Duatujuh.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf telat update lagi ;;

Luna's POV

Saat Sherina hendak bangun, sesuatu menyentak tubuhnya dengan kuat. Membuat kembaranku itu meringis dan menghentikan aksinya untuk beranjak bangun.

Aku pun memegangi bahunya, membantu Sherina untuk kembali berbaring namun kali ini aku yang mendapat hentakan itu. Sherina menyadarinya, membuat tangan dingin gadis itu menyentuh salah satu tanganku di bahunya seraya berbicara.

"Ada sesuatu yang datang. Lebih baik kau duduk."

Aku menurutinya, duduk—bahkan berbaring—di atas sofa yang berada di belakangku. Kedua tanganku kuletakkan di atas perut, sementara mataku terpejam.

Seketika tubuhku seakan dihantam oleh sesuatu. Membuat tubuh bagian atasku sedikit terbangun sembari meringis kesakitan. Samar-samar aku dapat mendengar hal yang sama pada Sherina yang langsung mendapat kerutan di alisku.

Setelahnya aku kembali berbaring. Keringat pun mulai membasahi dahiku yang perlahan-lahan turun menyusuri wajah. Ditambah kedua kaki dan tanganku ynag bergetar gugup membuat produksi keringat yang dihasilkan semakin besar.

Lagi-lagi tubuhku tersentak saat suara para laki-laki dan wanita menggelayuti benakku.

"Kita harus melawan Anna dan menghancurkan tubuh ini."

"Tidak, kalian semua yang seharusnya dihancurkan."

"Salahkan Sky!"

"Bodoh, ada kakaknya di sini!"

"Sial, aku bahkan tak sudi menyebutnya adikku."

"Kau yang memimpin, Waki."

"Tidak! Aku yang memimpin!"

"Kau malah akan membunuh Athenna, bodoh!"

"Waki yang akan memimpin. Dan Vanessa yang akan melindungi tubuh Athenna beserta jiwa-jiwa tak berdosa yang berada di kandungannya."

"Athenna harus mati!"

"Sial! Dia mencoba melindungi kita dan kau ingin ia mati?!"

"Aku hanya ingin bebas!"

Dan suara-suara itu pun menghilang, tergantikan dengan cahaya terang yang menyinari kelopak mataku yang tertutup. Perlahan dapat kucium aroma bunga mawar hitam memenuhi ruangan, membuatku tersenyum tipis seakan tahu apa yang sedang menungguku.

Tepat setelah itu, kilasan kematian banyak orang tergambar di benakku dengan cara yang berbeda-beda. Walaupun sesungguhnya di dunia ini tak ada yang benar-benar pergi, jiwa-jiwa mereka hanya terhalang untuk kembali reinkarnasi akibat sihir Kegelapan.

Beberapa kematian yang sering kulihat adalah bunuh diri akibat putus cinta, kegagalan dalam meraih posisi dan insiden saat berlatih.

Ya, insiden.

Satu hal yang membuatku ngeri setengah mati saat melihat kilasan menyeramkan ini. Sekaligus mendapat pencerahan tentang jiwa-jiwa tersesat yang berada di dalam tubuhku.

Kami meninggal dengan cara meledak.

Persis seperti apa yang dikatakan dalam sebuah buku sejarah Pegasus yang mengatakan obsesi Sky untuk meledakkan tubuh seseorang agar dapat mengumpulkan jiwa yang kuat.

Dan dengan hipotesis sesedikit itu, entah mengapa aku dapat menarik kesimpulan bahwa Nightmare bukanlah 'mimpi buruk' bagi siapapun. Mereka hanyalah jiwa-jiwa yang tidak tahu menahu tentang pemanggilan jiwa sialan yang dilakukan oleh Sky.

Bahkan mereka tidak tersesat sama sekali! Mereka hanya ingin kehidupan baru yang layak dan lebih pantas mereka jalani dibandingkan yang dulu. Mereka ingin hidup.

Kemudian kilasan itu kembali lenyap, tergantikan dengan cahaya keemasan yang mulai menampilkan wajah seorang pria yang kukenali sebagai Nick, kemudian berganti menjadi Lauren—adik Nick, Sammy, Julius, Ratu Alina dan beberapa muka lainnya yang tak kukenali.

Tak berhenti sampai situ, wajah-wajah itu terus berputar di benakku. Seakan memaksaku untuk mengenal wajah-wajah ini untuk sesuatu. Tunggu, sesuatu?

Seketika aku teringat hal yang terasa sangat penting. Membuatku menggeleng-gelengkan kepala bingung dan mencoba mengingat hal tersebut. Hingga saat tampilan wajah itu kembali menunjukkan wajah Julius, aku membelalakan mataku seraya menganga tidak percaya.

Nick, Lauren, Julius, Sammy, Ratu Alina beserta dua wajah pria lainnya adalah keturunan Sky, sang kegelapan.

Jantungku berdetak kencang, napasku menjadi pendek dalam sekejap dan seluruh memori akan wajah Ratu Alina yang tengah menatapku kala itu membuatku merinding. Perasaanku benar. Aku tahu bahwa ia menyimpan sebuah kegelapan di balik wajah sialannya.

Namun Nick tidak menunjukkan sedikitpun kegelapan di dalam dirinya. Atau akunya saja yang tak pernah melihatnya?

Pria itu memang baik. Ia selalu membelaku di saat Ratu Alina mulai memaksakan kehendakku dan menyerangku secara fisik. Nick memang selalu di sisiku saat itu—memastikan bahwa aku baik-baik saja dan hidup.

Jika dirimu buruk rupa, bukan berarti itu akan menghasilkan keturunan yang burup rupa juga.

Aku baru menyadari ini. Kata-kata Nick saat itu, di malam aku berbaring di rerumputan Azurea sembari menatap langit, memiliki arti lain. Aku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu. Namun ratu sialan itu memiliki elemen udara hingga mungkin saja ia dapat mendengarnya.

Memiliki elemen udara hingga mungkin saja ia dapat mendengarnya.

Memiliki elemen udara hingga mungkin saja ia dapat mendengarnya.

Tubuhku menegang dalam sekejap. Membuat segala kilasan, memori dan hipotesisku hilang dan tubuhku langsung terbangun.

Kedua mataku terbuka dengan sekali hentakan, kemudian langsung beranjak bangkit dari sofa yang mendapat penolakan dari seluruh tubuhku.

Kakiku bergetar, tanganku mendingin dan tubuhku limbung. Pandanganku bahkan memburam untuk sekejap hingga pada akhirnya aku berhasil mengambil kendali atas diriku dan mendapati Sherina masih tertidur dengan pendar cahaya yang mengitari kepalanya.

Aku tak peduli. Kulangkahkan tungkaiku cepat ke arah pintu dan terhisap keluar. Detik berikutnya aku langsung berlari menuju lantai atas dan mencari Arthur dengan tergesa-gesa.

Sembari berlari, aku mencoba memberikan telepati pada pria itu. Sialnya Arthur sama sekali tak menyahut dan membuatku frustrasi setengah mati.

Aku sudah berkeliling Istana hingga kepekarangannya saat tiba-tiba perutku bergemuruh dan menyentak dengan keras. Membuatku terjatuh bersimpuh tepat di atas rerumputan sembari memegangi perutku yang terasa nyeri.

Kutekan perut bagian bawah dengan tenaga yang tersisa seraya menggigit bibir bawahku menahan ringisan. Aku menahan napas, meremas rerumputan dengan tanganku yang terbebas sembari sesekali menyerah untuk menahan erangan.

Napasku menderu hingga satu-satunya yang dapat kudengar hanyalah suara napasku. Pandanganku kembali memburam, berputar-putar mengelilingiku hingga samar-samar dapat kulihat seseorang bersimpuh di depanku.

Aku tak dapat mendongak. Tenagaku tidak cukup kuat untuk menahan rasa nyeri di perutku sembari mendongak. Hingga tiba-tiba, dapat kurasakan sesuatu membasahi kakiku, membuat seseorang di hadapanku meraih tubuhku dan menggendongnya dengan bridal style.

Walaupun aku tak dapat melihat pria ini dengan jelas, dapat kupastikan ia bukanlah Arthur. Kehangatan yang ia berikan sangat berbeda, terasa begitu asing dan tidak membuatku begitu nyaman.

"K.. ..man ..er....ku, L..a." Entah pria ini mengatakan apa, aku hanya dapat mempercayainya bahwa ia akan membawaku menuju dalam Istana.

Tepat setelah kurasakan tubuhku menyentuh ranjang empuk, pintu yang berada tak jauh dariku kembali terbuka dan menampakkan manusia lainnya.

Aura di sekitarku pun menjadi tegang dalam sekejap, membuat seseorang itu menghampiriku dengan tergesa-gesa kemudian menyentuh perutku beberapa kali.

"Maaf, Luna, aku tidak bisa menolongnya." Telepati seseorang, yang kuyakini Cheryl, padaku.

Dapat kurasakan aku tersenyum tipis bersamaan dengan air mata yang terjatuh dari kedua sudut mataku. Membuat Cheryl mengusap pipiku seraya kembali mengirimkan telepati.

"Maafkan aku, Luna, aku selalu memgecewakanmu."

Aku terdiam. Tak berniat untuk membalas ucapan Cheryl dan hanya ingin sendiri. Namun seketika, keinginanku untuk berdiam diri harus segara kutepis dan mengucapkan sebuah perintah pada Cheryl.

"Angkat janinnya sekarang juga."

Cheryl hendak menolak, namun dengan segera ia mengangguk dan melakukan sesuatu. Seraya Cheryl membedah perutku—setelah sebelumnya membiusnya, dapat kurasakan seseorang mengusap puncak kepalaku.

Rahasiaku berdua dengan Arthur telah terbongkar kepada pria ini. Walaupun sekarang aku sudah tidak begitu peduli dengan seluruh rahasia yang telah kututup rapat-rapat.

Aku mengerjapkan mata, berusaha untuk tetap terjaga sembari mengembalikan pandanganku yang masih memburam sejak tadi. Setelah menunggu sekian lama, perlahan pandangan sekitarku mulai membaik, menampilkan wajah cemas Cheryl beserta Karl dan Ardeen, yang berdiri di dekat pintu, serta Seth yang berada di sampingku.

Lagi-lagi air mataku terjatuh, namun kali ini hanya mata kananku yang memproduksinya. Entah mengapa aku merasa bahagia di saat-saat seperti. Membuatku merasa bahwa masih ada orang-orang di luar sana yang menginginkan keberadaanku di sisi mereka dan bersedia menemaniku di kala susah.

Namun aku menyia-nyiakan mereka.

Tersadar akan perilakuku yang hanya memanggil mereka di saat aku membutuhkan. Tersadar akan perilakuku yang pernah begitu kasar terhadap mereka dan 'sok' baik. Aku berlebihan. Dan mereka masih ada di sisiku.

"Selesai, Luna."

Aku mengangguk, menggigit bibir bawahku menahan tangis seraya menatap Cheryl menyesal. "Aku— aku ingin," Aku menarik napas. "Aku ingin minta maaf."

Cheryl terdiam, ia terlihat menundukkan wajahnya sembari memejamkan mata.

"Aku bodoh. Aku— aku baru tersadar bahwa kalian salah satu bagian terpenting dari kelangsungan hidupku. Dan aku, aku telah menyia-nyiakan kemampuan kalian. Maaf Cheryl, Ardeen, Karl, Seth."

Seth terlihat mengangguk, membuatku menoleh dan menatap ke arahnya. "Tidak ada yang perlu kau mintai maaf, Luna. Dengan tetap menjadi Luna kami dan bersama kami, kami akan selalu berada di sisimu."

"Seth benar, kau tidak salah, Luna." Tambah Karl.

"Dan memang sudah tugas kami untuk menjagamu, Luna, kau adalah ratu kami." Lanjut Seth yang lantas membuatku mengangguk dan merentangkan tanganku dengan lemas.

"Pelukan kelompok?"

Semua pandangan terlihat menatap ke arahku, membuatku tersenyum lebar  yang di balas dengan anggukan kepala masing-masing dan meraih tubuhku untuk berpelukan.

.
.
.

Aku menelan ludah berat sembari berlari mengitari hutan Selatan yang terkenal dengan kehidupan gelap yang akan berkeliaran di malam hari. Dan sialnya, ini sudah tengah malam.

Aku mengepalkan kedua tanganku erat, menahan emosi yang terus melunjak saat ratu sialan itu mengatakan bahwa Arthur berubah menjadi seekor Phoenix. Dan aku mempercayainya. Karena aku tahu Ratu Alina tidak pernah bermain-main dengan kalimatnya.

Pandanganku pun menangkap sosok sang Phoenix dengan bantuan kedua mata Leah. Membuatku memantapkan hati untuk melihat Arthur dalam bentuk Phoenix.

"Arthur?" Lirihku seraya memperlambat laju kaki dan berhenti tepat di belakang semak-semak yang menjadi perantara antara aku dan sosok Arthur yang tengah memakan sesuatu.

Makhluk itu menoleh, seekor serigala yang sudah kehilangan kaki dan tubuhnya terjatuh dari genggaman makhluk itu. Mata besarnya yang berwarna oranye menyorotkan sebuah kebencian padaku.

Aku mencoba menarik dan menghela napas dengan tenang. Mencoba menahan getaran yang terjadi pada tubuhku sembari berjalan lebih dekat.

"Arthur.." Panggilku dengan suara yang lebih besar. Setelahnya aku berjongkok di depan tubuh sang Phoenix seraya menatap mata oranye itu. "Aku— aku—"

Seketika makhluk itu membentangkan sayap besarnya dan menetaskan air liur dari gigi taringnya yang cukup runcing. Kaki-kakinya besar dan kuat, ditambah cakar tajam yang menyembul dari ujung jemarinya membuatku kembali menelan ludah.

Tubuh Phoenix itu berwarna hitam, namun garis-garis oranye membentang secara horizontal di kedua sayapnya. Menggambarkan sebuah lambang yang tak kumengerti.

"Arthur?"

Aku menatap makhluk—yang kuyakini sebagai Arthur—itu lekat-lekat. Aku meraih panah busur yang berada di balik punggungku, berjaga-jaga jika makhluk itu seketika menyerang.

Dan benar saja, makhluk itu menyerang pada detik berikutnya.

Dengan cepat aku membangun wilayah perbatasan dengan cahaya keemasan agar siapapun yang melihat kami tidak dapat menginterupsi perang kami.

Aku berguling ke arah kanan menjauhi kaki besar sang Phoenix yang siap meremukan tubuhku beserta tanah di bawah kami. Setelahnya aku berdiri dan langsung berlari menuju sang Phoenix. Saat jarakku tersisa beberapa meter dari tubuh sang Phoenix, kuhentakkan tubuhku pada tanah dan melompat dengan tinggi.

BUK!

Aku menabrak pohon di belakangku tepat setelah Phoenix menyapu tubuhku dengan sekali ayunan tangan. Aku meludahkan darah yang memenuhi mulutku, menggeram ke arah sang Phoenix kemudian kembali berlari ke arahnya.

Tipuan.

Sang Phoenix pun menyadari keberadaanku yang sedang berlari ke arahnya. Tak mau kalah, Phoenix ikut bersiap untuk kembali membantingku lalu menyantapnya.

Saat burung itu mendapati tubuhku tak jauh lagi darinya, ia menatapku penuh napsu dan sepenuhnya siap. Namun Phoenix kebingungan saat tersadar bahwa tubuhku menghilang dalam sekejap.

Alih-alih tertangkap, aku berhasil menetap di punggung sang Phoenix dengan teleportasi lalu menancapkan busur panahku tepat di lehernya.

Sang Phoenix mengerang kesakitan, mengguncangkan tubuhnya seraya melepaskan panahku. Ia terus meronta, membuat kedua telingaku berdengung sakit yang lantas membuatku terjatuh dari tubuh besar burung itu.

Tak bisa kupungkiri, rasa nyeri yang menyelimuti tulang belikat serta bahuku begitu menyakitkan. Setelah menabrak pohon dengan keras, barusan aku harus terjatuh dari tubuh besar sang Phoenix dengan keras pula.

Aku menggeleng, meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa melakukan ini. Lalluna Revolder yang dulunya adalah seorang pemburu akan kembali hadir, memenuhi semangat memburuku dan membawa Arthur kembali.

Kucoba berdiri sembari memegangi bahu kiri, menyadari bahwa persediaan panahku hilang entah kemana. Setelah mengedarkan pandangan dengan cepat, kudapati panah-panah itu ada yang tertancap di akar pohon serta berserakan di sekitarnya.

Aku kembali memfokuskan pikiranku pada sang Phoenix. Namun sialnya Phoenix itu menghilang dan tak kasat mata.

Setelah tidak menemukan tanda-tanda, kucoba gunakan getaran tanah yang menjadi satu-satunya tempat berpijak kami. Walaupun ia seekor burung, ia sudah tidak bisa mengepakkan sayapnya lagi akibat tusukan kutukan yang telah kulakukan pada lehernya.

Aku menunduk, menekan telapak kakiku lebih ke dalam dan membiarkan tanah-tanah ini menyelimuti kedua kakiku. Tak perlu waktu yang lama, getaran pun terasa sangat keras tak jauh dariku. Membuatku dengan segera mendongak dan mendapati sang Phoenix sedang berlari ke arahku dengan kecepatan yang tinggi.

Dengan gerakan cepat aku berguling ke arah kanan dan sebongkas es melesat dari kedua tanganku menuju Phoenix.

"Dasar kau sialan!" Umpatku.

Aku berdiri dan dapat kurasakan kedua mataku berubah menjadi biru muda. Pikiranku terfokus pada perhitungan untuk menusukkan busur itu pada ekor sang Phoenix. Makhluk itu pun menghindar dari bongkahan es dengan mudah dan kembali mengejarku dengan brutal.

Kedua sayapnya mengepak dengan cepat, menandakan bahwa ia sangatlah marah. Asap kelabu pun terlihat mengepul dari kedua hidungnya, membuatku tersadar bahwa Phoenix ini adalah jenis Api.

Aku pun berhitung dalam hati, menanti-nanti saat yang tepat untuk membunuh Phoenix ini dan mengeluarkan jiwa Arthur yang terkurung di dalamnya.

Satu.

Aku menyipitkan mata seraya tangan kananku yang sudah siap dengan sebongkah es. Kaki kananku pun sudah bersiap untuk menghentakan tanah agar tanah yang berada di bawah akar pohon itu mengeluarkan busurku. Sementara tangan kiriku sudah siap untuk menerima busur tersebut.

Dua.

Pikiran akan keselamatan Arthur seketika menggangguku. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat jantungku berdetak kencang mengelilingi benakku. Bagaimana jika ini hanya tipuan? Bagaimana jika Arthur tidak ada di sini? Bagaimana jika ratu hanya membodohiku agar dapat mengambil Sherina?

Dan aku terkecoh.

Tiga.

BUK!

Aku terjatuh sembari memegangi bahu kananku, merasa tulang selangkaku bergeser akibat bongkahan es yang pada awalnya kulontarkan untuk menyerang Phoenix. Namun saat aku sudah menyerangnya, sang Phoenix sudah lebih siap dan langsung mengembalikannya.

Aku menggigit bibir bawah menahan ringisan serta rasa nyeri. Setetes air mata terjatuh dari mataku, kesakitan yang begitu mendalam membuat wajahku memucat dan langsung teringat akan janinku.

Sudah tidak ada, bodoh.

Sementara sang Phoenix berdiri di hadapanku sembari mendesis, aku hanya dapat menggeram sembari mencoba berdiri. Menahan rasa sakit yang akan terus menggelayutiku hingga akhir tanpa bisa mengobatinya terlebih dahulu.

Terlintas satu cara terakhir untuk menghambat serangan Phoenix di benakku. Aku menggigit bibir bawahku lebih kencang saat kurasakan nyeri yang amat sangat melanda bahu kananku, sampai setitik darah terasa mengalir dari bibirku.

Aku menyesal telah melarang Seth dan Karl untuk ikut denganku. Seandainya aku tidak melarang mereka, tentu saat ini si Phoenix sialan sudah mati dan memberikan Arthur padaku.

Geraman yang lebih keras keluar dari bibirku. Kedua taringku pun memanjang dan meruncing. Kulirik sekilas ke arah pohon tadi dan mendapati busurku sudah terlepas dari akar pohon itu.

Aku mendengus seraya menatap Phoenix dengan tajam.  Ini adalah pilihan terakhir. Jika aku salah perhitungan, maka tamatlah harga diriku sebagai Xave.

"DASAR KAU BAJINGAN. TERKUTUKLAH KAU PHOENIX!"

Kuminta bantuan pada tanah dan bebatuan untuk menyerang sang Phoenix. Bahkan akar-akar yang berada di sekitar Phoenix ikut membantu.

Akar-akar itu mengikat kaki Phoenix dengan kuat. Dan dengan kesempatan yang ada, aku langsung berlari menuju busur tersebut.

Denyut-denyut nadi yang memilukan mulai terasa kembali di bahuku. Membuatku merintih sembari terus mengumpat. "Dasar Phoenix sialan. Terkutuklah keturunanmu dan enyahlah dari hadapanku, dasar bajingan!"

Akh.

Aku terjatuh. Penglihatanku menjadi kabur setelah denyutan kepiluan itu semakin menjadi-jadi. Dengan tergopoh-gopoh aku merangkak menuju busur-busurku.

Namun kedua tungkaiku sudah sangat berat untuk bergerak, sakit yang kudapat sudah menyebar keseluruh tubuh hingga membuatku tak kuat untuk bertarung.

Namun aku menyemangati diriku sendiri, memaksakan kehendak tubuhku dan tetap merangkak walaupun tak secepat sebelumnya.

Tersisa empat meter lagi jarak antara diriku dengan busur sialan yang menyusahkan itu. Namun sayangnya aku terjatuh tengkurap, kedua lututku sudah lemas dan bergetar.

Aku menoleh ke belakang, mendapati Phoenix sedang melawan tumbuhan-tumbuhan itu seraya menggeram ke arahku.

Aku meluruskan pandangan menuju busur tersebut, memfokuskan pikiranku untuk menyuruh pedang itu berpindah ke tanganku dengan telekinesis.

Kenapa ini tak terpikirkan sejak tadi?!

Namun sialnya, pikiranku kembali hancur ketika kudapati sebuah benda tajam sedang mencakar punggungku tanpa sedikit pun belah kasih.

Aku ingin menoleh untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun benda itu terlalu berat dan menahanku agar tidak dapat menggerakan badan sedikit pun.

"ARRGGHH! SIALAN KAU PHOENIX! LEPASKAN CAKARMU, BODOH!"

Aku semakin panik, merakan punggungku sangat perih karena cakar sang Phoenix menancap begitu dalam. Bahkan aku dapat merasakan bahwa cakar sang Phoenix sempat menyentuh tulang rusukku.

"AKKHHH"

Aku menangis, namun masih tidak mau menyerah hanya karena seekor Phoenix. Pada akhirnya aku hanya dapat memejamkan mata untuk mengharapkan sebuah pertolongan.

Cahaya perlindungan yang kubuat pun perlahan-lahan runtuh akibat tak ada sedikitpun lagi tenaga yang tersisa.

Hingga pada akhirnya aku mendengar suara dedaunan kering yang diinjak. Membuat kedua sudut bibirku tertarik ke atas dan berterima kasih kepada siapapun yang mendengar permohonanku.

Seseorang itu meraih busur yang berada tak jauh di hadapanku, kemudian ia kembali berlari ke belakangku dan entah apa yang seseorang itu lakukan hingga cakar-cakar itu berhenti mencabikku.

Mendadak aku seperti diangkat menjauh dari tanah. Melayang rendah di atas tanah dengan pendar cahaya keemasan yang menyelimuti tubuhku.

Dengan pandangan yang tak begitu jelas, dapat kulihat sang Phoenix terkapar tak sadarkan diri tak jauh dariku. Darah mengalir dari sudut paruhnya hingga membuat sebuah genangan darah di tanah.

Aku mengangkat tangan kananku, membuat cahaya emas dari telapak tanganku berpindah menuju tubuh sang Phoenix. Cahaya itu memutari tubuhnya dan perlahan-lahan memperlihatkan Arthur.

Namun dengan segera aku tersadar, bahwa pria yang disembunyikan sang Phoenix di dalam tubuhnya itu, perlahan-lahan menghilang bersamaan dengan cahaya keemasanku tadi.

To be continue

Sorry absurd :" jangan lupa vomment yaa hehehh :3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro