Enambelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Angka-angka yang cukup besar beserta jarumnya yang terus berdentang dengan keras di hadapanku, memaksaku untuk menatapnya dalam diam dan menunggu hingga ruangan di sekelilingku berubah warna. Tidak memperbolehkan kedua mataku untuk terpejam.

Seingatku, aku telah menunggu selama dua belas hari sejak aku kehilangan kesadaranku akibat bertengkar dengan Putri Xeraphin di dalam tubuhku. Entah bagaimana bentuk tubuhku saat ini, yang pasti—dengan sangat yakin, Arthur telah merawatnya dengan baik.

Aku percaya akan segala cerita dongeng yang selalu mengisahkan tentang seorang gadis baik hati yang mencintai seorang pangeran. Tidak peduli sebesar dan sesulit apapun rintangan yang tengah di hadapi, mereka akan berakhir bersama dan bahagia.

Namun, ucapan demi ucapan putri setiap kali kami bertemu di alam mimpi membuatku kalut. Tak berani mempercayakan dongeng itu lagi dan beralih dengan sebuah dongeng kelam yang dulu diam-diam aku baca.

Suara denting jarum jam di hadapanku perlahan mulai mengeluarkan suara yang lebih keras. Membuat jantungku yang sudah tak lagi berdetak ingin kembali hidup seraya bertanya-tanya apa yang akan terjadi setelah ini.

Ketika jarum panjang telah menyentuh angka 12, perlahan angka-angka itu memudar. Menampilkan cahaya terang yang membuat kedua mataku menyipit. Tubuhku pun seketika tertarik oleh sesuatu, membawaku menuju suatu tempat hingga kedua mataku kembali terbuka lebar.

Aku tertegun saat samar-samar Raja dan Ratu Ave, Arthur dan Aidyn tengah mengelilingku yang terduduk di sebuah kursi roda. Membuatku mengerjapkan mata beberapa kali sampai akhirnya kedua mataku dapat melihat dengan jelas.

Arthur yang tengah berjongkok di hadapanku dan menggenggam kedua tanganku sedang tersenyum tipis. Mata biru lautnya menyiratkan kerinduan yang mendalam serta perasaan lega.

"Kau sudah bangun, hm?" Suara huskynya yang khas lantas membuahkan seulas senyuman di wajahku yang langsung di balas oleh miliknya. "Aku senang kau telah kembali, sayang."

Aku mengangguk, menatap Arthur sayu kemudian mengalihkan pandanganku untuk menatap hidung mancung Raja Xavier.

"Kami senang kau telah kembali, Lalluna."

Aku hendak menjawab, namun tenggorokanku begitu sakit hingga tak ada sedikitpun suara yang dapat keluar. Kemudian aku menganggukkan kepala, mencoba menjawab pertanyaan raja tanpa harus repot-repot melukai tenggorokanku.

"Arthur akan membantumu untuk memulihkan diri sampai besok." Ujar Ratu Xerafina yang langsung membuatku menatap matanya—ini permintaannya dulu. "Kalian berdua akan menetap di Istana untuk sementara."

"Raja dan Ratu memiliki pengumuman nanti malam. Dan kau harus mempersiapkan dirimu untuk itu, Luna." Sahut Aidyn.

Untuk kedua kalinya aku mengangguk, membuat Raja dan Ratu Kerajaan Immortal itu serta Aidyn tersenyum tipis seraya meninggalkan ruangan. Menyisakan aku dan Arthur yang kini tengah saling melemparkan tatapan penuh rindu serta senyuman tipis.

Tak lama kemudian, Arthur memutuskan untuk bangkit dari posisinya, mendorong kursi rodaku menuju ranjang dan memindahkanku ke sana. Aku bersandar pada punggung ranjang, memperhatikan pergerakan Arthur yang terlihat sedikit aneh.

Aku berdeham, mencoba mengembalikan suaraku dan ingin segera mengatakan bahwa aku merindukannya ribuan kali.

Seolah-olah tahu apa yang sedang kuinginkan, Arthur memberikanku segelas air mineral. Kuraih gelas itu dengan kedua tangan yang bergetar lemas, meminumnya dengan bantuan Arthur dan kekeringan di tenggorokanku mulai mereda.

Setelahnya Arthur kembali meletakkan gelas itu di meja yang berada di dekat pintu, duduk di sampingku seraya melipat kedua kakinya di atas ranjang. Kedua tangannya meraih tanganku, menggenggamnya erat kemudian menciumi punggung tanganku lembut.

"Aku—" Aku berdeham beberapa kali, menetralkan suaraku yang terdengar sangat parau.

"Aku merindukanmu, Luna." Selanya.

Aku tersenyum, melepas tanganku dari genggamannya dan mengisyaratkan Arthur agar ia memelukku. Pria itu pun terkekeh, menggeser bokongnya hingga di dekatku kemudian memeluk tubuhku erat.

"Aku juga."

Kemudian tangan besar Arthur mengusap-usap punggungku, menenggelamkan wajahnya di lekukan leherku seraya menciumi tanda yang pernah ia buat. "Kau berhutang banyak cerita kepadaku, Lalluna."

Aku mengangguk, ikut menenggelamkan wajahku di bahunya dan memperat pelukan kami. "Kau juga."

"Aku? Tentang apa?"

"Xeraphin."

Setelahnya Arthur mengangguk, menghirup aromaku banyak-banyak sebelum ia melepaskan pelukannya selembut mungkin. Kedua mata birunya menatapku lurus, seakan mengunci pandanganku agar tidak berpaling darinya.

"Apapun. Tanyakan saja." Ujarnya yang lantas membuatku mengalihkan pandanganku sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sudah lama berputar di benakku. "Namun sebelumnya aku harus memperbaiki tubuh ringkihmu terlebih dahulu, oke?"

Awalnya sebuah pertanyaan sudah berada di ujung lidahku. Namun suara Arthur yang terdengar sedikit bergetar membuatku mau tak mau mengangguk dan melupakan efek yang akan terjadi nantinya.

Tepat sebelum ia beranjak, bibir lembutnya menyapa bibirku, menciumnya dengan sangat lembut dan hati-hati hingga dapat kurasakan wajahku merona—walaupun aku sangat yakin tidak ada yang terjadi pada wajahku.

Setelah melepaskan ciumannya, Arthur mengambil nampan berisikan semangkuk bubur dan segelas susu. Tak lupa ia berikan sihir kepada nampan itu agar tetap melayang di udara.

Kemudian Arthur meraih mangkuknya, menyendokkan bubur itu perlahan-lahan yang langsung membuatku mual hanya dengan menatapnya. Bubur yang berada di sendok Arthur menjadi telihat sangat menjijikan, seakan makanan itu tidaklah layak untukku makan.

Arthur memergokiku yang tengah melamun, kembali meletakkan sendoknya di dalam mangkuk kemudian salah satu tangannya menyentuh daguku. Secara otomatis kedua mataku menatap kedua mata biru lautnya dengan resah.

"Ada apa?"

Aku menahan napasku sejenak, menggigit bibir bawahku ragu sebelum akhirnya mendesah berat. "Aku tidak makan makanan seperti itu lagi."

Kedua alis Arthur terangkat. "Lalu?"

"Jangan marah ataupun tersinggung." Kualihkan pandanganku darinya sejenak. Mengumpulkan keberanian yang telah lama terpendam jauh di dalam diriku. "Aku seorang vampir dari ras Darah Merah. Hanya bisa meminum darah manusia, maksudku, kau."

Ada jeda sejenak di antara kami sebelum akhirnya Arthur meletakkan mangkuk bubur di atas nampan terbang dan mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Kalau begitu, minumlah."

"Arthur.."

"Aku serius."

Dalam sekejap aku dapat melihat matanya berubah menjadi oranye dan kembali menjadi biru. Kemudian ia menelengkan kepalanya ke samping dan menampilkan lehernya. Aku menelan ludahku gugup, melirik leher Arthur yang begitu terekspos membuat dahagaku bertambah.

"Apa yang kau tunggu, hm?"

Aku menatapnya ragu, namun kedua bola mata indah itu terus memancarkan sebuah keyakinan mendalam. Hingga membuatku dengan ragu mendekatkan wajah pada urat nadi yang menonjol di lehernya.

Perlahan kedua taringku memanjang, menyentuh kulit leher Arthur yang seakan memberikanku sengatan listrik. Saat kedua taringku mulai menancap di lehernya, dapat kudengar Arthur sedikit menggeram, membuatku memejamkan mata dan mulai menyedot darah Arthur yang cukup panas.

Panas?

Dapat kurasakan kedua mataku mulai berbinar. Kulepaskan taringku dari lehernya kemudian menenggelamkan wajahku pada bahunya. Salah satu tangan Arthur meraih punggungku, merengkuhnya kuat hingga membuat air mata menumpuk di kedua mataku.

"Sayang, seharusnya kau menghisap lebih banyak."

Aku menggeleng, menyentuh dada bidangnya yang tak lagi dapat kurasakan kehangatannya seraya menahan getaran suaraku. "Tidak bisa."

"Kenapa?"

Seketika tangisanku pecah, membuat Arthur merengkuh tubuhku dengan protektif seraya mengusap kepalaku dengan lembut. Aku yakin Arthur tak tahu dan mengerti apapun tentang segala hal yang berbau vampir—ia bahkan tak mempercayainya dulu.

"Ada apa? Katakan padaku apa yang membuatmu tak bisa menghisap lebih banyak." Pintanya sembari sesekali menciumi puncak kepalaku. "Kita akan memperbaikinya. Aku akan membantu."

Tangisan dan air mataku perlahan berhenti. Kemudian kuangkat wajahku, mengamati wajah tampannya yang tengah menatapku penuh kekhawatiran yang lantas membuatku kembali menggigit bibir bawahku takut.

Arthur menggeleng, menyeka air mata serta jejaknya di kedua pipiku dengan penuh kasih sayang. Membuatku ingin menghindari takdir yang terasa begitu kejam dan hanya ingin bersama Arthur sampai maut menjemput.

"Aku akan mengatakannya suatu saat."

Arthur nampak tidak setuju dan hendak protes. Namun pada akhirnya ia mengangguk seraya tersenyum tipis. Membuat sebuah jiwa meronta kesakitan di dalam tubuhku.

.

.

.

Sebuah gaun berwarna merah tua yang cukup panjang—hingga dapat menutupi mata kakiku—menyelimuti tubuhku dengan pas. Rambut silverku yang telah tercampur warna hitam di beberapa sisinya menggantung indah di belakang punggungku dengan sebuah kepangan.

Kedua telapak tanganku diselimuti oleh sarung tangan berwarna hijau. Sementara kedua telapak kakiku tenggelam di dalam angkle boot wedges berwarna putih dan jangan lupakan jubah berwarna krem.

Aku sempat protes dengan berbagai perpaduan warna yang begitu aneh. Namun Aidyn terus memaksa bahwa aku harus menggunakannya. Membiarkan seluruh tamu melihat statusku dengan jelas dan tak merendahkanku hanya karena semata-mata aku lahir di Bumi—berita ini sudah tersebar sejak satu minggu lalu dikala aku tertidur.

Sebelum aku sampai di belakang panggung dan menunggu Raja Xavier memanggilku, aku sempat memperhatikan penampilanku pada pantulan cermin yang berada di kamar. Merasa janggal dengan kedua mataku yang berbeda warna.

Kanan ungu. Kiri biru muda.

Saat aku menanyakannya kepada Aidyn, ia mengatakan bahwa kedua mataku berwarna ungu. Awalnya aku tidak percaya dan berpikir bahwa ia hanya bergurau. Namun saat aku kembali menanyakan warna rambut, Aidyn menjawab bahwa sepertinya aku mulai buta warna dan berucap rambutku berwarna silver.

Ada yang aneh, pikirku.

Kesadaranku kembali tertarik saat Aidyn mendorong lembut punggungku. Memintaku untuk naik ke atas panggung karena raja telah memanggil. Kemudian aku menghela napas perlahan, memantapkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kulangkahkan kedua tungkaiku, menaiki undakan tangga secara hati-hati yang langsung disambut dengan tepuk tangan riuh. Aku kembali melangkah di atas panggung, membuat jantungku memompa dengan cepat dan seulas senyuman terlukis di wajahku.

Dengan segera aku menghampiri Raja Xavier, membungkuk padanya saat jarak di antara kami sudah tidak begitu jauh. Kemudian aku membalikan badanku, menghadap para tamu yang tengah menatapku dengan tatapan terpukau.

Tepat setelahnya aku mengedarkan pandangan dan langsung mendapati Arthur sedang memperhatikanku dari bangku terdepan—dia disebut-sebut sebagai tamu penting kerajaan. ia memakai jubah merah tuanya yang menandakan bahwa ia seorang Alpha.

Tak jauh dari sana, aku mendapati beberapa anggota pack tengah menatapku. Kelegaan terlihat dari kedua mata mereka karena telah melihatku kembali setelah berminggu-minggu tidak bertemu.

Raja Xavier pun mulai kembali berbicara dan mengenalkanku kepada para tamu. Membuatku membungkuk dalam seraya menarik pelan rok gaunku ke samping. Saat aku telah kembali berdiri, aku menoleh ke arah raja, memperhatikannya berbicara.

"Selama kurang lebih dua bulan Lalluna telah mencari-cari jati dirinya dan keberadaan jiwanya yang berada di dunia ini. Jiwa yang akan mengantarnya ke sebuah gerbang besar yang tak ada seorang pun berani melewatinya. Terkecuali para pendahulu kita, Yang Mulia Ratu Xave Liona Swans dan Yang Mulia Ratu Xave Juniel Prox."

Aku merasa tahu kemana pendahuluan ini akan berakhir.

"Dan di sinilah ia, seorang gadis yang memiliki status Luna dari sebuah pack besar Red Fire berdiri. Dengan beberapa warna yang menandakan beberapa keahlian yang telah ia raih selama tiga minggu terakhir."

Kualihkan pandanganku dan menatap para tamu yang terlihat tegang—termasuk Arthur.

"Dimulai dari seekor manusia serigala, penyihir tingkat lima yang telah mendapatkan gelar Ahli, vampir ras Merah yang cukup dapat mengendalikan diri dan seorang pengendali elemen yang baru saja diputuskan untuk memimpin Azurea sebagai Blackjack."

Aku tercekat. Kembali menoleh ke arah raja yang kini tengah menatapku dengan seulas senyuman dan tatapan 'terkejut?'.

"Ia akan melanjutkan pelatihannya menuju Xilvonia, kota para Pegasus, serta belajar mengembangkan sayap yang dimilikinya tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk diri Lalluna sendiri. Ia akan segera membuka gerbang yang telah lama tertutup dan dijauhi oleh orang-orang."

Bagaimana caranya bernapas?

Kemudian raja membungkuk dalam, menghindari tatapanku dan malah memutuskan untuk menatap hidungku. "Selamat datang, Yang Mulia Ratu Xave Lalluna."

Aku mematung saat seluruh tamu yang memenuhi aula kerajaan bangkit dari duduk mereka, membungkuk dalam sembari melepaskan topi yang mereka gunakan.

Pada akhirnya aku berhasil menggapai oksigen yang berhembus lembut di sekitarku. Mencoba bernapas dengan tenang ketika warga Ave kembali bangkit dan berdiri sembari menatapku.

"Katakan sesuatu, Ratu."

"Raja—"

"Panggil aku Xavier, Ratu."

Astaga.

Saat aku hendak menuruti perintah Raja Ave, seketika tubuhku tersentak kuat. Kedua tungkaiku bergetar hebat dan nyaris terjatuh jika raja tidak segera meraih lenganku.

Detik berikutnya dapat kudengar derap langkah terburu-buru dari ujung panggung, berlari ke arahku kemudian meraih lenganku yang raja genggam dan melingkarkannya di lehernya.

"Luna, tetaplah sadar."

Arthur.

Perlahan-lahan cahaya hitam mulai berpendar dari setiap inci tubuhku. Menyebar di antara terangnya cahaya hingga membuat ruangan menjadi lebih gelap.

Namun saat kegelapan nyaris menyelimuti seluruh ruangan, sebuah cahaya terang ikut berpendar rendah. Mengelilingi tubuhku seakan-akan ingin membuat diriku menjadi satu-satunya yang bercahaya dan titik fokus.

Kemudian aku mendengar seseorang berbisik lembut tepat di samping telingaku. Membuatku tersenyum miris dan perlahan mengangkat wajahku untuk menatap kegelapan yang menyelimuti para tamu.

"Putri Xeraphin Nathaniel mengatakan sesuatu." Ujarku yang lantas membuat Arthur meraih pinggangku dan menjaga tubuhku agar tetap utuh dengan sangat protektif. "Ia akan datang, dan dengan segera bertemu dengan kalian semua."

"Putri juga mengatakan bahwa ia merindukan kedua orang tuanya. Ia akan segera memiliki tubuh dan hidup bersama kami. Ia juga akan segera menemui Alpha Arthur, hidup dengan harmonis dan menjadi seorang wanita yang baik."

Arthur mengendus wajahku, seakan-akan ia dan Jackson tidak setuju jika aku mengatakan hal barusan. Kemudian aku menoleh menatapnya, membiarkan ia melihat kedua mataku yang mulai merasakan sebuah keperihan mendalam.

"Ada apa, sayang? Aku mohon jangan tutupi apapun lagi dariku."

"Kau akan segera tahu."

"Segera?"

Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, mengulas sebuah senyuman tulus untuk Arthur yang mungkin saja akan menjadi senyum terakhir yang dapat kulakukan semauku. "Aku mencintaimu, Arthur Rush Xavewood, Jackson."

Detik berikutnya udara yang berasal dari sekitaran ujung gaunku berhembus kencang, melepaskan ikat rambutku hingga membuatnya terbang. Perlahan aku melepaskan sentuhan Arthur, berjalan maju beberapa langkah sembari memejamkan mata dan mendongak.

Tidak seperti biasanya, napasku terdengar begitu tenang dan teratur. Seakan aku telah terlatih untuk menghadapi kondisi ini dan membiarkan segalanya berlalu dengan lancar.

Selanjutnya aku merasakan rasa dingin mulai menjalar dari ujung kakiku bersamaan dengan rasa sakit yang begitu mendalam. Aku mengernyitkan alisku, menahannya sedemikian rupa hingga sebuah pusaran air terbuat tak jauh dari sisi tubuhku.

Cahaya putih pun mulai memisahkan dirinya dariku, dan dengan teratur ikut mengelilingi pusaran air tersebut, membentuk sebuah wujud hingga aku sendiri dapat melihatnya dari balik kelopak mataku. Aku kembali tersenyum miris, mengepalkan kedua telapak tanganku seraya menahan erangan yang akan segera terlontar.

Dengan pasti tubuhku melayang rendah, cahaya hitam mulai menarik dirinya dari para tamu dan menyelimuti ujung kakiku yang sudah mati rasa. Api biru pun ikut membantu para cahaya hitam, mengelilingi tubuhku secara perlahan.

Dadaku terasa sangat sakit saat cahaya putih yang mengelilingiku mulai menipis dan menjauh dariku. Membuat kegelapan semakin memelukku dengan erat bersamaan dengan api biru yang terus mengikat jiwaku.

Seketika dapat kurasakan tubuhku tersentak, membuatku kembali membuka mata dengan perlahan dan mendapati seorang gadis yang memiliki ciri fisik yang begitu mirip denganku tengah berdiri tak jauh dariku.

Kedua matanya berwarna biru muda, rambutnya berwarna silver dan ia tengah memakai gaun yang tak jauh beda dariku—namun berwarna biru. Ia melihatku dengan tatapan khawatir, membuat kedua mataku berbinar tak ingin mempercayai takdir.

Xeraphin Nathaniel di hadapanku.

"Luna, kau baik-baik saja?" Suara cemprengnya membuatku benar-benar ketakutan. "Aku tak akan melukaimu." Ia pun mulai berjalan mendekat ke arahku, hendak menyentuhku namun aku berjalan mundur.

"Kau nyata."

Xeraphin tersenyum seraya menggeleng. "Tidak, kau sedang bermimpi."

"Mimpi?"

Kali ini ia mengangguk. "Para Xave mendapatkan kekuatannya dengan sangat mudah saat ia berada di titik keputus asaan yang mendalam. Dan kau tengah melakukannya. Kau mendapatkan sayap hitammu dan satu-satunya pekerjaan yang tersisa adalah mempelajari cara kerja para Pegasus."

"Bagaimana kau tahu itu?"

"Nenekku seorang Xave, Ratu Juniel." Masa bodoh. "Dan aku seorang pengendali waktu yang dapat bepergian kemanapun. Termasuk ke masa Xave Liona Swans dan membantu beliau melawan Nightmare."

Seketika sebuah memori menghantam benakku, memasukkan memori-memori para Xave terdahulu dengan paksa. Aku dapat melihat semuanya. Saat Xave Liona melawan Nightmare, pack Darkmoon dan nyaris menghabisi ras lainnya akibat jiwa vampirnya yang terus mencoba mengambil alih dirinya.

Kemudian pada masa Xave Juniel, disaat ia berusaha membunuh keturunan dari pack Darkmoon dengan bantuan dari sang Alpha. Disaat ia harus melawan ketakutannya terhadap manusia-manusia lainnya dan traumanya atas pengkhianatan yang didapatkan dari ras Peri sebelum ia diusir.

Setelahnya aku kembali menatap Xeraphin yang kini sudah berada di hadapanku. Salah satu tangannya menyentuh bahuku dan sebuah memori lainnya masuk ke dalam diriku.

Aku melihat Xeraphin tengah berdiri bersama dua teman lainnya dengan berpegangan tangan, merapalkan sebuah mantra demi memusnahkan Nightmare yang berada di hadapannya. Namun detik berikuntya, aku terhisap ke dalam tubuh Xeraphin. Hingga akhirnya kami menghilang entah kemana dan setiap 100 tahun sekali bereinkarnasi menjadi manusia sampai waktu yang tepat.

Aku terhisap.

Kedua kakiku kembali bergetar, menatap Xeraphin penuh ketakutan hingga akhirnya gadis itu merengkuhku dan membawanya ke dalam pelukan. Aku terisak. Tidak mempercayai takdir yang ternyata lebih kejam dari biasanya.

Aku seorang Xave, sang penakluk kegelapan.

Dan kegelapan itu sendiri,

Adalah aku.

To be continue

A/n baca cerita temen aku yuk haifasadza96, yang judulnya Red Velvet. Genrenya romance dan dia juga penulis teenfiction loh. Jangan lupa tinggalkan vomment sebagai tanda apresiasi! (*'∀`)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro