Empatbelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf atas kesalahan teknisnya ;;

Arthur's POV

Dua minggu telah berlalu sejak kejadian Luna memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami tanpa persetujuan dariku. Dan aku menganggap ini belum selesai. Sejak itu, ia selalu menghindariku dan berbicara padaku sangat singkat jika aku bertanya melewati telepati.

Akhir-akhir ini aku dapat merasakan beberapa hentakan yang begitu keras pada tubuhku. Ditambah rasa terbakar yang sesekali menyelimuti tubuhku untuk beberapa detik setiap malamnya.

Aku bertanya-tanya, apakah sesuatu terjadi pada Luna saat ia tengah berlatih di Azurea?

Kuakui aku memang kesal setengah mati saat tahu bahwa Luna adalah seorang pengendali elemen-aku bisa memaklumkannya jika itu hanyalah udara atau air. Namun saat ratu sialan itu mengatakan masih ada elemen yang lainnya, aku mulai lepas kendali dan melukai diriku sendiri.

Saat itu aku diletakkan di dalam sebuah ruangan besi anti sihir yang hanya berisikan meja, kursi, sebuah monitor dan fentilasi yang lebih mirip seperti jeruji di pojok kanan dinding. Ketika emosiku mulai tak terkendali, aku menonjok habis monitor yang berada di depanku. Menghasilkan aliran listrik yang tidak begitu besar namun berhasil membuat tubuhku bergetar.

Jeruji besi pun menawarkan dirinya sebagai alat untuk menyakiti diriku sendiri. Aku menusuknya tepat di bagian perut karena kejernihan benakku datang tepat waktu. Aku belum ingin mati.

Memang sedikit berlebihan, namun emosi Jackson juga bercampur ke dalam diriku. Membuat keadaanku semakin parah.

Detik berikutnya aku terduduk di lantai, alarm tanda bahaya berdering dan tim medis memasuki ruangan. Aku menahan mereka, mengatakan bawa saja aku ke rumah pack dan tolong katakan pada anggota pack serta Luna bahwa aku diserang.

Dan kejadian itu berlalu begitu saja dengan cepat.

Hingga kedua mata Luna berubah menjadi warna biru muda saat ia hendak kembali menangis di hadapanku. Mengingatkanku dengan wajah Xeraphin Nathaniel yang sering menghampiri mimpiku. Ini terlalu menyakitkan. Wajah Luna saat itu benar-benar mengalihkan pikiranku. Sampai-sampai wajah Xeraphin Nathaniel masuk ke alam mimpi.

Aku mendesah berat. Mencoba menghubungi Heize yang memungkinkan sedang mengawasi Luna di Azurea. Namun tak ada jawaban. Hingga suara Zeon menggema di benakku.

"Hai, bung. Merindukan kekasih?"

Oh, aku belum menyelesaikan sedikit masalah di antara kami sejak kedatangannya beberapa hari lalu untuk membela Luna.

"Apalagi yang bisa kulakukan selain memberikan sumpah serapah kepadamu?"

"Woah, santai, bung. Aku menganggap masalah ini telah selesai karena kau-"

"Terserah."

Aku memutuskan mind-link kami. Tidak ingin memperkeruh keadaan otakku yang masih begitu lelah. Ditambah Luna yang jauh dari genggamanku dan membuatku semakin frustrasi saat tak dapat melihat wujud fisik gadis itu.

Aku mendesah. Merenungkan segala ucapan dan kelakuanku beberapa minggu lalu. Penyesalan pun menyeruak cepat setelahnya. Hingga benakku sendiri menyalahkan apa yang telah ia perbuat dan tersadar bahwa yang kulakukan kelewat batas. Aku menyakiti hatinya. Dan membuatnya menangis.

Kurebahkan tubuhku pada ranjang empuk yang biasa dihiasi oleh Luna setiap malam. Ia adalah satu-satunya gadis yang berhasil mencuri perhatianku selama aku hidup. Satu-satunya gadis yang berhasil membuatku bertindak di luar zona nyamanku.

Luna lebih dari apapun. Ia jauh lebih penting dari nyawaku sendiri.

Kututup kedua mataku dan bayangan akan gadis itu mulai menghantuiku. Membuat memori akan dirinya berputar dengan perlahan di benakku. Membiarkanku tenggelam akan senyum manisnya dan betapa cantiknya gadis itu.

Dan saat-saat pertama kali kami berkenalan ikut terputar di benakku. Meninggalkan sebuah ulasan senyum di wajahku dan sesuatu yang menyedihkan terjatuh dari sudut mataku. Aku merindukannya.

Aku merindukan tatapannya disetiap ia melihatku sebelum dan sesudah tidur. Aku merindukan ulasan senyuman yang selalu mengembang saat ia bersamaku dengan kedua matanya yang seakan ikut tersenyum. Dan aku merindukan setiap sentuhannya yang mampu membuat tubuhku bergetar tanpa ia sadari.

"Luna."

Diriku sudah tak tahan lagi untuk memastikan bahwa gadis ini baik-baik saja-atau mungkin untuk sekadar mengobati rinduku terhadapnya.

Namun tak ada balasan darinya setelah sekian menit berlalu. Membuatku kembali mendesah panjang kemudian bangkit dari posisiku sembari membuka mata.

Kulangkahkan tungkaiku ke arah walk in closet milikku. Berjalan masuk ke dalamnya hingga menemukan perpustakaan. Kemudian kubuka pintu berwarna putih itu dan langsung membuat air yang berada di dalam wadah bergemericik pelan.

"Aleey, benda hidup." Ujarku seraya duduk di bangku dan bersandar pada punggungnya.

Saat pengendali air dan udara ini telah berdiri di hadapanku, tak dapat ia sembunyikan bahwa tubuhnya sedikit bergetar. Kedua matanya tertunduk dan menghindari tatapanku.

"Kau bisa merasakan air dan udara yang berada di Azurea?" Tanyaku langsung ke intinya.

Aleey pun mengangguk. "Bisa, Tuan."

"Kau bisa melihatnya?"

"Bisa, Tuan."

"Katakan padaku apa yang sedang Luna lakukan."

Aleey terdiam sejenak, ia memejamkan matanya hingga pada akhirnya ia berjalan mendekat ke arahku. Aku hendak mundur. Namun saat salah satu tangannya ingin menyentuhku, aku terdiam dan menyadari apa yang sedang Aleey coba lakukan.

Kubiarkan telapak tanganku menyatu dengan miliknya. Detik berikutnya aku seperti tertarik ke dalam air, dihempaskan begitu saja dari langit ketujuh dan melayang tepat di atas pusat Azurea. Kemudian, aku melihatnya.

Luna tengah berbaring di atas rerumputan dengan kaus tak berlengan serta celana kain selutut. Kedua tangannya ia rentangkan di samping tubuhnya sembari menatap langit malam dengan kedua mata yang berbinar. Ada bekas luka bakar di wajah bagian kiri, kedua telapak tangan dan lehernya.

Lebam berwarna keunguan menghiasi sudut bibir dan mata kanannya, pun kedua tempurung lututnya. Kedua kaki Luna bergetar. Kemudian ia menggigit bibir bawahnya dan meringis detik itu pula.

Aku mengalihkan pandanganku darinya, mencoba untuk menghentikan ini semua dan langsung pergi ke Azurea untuk memeluk Luna erat. Namun bibir pucat itu mengatakan sesuatu yang bahkan membuat diriku bergetar ketakutan.

"Bagaimana jika besok aku terbakar oleh api lagi?" Lirihnya, yang terasa begitu cukup keras dengan bantuan udara di sekelilingku.

"Bagaimana jika besok aku tidak sanggup membuka mata?"

"Bagaimana jika besok Arthur masih tidak mempercayaiku?"

Hatiku mencelos. Merasa begitu rapuh saat menyadari bahwa disaat-saat seperti ini, ia masih mencariku.

Aku melayang rendah, menghampiri Luna yang masih menatap langit malam dengan kedua matanya yang mulai menampakkan sorot ketakutan.

"Bagaimana jika besok aku tidak dapat berdiri?"

"Bagaimana jika besok aku tidak cukup kuat untuk menjalani hariku?"

"Bagaimana jika besok secara mendadak aku tidak dapat bernapas?"

"Bagaimana jika besok-" Isakan Luna pun pecah pada akhirnya. Menghasilkan suara parau yang sangat menyakitkan saat ia mulai menarik napas.

"Sshh, sayang." Aku sadar apa yang aku lakukan tidak akan membuahkan hasil apapun, yang terjadi hanyalah sebuah isakan yang mulai terlontar dari bibir Luna. Membuatku merengkuh wajah gadisku lembut walaupun Luna tak akan bisa merasakannya.

"Arthur.."

Tak terasa setetes air mata terjatuh dari sudut mataku saat bibir Luna mulai bergetar. Deru napasnya memendek dan air mata berjatuhan dari kedua mata Luna.

"Arthur.. Aku takut.."

Dengan segera aku mengangguk, mencoba menenangkan gadisku yang kelewat ketakutan. Ia membutuhkanku. Namun aku selalu tak ada di sana.

"Aku takut semuanya akan berakhir jika aku menutup mataku." Parau Luna yang semakin membuat hatiku kesakitan. Aku terlalu bodoh. Membiarkannya pergi begitu saja dan tenggelam di dalam masalahnya membuatku merasa gagal untuk melindunginya.

"Dan jika itu memang terjadi, apakah kau akan menjadi orang terakhir yang kulihat, Arthur?"

Aku kembali menggeleng, mengusap pipinya lembut. "Itu tidak akan terjadi, sayang."

Seulas senyum pahit terukir di wajahnya. Membuatku memperhatikan wajahnya yang perlahan-lahan berseri. Ia terlihat bahagia.

"Kenapa bayangan akan dirimu tidak pernah hilang dari benakku? Apakah aku bermimpi lagi? Kali ini aku melihatmu tengah merengkuh wajahku dan mengatakan segala hal yang selalu akan membuatku menjadi lebih baik."

Setetes air mata kembali terjatuh dari mataku dan menjatuhkan dirinya tepat di pipi Luna. Gadis itu kini tersenyum lebar, namun air mata tak ada hentinya terjatuh dari kedua matanya.

"Aku berhalusinasi lagi atau kau memang ada di sini?"

Aku tercekat saat mendengar ia mengatakan 'berhalusinasi lagi'. Apakah selama ini ia terbayang-bayang akan kehadiranku? Apakah luka yang kutorehkan begitu dalam hingga ia selalu memimpikan kehadiranku untuk bersamanya?

Apa aku benar-benar kelewatan? Jika ya, bagaimana bisa Luna masih bertahan dan yakin akan kehadiranku yang selalu ia tunggu-tunggu? Walaupun ia sendiri tahu bahwa aku mungkin saja tidak datang.

Namun ia tetap menungguku.

"Aku mencintaimu, Arthur."

Dadaku terasa sakit saat suaranya menjadi sangat serak dan perlahan-lahan kedua matanya tertutup. Membuat kedua mataku memanas seraya menepuk-nepuk pipinya lembut. Aku tidak mungkin kehilangan dirinya.

Secara perlahan, api mulai melahap tubuhnya. Membakar tubuh Luna dengan seulas senyuman di wajah cantik gadis itu. Kutelan salivaku susah payah, mencoba untuk tetap berada di sisinya namun udara menarikku untuk menjauh. Membawaku pergi dari sisinya dan menarikku ke dalam realita.

Aleey masih berdiri di hadapanku dengan tatapan tertunduk. Perlahan-lahan ia menurunkan tangannya dan menyembunyikannya di balik punggung.

"Aku minta maaf, Tuan."

Aku menggeleng. Merasakan panas api mulai ikut membakar tubuhku. Aku menopangkan tanganku di lengan bangku, menutup kedua mataku kemudian menghela napas berat.

"Keluar, Aleey."

Setelah itu suara pintu tertutup terdengar. Diiringi dengan air mata yang kembali jatuh dan menghiasi pipiku. Seharusnya Alpha tidak menangis. Seharusnya pria sepertiku tidak menangis.

Namun wajah kepedihan Luna yang ia sembunyikan di balik kedua matanya terbayang-bayang olehku. Membuatku terisak seraya tenggelam di antara ribuan kata maaf. Aku menyesalinya. Aku menyesal karena tidak mengejarnya dan memintanya untuk tinggal.

Seharusnya aku mengatakan padanya untuk pergi ke rumah dan tunggu aku di sana. Bukan menyuruhnya untuk kembali ke Azurea dan melaksanakan pelatihannya. Dan seharusnya aku menghancurkan pulau itu sejak dulu.

Terlalu banyak seharusnya.

Detik berikutnya aku berteleportasi menuju sebuah tebing yang berada di Hutan Selatan. Mengubah bentukku menjadi Jackson yang ikut merasakan pedihnya perasaanku.

Kemudian sebuah lolongan panjang yang sangat menyakitkan menggema di bawah sinar rembulan. Ditambah dengan air mata yang ikut menuruni kedua mata Jackson dan membuatku semakin tenggelam ke dalam sesal tak berujung.

"Arthur."

.

.

.

Salju-salju yang menenggelamkan kakiku membuatku mengeluarkan sumpah serapah. Merasa begitu jengah dengan benda-benda putih ini. Mereka bilang benda ini sangat dingin, namun tidak bagiku dan rasku.

Beberapa manusia berjubah hijau muda menghadang jalanku. Salah satu di antara mereka, dengan tangan yang terlipat di depan dada dan dagu yang mendongak, berjalan ke arahku. Menatapku dengan tatapan intimidasi yang bahkan sama sekali tak berpengaruh untukku.

"Punya keberanian apa kau untuk datang kemari, Arthur?"

Aku menyelipkan telapak tanganku ke dalam saku dan menatap pria ini santai. "Pangeran Nick memanggilku."

Alis pria itu terangkat sebelah. "Jika pangeran memanggilmu, pasti ia telah mengatakannya kepada kami untuk membiarkan kau masuk, anjing."

"Hei, santai, bung." Aku pun tersenyum mengejek. "Setidaknya aku tidak perlu mantel tebal untuk melindungi tubuhku dari cuaca ekstrem."

"Bodoh! Untuk apa kau menahan tamuku di luar sana?" Suara sialan itu terdengar dari belakang sang penjaga. Membuat pria sok jagoan ini memutar arah tubuhnya dan membungkuk sejenak pada Nick.

"Kami tidak tahu bahwa Pangeran memanggil Arthur kemari."

Nick terlihat menatapku meledek. Namun selanjutnya ia menelengkan kepalanya sekilas seakan memintaku untuk ikut ke dalam.

Aku mengikutinya. Hingga saat telah berada di dalam, Nick membalikkan tubuhnya dan menatapku. "Aku rasa kau tidak akan tahan dengan pemandangan di sini." Ujarnya saat ia mulai menyadari bahwa terlalu banyak elemen yang bergerak dengan sendirinya di sekitarku.

"Gunakan saja sihirmu. Luna berada di Timur Laut Azurea. Lebih tepatnya Tempat Pelatihan Pengendalian Api. Jika kau tersesat, kau hanya perlu menjauhi salju dan kau akan menemukannya."

Alisku pun bertautan. "Ia sendiri?"

Nick menganggukan kepalanya. "Sejak ia nyaris membakar hutan beberapa hari lalu, tak ada yang berani kesana."

"Oke. Terima kasih." Tak ada yang lebih menyenangkan daripada membakar hutan sendirian.

Detik berikutnya aku menyebutkan tujuanku sembari berteleportasi. Membawaku ke dalam sebuah hutan yang cukup lebat dan rapat. Dengan akar-akar yang tinggi dan besar serta bertumpukan salju, aku memutuskan untuk memanjat sebuah pohon dan melompat dari dahan ke dahan agar lebih mudah.

Setelah suara dedaunan kering bergesekan terdengar yang diiringi hembusan angin, aku dapat merasakan aroma madu menyeruak masuk ke dalam hidungku. Membuatku mengembangkan seulas senyuman dan mempercepat langkahku.

Aroma ini membawaku mendekat ke arah wilayah tak bersalju. Wilayah yang disinari matahari dan jauh dari benda-benda sialan berwarna putih ini.

Saat telah memasuki wilayah musim panas, aku melompat turun. Berjalan menyusuri hutan dan berakhir dengan sebuah hamparan rerumputan yang telah dipangkas rapi. Aku mengedarkan pandanganku, mencari sesosok Luna yang Nick katakan ada di sini.

Dan dia masih di tempat yang sama.

Dengan posisi yang sama.

Aku berlari kecil ke arah Luna. Mengikis jarak di antara kami hingga aku nyaris dapat menggapainya. Namun aku terpental jauh dan terduduk di rerumputan setelah menabrak perisai kasat mata yang sepertinya dibuat oleh Luna.

Kututup kedua mataku perlahan. Mencoba mengingat sebuah mantra untuk meruntuhkan suatu perisai kasat mata. Secara hati-hati aku merapalkannya, membuat udara di sekitarku kembali berhembus kencang dan aroma madu yang berasal dari tubuh Luna semakin memabukkanku.

"Bagaimana jika besok aku menjadi gila?"

"Bagaimana jika besok aku melihat kedua tanganku berubah menjadi sesosok burung elang?"

Aku bangkit dari posisiku, kembali berjalan mendekat dan mencoba melewati perisai yang Luna buat. Gadis itu membelakangiku, memiliki besar kemungkinan bahwa ia tidak menyadari keberadaanku.

"Bagaimana jika matahari berubah menjadi segitiga?"

"Bagaimana jika air berubah menjadi merah muda?"

Kulangkahkan tungkaiku untuk memutarinya. Tak melepaskan tatapanku sedikitpun darinya hingga kini aku berdiri tepat di ujung kakinya. Kedua matanya masih tak berpindah dari langit, menatapnya penuh kekhawatiran dan kecemasan.

"Sepertinya aku mulai berhalusinasi lagi."

Seketika ia tertawa, kedua matanya kembali memproduksi air mata dan dapat kurasakan ujung kakiku mulai memanas. Aku terdiam, memandanginya yang masih menatap langit tanpa berkedip.

Dengan segera aku terduduk di samping tubuhnya, meletakkan telapak tanganku di belakang lehernya kemudian menariknya ke dalam dekapanku. Kurengkuh tubuhnya erat, seakan mengatakan kepadanya bahwa aku tak akan membiarkannya pergi lagi.

"Kurasa halusinasi kali ini terasa lebih indah dari biasanya."

Aku menarik napas, mencoba menenangkan diriku sendiri yang terguncang akibat kewarasan Luna yang telah menipis. "Tidak, sayang, ini bukan halusinasimu." Bisikku tepat di samping telinganya.

Luna pun kembali tertawa dengan parau. Namun aku dapat merasakan air matanya mulai membasahi bahuku. Ia menggeleng. "Oh astaga, kurasa aku berada di Surga karena Arthur tengah memelukku."

Kali ini aku yang menggeleng, mengusap-usap rambutnya lembut. "Sayang.."

"Suaramu terdengar sangat nyata, Arthur."

"Aku memang nyata." Lirihku.

Lagi-lagi Luna tertawa, dan secara perlahan, tawa itu berubah menjadi sebuah isakan. Ia menyandarkan kepalanya pada kepalaku, membiarkan air mata terus membasahi wajahnya dan menyentuh kulitku.

"Kau hanya halusinasi."

Aku kembali menggeleng. "Aku di sini, Lalluna, aku di sini." Ujarku seraya mempererat pelukanku padanya.

Secara hati-hati Luna meletakkan kedua tangannya di depan dadaku. Membuatku menahan getaran yang terjadi pada tubuhku saat ia mulai mendorong tubuhnya menjauh.

Kedua mata ungunya yang terlihat begitu muram perlahan-lahan teralih dari langit. Memindahkannya ke arahku dan tetesan air mata gadis itu kembali menampakkan wujudnya di hadapanku.

Luna kembali menggeleng, namun kedua matanya masih terpaku ke arahku. "Aku masih berhalusinasi."

"Sayang.." Aku meraih kedua tangannya, menggenggamnya erat kemudian menciumi punggung tangannya. "Kau tidak berhalusinasi. Aku nyata. Aku berada di depanmu."

Kemudian kurengkuh wajah Luna dengan lembut, menyeka air matanya dengan ibu jariku dan menempelkan dahiku pada dahinya. Luna pun mulai terdiam dari isakannya. Ia telah berhenti meracau dan perlahan-lahan menutup matanya.

"Kau di sini."

"Ya, aku di sini."

Kurasakan kedua tangannya bergerak, meraih leherku dengan gerakan lamban kemudian melingkarkan lengannya di sana. Aku mengecup bibirnya beberapa kali, hingga Luna membuka mata dan menjauhkan dahinya dariku.

Kedua matanya menatapku lurus. Masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku yang tengah menatapnya adalah sebuah kenyataan. Perlahan-lahan seulas senyuman mengembang, wajahnya kembali berseri dan ia mengalihkan pandangannya.

Detik berikutnya, ulasan senyuman itu hilang dalam sekejap. Sorot kecewa pun merasuki dirinya. Membuatku mengangkat wajahnya lembut seakan meminta Luna untuk kembali menatapku. Namun ia kembali terisak sembari mengalihkan wajahnya dariku.

"Ada apa, sayang?" Tanyaku seraya menyingkirkan anak rambut dari wajahnya.

"Kau terlalu tampan untuk bersanding denganku yang telah berubah menjadi buruk rupa."

"Astaga, Luna." Aku kembali memaksanya untuk menatapku dengan gerakan lembut. Hingga kedua mata ungu itu menatapku dan seketika aku kehilangan kekuatanku untuk menahan setetes air mata yang telah tertumpuk. "Tidak seperti itu. Kau pantas bersanding denganku."

"Arthur-"

"Sshh, aku mencintaimu sebagaimana dirimu, Luna. Jangan mempersalahkan penampilanmu, oke?"

Luna mengangguk ragu. Namun setelahnya ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leherku dan mengeratkan pelukannya. Aku pun kembali merengkuh tubuhnya yang terasa semakin kurus. Mengusap rambutnya yang terasa begitu kasar seraya merapikannya.

Sesekali aku mengecup puncak kepalanya, mencoba mengalirkan kehangatan yang sesungguhnya ke dalam diri Luna. Dan ia menerimanya. Luna semakin menekan wajahnya pada leherku dan entah melakukan apa yang kuharap bisa membuatnya nyaman.

"Kau ingin pulang?"

Luna kembali mengangguk. Hari ini hingga enam hari ke depan Nick memang memperbolehkan Luna untuk pulang akibat stres yang ia terima. Nick bilang Luna terlalu banyak mendapat tekanan dari Blackjack, membuat sang pangeran tidak tega dan memintaku untuk menjemput Luna semalam.

Perlahan-lahan aku meraih pinggang Luna, bangkit dari posisiku hingga kini ia melingkarkan kakinya di pinggangku. Aku tersenyum tipis, menghirup aromanya banyak-banyak sebelum akhirnya ia membuka mulut. Mencegah kami pergi.

"Aku memiliki jadwal dengan Nick hari ini." Lirihnya dengan nada yang terdengar cukup ketakutan.

Kuusap punggungnya lembut. "Tidak, ia memberikanmu libur."

"Blackjack akan membunuhku."

"Aku akan membunuhnya terlebih dahulu."

Kemudian Luna terdiam, kembali menganggukkan kepalanya seakan memperbolehkanku berteleportasi.

Sesampainya di rumah, segera kubaringkan Luna di atas ranjang, menarik selimut hangat yang selalu menyelimuti tubuhnya dan membiarkannya beristirahat. Saat aku hendak beranjak dan meninggalkannya sendiri, Luna menahanku. Ia meraih pergelangan tanganku seraya menatapku lekat-lekat.

"Apa kau mempercayaiku?"

Aku pun tersenyum, terduduk di bibir ranjang kemudian mengusap rambut silvernya ke belakang. "Aku mempercayaimu."

"Apa kau akan memaafkanku?"

"Tentu, sayang." Untuk kesekian kalinya Luna mengangguk. "Maukah kau melanjutkan hubungan kita yang sempat hancur, Luna?"

Kali ini Luna terdiam. Saat aku tak kunjung mengalihkan pandangan berharapku darinya, ia menutup matanya dengan erat hingga membuatku tertawa kecil.

"Aku tidak memaksamu." Ujarku seraya mencolek hidungnya.

Kemudian Luna membuka matanya, menatapku dengan wajahnya yang berseri-seri serta seulas senyuman di wajahnya. "Tentu, Alpha."

Aku ikut tersenyum. Mencium bibirnya lembut sejenak kemudian mencolek hidungnya lagi.

"Aku mencintaimu, Nona Api."

Luna pun terkekeh. "Aku juga mencintaimu, pecemburu."

.

.

.

Seperti biasanya, aku terbangun dengan keadaan Luna yang sudah tidak ada di sampingku. Namun bedanya, matahari baru saja terbenam. Detik berikutnya Luna keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah serta kemeja merahku yang menutupi tubuhnya hingga tiga perempat pahanya.

Aku pun bangkit dari posisiku, duduk di tepi ranjang kemudian ia menghampiriku. Sebelum Luna sempat duduk di pangkuanku, kupeluk terlebih dahulu pinggangnya dan mendaratkan kepalaku di depan perutnya.

Tangan lembut milik Luna mengusap puncak kepalaku penuh kasih sayang. Memberikan sejuta sensasi menyenangkan yang telah kurindukan. Setelah itu Luna terkekeh, membuatku mendongak dan menatap Luna yang tengah menunduk menatapku.

"Ada apa dengan Alpha yang seketika berubah menjadi manja?"

Aku memajukan bibirku. Merasa tidak peduli dengan sifat kekanakan yang seketika memenuhi tubuhku. Kemudian Luna kembali terkekeh, merengkuh wajahku dan menciumnya dengan lembut.

"Aku ingin ke rumah pack, boleh?"

Kugelengkan cepat-cepat kepalaku. "Tidak. Kau harus beristirahat."

"Bagaimana dengan besok?" Aku kembali menggeleng. "Ahh, Arthur.."

Luna merengut. Bibirnya ikut mengerucut maju tanda ia tengah merajuk. Aku terkekeh, mengecup bibirnya beberapa kali kemudian mengeratkan pelukanku pada pinggangnya.

"Oke. Besok."

"Kau juga harus ikut!" Lagi-lagi aku terkekeh saat wajah antusias Luna menghiasi wajah cantiknya. "Kita harus ikut dengan Karl cs untuk mencari makanan!"

Kali ini aku mengangguk. Merasakan perbedaan sifat Luna yang menjadi seperti saat ia kecil kembali berada di permukaan. "Baiklah, sayang. Ayo kita lakukan apapun yang kau mau besok."

"Bagus. Aku juga ingin kembali berlatih-"

"Tidak ada latihan untukmu seminggu ke depan." Selaku yang langsung membuatnya kembali merajuk. Aku tertawa, memajukan bibirku ke arahnya kemudian Luna mengecupnya kilat. "Oke, tapi tidak dengan latihan berat dan berada dalam pengawasanku."

Luna menganggukkan kepalanya semangat. "Dan tato baru! Milikku telah terbakar api dan hal sialan lainnya hingga membuat warnanya menjadi pudar."

"Ardeen akan mengurusnya."

"Oh!" Luna pun tersenyum lebar ke arahku, menampilkan deretann gigi putihnya yang membuat dirinya semakin cantik dan bersinar. "Haruskah kita mengambil foto kawanan? Bersama kau dan Raja Zake-jika memungkinkan?"

"Tidak memungkinkan untuk Raja Zake." Untuk kesekian kalinya aku menggeleng. Dan salah satu tanganku meraih pipi Luna dan mencubitnya lembut. "Aku masih terlalu enggan untuk bertemu dengannya."

Luna tertawa kecil, mengecup keningku kemudian menjauhkan tubuhnya dariku. Ia pun melenggang pergi keluar kamar, membuatku mendesah pelan dan memutuskan untuk membilas diri.

Setelahnya, aku melangkahkan kakiku menuju dapur dengan celana kain selutut dan tanpa kaus. Saat tubuh Luna telah tertangkap oleh kedua mataku, perlahan-lahan aku menghampirinya. Kupeluk pinggangnya dari belakang yang lantas membuatnya terkejut dan tertawa.

Kusandarkan daguku pada salah satu bahunya, mengecup tanda yang pernah kubuat dan langsung membuat Luna mengerang kecil. Aku tertawa saat kulihat bulu romanya berdiri, membuat Luna memutarkan badannya dan kedua tangannya ia letakkan di pinggir meja dapur.

Kedua matanya menatapku dan dalam waktu yang singkat ia mengubah warna matanya menjadi hijau, biru, biru muda, merah dan kembali ungu. Aku berpura-pura merengut untuk mendapatkan satu kecupan lainnya. Namun Luna malah ikut merengut dan mengalihkan pandangannya dariku.

"Kau ingin pamer warna matamu, hm?" Tanyaku seraya mendekatkan tubuh pada Luna kemudian meletakkan tanganku tepat di belakang tubuhnya.

"Kau ingin pamer tubuhmu yang sudah lama tak kusentuh, hm?"

Sialan.

Aku terkekeh, semakin merapatkan diriku pada Luna hingga gadis itu semakin mendongakan kepalanya untuk menatapku. Kemudian gadis itu ikut terkekeh dan melingkarkan lengannya di leherku.

Selanjutnya aku meraih pinggangnya, mendudukkannya di atas meja dapur kemudian menciumi bibirnya dengan rakus. Luna membalas ciumanku. Ia bahkan menekan wajahnya untuk memperdalam ciuman kami hingga aku dapat memasukkan lidahku ke dalam mulutnya.

Kuusap paha bagian dalam Luna yang sedikit terekspos. Membuat gadis itu tersenyum sekilas dan memainkan lidahnya dengan lidahku. Aku mengusap pahanya dengan gerakan memutar, membiarkan Luna melenguh nikmat di sela-sela ciuman kami.

Saat napas kami mulai tak memungkinkan, aku melepasnya. Menuruni ciumanku menuju lehernya yang sudah lama tak kujamah. Kuciumi seluruh bagian lehernya, menggigit-gigit kecil tanda yang pernah kubuat hingga membuatnya menarik rambutku pelan dan membusungkan tubuhnya.

Aku menyeringai, mengusap punggungnya yang sangat polos tanpa sesuatu yang biasanya berada di sana. Luna pun terkekeh, meraih wajahku kemudian kembali menciumi bibirku-kali ini ia yang memegang kendali.

Ia menghisap bibir bawahku, menggigitnya kemudian menciuminya kembali. Dan aku membalasnya. Membuahkan sebuah bercak kebiruan di dekat bibirnya yang terlihat sangat jelas.

"Aw!"

Kami melepaskan satu sama lain. Kulihat Luna meringis seraya menyentuh bibirnya yang memar. Sialan, aku lupa kalau ia memiliki luka di sana.

Dengan segera aku mengecup sudut bibirnya beberapa kali. Berharap rasa sakit yang ia rasakan akan segera mereda.

"Maaf, sayang, aku lupa kalau kau memiliki lebam di sana."

Luna pun mengangguk, kembali mengalungkan tangannya di leherku dan menempelkan dahinya pada dahiku. "Aku ingin melakukannya. Namun tubuhku sepertinya menolak."

Aku sempat tercengang. Luna menginginkannya? Terasa seperti mimpi saat ia mengajukan dirinya untuk melakukan itu. Namun aku kembali tersenyum, mengecup puncak hidungnya kemudian memeluk pinggangnya.

"Jangan dipaksakan, sayang."

Luna kembali mengangguk. "Aku ingin makan, kau mau bergabung?"

"Dengan senang hati."

Aku menggendong Luna menuju meja makan, mendudukkannya di atas bangku kemudian mengusap rambutnya lembut. Kulangkahkan kaki ke arah kompor di mana Luna tengah memanaskan sesuatu di sana.

Kedua alisku terangkat, merasa tidak asing dengan kulit kelabu yang tengah ia rebus dengan bumbu-bumbu penyedap lainnya. Aku menolehkan kepalaku, mencoba menatap kedua matanya yang kini tengah tertunduk.

"Luna?" Panggilku.

Luna pun terdiam. Masih menundukkan kepalanya hingga aku menghampirinya dan berjongkok di hadapannya. Kugenggam kedua tangannya yang berada di atas pahanya, menciumi punggung tangannya dengan lembut.

"Kau membunuhnya?"

Dengan ragu Luna mengangguk. Kedua matanya terangkat dan menatap mataku ketakutan. "Aku kelaparan sejak tadi siang. Dan kebetulan aku dapat mengendus bau amis yang berasal dari rogue yang sedang mengintai rumah."

Aku menghela napas pelan, menyingkirkan rambut silver Luna dan menyelipkannya di balik telinga. "Seharusnya kau membangunkanku, sayang."

"Maaf." Tubuhnya mulai bergetar dan kedua tangannya mulai meremas tanganku. Aku mengangguk seraya menariknya ke dalam dekapanku. Membiarkan rasa aman dan kenyataan bahwa ia dilindungi menyelimuti dirinya.

Kuusap rambutnya penuh kasih sayang, memeluk bahunya yang mulai naik turun tak berirama. Luna pun kembali mengalungkan tangannya di leherku, menekan wajahnya pada bahuku dan membiarkan air matanya kembali tumpah.

Wanita sialan itu melukai Luna.

"Untuk apa kau menangis, hm? Kau pikir aku akan merebusmu juga, Luna?"

Luna terkekeh, ia menggesekkan wajahnya di bahuku yang kuyakini menjadi cara terbarunya untuk menyeka air mata. Kemudian wajahnya cantiknya kembali memasuki jarak pandanganku, tersenyum manis dan mencium bibirku lembut.

"Aku terlalu emosional akhir-akhir ini."

"Aku mengerti."

Setelah itu Luna melepaskan pelukannya, membiarkanku melanjutkan apa yang telah ia lakukan. Aku beranjak dari posisiku, kembali berkutat dengan kulit kelabu yang kini tengah matang. Aku memasaknya sedemikian rupa, berharap Luna akan menyukainya seperti aku menyukai bagian paling lezat ini.

Selepasnya, aku membiarkan Luna memakan santapannya dengan lahap. Merasa senang bahwa ia menyukai masakanku. Bahkan saking semangatnya, Luna kerap tersedak yang harus membuatku memberikannya minum dan membantunya menelan.

Berkali-kali sudah kukatakan pada gadis di hadapanku untuk memakannya dengan pelan. Hingga aku tersadar bahwa Luna tidak memakannya dengan lahap, ia terburu-buru. Seakan ada seseorang yang tengah mengejarnya dan akan menangkapnya jika ia bersikap lamban.

Kedua tangan Luna kembali bergetar, pun bibirnya. Dengan segera aku bangkit dari bangkuku, melepaskan makanan Luna dari genggamannya. Namun Luna menggeram, menatapku marah dan menarik makanannya dariku.

Aku menghela napas, memegang kedua tangannya dengan tangan besarku kemudian kembali melepaskan kulit yang tengah ia pegang. Aku menarik tangannya lembut agar tubuhnya sedikit berputar dan menatapku. Warna matanya berkali-kali berubah dan sesekali sorot ketakutan kembali menyelip di antara ratusan amarah di matanya.

Kuseka sisa makanan yang berada di dekat mulutnya hati-hati. Tidak ingin melukai Luna lebih banyak lagi. Namun Luna terus menggeram, tubuhnya bergetar hebat dan air mata kembali terjatuh.

"Luna.."

"Diam!" Suaranya meninggi dan serak. Kedua matanya berbinar dan hidungnya mulai memerah menahan emosi. Astaga, aku benar-benar akan membunuh ratu sialan itu.

Aku menghela napas. Rasa sesak kembali menyeruak masuk ke dalam diriku. Menimpaku dengan sejuta penyesalan tak berujung karena tanpa kusadari akulah yang menyebabkan Luna seperti ini.

Perlahan-lahan aku menunduk, kembali berjongkok di hadapan gadis itu kemudian meletakkan dahiku di atas lututnya. Aku melepaskan genggamanku dari pergelangan tangannya, membiarkan Luna terbebas dan melakukan apapun semaunya.

Aku terdiam. Menelan salivaku susah payah seraya mencoba membuka mulut. "Lakukan apapun yang kau mau, Lalluna."

Tepat setelah itu Luna mengangkat kakinya dengan kasar, membuatku mendongak dan dengan segera ia menendang dadaku. Kakinya terasa sangat panas dan kedua matanya kembali berubah menjadi biru muda. Telapak tangan gadis itu pun mengeluarkan bunga es dan bersiap menyerangku.

Namun Luna mulai menjerit histeris, ia terjatuh dari lantai dengan kedua tangannya yang masih cukup kuat untuk menjaga tubuhnya. Ia kembali meraung kesakitan, memukul lantai pijakannya dengan penuh emosi.

Kemudian Luna bangkit dari posisinya, berjalan keluar dengan kedua kaki yang begitu lemas dan sempoyongan. Aku yang masih berada dalam tingkat shock akut, mulai beranjak dari posisiku dan mengekori Luna.

Gadis itu berlari ke belakang pekarangan rumah. Menjerit dengan sangat histeris hingga ia terbatuk-batuk. Setelah itu Luna mengepalkan kedua tangannya, membuat rerumputan di belakang rumahku membeku secara perlahan dan es mulai menyapa kedua kakinya.

Es-es itu menyelimuti kaki Luna agar ia tetap berdiri tegak. Menjaga keseimbangan tubuh Luna yang akan segera berakhir.

Tidak sampai di situ, saat aku hendak menghampirinya, ia menoleh ke arahku penuh amarah. Kembali meraung penuh kepiluan dan api mulai keluar dari napasnya. Melesat cepat ke arahku dan berhenti saat benar-benar sudah sampai di depan hidungku.

Aku terpaku, merundukkan tubuhku dan mulai berlari ke arah Luna yang mulai kehilangan kendali. Lagi-lagi ia menatapku, mengencangkan kepalan tangannya dan es yang berada di sekitar mulai merayap naik hingga lututku. Kucoba untuk melepaskannya, namun segala usaha yang telah kulakukan, dimulai dari menghentikannya dengan sihir serta berganti wujud, gagal.

"Luna, berhenti menyakiti dirimu!"

Luna menggeleng, kedua bola matanya telah berubah menjadi merah dan otot-otot di tubuhnya begitu tegang. Ia berjalan menghampiriku, menamparku keras hingga ia kembali menangis. Air matanya yang terlihat berwarna merah melintasi pipi bekunya.

Aku menunduk, siap menerima apapun yang telah Luna sembunyikan selama ini.

Selanjutnya ia kembali menamparku, menghantam tubuhku dengan kerikil bertubi-tubi kemudian mengguyurku dengan air. Belum merasa puas, Luna menaikkan esnya hingga sebatas dadaku, menusuk kulitku dengan pecahan-pecahan es yang telah rapuh.

Tak sampai di situ, ia kembali melemparkan napas apinya kepadaku. Namun saat nyaris mengenai tubuhku, api itu terbelah dan membakar apapun yang berada di sisi tubuhku. Detik berikutnya ia mencengkram bahuku, berteriak histeris tepat di depan wajahku dengan air mata yang terus terjatuh.

Kedua mataku pun mulai berbinar, jantungku berdetak dengan kecepatan maksimum dan begitu tersiksa melihat Luna sangat jauh dari kata normal. Ia begitu depresi hingga emosinya bahkan tak teratur.

Setelah beberapa saat terdiam, aku mengangkat wajahku, mencoba mencari keberadaan Luna yang hilang di tengah kabut. Dan isakan kembali memasuki gendang telingaku. Terdengar sangat rapuh dan memilukan.

Saat kabut-kabut itu perlahan menghilang, aku dapat melihat Luna tengah berbaring di atas rerumputan es dengan posisi yang sama saat aku menemuinya di Azurea-kedua tangan terentang di samping tubuhnya dan kedua matanya menatap langit.

"Luna.." Panggilku dengan suara yang bergetar.

Luna pun menoleh, warna matanya telah kembali menjadi ungu dengan sorot yang sangat menyesal. "Ya?"

"Kau baik-baik saja?"

Gadis itu mengangguk, kembali menatap langit dan menghela napas. "Aku heran. Bagaimana bisa kau tahan dengan apa yang telah kulakukan terhadapmu?"

Kali ini aku memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.

"Setelah apa yang kulakukan padamu, emosiku yang tidak stabil dan wajah yang cacat, aku tak yakin kau masih ingin bersamaku."

Diam-diam aku menitikkan air mata. Rasa sakit itu masih ada, membekas hingga ke akar-akarnya dan membuatku nyaris tidak bisa bernapas dengan benar.

"Sesungguhnya aku tidak begitu lapar. Namun visi akan seorang gadis dengan mata biru muda dan rambut silver mendatangi mimpiku. Ia terlihat sangat cantik dengan binar cahaya di wajahnya. Ulasan senyumannya bahkan jauh lebih manis dari milikku."

Luna pun menoleh, menatapku dengan aliran air mata yang terus membasahi pipinya yang tak kunjung merona.

"Ia mengatakan suatu hal yang berhasil membuatku terbangun dan membangkitkan emosiku. Ia mengatakan bahwa kau telah lama menunggu kehadiran gadis itu. Kau bahkan juga sudah setuju untuk bersamanya."

Kemudian gadis itu mengerjap. Kembali menjatuhkan air matanya yang berwarna merah.

"Itu benar, Arthur?"

Aku menarik dan menghela napas, memikirkan jawaban terbaik agar Luna dapat melupakan masalah ini. Namun satu-satunya yang berada di benakku hanyalah ada wajah Luna, membuat otakku buntu dan bingung harus menjawab apa.

"Ya, benar. Itu sebelum kau datang ke dalam kehidupanku." Aku membalas tatapannya. "Dan jelas, aku menolak kehadirannya sejak kau datang dan mengisi pikiranku, Luna. Aku bersumpah aku sudah tak pernah mengharapkan kehadirannya lagi walau sedetikpun."

Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas. Memberikanku seulas senyuman simpul sebelum akhirnya ia kembali menatap langit dan membalikkan segalanya menjadi normal. Es-es yang telah ia keluarkan kembali masuk ke dalam tubuhnya, menyerap seperti cahaya dan membuat wajah Luna kembali merona.

Perlahan-lahan aku melangkah ke arahnya, terduduk di samping gadis itu dan kembali membawanya ke dalam pelukanku.

"Aku bersumpah aku tak akan menyakitimu lagi, Luna, bunuh aku jika aku melakukannya."

Luna terdiam, namun kedua tangannya meraih punggungku dan kepalanya bersandar pada kepalaku. Ia menggumamkan sesuatu, namun satu-satunya dapat kudengar hanyalah,

"Kami menyayangimu, Arthur."

To be continue

Ngehahaha maapkeun ya kl kurang memuaskan sejauh ini dan bikin bingung--tapi aku berharap gada yang bingung lagi kali ini :v

Makasi buat vommentnya! OuO See you soon~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro