Duatiga [Repost]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf karena ga ngepost hari jumat ;; seperti apa yang pernah dibilang, aku lagi sibuk2nya pelatihan sama uas. Mohon dimaklumi ;;

Enjoy~

Luna 's POV

Setelah ungkapan emosionalku berakhir dan pertemuan singkat dengan Ratu Xave Liona di perpustakan, aku dan Arthur pun kembali menuju pekarangan istana. Bermaksud untuk bertemu dengan Sherina dan melanjutkan perjalanan.

Namun gadis itu tak ada di sana, pun Seth. Membuatku mendesah panjang serta Arthur yang merengkuh tubuhku dari samping. Arthur mengusap lenganku, mengatakan bahwa Sherina akan segera datang yang langsung terkabulkan detik itu juga.

Gadis itu terlihat sangat ceria, wajahnya berseri dan kedua matanya menyiratkan sebuah kehidupan. Aku tersenyum tipis saat kusadari tangan gadis itu menggenggam tangan Seth erat, yang entah kenapa membuat hatiku sesak.

Aku bersalah.

Aku membuat Sherina kehilangan tubuhnya. Aku membuat pasangan itu menderita hanya karena aku dan Sherina masih belum bisa berpisah. Kami harus tetap menempel.

"Seth." Panggil Arthur yang lantas membuat pria itu menundukkan kepalanya setelah berdiri tepat di depan Arthur.

"Ya, Alpha?"

"Kau baik-baik saja dengan Xeraphin?"

Pria itu mengangguk mantap. "Tentu, Alpha."

Sherina pun terlihat tersenyum malu, ia bahkan ikut menundukkan wajahnya. "Maaf jika aku mengganggu waktu kalian, Seth, Xeraphin." Selaku saat Arthur hendak kembali berbicara.

Cepat-cepat Seth menggeleng. "Tidak, Luna, seharusnya aku berterima kasih kepadamu karena bersedia memberikan waktu untuk kami bertemu."

Aku mengangguk, menggigit bibir bawahku ragu seraya mendongak menatap Arthur. Pria bermata biru laut itu tengah menatapku, kedua matanya menyiratkan hal yang lain dan entah kenapa menghantarkan sebuah kesedihan.

Ada apa denganku?

"Baik, Xeraphin, sudah waktunya untuk pergi." Ujarku masih menatap Arthur.

Detik berikutnya Arthur membawaku ke dalam dekapan hangatnya sembari mengusap puncak kepalaku lembut. Aku membalas pelukannya erat, seakan tak ingin melepas pelukannya yang terasa sangat aman dan tak ingin berada jauh darinya lagi.

Aku tak mau jauh darinya.

"Aku juga tak mau jauh darimu, sayang."

Setetes air mata sukses membasahi pipiku. Membuatku menarik napas panjang kemudian menghelanya perlahan. "Jangan berhenti mengawasiku."

"Tentu. Aku tak akan melepas pandanganku darimu."

Aku kembali mengangguk, mengeratkan pelukanku pada pria itu sejenak sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu dengan enggan. "Jangan lukai dirimu lagi, Arthur."

Arthur terlihat mengangguk dengan rahangnya yang menegang. "Kalian juga."

Perlahan-lahan pendar cahaya mulai mengitari kaki hingga kepalaku, membuat Sherina kembali terhisap ke dalam tubuhku dan mengubahku menjadi wanita berambut silver serta mata berwarna merah darah.

Kedua tungkaiku pun berjalan mundur. Berjalan menjauh dari kedua pria yang tengah menatapku dan Xeraphin dengan wajah yang tegang. Diam-diam mereka pasti tidak setuju dengan keputusan yang telah mereka buat.

Flashback

"...Terima kasih banyak."

"Luna."

Aku menunduk, menyembunyikan wajahku saat suara yang sangat familier terdengar. Sekilas dapat kulihat Arthur menolehkan kepalanya ke belakang dan langsung terkejut saat ia mendapati Ratu Xave Liona di sana.

Dengan segera aku menyeka jejak-jejak air mata yang tersisa, kembali mendongakkan kepala dan menatap kedua mata sang Xave. "Pertama?"

"Keputus asaanmu entah mengapa membuatku terpanggil kemari, Luna." Aku melirik ke arah Arthur sejenak yang kini tengah meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Maaf jika itu mengganggumu, Pertama."

"Liona, panggil saja seperti itu." Kuanggukkan kepalaku. "Panggil Xeraphin dan Seth kemari. Kita berlima perlu berbicara."

Sekali lagi aku mengangguk, memberikan telepati kepada Sherina dan Seth untuk segera datang. Tak lama, pasangan itu pun telah membuka pintu, berjalan dengan kikuk ke arah kami saat mendapati Ratu Liona sedang berdiri di dekat kami.

Sherina serta Seth pun duduk di seberang bangku kami. Membuat Liona berjalan menuju kepala meja dan menarik salah satu bangku. Beliau terduduk di sana, kedua tangannya ia letakkan di atas meja sembari bertautan.

Arthur memutar arah tubuhnya walaupun tangan kami tetap bergandengan. Setelahnya aku menarik bangkuku untuk mendekat ke arahnya dan memeluk lengan pria itu erat.

"Aku senang mengetahui keputusanmu untuk mempertemukan Xeraphin dengan Seth, Luna."

Aku hanya mengangguk.

"Namun sayangnya aku membawa hal yang tak begitu menyenangkan untuk kalian dan harus disetujui oleh seluruh pihak." Lanjut Liona yang lantas membuat Arthur mengeratkan genggamannya.

"Satu, perang akan terjadi pada saat bulan menghilang yaitu delapan hari lagi.

Dua, Xave tidak boleh bersentuhan secara fisik ataupun cara lainnya dengan pasangannya terhitung sejak gerhana bulan biru-besok-hingga sehari sebelum perang.

Tiga, Xave akan menjalani hari yang semakin berat selama seminggu ke depan.

Empat, Arthur dan Seth tidak boleh memperhatikan Luna serta Xeraphin secara langsung demi keberhasilan pemisahan jiwa.

Dan kelima, kalian harus menghadiri pesta dansa di Cygnus yang akan dilaksanakan setelah proses pemisahan jiwa selesai."

"Pesta dansa?" Tanya Xeraphin yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Liona. "Bagaimana caranya? Kami bahkan tidak boleh bersentuhan dengan pasangan kami?"

Liona pun mengangkat bahunya sejenak. "Orang lain. Aku mengatakan kau dan Luna tidak bisa bersentuhan dengan pasangan kalian, bukan orang lain."

Aku pun menjatuhkan kepalaku di bahu Arthur, membuat pria itu melepaskan genggaman tangannya dan merengkuh tubuhku untuk lebih dekat dengannya.

"Bagaimana jika aku tidak mau melakukannya?" Tanya Seth seraya menatap dagu sang Xave.

"Maka dunia ini akan hancur, Seth, kekasihmu itu adalah seorang Xave juga."

"Xave juga?" Kedua mata Seth terlihat terbelalak, membuatku memejamkan mata seraya menenggelamkan wajahku pada bahu Arthur.

"Ya, itu kenyataannya."

Tangan hangat Arthur pun mengusap kepalaku. "Aku setuju, selama Luna tidak harus bersentuhan dengan pria lain."

"Itu bisa diatur." Jawab Pertama cepat. "Luna bisa berdansa dengan Ratu Xerafina atau anak perempuannya."

Kurasakan pria ini mengangguk. Dan percakapan selanjutnya yang terdengar adalah antara Seth dan Pertama. Pria yang berstatuskan bawahan Arthur itu merasa sangat tidak setuju dan begitu khawatir terhadap apa yang akan terjadi dengan Sherina. Ia tipe pria yang sangat protektif.

Namun detik berikutnya dapat kurasakan percakapan itu menghilang dalam sekejap. Membuatku bertanya-tanya apakah aku kembali tak sadarkan diri atau bagaimana?

"Nikmati waktumu yang tersisa, Luna." Telepati Liona barusan sontak membuatku membuka mata.

Kejadian selanjutnya yang dapat kumengerti adalah Arthur tengah menciumku. Kedua tangannya merengkuh wajahku dan bibirnya sedang mencium lembut bibirku.

Aku tahu bahwa jauh di dalam diri pria ini ia ingin sekali berteriak di depan wajah Liona bahwa ia tak setuju. Seakan mengatakan bahwa biarkan saja Ave hancur sehingga kami berdua dapat hidup dengan tenang.

Namun, lagi-lagi, ia menahannya.

Perlahan aku mengalungkan tanganku pada leher Arthur, membalas ciumannya dan membiarkan seluruh penat di benakku tersalurkan pada ciuman kami. Berharap Arthur akan mengerti apa yang tengah kurasakan sehingga ia tidak akan bertindak bodoh.

Flashback end.

Perlahan tubuhku berbalik, membelakangi dua pria yang sedang mematung di pekarangan istana kemudian berlari secepat mungkin dengan kekuatan vampir yang Sherina miliki.

"Ke arah Selatan. Setelah rumah pack Blackmoon terlihat, ambil kanan." Gumamku yang bertujuan untuk memberitahu Sherina.

Kurasakan kepalaku mengangguk, gadis ini mempercepat larinya dan sesekali melompati batang pohon yang telah tumbang hingga tertutupi salju. Napasku menderu, uap putih bahkan terlihat keluar dari mulutku.

Seketika Sherina pun mengendus sesuatu, membuatku ikut merasakan apa yang tengah ia rasakan dan mendapati aroma anjing tak jauh dari sini. Ia mengira kita musuh, bodoh.

Dalam sepersekian detik, serigala-serigala itu telah berada tak jauh dari kami. Sang alpha-yang memiliki tubuh paling besar-terlihat menggeram ke arah kami dengan beberapa pengikutnya di belakang.

Kami memutuskan untuk berhenti berlari, mengangkat kedua tangan ke udara seraya mengubah warna mata yang sepertinya akan menjadi identitas kami.

"Maaf, aku tidak bermaksud apapun." Ujarku saat Sherina telah berhenti menguasai tubuhku dan sesosok Luna kembali mengambil alih. "Aku lupa, maaf, Alpha."

Sang alpha pun berhenti menggeram, ia berjalan ke arahku sembari mengendus tubuhku sesekali. Mungkin jika ada Seth atau Arthur di sini, kujamin serigala ini tak lagi dapat berjalan dengan normal detik ini juga.

"Oh, Xave Lalluna, sebaiknya Anda tidak melakukan itu lagi." Ucap sang alpha setelah mengubah dirinya menjadi manusia dan membungkuk. "Apa Anda butuh bantuan?"

Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku sudah nyaris sampai."

"Baiklah. Sebaiknya Anda berhati-hati, Xave Lalluna, langit akan menggelap beberapa jam lagi."

Aku tidak menjawab, hanya menganggukan kepalaku kecil kemudian mengembangkan sayapku agar dapat lebih cepat sampai.

Detik berikutnya kedua sayapku mulai mengepak, membawaku hingga gerbang perbatasan-yang seharusnya menjadi pintu keluar bagi ras lainnya namun tidak bagi para vampir-dan menurunkanku sehingga kedua tungkaiku tenggelam di antara salju.

Para penjaga pun membukakan pintu gerbang secara perlahan, membuatku bertanya-tanya karena yang kulihat hanyalah lahan kosong dengan hamparan salju.

Namun selanjutnya aku kembali melangkahkan kaki, melewati batas daerah Xilvonia dan langsung mengubah diri menjadi seorang vampir. Bagaikan lensa buram yang tengah mencoba fokus, pepohonan yang telah tertutupi salju pun terlihat, membuat lengkungan di wajahku mengembang puas.

Perlahan namun pasti, aku berjalan lebih dalam di antara pepohonan tersebut. Mengikuti instingku yang terus membawaku ke arah Timur. Sesuatu membuat kami-aku dan Sherina-tertarik ke sana, seakan-akan ada sesuatu yang menanti.

Setelah menghabiskan waktu sekitar lima menit, aku dapat merasakan kehadiran orang lain di sekitar kami. Membuatku hendak berlari namun langsung dicegah saat seorang gadis yang pernah kulihat sebelumnya dengan beberapa pria dan gadis lainnya menampilkan diri.

"Luna, senang kau telah datang."

Aku mengerjap, memperhatikan gadis itu lekat-lekat hingga sebuah nama melintas di benakku. "Savanna?"
Gadis itu mengangguk. "Aku tahu kau tidak akan melupakanku." Ujarnya kemudian berjalan menghampiriku. "Kau akan bermalam di pack kami untuk sementara."

"Oh, aku hanya datang untuk-"

"Ini perintah Yang Mulia Xerafina, Luna."

Mau tak mau aku mengangguk, membuat gadis itu berbalik dan berjalan menjauh. "Ikuti kami."

Tak lagi berjalan, gadis itu berlari meninggalkanku. Disusul teman-temannya kemudian diriku yang berada cukup jauh dari Savanna. Entah untuk apa mereka berlari di dalam wilayah mereka sendiri, atau karena mereka menyadari tatapan aneh dari penjaga gerbang Xilvonia?

Masa bodoh.

Aku terus berlari, mengikuti Savanna yang sesekali memanjat pohon dan turun dengan cekatan. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa berlari di daratan tidak cukup aman bagi para pendatang baru, entah karena alasan apa, aku hanya menurut.

Setibanya di halaman belakang rumah seseorang, aku dapat merasakan kenyamanan yang langsung menyapaku. Seakan-akan aku telah berada di daerah ini beberapa tahun, pergi untuk sekian lama dan kembali lagi pada akhirnya.

"Ini rumah pack. Bluemoon." Ujar seorang gadis yang sangat mirip dengan Savanna. "Kau akan bermalam di sini."

"Bersama kalian?" Tanyaku saat kulihat Savanna membuka pintu belakang rumah dan meninggalkan kami berempat.

"Ya, tentu." Jawabnya lagi. "Omong-omong aku Lalisa Charlotte. Adiknya Savanna."

Wow. Keduanya memang sangat mirip dengan Raja Xavier.

"Aku Rion." Sahut seorang pria bermata hijau zamrud.

"Ash." Pria lainnya menyahut, dengan ekspresi datar.

Aku mengangguk. "Lalluna, panggil saja Luna."

Lalisa terlihat tersenyum, ia mengapit lenganku kemudian membawaku masuk ke dalam rumah pack. "Aku tahu. Xave Ketiga. Mate dari alpha tampan yang ada di Maegovanen-"

"Lisa."

Aku tersenyum setelah mendengar ucapan Lalisa yang disela oleh Rion. Membuatku sangat yakin bahwa keduanya adalah pasangan vampir muda.

Namun Lalisa terlihat tidak menghiraukan Rion, ia justru semakin menarikku ke dekatnya dan mendekatkan bibirnya pada telingaku. "Alpha Arthur memang sangat tampan. Kau sangat beruntung memilikinya, Luna. Aku sempat-"

"Lisa, hentikan." Kali ini sang kakak yang berbicara. "Jangan membuat Luna merasa tidak nyaman dengan sikapmu. Biarkan ia duduk."

Aku terkekeh, membalas apitan tangan Lalisa kemudian membalas ucapan Savanna. "Aku baik-baik saja, Sana."

"Sungguh?" Savanna pun menatapku dari sofa yang tengah ia duduki.

"Tentu."

Lalisa menyengir, menampilkan gigi rapinya seraya membawaku menuju sofa yang tengah Savanna dan beberapa vampir lainnya duduki.

Aku duduk tepat di samping Savanna dan Lalisa, membuat sang kakak memutar arah tubuhnya dan menatapku lurus. "Jadi apa tujuanmu kemari?"

"Mengumpulkan kawanan, tentu saja."

"Berapa yang kau butuhkan?"

"Sebanyak mungkin."

"Untuk?"

Aku terdiam sejenak. "Peperangan dengan sang Kegelapan, pada malam bulan menghilang."

Udara di sekitarku pun menegang. Tatapan-tatapan tidak percaya dan kesedihan pun mulai terlihat, membuatku menelan saliva dengan berat kemudian menatap Savanna yang masih menampilkan air wajah yang santai.

"Bagaimana?"

Savanna terlihat terdiam sejenak, ia melipat kedua tangannya di depan dada serta kedua matanya terpejam. "Bisa, tentunya, selama kau berani menjamin bahwa tidak akan ada pembantaian pada kaum vampir lagi."

"Aku berani menjaminnya. Jika aku melanggar, kalian bisa memenggal kepalaku."

Salah satu sudut bibir Savanna pun tertarik ke atas. "Itu keputusan yang berani, Ratu Xave."

Aku mengangkat kedua alisku sejenak seraya menganggukkan kepala. Detik berikutnya Savanna membuka mata dan menampilkan bola mata berwarna hitamnya yang begitu pekat. Sial, pemakan segalanya.

Ras paling jarang yang disebutkan dalam buku yang aku baca di perpustakan Xilvonia tadi. Dalam buku itu dikatakan bahwa "pemakan segalanya" adalah ras terbrutal dan sangat sulit diatur.

Walaupun ras Hitam termasuk ras yang jarang berburu-dalam 100 tahun hanya berburu sebanyak dua hingga enam kali, mereka akan sangat rakus jika sudah waktunya berburu. Mereka tak kenal teman, jadi sebaiknya selama waktu itu berlangsung, berjauh-jauhlah dengan Hitam.

Gadis itu bangkit dari duduknya, namun kedua matanya tak lepas dariku dengan sorot menantang. "Tunjukkan padaku apa yang kau miliki hingga begitu berani mengambil keputusan seperti itu."

Lagi-lagi aku mengangguk, melepas apitan tanganku dengan Lalisa kemudian berdiri tepat di hadapan Savanna. "Apa yang aku dapat jika aku menunjukkannya padamu?"

"Aku. Packku. Kawanan."

"Tantangan diterima."

Aku membengkokkan kakiku, mendesis ke arah Savanna seraya menajamkan kedua taringku. Gadis itu membalasnya, menatapku penuh kelaparan hingga aku tersadar bahwa aku dan Sherina tengah bekerja sama.

"Bodoh, seharusnya aku mengambil alih seluruh tubuhmu."

"Berbagilah denganku, bodoh, anggap saja latihan."

Walaupun berbagi tubuh, aku dapat melihat kedua mataku tetap berwarna merah darah. Namun hal terduga berdampak pada rambutku yang kini menampakkan warna hitam di ujung rambut. Dan mereka semua dapat melihatnya.

Kami terus mendesis kepada satu sama lain. Savanna berjalan mundur untuk memberikan sedikit jarak bagi kami kemudian ia membuka mulutnya lebar-lebar.

Gadis itu melompat ke arahku dengan taring-taringnya yang menajam. Tak merasa terkejut, aku pun melayangkan tinju untuk rahangnya yang berhasil ia hindari dan disusul dengan tinjuan di perut yang berhasil membuatnya terkapar jatuh di lantai.

Namun dengan segera ia meraih pergelangan kakiku, menarik tubuhku hingga terjatuh dengan tulang ekor terlebih dahulu dan sebuah dentingan bahaya memenuhi diriku.

Bayinya.

Aku menatap Savanna marah, meraih lehernya dengan sekuat tenaga kemudian membantingnya menuju lantai. Ubin itu pun menjadi retak dan semakin retak saat aku terus menekan Savanna pada lantai hingga membuat kedua tangannya mencoba melepaskan genggamanku.

Lagi-lagi aku berdesis, siap untuk menghisap darahnya namun kedua mata hitam Savanna berubah menjadi hijau dalam sekejap.

"Kau menang." Ujarnya tanpa suara yang membuatku melepaskan genggaman pada lehernya. "Itu cukup berbahaya. Seharusnya aku tidak menarikmu."

"Kau tahu itu dan tetap melakukannya?" Kali ini aku menggeram, mengepalkan kedua tanganku dan sudah siap untuk melayangkannya menuju rahang Savanna.

"Aku minta maaf." Gadis itu mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Aku tidak bermaksud melukai bayinya."

"Sial."

Aku bangkit dari posisiku, mengulurkan tangan pada Savanna yang langsung disambut oleh gadis itu. Setelahnya kutarik tubuh gadis itu ke arahku, menepuk bahunya beberapa kali sebelum akhirnya melepaskan genggaman kami.

"Beruntung kau adalah Charlotte, aku kenal dekat dengan ibumu."

Savanna mengangguk kecil, mengalihkan pandangannya menuju kawanan packnya kemudian berucap. "Itu adalah emosi yang luar biasa, bukan? Jadi siapa yang akan ikut denganku membantu Xave Ketiga?"

.
.
.

Kudaratkan bokongku pada bangku taman yang langsung terarah menuju bulan. Setelah menyeleksi anggota pack untuk masuk ke dalam kawananku dan mendengarkan perdebatan dingin antara Savanna dan Ash-pria yang berekspresi datar, kepalaku menjadi penat.

Lalisa mengatakan padaku bahwa Savanna dan Ash adalah sepasang vampir yang sulit untuk disatukan. Walaupun keduanya adalah belahan hidup masing-masing, Ash masih belum bisa menerima sesosok serigala yang berada di dalam tubuh Savanna.

Dan itu mengingatkanku pada Arthur.

Ya, Arthur.

"Mencariku?"

Aku tersenyum. "Ya, aku mencarimu."

"Mendongaklah."

Detik berikutnya aku mendongak, menatap rembulan yang mulai tertutupi oleh awan. Perlahan-lahan aku dapat melihat sebuah cahaya oranye melesat di antara langit malam, semakin banyak hingga akhirnya menampakkan tulisan "Bagaimana dengan Astra?"

Aku tertawa, terus menatap langit malam kemudian menunjuknya. Sebuah cahaya pun melesat dari ujung jari telunjukku, meledak di angkasa layaknya sebuah petasan kemudian membentuk sebuah kalimat "Aku sangat menyukainya."

"Kurasa itu akan menjadi kembar perempuan dan laki-laki."

"Aku masih suka Xlavira."

"Xlavira dan Astra kalau begitu."

"Luna?"

Aku menoleh, mendapati Savanna yang tengah berdiri tak jauh dariku dengan sebuah mantel di tangan kirinya. Ia pun berjalan ke arahku, duduk tepat di sampingku kemudian memberikan mantel yang ia pegang kepadaku.

"Apa kau sedang berbicara dengan Alpha Arthur?"

Kedua alisku terangkat seraya mengangguk kecil. "Ya, ada apa?"

"Aku ingin meminta maaf."

Aku tersenyum tipis, menepuk bahunya tiga kali kemudian meraih mantel yang ia berikan. "Aku tahu. Beban sedang menimpamu habis-habisan dan aku juga salah karena terlalu emosional."

Savanna menggeleng. "Seharusnya aku bisa membedakan pekerjaan dan pribadi."

"Jadi kau sedang membicarakan Ash?"

"Tidak." Sergah Savanna yang lantas membuatku tertawa dan mengalihkan pandanganku darinya.

"Tidak salah lagi? Dari caramu berbicara dengannya dan berada satu ruangan dengan Ash, aku dapat merasakannya dengan jelas bahwa ada sesuatu."

Savanna terdengar mendesah panjang. "Boleh aku mengutarakan sesuatu?"

Aku mengangguk seraya menatap kedua matanya yang mulai menyiratkan keraguan. "Tentu, apapun itu."

Gadis ini terlihat terdiam sejenak, ia menunduk kemudian kembali mendongak dan menatapku. "Sesuatu yang begitu familier mengalir dengan mantap saat aku bertemu denganmu pertama kali. Suatu rasa yang begitu nyaman dan anggapan bahwa kau seperti kakakku mulai terasa sejak kita bertemu di ruang makan."

"Aku rasa kita seumuran, Sana."

"Beda beberapa bulan, kurasa."

"Namun kau ada benarnya." Ujarku yang lantas membuatnya mengangkat kedua alis. "Aku merasakan hal yang sama. Seakan kau adalah saudaraku. Mungkin karena leluhurmu adalah Xave?"

Savanna terlihat tersenyum dan mengangguk setuju. "Kau benar, mungkin karena itu."

"Oh, aku memiliki suatu pertanyaan." Aku berdeham. "Apa yang terjadi saat gerhana bulan biru?"

"Itu adalah ritual suci yang dilakukan oleh seluruh masyarakat Ave. Dimulai dari zaman Xave Liona. Dari cerita yang pernah kubaca, dulu ada sepasang kakak beradik yang memiliki pengendalian elemen, salah satunya adalah calon ratu Azurea karena ia dapat mengendalikan darah dan pada malam gerhana bulan biru akan direncakan pernikahan untuknya.

Sang kakak yang saat itu, pagi hari sebelum gerhana bulan biru, tengah menemani adiknya berlatih, harus melihat kenyataan mengenaskan tepat di hadapannya. Sang adik yang sedang berlatih mengendalikan elemen darah sendirian-tanpa pembimbing atau apapun karena masih kurangnya pengetahuan-meledak dalam sekejap.

Salju yang menghiasi pekarangan rumah mereka pun dinodai oleh darah dan tubuh adiknya yang tak lagi berbentuk. Dengan segera sang kakak memanggil kedua orang tuanya, membuat ibu dari si kembar menangis histeris hingga pingsan tak sadarkan diri.

Ayah si kembar pun ingin membantu untuk membersihkan darah anaknya, namun sang kakak melarangnya dan meminta kepada siapapun untuk tidak menyentuh adiknya yang tak lagi berbentuk. Ia seharian terduduk di atas salju tanpa melakukan apapun, hanya menatap jasad adiknya dan noda darah yang mulai tertutup oleh salju.

Tak ada yang tahu apa yang dilakukan anak pertama keluarga itu selama 24 jam terakhir pada adiknya. Mereka hanya tahu bahwa sehari setelahnya, sang kakak meminta tolong pada kedua orang tuanya untuk membersihkan jasad sang adik dan semuanya berakhir begitu saja. Sang kakak beranggapan seperti tidak ada yang terjadi hingga pemakaman adiknya selesai.

Semenjak itu, untuk mengenang jasad sang adik, Raja Ave memutuskan untuk melakukan ritual suci dengan cara tidak menyentuh siapapun selama seharian penuh. Siapapun yang melanggarnya dengan sengaja, akan bernasib sama dengan sang adik."

Aku mengangguk mengerti. Merasa iba kepada kakak beradik tersebut yang harus menjalani kenyataan yang begitu pahit. "Aku merasa kasihan kepada keluarga mereka."

Savanna pun mengangguk. "Setidaknya sang kakak dan adik telah tenang sekarang. Mungkin mereka sedang berada di belahan dunia lainnya bersama-sama."

"Ya, sebaiknya seperti itu." Kuhela napas panjang. "Apa para vampir benar-benar tidak tidur?"

"Jika mereka hanya memiliki darah vampir, ya."

"Jadi kau bisa tidur?"

Savanna mengangkat kedua bahunya. "Bisa jadi. Kau?"

"Tentu, aku masih bisa tidur."

"Berniat tidur di kamarku?"

Aku tersenyum, mengangguk pelan kemudian menatap rembulan yang semakin meredupkan cahayanya. "Aku masih ingin di sini. Kau duluan saja."

Gadis itu mengangguk, beranjak dari posisinya kemudian masuk ke dalam rumah.

Aku menghela napas panjang, kembali teringat akan Arthur yang seharusnya kini sedang memeluknya erat. "Kau di sana?"

Tak ada jawaban untuk beberapa saat. "Aku di sini."

"Aku merindukanmu."

"Begitu cepat?" Kemudian ia terdiam. "Kita akan bertemu lima hari lagi, sayang. Tunggu sedikit lagi, oke?"

Aku hanya bergumam. Menjadi malas dalam sekejap dan tak ingin berbicara lagi pada pria itu. Cerita tentang ritual pada gerhana bulan biru tadi terngiang di benakku. Kisah itu berputar-putar di benakku dan membawaku menuju sensasi lainnya yang begitu familier.

Jika itu berada di zaman Xave Liona, seharusnya aku ada di sana dan tahu tentang itu. Namun kenapa aku tidak tahu sama sekali? Apakah karena jiwa Sherina masih menempel di dalam diriku hingga menutupi seluruh memori yang kupunya?

Atau aku telah meninggal lebih dulu sebelum kejadian itu?

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro