Duasembilan.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fast update!yuhuuu~

Luna's POV

Aku membuat kuda-kuda, mengepalkan kedua tanganku dan membawanya ke depan dada bagaikan seorang petinju. Kutarik dan hela napasku perlahan sembari mencoba memanggil diri Sherina yang tengah terbaring lemah di Cygnus.

Terkesan memaksa dan bodoh memang, namun inilah tugas sebagai Xave, kami harus melengkapi satu sama lain.

Dan hentakan di tubuhku membuat jemari kakiku menekan salju di bawahku lebih erat. Membuat napasku tertahan dan kedua kepalan tanganku mengencang.

"Kau memanggilku tepat waktu, Athenna."

Aku tersenyum saat udara di sekitarku seketika berhembus kencang. Menerbangkan rambut hitamku yang perlahan-lahan berubah menjadi silver.

Detik berikutnya kaki kananku menghentakkan salju, membuat benda itu terbang ke arah lain hingga tanah yang berada di bawahku terlihat. Untuk kedua kalinya aku menghentakkan kakiku di atas tanah, membuat gerbang perbatasan sedikit retak.

Beberapa prajurit pun terlihat dari atas gerbang, menyerang kami dengan berbagai elemen yang langsung ditangkis dengan baik oleh kawananku beserta para beruang.

Berbeda denganku, aku membiarkan serangan-serangan itu mengenai tubuhku sembari memejamkan mata. Membawa sensasi yang begitu familier dan semangat yang semakin membara di tubuhku. Walaupun begitu, perlu kalian ketahui bahwa aku tidak bergeser sedikitpun.

Sekalipun seonggok tanah yang besarnya dua kali lipat dari Arthur, aku sama sekali tak mengubah pikiranku untuk bergeser.

Arthur.

ARTHUR.

Aku membuka mataku dalam sekejap, kembali menghentakkan kaki kananku dan meninju udara di depanku secara beraturan saat tanah di hadapanku mulai menampakkan diri. Terdengar debaman setelahnya. Membuat beberapa prajurit terjatuh ke belakang dan tertimpa tanahku.

Dapat kurasakan darah di dalam diriku berdesir dengan penuh emosi. Membuatku mengepalkan kedua tangan kemudian berjalan dengan mantap menuju gerbang perbatasan.

Belum sempat aku menjejakkan kaki dalam radius enam meter dekatnya dari gerbang, para prajurit sudah menghadangku. Membuat para beruang menerkam prajurit-prajurit tersebut dengan liar yang membuahkan seulas seringai di wajahku.

Tak mau kembali dihalangi, aku berlari ke arah gerbang. Meninju gerbang tersebut dengan satu tinjuan bertenaga yang berhasil meruntuhkan delapan meter panjang gerbang.

Saat asap mengepul akibat reruntuhan tanah, aku memutuskan untuk terbang dan melesat cepat ke dalam Azurea. Membuat Ardeen ikut berseru dan meminta beberapa kawanan untuk mengevakuasi penduduk yang tersisa, serta sisanya mengikutiku.

Aku terus melaju dengan cepat menuju perbatasan antara musim salju dan gugur. Tak lupa kuhilangkan gerbang perbatasan yang terbuat dari udara serta api agar dapat membuat kawananku masuk dengan mudah.

Beberapa prajurit pun menyerangku dari posisi mereka dan ada juga beberapa yang ikut terbang menyamaiku. Keputusan bodoh mereka membuatku semakin menyeringai lebar sembari menyiapkan elemen-elemen yang akan kugunakan.

Seketika aku teringat sesuatu, membuatku melaju dengan semakin cepat sembari terus memperhatikan keadaan di bawah. Sosok Ratu Alina tertangkap oleh kedua mataku, membuahkan perasaan bangga akan diri sendiri yang langsung menambah semangat di dalam diriku.

"Kelas tujuh, ucapkan mantra Protego Horibilis sesuai aba-abaku." Titahku pada pasukan khusus keduaku, para penyihir.

Aku menghentikan lajuku dalam sekejap, membuat beberapa pengendali terlempar jauh dariku dan beberapa yang dapat mengendalikan dirinya. Aku tersenyum ke arah mereka, menarik napas panjang seraya memutar-mutarkan jari telunjukku di udara.

"PROTEGO HORIBILIS!"

Cahaya krem mengenai prajurit-prajurit yang berada di hadapanku serta beberapa di belakangnya. Membuat mereka semua terjatuh yang langsung disahut oleh beberapa rapalan mantra yang sama di bawah sana.

Aku kembali melesat turun, menukik dengan kecepatan tak terhingga dan hendak menarik kepala Ratu Alina dengan sekali percobaan. Namun wanita sialan itu menoleh sembari menghilangkan udara di sekitar kami.

Membuatku terjatuh dengan keras di atas tanah dan sesak napas, pun penduduk Ave. Dengan segera aku mencoba bangkit, menahan napasku seakan-akan tengah berada di bawah laut kemudian merapalkan sebuah mantra di dalam hati.

Sebuah gelembung seketika melindungi kepalaku, membuatku menghela napas dengan lega kemudian membuat lebih banyak gelembung untuk para penduduk dengan cepat.

Setelahnya aku mencoba bangkit dari posisiku, berdiri tepat di depan Alina kemudian menyeringai lebar ke arahnya. "Hai, Alina Zavee. Jika kau menyayangi nyawamu, lebih baik kau pergi sebelum aku bertindak lebih banyak."

"Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, Ratu Azurea." Sinis Alina. "Dan sayangnya aku tidak mau pergi."

Detik berikutnya aku langsung menggeser tubuhku ke kanan saat ia mencoba menyerangku dengan kekuatan tanahnya. Membuatku tertawa sinis kemudian mendorong tubuhnya tepat di dada sembari menyulut api.

Untuk beberapa detik ia tenggelam di dalam apiku, namun setelahnya tubuh Alina menjadi kuyup akibat air yang ia gunakan untuk menghentikan apiku.

Aku tertawa, menghentakkan kaki kananku di atas salju yang lantas membuat salju-salju itu merayap naik pada tubuh Alina. Tepat setelahnya, salju itu membeku, menghentikan pergerakan Alina untuk menghindar.

"Kau kira aku sepayah itu?" Teriaknya tepat di depan wajahku.

"Kau memang payah."

Aku meraih lehernya, menatap kedua matanya sembari melihat warna mataku dari pantulan cahaya yang berada di kedua matanya. Merah darah, lebih pekat dan terlihat banyak keputus asaan di dalamnya.

Pada awalnya aku tidak mengerti. Sama sekali tidak punya ide dengan apa yang tengah kulakukan saat ini. Aku tidak mengenali kedua mata ini. Aku maupun Sherina tidak memiliki warna merah pekat seperti ini pada kedua mata kami.

Namun, waktu terhenti, Xave Juniel menampakkan dirinya dari sisi kiriku. Menatapku dengan seulas senyuman yang langsung kubalas dengan kerutan bingung di kedua alisku.

"Athenna dan Sherina Xeraphin Nathaniel." Ujarnya seakan sedang mengeja nama kami; sangat pelan dan berhati-hati. "Xave Ketiga serta penerusku. Aku merasa bangga sebagai nenekmu."

Mendadak aku mematung. "Sebuah kehormatan, Kedua."

"Kau tahu, aku datang karena sebuah alasan." Beliau pun menyentuh tanganku yang kini berada di leher Alina. "Kedua matamu berwarna merah pekat. Ini mengartikan sebuah kekuatan yang akan kembali lahir. Aku ingin bertanya kepadamu, Athenna, apa yang akan kau lakukan setelah mencekik wanita ini?"

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya sebuah jawaban tak terduga meluncur dari bibirku. "Menghisap jiwanya dan membuangnya menuju suatu tempat."

Nenekku terlihat melebarkan senyumannya. "Maka itulah yang akan terjadi jika kau mencekiknya sembari merapalkan sebuah mantra seorang Penghisap Jiwa."

"Mantra?"

Perlahan-lahan beliau berjalan mundur, meninggalkanku dan menghilang begitu saja.

Seketika waktu kembali berjalan, membuatku semakin mengencangkan cekikanku pada Alina kemudian berucap. "Apa yang kau lakukan pada Arthur?"

Alina pun berdecih. "A— aku? Ka— kau y— yang membu— bunuhnya."

"AKU? KAU BILANG AKU?" Kutatap lekat-lekat kedua mata sialan itu, membuat cekikan di lehernya semakin menguat hingga kedua tangan Alina mencoba melepaskan genggamanku. "KAU BILANG AKU YANG MEMBUNUH ARTHUR? BEGITU?"

Detik berikutnya aku menendang perut wanita itu, membuat napasnya menderu sembari menatapku dengan tatapan aneh.

"KAU KIRA AKU BUTA, HAH?"

Belum sempat ia mengeluarkan elemen yang lainnya, aku sudah menginjak perutnya, mengunci kaki serta tangannya dengan bantuan salju yang telah membeku.

"PERSETAN DENGAN KAU, WANITA SIALAN! TENGGELAMLAH DI NERAKA!"

Aku menginjak perutnya sekali lagi, meraih kerah gaunnya sembari menatap kedua matanya lekat-lekat.

"Kegelapan harus kembali ke tempat asalnya. Tinggalkan tubuh tak berdosa ini. Hades, jemputlah jiwa pengikutmu. Ia tak pantas untuk tetap berada di sini dan mengutuk keturunan kami. Bawalah ia ke tempat seharusnya."

Alina pun memberontak, menghadap ke langit dengan tubuhnya yang berguncang. Kueratkan genggamanku pada gaunnya, memelintirnya lebih kuat seraya berulang-ulang mengucapkan mantra.

Namun seketika aku terpental ke belakang, membuat Alina terlepas dari genggamanku dan terjatuh di atas tanah. Napasku menderu hingga kepulan asap putih terlihat memenuhi udara di sekitar.

Nick terlihat berjalan ke arah Sang Ibu dengan kedua tangannya yang bertautan di belakang punggung. Kedua tatapannya menatapku dan Alina datar secara bergantian. Alina terlihat ketakutan setelahnya, ia merangkak ke arah Nick kemudian memeluk kaki anak sulungnya itu.

"B— ba— bagus, Nick. Ka— kalahkan L— Luna!"

Aku mengangguk-anggukan kepalaku, membuat pasukan khususku yang dipimpin oleh Zeon berjajar di samping kanan dan kiriku. Kali ini aku yang menautkan kedua tanganku di belakang punggung, menatap Nick yang masih memperhatikanku lekat-lekat dengan kedua mata cokelatnya.

Nick terlihat menyunggingkan senyuman, mengangkat kaki kanannya yang digelayuti Alina dengan kasar kemudian berjalan maju ke arahku.

"Pertarungan antara pengendali api, Luna?"

Kedua alisku terangkat setuju seraya berjalan maju. "Zee, pastikan tidak ada yang terluka sedikitpun dan Alina tidak kabur." Titahku dalam telepati.

Nick pun berjalan lebih maju, memasang kuda-kuda di hadapanku yang kubalas dengan posisi yang sama. Detik berikutnya Nick sudah menyerangku, hendak memukul bagian kepala namun aku menangkisnya.

Kuraih tangan Nick yang nyaris memukul kepalaku, memelintirnya kemudian menendang perut pria itu dengan tendangan api. Setelahnya Nick menyeringai saat ia berancang-ancang kembali menyerangku.

Namun belum sempat aku menangkis gerakannya, dapat kurasakan api telah menyapa wajahku yang disusul dengan tendangan sialan milik Nicholas. Aku mengelak, bergeser ke kiri kemudian berbalik badan.

Kutarik napas dalam-dalam, menghelanya lewat mulut bersamaan dengan api biru yang keluar dari mulutku. Namun api berwarna merah terlihat tak jauh dariku, membuat tameng untuk tubuh Nick yang akan terbakar jika mengenai apiku.

Aku menghentikan semburan napas apiku saat kurasakan kedua tanganku mulai mendingin entah karena apa. Membuat Nick ikut menghentikan tameng apinya.

Kami hanya saling beradu tatap untuk beberapa detik. Hingga pada akhirnya Nick membungkuk ke arahku sembari meletakkan salah satu tangannya di depan pinggang.

"Kau pantas melakukan apa yang ingin kau lakukan pada ibuku. Maka lanjutkanlah."

Aku menyeringai, menepuk kedua tanganku di depan dada dan dalam sekejap tubuh wanita sialan itu telah berada di hadapanku. Rambut Alina terlihat berantakan dan sedikit gosong—mungkin akibat ia terkena efek tendangan apiku tadi.

Kemudian kuraih kembali leher wanita itu, mencekiknya kuat-kuat sembari menatapnya dengan kedua mataku yang semakin  pekat. Selanjutnya kuucapkan mantra yang kuharap akan lebih kuat daripada yang sebelumnya.

"Kembalilah pada Hades. Poseidon akan membukakan pintu langit untuk jiwa laknat sepertimu. Tenggelamlah kau di neraka terdalam. Jangan bereinkarnasi. Jangan hidup. Jangan menjejakkan dirimu lagi di seluruh dimensi ini selain di neraka."

Alina mulai kembali menjerit. Ia mendongakkan kepalanya sembari menatap langit. Api biru serta cahaya hitam pun mulai memutari telapak kakinya secara perlahan yang kemudian akan melahap tubuh wanita ini.

Dengan mantap aku terus mengulang-ulang mantra tersebut. Tidak ingin kehilangan kesempatanku untuk membunuh Alina demi membalas dendam Arthur dan aku. Sudah cukup ia memperbudakku selama ini. Tidak akan ada lagi Alina yang lainnya setelah ini.

Saat api dan cahayaku mulai memakan habis Alina hingga tak ada lagi yang tersisa dan berada dalam genggamanku, kedua pandanganku mulai memburam. Membuatku mengerjap untuk beberapa kali sembari menahan tubuhku yang mulai limbung.

Zeon dan Nick berada di sisiku saat tubuhku nyaris bertemu dengan salju serta tanah. Dengan segera keduanya memutuskan untuk membaringkanku di atas tanah, memberikan gumpalan angin kecil sebagai bantalan serta aliran air untuk menyejukkan kerongkonganku.

Aku tersedak setelah menelan air tersebut. Kutepuk-tepuk dadaku dengan tangan yang bergetar kemudian menatap kedua pria yang sedang memperhatikanku dengan sorot khawatir.

Dalam sekejap aku tersenyum, menutup kedua mata Nick dan Zeon dengan telapak tanganku seraya memundurkan pria itu dari dekatku.

"Arthur akan marah padaku jika kalian dekat-dekat." Ujarku nyaris berbisik.

Zeon meraih pergelangan tanganku, menjauhkannya dari wajah Zeon kemudian meletakkannya di atas perutku. Nick  pun melakukan hal sama setelahnya.

"Aku turut berduka tentang Arthur, Luna." Ucap Zeon seraya menatapku lekat-lekat.

"Itu semua karena ibuku, Luna, namun kau telah membayarnya. Kau melakukan hal yang tepat dan tentunya Arthur akan bangga padamu."

Aku terus mengembangkan senyuman, menatap langit di atasku kemudian menghela napas berat. Kurentangkan kedua tanganku di samping tubuh, seakan membiarkan memori-memoriku saat bayangan akan Arthur yang selalu menghampiriku di saat depresi terngiang.

"Biarkan aku sendiri." Perintahku tanpa memedulikan kalimat kedua pria ini barusan. "Dan siapkan aula istana untuk nanti malam. Aku punya pengumuman."

Zeon dan Nick pun mengiyakan perintahku dengan segera dan kemudian meninggalkanku.

Entah kenapa tak ada lagi tetes air mata yang tersisa untuk pria bernama lengkap Arthur Rush Xavewood itu. Segalanya sudah kukerahkan untuknya beberapa waktu lalu. Seakan dengan jatuhnya setiap air mata itu akan membawa sebuah pengharapan untukku bahwa Arthur akan datang.

Namun, apakah harapan itu masih ada?

Walaupun tak begitu yakin, aku tahu masih ada sedikit harapan untuk kembalinya Arthur. Ia tak mungkin mati konyol hanya karena dua panah busur. Arthur adalah pria tangguh, ia tidak cukup bodoh hanya untuk mati dengan cara demikian.

Seketika angin berhembus kencang, membuatku teringat akan Sherina yang masih bersemayam di dalam tubuhku.

"Bagaimana kondisimu?"

Tak lama setelahnya, Sherina menyahut. "Aku baik. Luar biasa baik. Dan aku sangat yakin bahwa kau tidak cukup baik untuk mengatakan bahwa kau baik-baik saja."

Aku pun terkekeh. "Apa yang kau coba bicarakan? Aku tidak mengerti."

"Lupakan." Ujarnya yang kemudian ikut terkekeh. "Apa kau sudah mendapat kabar perkembangan Arthur?"

Mendadak ulasan senyuman serta kekehan itu menghilang dari wajahku. "Belum."

"Apakah aku terlambat jika aku mengatakan aku bisa menghidupkan kembali seseorang yang sudah meninggal?"

Aku menggeleng pelan setelahnya. "Sekalipun aku tahu dari awal, aku tidak akan merepotkanmu dan aku tidak akan pernah melakukannya. Anggap saja aku sedang memberikan Arthur istirahat dan membiarkannya berhenti mengkhawatirkanku."

"Athenna, tapi kau—"

"Aku memang tidak baik-baik saja, biarkan seperti ini untuk sesaat. Biarkan aku berjuang untuk Arthur."

.
.
.

Gaun berwarna merah yang sangat pas di tubuhku membuat seluruh pandang mata tak terlepas dariku. Ditambah dengan rambut silverku yang kubiarkan tergerai serta sedikit polesan make up—yang pernah Aidyn ajarkan.

Ardeen berdiri tepat di sisi kiriku sembari memegang bantal kecil berwarna hijau yang di atasnya terdapat jubah berwarna hijau. Dan di sebelah gadis itu ada Nick yang ikut membawa bantal berwarna hijau, namun ia membawa sebuah mahkota.

Raja Ethan—ayah dari Nick serta suami Alina—yang kini tengah berjalan mundur setelah mengakhiri pidato singkatnya, berdiri di dekatku. Ia mengisyaratkan Ardeen untuk mendekat dan memberikan jubah itu kepada Sang Raja.

Pria yang berstatuskan sebagai ayah Nick pun meraih jubah berwarna hijau itu yang kemudian ia pasangkan untukku. Sebuah kancing berwarna emas pun ia sematkan di dalam lubang kancing. Setelahnya ia meraih rambutku dan mengeluarkannya dari dalam jubah.

Kemudian Ardeen berjalan mundur, bergantian dengan Nick yang kini mendekati Sang Ayah. Raja Ethan pun kembali meraih mahkota tersebut, meletakkannya tepat di atas kepalaku kemudian tersenyum.

Kali ini aku berjalan maju, membiarkan seluruh penduduk Azurea melihat jubah serta mahkotaku yang kini telah menandakan sebuah pemerintahan baru.

"Sesungguhnya aku ingin bercerita banyak kepada kalian. Namun sepertinya waktu memaksaku untuk lebih cepat." Mulaiku seraya mengedarkan pandangan. "Sebelumnya aku berterima kasih kepada Raja Ethan yang bersedia untuk memberikanku sebuah gelar Ratu yang jika aku pikir kembali aku belum pantas mendapatkannya. Dan terima kasih juga karena tidak menghukumku, Raja." Lanjutku kemudian membungkuk ke arah raja sejenak.

"Aku memiliki empat hal yang ingin kusampaikan. Pertama, aku adalah reinkarnasi dari Jevier." Ujarku yang lantas membuat para penduduk Azurea saling bertatapan terkejut dan berbisik-bisik. "Cukup. Aku bisa menjelaskan lebih banyak suatu saat. Kemudian kedua, karena aku telah kehilangan sosok yang sangat kusayangi, aku ingin pack Red Fire dan Jezac bersatu.

Sebagai Luna dari pack Red Fire dan Ratu dari pack Jezac, aku memutuskan untuk menggabungkan keduanya. Kalian adalah darahku. Dengan bersatunya kalian akan membuatku, dan Ave, lebih kuat.

Ketiga, maafkan aku jika pernah membuat kalian resah dan marah. Kuakui aku bersalah karena telah nyaris membakar hutan dan tidak berperilaku sopan saat pelatihan elemen. Aku minta maaf. Aku kehilangan kendaliku karena segala macam hal yang tidak kuketahui sebelumnya.

Dan terakhir, sebagai seorang Xave yang akan melindungi kalian dari ancaman Nightmare dan Darkmoon, aku mohon untuk saling mempercayai satu sama lain. Sekalipun itu dengan ras lain, jalinlah hubungan karena itu akan membuat kita semakin kuat. Aku dapat merasakan segalanya jika kalian berhubungan dengan baik. Terima kasih."

Sorak sorai pun mengembangkan senyumanku sembari terus menatap satu persatu wargaku. Membuat perasaan senang memenuhi diriku hingga sebuah telepati menghancurkan segalanya.

"Luna, alpha menghilang."

To be continue

Bagaimana?wkwkwk jangan lupakan vomment OuO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro