Empat.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Aku tertawa ketika seorang gadis bernama Aidyn melakukan hal-hal konyol sembari meriasku, walaupun aku sendiri tidak tau mengapa aku harus di rias hanya untuk acara makan malam.

Setelah aku terbangun tadi, aku terkejut saat mendapati diriku tidak berada di rumahku ataupun rumah Arthur. Lebih mengejutkan lagi saat aku tau ada seorang gadis sedang memandangiku dari bibir ranjang sembari menyengir lebar.

Ia mengatakan bahwa Arthur sedang keluar dan memperkenalkan dirinya sebagai Aidyn, saudara kembar Arthur. Jika di lihat-lihat, wajahnya memang mirip dengan Arthur, hanya saja Aidyn memiliki rambut berwarna hitam, matanya berwarna kelabu dan dia perempuan.

Setelah itu Aidyn mengatakan segala hal yang baru saja terjadi dan menutupnya dengan mengatakan bahwa orang tua mereka ingin bertemu denganku. Tentu aku terkejut mendengar hal itu, namun lebih mengejutkan lagi ketika aku bercermin dan mendapati rambutku berubah menjadi warna silver dan kedua mataku menjadi warna ungu.

Dan untuk kedua kalinya Aidyn menjelaskan beberapa hal yang perlu ku ketahui tentang dunia ini. Setelah itu aku pun memutuskan untuk bersiap-siap mandi, namun aku teringat bahwa aku tidak memiliki baju dan pada saat itu pula Aidyn memberikanku sebuah dress selutut tanpa lengan yang warnanya senada dengan mataku dan sepasang dalaman-tentu saja.

Setelah selesai membilas tubuh, Aidyn memintaku untuk duduk dihadapan cermin dan ia meriasku, sampai sekarang. Aidyn mengatakan bahwa Ayah mereka bernama Romeo Xavewood dan Ibu mereka bernama Clair Avrush, dan mereka sangat senang jika ada seseorang yang memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu selain kedua anak mereka.

Aidyn mengoleskan lipgloss berwarna peach di bibirku untuk polesan terakhir, setelah itu aku menggunakan sepatu berhak-maksudku, wedges?-berwarna putih gading dan mencoba berjalan. Rasanya begitu aneh, aku tidak terbiasa dengan sensasi dikakiku ini, namun Aidyn yang berada disebelahku hanya tertawa lalu menyihir wedges ini dan aku pun menjadi terbiasa dalam sekejap.

Tunggu,

Sihir?

Aku membelalakan mataku tepat sebelum kami keluar dari ruangan ini, membuat Aidyn berhenti tertawa lalu menatapku bingung.

"Ada apa, Luna?"

Aku pun membalas tatapan Aidyn tidak percaya. "Aku ada di Ave?"

"Ya, tentu, Luna. Apakah Arthur tidak memberitahumu?"

Tawaku pecah seketika dan seulas senyuman lebar menghiasi wajahku. Setelah itu aku menggeleng lalu membuka pintu ruangan itu dan berjalan keluar bersama Aidyn yang menggodaku karena terus menerus tersenyum lebar.

"Arthur memberitahuku, tentu saja. Hanya saja, aku tidak percaya bisa ada disini." Ujarku yang lantas membuatnya tertawa.

Kami pun melewati lorong-lorong panjang yang banyak dihuni oleh manusia-manusia berpakaian sama. Dinding-dinding yang saling membatasi antar ruangan ini berwarna putih dan dihiasi oleh beberapa barang antik serta simbol-simbol yang tak aku mengerti.

Sampai pada akhirnya kami sampai didepan sebuah pintu berwarna cokelat muda dengan ukiran rumit yang tak begitu kuperhatikan. Pintu itu terbuka tepat setelah Aidyn mengangkat tangan kanannya dan menampakkan interior yang begitu klasik didalamnya.

Aku dapat melihat sebuah meja panjang berwarna emas dengan makanan yang nyaris memenuhi tiap sudut mejanya berada ditengah ruangan itu. Dan pemandangan selanjutnya yang dapat kutemui ialah ada sepasang suami-istri yang kuyakini ialah Ayah dan Ibu Arthur sedang menatapku tegas dan bangga.

"Hai, sayang."

Jantungku berdetak kencang saat suara Arthur menyapaku dan membuatku menoleh kearahnya. Dan wow! Rambutnya berwarna kelabu serta mata indahnya berwarna biru laut. Tanpa kusadari seulas senyuman semakin tercetak lebar diwajahku, membuat Aidyn kembali tertawa dan mengajakku untuk duduk disampingnya dan dihadapan Arthur.

"Jadi kau adalah mate Arthur, Lalluna Revolder?" tanya seorang wanita cantik berambut kelabu yang kuyakini adalah Clair Avrush, Ibu si kembar. Dari sini saja, aku sudah dapat menyimpulkan bahwa Arthur mendapat rambut kelabu itu dari sang Ibu.

"Ya, I-Ibu?" jawabku sedikit ragu pada akhirnya.

Tuan dan Nyonya Xavewood pun tertawa kecil saat aku memanggil sang Ibu demikian, namun detik berikutnya Nyonya Xavewood menganggukkan kepalanya dan tersenyum kearahku.

"Aidyn pasti mengatakannya padamu," ujarnya lalu melirik Aidyn sekilas. "Omong-omong kau sangat cantik, Lalluna."

Seketika kurasakan wajahku sedikit memanas. "A-ah tidak, Ibu, tapi-terima kasih." Ujarku lalu menyengir.

Kali ini aku melirik kearah Arthur, kudapati ia sedang tersenyum lebar sembari menatapku. Degupan jatungku pun semakin berdetak kencang ketika Tuan Xavewood membuka mulutnya dan mata hitamnya berkilat-kilat.

"Apakah kau berasal dari Bumi? Siapa orang tuamu?"

Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat siapa nama kedua orangtuaku. "Lana Sebastian dan- Zake?" jawabku ragu saat menyebutkan nama Ayah yang lantas membuat dahi Tuan Xavewood mengerut. "Oh tidak, bukan Zake. Maksudku Mac, Mac Revolder, Ayah."

Ku lihat Tuan Xavewood mengangguk lalu menatap istrinya, mereka saling bertatapan namun seperti ada sesuatu yang lain sedang terjadi. Setelah itu Nyonya Xavewood kembali menatapku dengan senyumannya.

"Lalluna, apakah kau sudah tau tentang dunia ini?"

Aku pun mengangguk. "Aku sudah tau, Ibu, walaupun tidak begitu banyak."

"Apakah kau sudah tau tentang ancaman yang sedang terjadi di dunia ini?"

Lagi-lagi aku mengangguk. "Aku tau tentang menghilangnya salah satu dari anggota Penghisap Jiwa yang dikabarkan akan segera kembali ke permukaan dunia ini. Aku juga tau penyebab hilangnya anggota itu dan sepertinya-kalau tidak salah, aku tau tentang ancaman dari pack Darkmoon."

Kulihat Nyonya Xavewood semakin melebarkan senyumannya dan Tuan Xavewood mengangguk-angguk. "Lalu apa yang akan kau lakukan jika seketika ancaman itu datang?"

Aku mengerutkan dahiku bingung, apa yang bisa kulakukan jika ancaman itu datang? Aku bahkan tidak tau bagaimana bentuk ancaman yang kami bicarakan. Setelah diam beberapa saat, aku kembali membuka mulutku dan membalas tatapan Nyonya Xavewood.

"Aku akan membantu, tentu saja. Walaupun aku tidak begitu mengerti bagaimana bentuk dari ancaman itu, namun ku pastikan aku akan membantu untuk mengurangi angka pasukan musuh-jika ada."

Kali ini Tuan Xavewood tersenyum dan menatapku, membuatku menoleh kearahnya sembari ikut tersenyum. "Arthur akan menunjukkan padamu seluruh bentuk ancaman yang kau tidak tau nanti."

"Baiklah, Ayah." Jawabku lalu mengangguk mengerti.

"Bagaimana jika kita mulai saja makan malamnya?" tanya Aidyn.

Kulihat Tuan Xavewood memejamkan matanya, disusul oleh Nyonya Xavewood, Arthur dan Aidyn. Aku pun memutuskan untuk ikut menutup mata dan segalanya berlalu dengan cepat lalu menggelap.

.
.
.

Aku terbangun ketika kurasakan sesuatu yang hangat menyapu wajahku, membuatku membuka mata perlahan-lahan dan tersenyum saat mendapati Arthur sedang mengusap wajahku dengan tangannya.

Aku pun membalikkan tubuhku hingga dapat melihat langit-langit ruangan ini lalu menggeliat sembari menguap. Dapat kudengar bahwa Arthur tertawa yang lantas membuatku kembali memiringkan tubuhku dan menatap kedua mata biru lautnya, warna kesukaanku.

"Berapa lama aku tertidur?" tanyaku.

Kulihat Arthur menggeleng lalu tersenyum. "Entah, aku tidak menghitungnya. Namun aku telah melewati dua kali makan siangku hanya untuk menatapmu."

"Melewati dua kali makan siang?" aku terkejut mendengar hal itu.

"Ya, namun itu bukan masalah bagiku," jawabnya sembari mengusap pipiku. "Aku belum pernah mengatakannya, ya? Kami tidak makan. Itu hanya sekedar keformalitasan yang diwajibkan bagi para bangsawan."

Aku menahan napasku sejenak ketika ku dengar Arthur mengatakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. "Bangsawan? Tunggu, kau tidak pernah bercerita tentang ini."

"Ya, maaf, aku tak bermaksud mengatakan itu sesungguhnya," ujarnya masih menatapku dan mengusap pipiku. "Ada peraturan di Ave yang mengatakan bahwa jika kau seorang bangsawan, kau tidak boleh mengatakannya pada siapapun terkecuali seseorang bertanya."

"Dan aku bertanya, kau seorang bangsawan?" tanyaku lalu mencolek hidungnya. "Bagaimana bisa?"

Arthur tertawa setelah mendengar pertanyaanku, ia pun berhenti mengusap pipiku dan beralih pada pinggangku sehingga jarak diantara kami berkurang.

"Entah, Ayah dan Ibu tidak pernah membahasnya jadi aku juga seperti itu."

Ku rengkuh wajah Arthur dengan kedua tanganku, tubuhnya sangat hangat, berbanding terbalik dengan keadaan tubuhku saat ini. "Apakah udara disini memang selalu seperti ini, Arthur?"

"Oh, apakah kau kedinginan, sayang?" tanyanya sembari mendekat kearahku dan mendekapku kedalam pelukannya. Aku pun menyentuh dada Arthur, menenggelamkan wajahku disana sembari menikmati detak jantungnya yang berdetak kencang.

"Kau curang, Luna, aku tidak dapat mendengar detak jantungmu."

"Balasan untukmu karena telah meninggalkanku." Candaku lalu semakin menenggelamkan kepalaku didalam dekapannya.

Kurasakan tangan hangat Arthur mengusap kepalaku lembut, detak jantungnya semakin berdetak kencang dan napas Arthur menjadi sedikit lebih pendek. Ada apa dengannya?

Ketika aku hendak mengangkat kepalaku untuk menatapnya, tangan kanan Arthur menahan kepalaku untuk tidak mendongak lalu diusapnya lagi kepalaku lembut.

"Aku tidak bermaksud meninggalkanmu, Luna. Mereka mengejarku demi mendapatkanmu. Aku telah bersusah payah menyembunyikanmu selama beberapa puluh tahun namun mereka masih menemukanmu dengan mudah."

Aku terkesiap ketika suara Arthur sedikit bergetar. Detik berikutnya aku merasa bersalah karena telah membawanya kedalam kekecewaan. Aku pun mengusap dada Arthur perlahan-lahan, mencoba mengatakan padanya bahwa semuanya sudah menjadi lebih baik.

"Kau bisa memukulku lagi, Luna, aku pantas mendapatkan itu. Jangan pendam kekesalanmu sendiri, berikan padaku juga. Aku terlalu brengsek untuk mengatakan hal-hal manis padamu. Aku bahkan tidak akan mungkin menjadi seorang-"

"Hei, hei," selaku sembari mencoba mendongak dan menatapnya. Kulihat telinga Arthur sedikit memerah menahan amarahnya. Ku rengkuh kedua wajahnya dan ku paksa dirinya menatapku. Perlahan-lahan kedua mata biru laut itu pun membalas tatapanku, membuatku sediki terkejut saat mendapati matanya berbinar.

"Semuanya sudah membaik. Kau sudah datang dan aku bersamamu saat ini. Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Dan aku mencintaimu. Tidak ada kata membenci dan menyerah diantaranya," ujarku yang berhasil membuatnya mengeratkan pelukannya pada pinggangku.

"Jika aku adalah sebagian dari dirimu, maka kau juga sebaliknya. Katakan padaku jika aku melakukan kesalahan, katakan padaku jika kau memiliki sesuatu yang harus kuketahui, jangan menyembunyikan apapun dan jangan berbohong tentang apapun. Kau milikku, dan hanya akan menjadi milikku."

Kurasakan wajah Arthur perlahan-lahan mendekat kearahku, detik berikutnya yang kurasakan ialah bibir hangatnya mencium bibirku lembut. Aku merasakan banyak kasih sayang dan kehangatan mengalir didalam tubuhku.

Namun sebuah ketukan pintu membuat Arthur dengan segera melepaskan ciuman kami dan mempersilahkan seseorang yang berada dibalik pintu menyembulkan kepalanya.

"Hai, Luna!"

Aku pun menoleh dan tersenyum saat mendapati Aidyn sedang melambaikan tangannya kearahku.

"Hai juga, Aidyn."

Arthur mengecup keningku sejenak lalu bangkit dari tidurnya, membuatku ikut bangun dari tidurku dan bersandar pada kepala ranjang.

"Ada apa, Aidyn?"

Aidyn pun mengangkat kedua alisnya, seperti ingin mengatakan sesuatu pada Arthur tanpa sepengetahuanku. Setelah itu kulihat Arthur menganggukkan kepalanya dan membuat Aidyn kembali menutup pintu.

Arthur menolehkan kepalanya kepadaku lalu kembali merebahkan dirinya dengan pahaku sebagai bantalnya. Ia pun meraih rambut silverku yang berada disamping lenganku lalu memutar-mutarnya sembari menatapku intens.

Aku tertawa kecil lalu mengusap rambut kelabunya sayang. "Apa?"

"Aku sangat merindukanmu, Lalluna."

Untuk kedua kalinya aku tertawa lalu membalas tatapan Arthur. "Aku juga, Arthur."

"Omong-omong, bagaimana menurutmu tentang Ayahku?"

"Ayahmu?" Aku pun berpikir sejenak sembari mengalihkan pandanganku dan menatap langit-langit ruangan ini. "Tampan, namun mata hitamnya sedikit menakutkan. Rahangnya sangat sexy sama seperti milikmu dan suaranya sangat mengejutkanku." Jawabku lalu kembali menatap Arthur yang kini sedang merengut.

Lagi-lagi aku tertawa melihat sikap Arthur yang tidak jauh berbeda dari saat kami pertama kali bertemu. Ku kecup bibirnya singkat lalu ku lingkarkan tanganku pada wajahnya.

"Untuk apa kau merengut, Pangeran Xavewood? Apakah Putri Revolder menyakitimu?" tanyaku yang lantas membuatnya kembali menyengir. Kini Arthur pun kembali meraih pipiku dan mencubitnya pelan.

"Astaga, kau benar-benar menggemaskan, Lalluna," ujarnya lalu bangkit dari duduknya secara tiba-tiba dan menatapku dengan sangat dekat. "Oh iya, acaranya akan segera dimulai."

Tak bisa ku pungkiri detak jantungku berdetak semakin kencang ketika kedua mata Arthur sesekali melirik kearah bibirku dan membuat kedua pipiku merona.

"Acara apa?"

Arthur pun tersenyum lalu mengecup bibirku lama. "Penobatanku menjadi ketua pack," ujarnya lalu bangkit dari ranjang empuk ini dan berjalan menuju pintu. "Aku tunggu didepan pintu 15 menit lagi. Pakaianmu sudah Aidyn siapkan di lemari."

Sosok Arthur menghilang dari pandanganku dalam sekejap, membuatku sedikit merasa kecewa sekaligus lega karena ia tak perlu melihat wajahku yang sudah seperti kepiting rebus.

Dengan segera aku menyambar handuk yang tergantung disamping lemari pakaian dan bergegas membilas tubuhku. Setelah selesai membilas tubuh dan keperluan lainnya, kuraih dress hitam selutut dengan lengan panjang itu dari dalam lemari.

Aku mengumpat kesal saat ku ketahui pakaian ini menampakkan bahuku dengan jelas. Aku tidak begitu nyaman dengan pakaian seperti ini, lebih baik menggunakan dress tanpa lengan daripada aku harus mengekspos bagian bahuku.

Aku terlonjak kaget saat pintu ruangan ini terbuka dan menampilkan kepala Aidyn yang sedang mengintip kedalam. Setelah itu ia pun memasuki ruangan ini dan berjalan menghampiriku yang sedang menyisir rambut.

"Ada masalah, Luna?"

"Ya, Aidyn," ujarku sembari menatapnya dari pantulan cermin. "Aku tidak terlalu suka dengan pakaian yang mengekspos bahuku. Apakah kau memiliki yang lain?"

Kulihat Aidyn melipat satu tangannya didepan dada dan satunya lagi memegangi dagunya. "Apakah kau suka dengan model itu?" tanyanya yang membuatku menggeleng.

Aidyn pun menjentikkan jemarinya dan cahaya berwarna oranye pun memutari tubuhku, merubah pakaianku secara perlahan menjadi baju berwarna putih polos serta rok hitam mengembang diatas lutut. Lalu kurasakan tubuhku seketika terangkat saat kusadari sepatu wedges berwarna hitam menyelimuti telapak kakiku.

"Butuh bantuan lain?" tawarnya sembari tersenyum. Aku pun kembali menggeleng lalu berterima kasih pada Aidyn. Setelah itu ia pun meninggalkanku dan membiarkanku untuk melanjutkan aktifitasku.

Sama seperti yang Aidyn lakukan padaku waktu itu, aku hanya mengoleskan bedak tipis, lipgloss berwarna peach dan mascara di wajahku, sementara rmbut silverku kubiarkan tergantung indah dipunggungku.

Tepat sebelum aku menyentuh tuas pintu, seseorang telah membukakan pintu lalu menampakkan sesosok tampan yang selalu membuatku tersipu malu.

Arthur pun menjulurkan tangannya, memintaku untuk berjalan bersamanya. Tak perlu pikir panjang, segera kuraih uluran tangannya lalu kulingkarkan tanganku dilengan berototnya.

"Cantik seperti biasanya, Lalluna."

Aku tertawa kecil lalu tersenyum setelah mendengar pernyataan Arthur. "Kau juga, tampan seperti biasanya."

Setelah itu kami pun kembali berjalan menelusuri lorong, namun kali ini lorong yang kami lalui tidak sepanjang saat menuju ruang makan. Tak lama setelah itu, ketika kami hendak berbelok ke kiri untuk menunjukkan kehadiran kami, seorang wanita menghalangi pandangan kami dan menatap Arthur lekat-lekat.

"Aku dan Gregory mempercayakannya padamu. Dan sebelumnya aku meminta maaf karena Heize ini semua mengenaimu."

Kulihat Arthur tertawa lalu menunduk sejenak. "Bukan masalah, Putri Viona. Omong-omong kenalkan, dia adalah Lalluna Revolder, calon Luna kita."

Aku mengernyitkan dahiku bingung ketika Arthur mengatakan "calon Luna kita" pada seseorang yang Arthur panggil dengan Putri Viona. Apa maksudnya? Bukankah namaku memang Luna?

"Ah, aku telah mendengar kabar tentang kehadirannya," ujar Putri Viona lalu menatapku. "Selama datang, Luna Luna?" sapanya sedikit ragu dan menahan tawa.

Aku pun ikut tersenyum lalu membalas tatapan Putri Viona. "Panggil saja Luna." Jawabku yang lantas membuatnya terkejut. Dengan cepat aku menoleh kearah Arthur yang kini sedang tertawa geli.

"Maafkan Luna, Putri Viona, ia datang dari bumi dan aku belum mengajarkannya banyak hal." Ujar Arthur pada Putri Viona.

Kulihat Putri Viona semakin melebarkan senyumannya lalu mengusap kepala Arthur lembut. "Bukan masalah besar bagiku, namun sebelum ia bertemu dengan Zake, kau harus memberitahu segala hal padanya," ujarnya yang disambut dengan tawa Arthur.

"Dan kau, Luna, persiapkanlah dirimu untuk menjadi seorang Ratu dari pack ini. Ratu dari pack Red Fire dan menjadi Luna yang baik."

Setelah Putri Viona mengatakan hal itu pun aku langsung mengerti apa yang sedang terjadi.

Aku akan menjadi Luna.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro