "Bagaimana keadaanku?"

"Cukup baik.." Cheryl terdiam menggantung. Membuat jantungku memompa kencang saat teringat bahwa kandunganku tadi berada dalam bahaya. "Kandunganmu sangat lemah."

Seakan dilempar dari langit dan terjatuh tanpa sebuah pengaman, tubuhku menjadi lemas dalam sekejap. Kedua mataku teralih menuju langit-langit ruangan dengan kedua mata yang mulai memburam akibat air mata.

Kedua tanganku pun kuletakkan tepat di depan perut, mengusapnya secara perlahan kemudian memejamkan mataku yang diiringi dengan jatuhnya lagi air mata.

"Biarkan aku sendiri." Ujarku yang ditujukan kepada Sherina. Gadis itu sempat menolak, mengingatkanku pada janji yang telah kami buat untuk tidak membiarkanku berada di dalam kedinginan.

Namun aku memaksa.

Pada akhirnya Sherina membiarkanku sendiri, membuat bulu tangan serta kakiku meremang akibat udara dingin yang menyapa tubuhku. Dalam sekejap tubuhku pun menggigil, membuat sebuah desahan panjang dari Cheryl terdengar.

"Luna, aku mohon jangan seperti ini. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam dingin, Luna, aku mohon."

Aku pun mulai menangis dengan deras. "Ini yang terbaik."

"Luna, aku mohon." Parau Cheryl yang lantas membuatku tersenyum tipis. "Hentikan ini, Luna, jangan bekukan dirimu, aku mohon."

Ya, aku membekukan diriku sendiri.

"Katakan pada Arthur bahwa aku—"

Ucapanku terhenti saat sebuah kehangatan menyelimutiku. "Aku di sini." Kedua mataku terbuka, terkejut setengah mati saat Arthur tengah memelukku dengan erat.

Perlahan dapat kurasakan api mulai menjalar dari ujung kakiku, membuatku membalas pelukan Arthur seraya menangis di lekukan lehernya.

"Maaf aku melanggar perjanjiannya." Suara Arthur terdengar sangat serak dan bergetar. "Aku hanya tak ingin kehilanganmu."

Dan api pun mulai melahap kami.

.
.
.

Seth's POV

Aku ada di sana saat alpha Arthur melanggar perjanjian yang telah kami buat kepada Xave Liona. Dan kedua mataku melihat dengan jelas apa yang terjadi tepat setelah alpha memeluk Luna.

Api berwarna biru tersulut dari ujung kaki Luna, merambat naik dan berakhir dengan membakar keduanya dalam diam.

Aku menganga, merasa terkejut dengan apa yang tengah mereka lakukan dan tidak adil jika Xeraphin harus ikut pergi meninggalkanku.

Cheryl menoleh kepadaku setelahnya, membuat kami saling beradu tatap seakan kebingungan harus menjawab apa jika Ratu Xerafina bertanya tentang keduanya.

"Biarkan mereka." Ujar seseorang dengan sangat tenang. "Biarkan Luna menjelaskan segalanya kepada Arthur."

"Menjelaskan apanya? Mereka akan mati!" Entah kenapa emosiku pun tersulut saat pria tua ini berbicara demikian.

Ia pun tersenyum mengejek ke arahku. "Kau tidak tahu apapun tentang Luna, Beta Seth."

"Kau yang tidak tahu apapun!"

"Sungguh?" Kali ini pria itu menyeringai kepadaku. "Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Luna adalah temanku 762 tahun lalu? Mantan calon istriku dan Anna Jevier?"

Aku menggeleng. Berharap orang tua ini hanya tengah mabuk dan terobsesi dengan teman lamanya yang ia akui bernama Anna Jevier, gadis yang meledak 762 tahun lalu.

"Kau gila."

"Aku memang gila." Ujarnya, kemudian menyesap cerutu yang entah sejak kapan sudah ada di mulutnya. "Namun aku sangat yakin jika pasanganmu, yang sangat kau yakini bernama Xeraphin, bernama Vivian Jevier dan kakak dari Anna, kau tidak akan percaya."

Kali ini Cheryl membuka suara. "Aku pernah membaca buku karya Charlie Brutte yang menjadi kerabat dekat Jevier bersaudara tentang itu. Namun apa yang membuatmu sangat yakin bahwa Luna Lalluna adalah Anna Jevier?"

Rasanya aku benar-benar ingin menonjok pria itu saat ia mulai mengepulkan asap kelabu di udara sembari tertawa. "Karena aku adalah Charlie Brutte, Raja Vamps yang telah hidup sejak 800 tahun lalu."

Aku tercekat, kembali bertatap-tatapan dengan Cheryl dengan tampang terkejut. Sialan, jadi pria ini adalah Raja Charlie?

"Kalian terkejut?" Pria itu kembali tertawa. "Aku sudah biasa dengan sifat liar para anjing."

Kali ini mau tak mau aku harus menahan emosi. Mencoba menatap sang raja tanpa sebuah geraman yang akan segera keluar. "Kalau begitu apa yang harus kami lakukan?" Tanyaku kemudian melirik ke arah sofa dan mendelik pada detik itu juga.

Mereka menghilang.

Tanpa sedikit pun jejak.

"Aku bilang biarkan saja. Jevier tahu apa yang mereka lakukan—terkecuali tindakan bodoh Anna dulu."

"Oke. Tapi setidaknya aku ingin membantu Luna Lalluna." Ujarku.

Dan seorang gadis bermata hijau tua yang sedari tadi berdiri di dekat sofa berucap. "Seth benar, setidaknya kita harus membantu Xave Lalluna."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro