Duapuluh.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Saat hari mulai petang, peri yang tadi menghadang kami di depan pintu gerbang terbangun, ia meminta maaf kepadaku dan Arthur seraya menundukkan wajahnya dalam-dalam. Kemudian ia mengantar kami menuju Xilvonia yang ternyata hanya dibatasi oleh hutan dengan Cosmos.

Tak sampai situ, peri tadi benar-benar membawa kami hingga ke kerajaan, Pada awalnya aku menolak untuk menggunakan kemampuanku karena ingin menikmati segarnya udara XIlvonia yang memiliki cuaca salju.

Namun saat melihat pegunungan yang telah menunggu kami terlihat di hadapanku, dengan segera aku menggeleng dan mengganti keputusanku. Aku, Arthur dan Macro—peri itu, mulai mengembangkan sayap kemudian secara perlahan terbang di atas Xilvonia.

Tepat setelahnya aku dapat melihat hamparan gunung di bawahku. Lautan kuda terbang pun nyaris menghiasi langit serta pemukiman di bawah kami. Ada yang berbelanja, bermain, berlatih, memperhatikan kami hingga bercengkrama.

Mereka benar-benar makhluk sosial. Walaupun aku sendiri tidak mengerti apa yang tengah mereka bicarakan. Seakan-akan mereka menggunakan suara melengking layaknya kelelawar untuk berkomunikasi yang dipantulkan oleh udara dan benda di sekitar.

Ini hebat, pikirku.

Setelah melewati pegunungan dan pemukiman warga, kami kembali memasuki wilayah hutan. Dan tak jauh dari sini, terlihat bangunan istana yang menjulang. Walaupun nyaris tertutupi salju yang perlahan mulai turun dari langit, aku sangat yakin bahwa bangunan itu juga berwarna putih.

"Aku hanya bisa mengantar sampai sini." Ujar Macro seketika.

Aku pun mengangguk, mengucapkan terima kasih kepadanya dan perlahan-lahan turun bersama Arthur. Lagi-lagi kami berhenti tepat di depan gerbang kerajaan, dihadang oleh dua Pegasus bersayap peach yang kini tengah menundukkan kepalanya pada kami.

Tak sampai di situ, salah satu dari mereka mengubah penampilannya. Menjadi sesosok wanita dengan rambut berwarna putih serta kulitnya yang kecokelatan dan gaun berwarna putih mengembang yang menutupi hingga mata kakinya.

"Selamat datang, Yang Mulia Ratu." Sapanya sembari membungkuk, menekuk kaki kanannya ke belakang dan menarik sedikit roknya.

Aku mengangguk, memperhatikan wanita itu saat ia tengah kembali ke posisinya dan matanya menatap hidungku. "Ratu Gazelle telah menunggu Anda di dalam." Lanjutnya. "Mari kuantar."

Gerbang ganda yang kurasa terbuat dari kayu jati itu pun perlahan terbuka ke dalam. Menampilkan jalan setapak yang begitu lebar dan terbuat dari bebatuan yang telah dibentuk. Di sisinya terdapat semak-semak rendah, bunga-bunga cantik pun ikut mengembang di sana walaupun langit tetap menjatuhkan salju.

Aku pernah membaca sesuatu tentang bunga yang berwarna hitam. Mereka disebut bunga Hansar. Bunga yang akan bersinar terang dikala gelap dan akan terbang rendah hingga menghampiri seseorang jika sesuatu yang tidak terduga akan menghampirinya dalam waktu dekat. Dan itu tengah terjadi padaku.

Dengan segera aku, Arthur dan wanita itu berjalan melintasi jalan setapak. Berusaha untuk tidak mempedulikan reaksi bunga itu saat melihatku dan usapan tangan Arthur yang berada di lenganku.

Aku tidak takut. Sama sekali. Namun kenyataan yang sesungguhnya akan lebih menyakitkan daripada apa yang telah kupendam selama ini.

Lagi-lagi pintu ganda yang berukuran lebih kecil dari pintu gerbang terbuka di hadapanku. Membuat interior yang dominan berwarna cokelat menghiasi lorong panjang yang telah menanti kehadiranku. Perlahan aku menarik napas, menenangkan hatiku yang dalam seketika menjadi panik.

Saat kami telah menjejakkan beberapa langkah di dalam gedung istana, sesosok wanita dengan sayap berwarna merah marun berdiri tak jauh dari kami. Rambutnya yang berwarna kelabu dikepang dan digulung menjadi satu di bawah topi jubahnya yang berwarna senada dengan sayapnya.

Wanita itu menggunakan gaun dengan rok yang mengembang berwarna putih gading. Terdapat beberapa batu safir dan kerlap-kerlip cahaya di sekitar pinggang hingga roknya. Ia terlihat sangat elegan. Dan angkuh.

"Selamat datang di Xilvonia, Ratu Xave kami." Sapa sang ratu sembari melangkah mendekat ke arahku kemudian menggenggam kedua bahuku. "Kau sangat cantik, Xave Lalluna."

Aku tersenyum kikuk. "Terima kasih, Ratu."

Kedua pandangan itu kemudian teralih kepada Arthur. "Dan selamat datang juga, Tuan Arthur." Sapanya sembari menjatuhkan tangannya dari bahuku dan menepuk bahu Arthur beberapa kali.

"Julius akan membantu Ratu Xave Lalluna mengembangkan bakatnya pada kemampuan Pegasus. Kau siap, Ratu Xave?"

Aku terdiam saat mendengar nama Julius, namun detik berikutnya aku kembali tertarik ke alam kesadaran dan mengangguk. "Tentu, Ratu."

"Namun aku tahu pasti kalian lelah dan butuh istirahat. Maka dari itu, aku telah menyiapkan dua kamar untuk kalian. Katakan saja apa yang kalian butuhkan. Dan nanti malam kalian harus mengikuti acara makan malam kami." Ujarnya panjang lebar.

"Kami hanya butuh satu kamar." Sahut Arthur yang langsung membuat ratu menatapku dan wajahku memanas dalam sekejap. Bodoh.

Ratu pun terlihat tertawa, kemudian ia mengangguk-angguk mengerti. "Baiklah, pasangan muda. Namun sebaiknya jangan melakukan apapun yang berbahaya karena gadis ini akan membutuhkan energi yang banyak untuk melakukan pelatihan nanti malam."

"Pasti, Ratu."

"Kalau begitu selamat beristirahat." Ujar ratu seraya tersenyum dan berbalik meninggalkan kami.

Namun saat ratu hendak pergi menjauh, Arthur kembali membuka mulut dan membuat sang ratu berhenti berjalan. "Bolehkah aku minta satu permintaan lagi, Ratu?"

Ratu Gazelle pun mengangguk. "Tentu, Tuan Arthur."

"Jangan biarkan siapapun mendengar perbincangan kami di dalam kamar. Termasuk Anda, Ratu."

"Kau cukup pintar, Arthur." Setelahnya ratu pun menyapu tangannya di depan wajah, menghasilkan kerlap-kerlip merah marun. "Selamat menikmati."

Detik berikutnya ratu telah hilang entah kemana. Membuat wanita yang menjamu kami tadi kembali mengambil alih dan membawa kami menuju ruangan yang telah ditentukan.

Kami berbelok ke kanan setelah menyusuri lorong panjang ini, mempertemukan kami kepada jendela-jendela transparan di kedua sisi dinding hingga menampakkan salju yang kini mulai turun dengan deras.

Walaupun langit masih berwarna oranye dan jam menunjukkan pukul setengah enam, langit Ave masih terlihat cukup cerah walaupun diselimuti awan-awan kelabu yang menjatuhkan benda-benda putih ini menuju daratan.

Sampai saat aku mendapati pintu ganda berwarna putih dengan ukiran-ukiran yang terbuat dari kayu, wanita itu mempersilakan kami untuk masuk dan menundukkan kepalanya. Namun tepat sebelum aku menjejakkan kaki di dalam kamar, aku berhenti tepat di depan wanita itu.

"Apa aku bisa menggunakan kemampuanku?"

"Anda hanya bisa menggunakan kekuatan elf, Xave Lalluna." Jawabnya seraya memperdalam tundukan kepala. Aku pun mengangguk, bergumam terima kasih kemudian melirik Arthur yang kini tengah berdiri di depanku.

Arthur pun mengangguk, menarik tanganku lembut seraya mendorong pintu ganda di depannya. Aku menjejakkan kakiku di dalam, berdecak kagum saat kamar yang akan kami gunakan besarnya nyaris sebesar pekarangan belakang rumah Arthur.

Dengan segera aku melepaskan genggaman Arthur dan menyerbu ranjang yang berukuran king. Kutenggelamkan wajahku di antara empuknya bantal, setelahnya menutup mata sembari menikmati kenyamanan ranjang ini.

Untuk berjaga-jaga, aku pun memutarkan jari telunjukku di udara, merapalkan mantra peri yang sempat diajarkan Ratu Xeria tadi agar ruangan ini menjadi kedap suara. Bukannya tidak percaya dengan Ratu Gazelle, aku hanya ingin privasiku lebih terjaga dari hal luar.

Dapat kurasakan secara perlahan Arthur mulai naik ke atas ranjang, ia berbaring tepat di depanku dan salah satu tangannya merengkuh pinggangku.

"Tidak seharusnya kau melompat seperti itu, sayang."

Aku membuka mata, menatap kedua mata biru laut itu dengan bingung. "Memangnya kenapa?"

"Kau lupa?"

Kedua alisku mengerut, mencoba berpikir apa yang tengah Arthur coba katakan. Detik berikutnya aku mematung, masih menatap Arthur yang kini terlihat sangat khawatir. "Kau tahu?"

"Bukankah aku sudah bilang kalau aku memperhatikanmu selama ini?"

Perlahan-lahan seulas senyuman terlukis di wajahku, membuatku memiringkan tubuhku menghadap pria itu kemudian merengkuh wajahnya yang sedikit menegang.

"Maaf, aku sengaja tidak mengatakannya padamu karena aku ingin ini menjadi kejutan." Perlahan, ketegangan itu tergantikan oleh seulas senyuman tipis. "Kau benar, aku hamil."

Setelahnya aku hanya tahu bahwa kami telah berciuman. Arthur semakin mengeratkan rengkuhannya pada pinggangku dan menarikku untuk lebih dekat dengannya. Aku merasakan sebuah kerinduan, kekhawatiran dan kebahagiaan yang begitu kentara saat ia memperdalam ciumannya.

Untuk kedua kalinya, Arthur tidak menciumku terlalu lama. Setelah menggigit bibir bawahku lembut, ia tetap membiarkan wajah kami saling berdekatan sembari mengambil napas.

"Aku mencintaimu, Lalluna."

Aku mengangguk. "Aku juga mencintaimu, Arthur."

Detik berikutnya Arthur memutar tubuhnya hingga dalam sekejap membuatku telah terduduk di atas perutnya. Pria itu tersenyum saat kedua tangannya mulai menyelinap masuk ke dalam bajuku. Ia mengusap perutku yang baru kusadari mulai membesar. Beruntung aku memakai kemeja kebesaran dan mantel yang cukup tebal sedari tadi.

"Kira-kira sudah berapa umurnya?"

"Mungkin sekitar satu setengah hingga dua bulan."

"Dua bulan?" Kedua mata Arthur menatapku, membuatku tertawa kemudian menurunkan tubuhku dan menopangnya dengan kedua tangan yang berada tepat di depan dada Arthur. "Sepertinya akan lebih baik jika anak kita kembar."

"Kembar?" Sesegera mungkin aku menggeleng. Membuat Arthur tertawa kemudian mengecup bibirku beberapa kali.

"Ayolah, bukankah seru memiliki anak kembar?"

Aku mendengus, menjauhkan tanganku dari dada Arthur kemudian meletakkannya di samping kepala pria itu. "Aku tahu. Tapi itu akan sangat menyakitkan saat melahirkannya."

Arthur pun mencolek hidungku sebelum kedua tangannya kembali merengkuh pinggangku dengan protektif. "Kau percaya kekuatan tak terhingga dari Pangeran Arthur?"

Tepat setelahnya aku tertawa, membuat kedua tanganku menjadi lemas dan dengan cekatan Arthur membalikkan posisi. Setelahnya aku merengkuh wajah pria itu, membuatnya mengurung tubuhku di antara kedua tangannya kemudian mencium pria itu cukup lama.

"Aku percaya." Ujarku saat bibir kami telah saling berjauhan. "Aku percaya Pangeran Arthur akan memberikanku kekuatan yang tak terhingga."

"Memberikan kalian, ralat itu." Sahutnya, seakan menahan sesuatu.

Lagi-lagi seulas senyuman mengembang di wajahku yang langsung dibalas dengan ulasan milik Arthur. "Jika ia laki-laki—"

"Mereka, sayang." Potong Arthur yang lantas membuatku terkekeh.

"Oke, jika mereka laki-laki, apa nama yang bagus untuknya?"

Arthur terlihat diam sejenak, kedua matanya teralih dariku hingga pada akhirnya kedua alis itu terangkat. "Mungkin Javier dan Ash, ditambah nama akhirku, Xavewood."

Aku mengangguk, merasa setuju dengan pendapat Arthur. "Aku suka Queeny dan Xlavira. Kau setuju? Jika mereka perempuan?"

"Selama itu adalah idemu, aku akan menyukainya."

Untuk kesekian kalinya aku menganggukkan kepala, kemudian menarik wajah Arthur untuk lebih dekat. Salah satu kakiku pun kutarik secara perlahan, membuatnya sedikit bergesekkan dengan kaki Arthur yang menimpa kedua kakiku.

Sekilas dapat kudengar ia menggeram, membuatku tersenyum miring kemudian menggigit bibir bawah Arthur menggoda. "Berikan aku pemanasan."

.

.

.

Setelah menyelesaikan jamuan makan malam bersama Ratu Gazelle dan seorang ahli yang akan mengajarkanku mulai nanti dini hari, aku dan Arthur pun kembali masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian.

Sejak peristiwa aku mengklarifikasi pada Arthur bahwa aku tengah mengandung, pria itu berubah menjadi sangat protektif. Ia tidak membiarkanku untuk memakai sepatu berhak, gaun yang terlalu berat, disentuh oleh siapapun hingga berpakaian pun ia yang akan menggantikannya.

Aku sempat protes, merasa terlalu berlebihan jika Arthur melakukan demikian. Namun Jackson langsung mengambil alih, ia menggeram tertahan kepadaku yang langsung membuatku serta Leah menciut.

Namun, bukan Lalluna jika tidak keras kepala. Aku memutuskan untuk menyetujui sikap Arthur dengan sebuah syarat yang membuatnya harus mendesah pelan dan menyetujuinya dengan berat hati.

Jangan biarkan aku terlihat lemah di hadapan orang lain.

Untuk kedua kalinya aku duduk di bibir ranjang, menunggu Arthur yang tengah mengganti pakaiannya sendiri. Tubuhnya terlihat sedikit lebih kurus walaupun otot-otot besarnya masih cukup untuk menyelimuti tubuhnya. Dan jangan lupakan bekas lubang yang pernah menghiasi perutnya, itu masih di sana.

"Kau ingin kaus? Atau kemeja?"

"Kemeja dan mantel, Arthur, di luar sangat dingin."

Pria itu pun menggaruk tengkuknya yang kurasa tidak gatal. "Maaf, aku lupa bahwa kau bisa merasakan dingin." Kemudian Arthur meraih kemeja, mantel serta celana bahan sebetis yang berada di salah satu lemari dan meletakkannya di sampingku.

Ia mengisyaratkan kedua tanganku untuk naik yang langsung kupatuhi. Selanjutnya ia menarik ujung atasanku dan meloloskannya lewat atas. Dengan segera Arthur kembali meraih pakaian yang sudah ia sediakan, memakaikannya padaku agar aku tidak perlu merasakan dinginnya udara malam menyapa kulit badanku.

Setelahnya Arthur menarik tanganku lembut, membawaku berdiri dan memakaikan celana bahan yang ia ambil tadi sebelum melepaskan rok selutut berwarna hitam yang kupakai untuk makan malam.

"Siap untuk mengeluarkan kuda itu?"

Aku terkekeh, memeluk Arthur dengan erat dan menenggelamkan wajahku di dadanya. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kau siap untuk melihatku menjerit?"

Kedua tangan itu pun membalas pelukanku. "Seharusnya sudah."

"Tenang, aku akan baik-baik saja."

Arthur pun menyandarkan kepalanya di atas kepalaku. "Bagaimana aku bisa tenang di saat kau harus melaksanakan pelatihan bersama anak kita? Itu bisa membunuhnya, Luna."

"Vampir itu akan menjaganya. Kami telah membuat kesepakatan, oke?"

"Luna.."

"Aku janji kami akan baik-baik saja." Aku pun mendongak, mengganti warna mataku menjadi merah darah dan menatap Arthur lekat-lekat. "Aku yang akan menjaga Luna dan anakmu." Lanjut vampir itu atas seizinku.

Setelahnya kedua mataku kembali menjadi ungu, membuat Arthur menganggukkan kepalanya ragu kemudian mencium keningku lembut. "Aku mempercayai kalian."

Salah satu tangan Arthur meraih tanganku seraya menggenggamnya erat. Memberikan kepastian pada satu sama lain bahwa kami akan baik-baik saja. Kedua tungkaiku mulai melangkah keluar, menyusuri lorong bersama Arthur dan berbelok ke kiri saat hembusan udara di luar sana menunjukkan bahwa pintu keluar ada di ujung lorong.

Ketika hamparan salju sudah terlihat, aku mendapati Pyoth—seorang gadis yang akan menggantikan Julius—tengah berdiri di ambang pintu yang tengah terbuka. Ia terlihat tersenyum, dengan mantel berwarna putih menyelimuti tubuhnya hingga lutut, membuatnya terlihat seperti anak kecil.

"Maaf membuatmu menunggu. Kami memiliki sedikit urusan kecil."

Pyoth mengangguk kecil. "Bukan masalah, Luna. Dan sebaiknya kita segera menuju tempat pelatihan sebelum badai berhenti."

Kali ini aku yang mengangguk, memasukkan kedua tanganku ke dalam saku mantel kemudian membekukan tangan di sana. Ini terasa lebih baik. Menjadi sedikit lebih hangat karena jiwa vampir itu sedang tidak menggunakan tubuhku.

Arthur pun ikut berjalan keluar istana, ia merengkuh tubuhku dari samping dan menjagaku super protektif di antara tebalnya salju ini. Aku tahu bahwa sesekali Arthur mengumpat kesal, karena ia harus melewati benda-benda putih ini yang tak pernah ia jumpai di Maegovanen maupun Clivora—tempat para penyihir.

Saat sebuah lapangan basket yang telah tertutupi tebalnya salju terlihat, kami berhenti berjalan. Pyoth memutar arah tubuhnya kemudian menatapku lekat-lekat.

"Pengetahuan untukmu, Luna, para Pegasus akan menjadi sangat kuat saat badai salju. Maka dari itu, para leluhur membiarkan kulit kami berwarna putih untuk mengingatkan betapa kuatnya kami saat benda-benda putih ini terjatuh dari langit dengan deras."

Aku mengangguk mengerti. Perlahan-lahan Pyoth pun melepaskan mantelnya, menampilkan tubuhnya yang hanya menggunakan kaus oblong dan memperlihatkan lengannya yang cukup kekar. Aku pun mengikutinya, membuat Arthur membantuku melepaskannya dan memegangi mantelku setelahnya.

Detik berikutnya Pyoth berjongkok di atas salju, menenggelamkan kedua tangannya di sana yang langsung disambut dengan kecupan Arthur di keningku. Aku tersenyum tipis saat perasaan cemas pria itu begitu terasa di setiap sentuhannya padaku.

Kemudian aku mengikuti Pyoth, membiarkan rasa dingin merayap naik serta menusuk kulitku dalam-dalam sembari menunggu proses selanjutnya. Pyoth pun menatapku, membuat membalas tatapannya seakan bertanya apa selanjutnya.

"Tutup matamu dan bayangkan sebuah kuda." Aku pun menurutinya. "Tubuhnya berwarna silver. Secara perlahan kedua sayapnya tumbuh di kedua sisi tubuhnya sembari mengeluarkan cahaya emas. Bayangkan warna matanya, bentuk ekornya dan bagaimana caranya kau terbang. Bayangkan juga bagaimana caranya kau berkomunikasi serta pasangan seperti apa yang kau inginkan."

Entah kenapa, lagi-lagi Seth memenuhi benakku.

"Jika semuanya sudah, buka matamu dan lepas pakaian yang kau gunakan."

"Dia gila." Ujar Arthur di benakku.

Aku pun membuka mata, berdiri dari posisiku dan menghadap Arthur setelahnya. Ia terlihat tidak setuju, kedua matanya menyiratkan keputus asaan yang lantas membuatku merengkuh wajahnya lembut.

"Pangeran Arthur telah memberikanku kekuatan tak terbatas. Bisa kau bantu aku?"

Arthur terdiam, namun selanjutnya ia menghela napas berat dan perlahan-lahan membuka kancing kemeja serta celanaku. Ekspresinya sangat tidak teratur hingga aku bisa menangkap sebuah kepedihan memenuhi matanya. Aku pun tersenyum, mengusap dadanya penuh kasih sayang kemudian kembali menatap Pyoth dengan kondisi yang telah sama sepertiku.

"Berbaringlah di atas salju. Dan pastikan seluruh tubuhmu tertutup oleh salju, Luna."

Perlahan aku kembali menurunkan tubuhku, menenggelamkan tubuhku di atas salju dan mulai ragu untuk melakukannya. Namun tepat setelahnya, suara seseorang memasuki benakku, membuatku terus melanjutkannya ketika kurasakan tubuhku tertarik ke dalam sebuah cahaya.

"Jiwa ini milikku, Luna."

Dan perasaan dingin itu pun menghilang. Tergantikan dengan rasa nyaman yang sangat menyejukkan hingga aku sendiri dapat merasakan sebuah kehangatan menyelimuti perutku.

Namun aku tak lagi dapat mendengar, hanya dapat melihat kejadian yang tengah terjadi di hadapanku yang lantas membuatku tersadar bahwa ini seperti apa yang selalu terjadi saat Leah mengambil alih tubuhku.

Bedanya, seekor Pegasus yang mengambilnya.

Perlahan dataran pun menjauh dari jangkauanku, membuat Arthur mendongak dan menatapku cemas setengah mati. Pyoth pun sudah menghilang dari tempatnya tadi. Kini ia tengah berada tak jauh di hadapanku dengan bentuk Pegasusnya sembari mengatakan sesuatu yang tak kumengerti.

Detik berikutnya, suara tadi pun kembali terngiang di benakku. "Sudah kubilang, jiwa ini milikku, Lalluna."

Dan seketika aku pun tersadar bahwa yang barusan berbicara padaku adalah Xeraphin, pemilik jiwa Pegasus ini sekaligus sang vampir.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro