Epilog.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Athenna's POV

Kedua tangan hangat itu memeluk pinggangku dari belakang. Dagunya ia sandarkan di atas bahuku seraya memperhatikan kedua tanganku yang sedang berkutat dengan bahan makanan.

"Kalau ayahmu lihat, kau berada dalam masalah, Arthan."

Arthan—anak pertamaku itu—menggelengkan kepalanya. Ia dulu memang sering seperti ini saat kami berada di Bumi. Namun aku sudah melarangnya untuk melakukan hal demikian karena Arthur adalah pecemburu hebat.

"Arthan, hentikan." Tegasku.

Namun lagi-lagi ia menggeleng. "Aku, 'kan, anak Ibu. Memangnya salah?"

"Tentu salah," sahut suara serak yang berhasil membuatku menegang. "Lepaskan tanganmu, Arthan."

Anakku ini menoleh ke belakang. Seperti memastikan siapa yang berbicara sebelum memutuskan mengeratkan pelukannya padaku. Astaga.

"Tidak mau."

"Arthan," kali ini suara Arthur sedikit menggelegar. Ia menghampiri kami dan berdiri tepat di samping kami. "Ayah bilang lepaskan."

Arthan tidak menjawab, justru ia menenggelamkan wajahnya di leherku yang lantas membuatku mendongak untuk menatap Arthur.

Wajah pria itu terlihat mengeras, rahangnya menegang dan kedua mata oranyenya tengah berkilat-kilat.

Aku menghela napas, mengusap dada bidangnya lembut hingga berhasil membuat Arthur menoleh. Ia menatapku tidak suka yang kubalas hanya dengan senyuman tipis.

"Kau cemburu dengan anakmu sendiri, hm?"

Kemudian Arthur bersedekap. "Tidak."

"Lalu?"

"Aku hanya tidak suka jika ia mengganggumu."

"Tapi aku tidak mengganggu ibu," timpal Arthan. "Iya, 'kan, Bu?"

Aku terkekeh, menepuk tangannya yang berada di pinggangku kemudian melepaskannya dengan lembut. "Sudahlah. Ibu tidak mau ada perang dingin di sini."

Dengan berat hati Arthan melepaskan pelukannya. Namun sebelum ia meninggalkan kami, ia mengecup pipiku yang langsung mendapat pelototan dari ayahnya.

Dan lagi, aku terkekeh.

Berikutnya Arthur meraih kedua tanganku dengan satu tangan besarnya. Menggeser seluruh peralatan yang berada di meja dapur kemudian mengangkatku untuk duduk di sana.

Ia meletakkan kedua tangannya di samping pahaku, memajukan wajahnya sembari menatapku lekat-lekat dengan kedua matanya yang telah kembali menjadi biru laut hingga membuat kedua pipiku merona.

Kali ini Arthur terkekeh sembari mengecup bibirku kilat. "Jadi anakmu yang satu itu benar-benar genit terhadapmu?"

Aku mengangkat kedua alisku saat seulas senyuman lebar mengembang di wajahku. "Setidaknya ia tidak segenit dirimu."

"Aku?"

Aku mengangguk. "Dan tidak semesum dirimu."

Kami pun tertawa untuk beberapa saat. Mengingat betapa mesumnya pria tercintaku ini seraya memandangi wajahnya yang sangat kurindukan.

"Kalau begitu setelah kita makan, kau beserta tiga anak kembarku harus menceritakan segala yang terjadi."

"Anak kembarmu? Enak saja," aku menjulurkan lidah, kembali terkekeh kemudian merengkuh wajah hangat pria itu. "Anak kembar kita." Dan aku menciumnya.

Setelah menghabiskan beberapa detik untuk menyalurkan banyak kerinduan yang tersisa, Arthur mengecup keningku. Ia menurunkanku dari meja dapur dan mengundurkan diri untuk mandi.

Aku pun kembali melanjutkan aktifitasku, memasakkan daging beruang yang menjadi kesukaan ketiga anak kembarku sedari dulu.

Hingga suara-suara menggelegar memantul di dalam dinding rumah ini dan secara perlahan menjadi lebih keras saat sang empu suara berada di sebelah dapur.

"Itu sihir mematikan!"

"Tidak, bodoh! Itu hanya sihir untuk menghidupkan tanaman!"

"Ibu mengajariku itu! Aku tahu itu sihir apa, Arthan!"

"Kau tidak tahu apapun!"

"Jangan keras kepala!"

"Kau yang keras kepala, Azra!"

Aku mendesah kesal, kembali meninggalkan masakanku kemudian berjalan menuju perbatasan ruang dapur dengan ruang keluarga. Keduanya terdiam saat melihatku tengah bersedekap sembari menatap mereka malas.

Tak lama kemudian anak gadisku ikut datang, berdiri di tengah dua saudara laki-lakinya sembari menatapku menyesal. "Maaf, Ibu."

"Kalian tahu ini jam berapa?" Tanyaku dengan suara yang sangat rendah.

Azra pun terlihat melirik jam dinding. "Jam delapan." Ucapnya nyaris berbisik.

"Maaf telah membuat kacau pagi-pagi seperti ini, Bu." Ujar Xlavira—anak gadisku.

"Aku tidak butuh maafmu, Xlavira," kutunjuk kedua anak lelakiku. "Aku tidak ingin ada pertengkaran tentang sihir lagi setelah ini. Kalau kalian memiliki beda pendapat, tanyakan pada ayah kalian. Ia juga seorang penyihir. Mengerti?"

"Kenapa tidak Ibu saja yang menjawab perdebatan kami?" tanya Azra dengan polosnya.

Aku pun menghela napas. Mencoba menyabarkan diriku karena anak bungsuku ini memang sangat percaya denganku. Seolah suatu hal lainnya akan ia anggap bohongan jika itu tidak keluar dari mulutku langsung.

"Ibumu sedang sibuk memasak," sahut Arthur dari belakang mereka yang kini tengah berjalan menghampiriku. Seluruh pandang mata pun tertuju pada pria yang berstatuskan ayah bagi ketiga anak kembarku. "Dan Arthan benar. Itu hanya sihir untuk tanaman."

Aku menganggukkan kepala, melirik ke arah Arthur sejenak sebelum pandanganku dan Azra kembali bertemu.

"Apakah yang diucapkan ayah benar, Bu?" tanyanya.

"Kau tidak mempercayai Ayahmu?" tanya Arthur balik tanpa menghiraukan pertanyaan Azra yang ditujukan kepadaku.

Azra terdiam sejenak, ia terus memandangiku hingga akhirnya menggeleng kecil. "Aku percaya Ayah."

Kali ini Arthur yang mengangguk. "Bagus. Kalau begitu Ayah yang akan mengajarkanmu dan Arthan sihir. Kalau perlu, kita minta Kakek Romeo untuk membantu."

"Kakek Romeo? Raja Penyihir terkuat abad lalu?" tanya Xlavira antusias.

Aku melihat Arthan ikut mendengarkan baik-baik apa yang saat ini Arthur ceritakan tentang Raja Romeo kepada anak-anak kami. Walaupun ia menutupi antusiasnya dengan wajah datarnya itu, aku tahu Arthan begitu senang mendengarnya.

Mereka memang mengagumi Raja Romeo, ayah Arthur.

Setelahnya aku meninggalkan ketiga anakku dan Arthur di ruang keluarga. Melanjutkan acara masak-memasakku yang tertunda.

Ketika segalanya telah siap dan sudah kuhidangkan di atas meja makan, aku memanggil empat manusia itu untuk sarapan terlebih dahulu. Kemudian kami memakan sarapan dengan keadaan tenang dan—bagiku—begitu hangat.

Aku membiasakan ketiga anakku untuk bersikap sopan saat tengah makan. Tidak ada bunyi dentingan sendok dan garpu di atas piring, tidak mengecap, duduk dengan tegap dan tidak berbicara.

Arthur melihatku dengan tatapan bertanya-tanya. Walaupun begitu, seulas senyuman tipis terulas di wajahnya. "Kau memperhatikan dengan baik saat itu."

Diam-diam aku terkekeh. "Kau yang mengajariku. Tentu aku memperhatikannya."

Setelah acara sarapan berakhir, Xlavira membantuku merapikan dapur dan meja makan. Sementara ketiga pria itu menunggu kami di ruang keluarga sembari membicarakan kemampuan mereka yang sama. Sihir.

"Bu," panggil Xlavira sedikit berbisik yang hanya kubalas dengan gumaman. "Ibu sangat mencintai ayah, ya?"

Aku pun tertawa kecil. "Tentu, sayang. Ada apa?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya dan masih terfokus dengan membersihkan meja dapur.

"Baru kali ini aku melihat Ibu nyaris tersenyum sepanjang pagi dan merona saat makan. Ibu juga jadi lebih pendiam saat ada ayah."

Sekali lagi aku tertawa, mengelap tanganku pada tisu kering kemudian menyandarkan bokongku pada meja dapur. Kuraih kedua tangan Xlavira lembut seraya menatapnya lekat-lekat.

"Sayang, ini namanya cinta. Di saat ada seseorang yang kau cintai di dekatmu, pasti kau merasa bahagia. Seolah dunia hanya milik kalian berdua. Tidak memandang waktu dan sekitar, kau hanya ingin berdua dengannya." Jelasku yang membuat Xlavira mengangguk.

"Tapi Ibu dan ayah masih ingin bersamaku, Arthan dan Azra, 'kan?"

Aku melebarkan seulas senyuman di wajahku. "Tentu, sayang."

Kemudian Xlavira memelukku, membuatku membalas pelukannya seraya mengusap-usap punggung gadisku lembut. "Aku mencintaimu, Bu."

"Ibu juga mencintaimu, Xlavira."

"Masih lama?"

Dengan segera aku menghela napas. Melepaskan pelukan Xlavira kemudian mengajaknya menuju ruang keluarga. Azra dan Arthan tengah berdiskusi pelan, sementara Arthur hanya memperhatikan mereka dan sesekali tersenyum.

Xlavira menyusul kedua saudaranya, ikut mendengarkan diskusi yang diucapkan saudaranya dengan seksama. Aku pun duduk tepat di samping Arthur, membuat pria itu menoleh kemudian merangkulku dan mengecup pelipisku kilat.

"Waktunya pembayaran janji kepada Ayah." Ujarku yang langsung membuat Arthan, Azra dan Xlavira menoleh.

Xlavira duduk di lantai bersama Azra, sementara Arthan bersandar pada punggung sofa seraya menatap kedua adik kembarnya.

"Aku tidak perlu bercerita betapa memaksanya kau untuk membuat mereka di hari pertama kita menikah, 'kan?" candaku seraya bertelepati pada Arthur.

"Akan lebih bagus jika kau menceritakannya padaku sembari melakukannya lagi."

Aku mendelik ke arah Arthur walaupun wajahku kini telah merona. Membuat pria itu menyeringai mesum yang hanya kubalas dengan pukulan kesal di dadanya.

"Jadi kami tinggal di Bumi bersama Kedua dan Raja Ricky," mulaiku. "Kedua yang merawatku dan memastikan kesehatanku saat mengandung ketiga anak kembar ini."

"Ibu, siapa Kedua?" sela Azra.

"Nenek Juniel." Jawab Arthan singkat yang kubalas dengan anggukan.

"Kami hidup di rumahku dan sesekali pergi ke rumahmu untuk, yah, sekadar meminjam beberapa peralatan dan menginap untuk beberapa kali. Dan seperti kebiasaanku dulu, kami berburu untuk mencari santapan makan sehari-hari."

Xlavira pun menyahut. "Aku bisa membunuh tiga sampai empat beruang!"

Azra mengangguk antusias. "Aku juga! Tapi aku hanya dua."

"Arthan lebih hebat! Dia bisa membunuh lima!" lanjut Xlavira kemudian menatap Arthur. "Kami keren, 'kan, Yah?"

Arthur pun terkekeh. "Masih kerenan ibu kalian."

Dapat kurasakan wajahku semakin memanas, membuat ketiga anakku tertawa dan Arthur yang mencubit kedua pipiku gemas.

"Ibu kalian pernah membunuh Ratu Beruang," lanjut Arthur yang disahuti dengan decak kagum anak-anak kembarku. "Dia juga membunuh para penyihir kegelapan dan membebaskan dunia ini dari kejahatan."

"Sungguh?" tanya Arthan—setelah sekian lama bungkam.

"Ibu tidak pernah cerita!" Xlavira pun mengerucutkan bibirnya.

"Ibu berhutang cerita pada kami!" timpal Azra yang lantas membuatku dan Arthur tertawa kecil.

Setelahnya aku kembali bercerita kehidupan kami saat di Bumi. Mengatakan seluruh cerita secara lengkap termasuk mengatakan anak kembar kami yang mulai mendapatkan kekuatan di umur 86 tahun.

Awalnya mereka merasa aneh karena tak ada tanpa penuaan sama sekali seperti apa yang ia lihat di lingkungan sekitar kami—di dekat rumah Arthur karena sekitaran rumahku masih berupa hutan dan tidak tersentuh manusia selama 150 tahun terakhir.

Sampai pada akhirnya, di suatu malam bulan purnama, aku melihat Arthan gelisah di dalam tidurnya. Keringat membasahi tubuhnya hingga sebuah bulu berwarna kelabu mulai tumbuh di kulit pucatnya.

Aku membangunkan anak sulungku itu, membawanya pergi menuju pekarangan belakang rumah agar ia dapat melihat sinar rembulan dengan jelas.

Tepat setelahnya tubuh Arthan bergetar dan perlahan-lahan ia merintih kesakitan. Bunyi tulang-tulang patah terdengar hingga tubuh pria itu berubah sepenuhnya menjadi seekor anjing berbulu kelabu.

Kedua mata biru muda Arthan telah berubah menjadi oranye, mengingatkanku pada sosok yang telah lama aku dan Leah rindukan dan entah kenapa mengundang air mata. Kemudian ia menghampiriku, menyodorkan kepala besarnya untuk kupeluk.

Setelahnya, di lain hari bulan purnama, Xlavira yang tengah membantuku merapikan dapur merasakan panas di punggungnya. Ia merintih kesakitan sampai menangis di hadapanku. Belum sempat aku menyadari apa yang tengah terjadi, baju gadis itu telah tersobek dan sepasang sayap berwarna ungu mengembang di balik punggungnya.

Ia seorang penyembuh.

Lain halnya dengan kedua kakaknya, Azra mendapatkan sihirnya saat ia tengah mencoba untuk menutup pintu rumah yang terbuka. Dan bedanya, aku tidak ada di sana. Ia menceritakannya padaku.

Azra bilang saat itu ia tengah berharap memiliki kekuatan sihir seperti yang Arthan dan Xlavira miliki. Ia mengharapkan sebuah kekuatan yang dapat menutup pintu rumah dengan sendirinya.

Kemudian ia menjulurkan tangannya ke arah pintu, terus memikirkan rasa irinya terhadap kedua kakaknya dan simsalabim, pintu itu tertutup. Awalnya aku dan kedua kakaknya tidak percaya, hingga Azra menunjukkannya lagi dan aku tersadar bahwa ia adalah seorang penyihir.

Hari telah berubah petang saat kami berhenti bercerita. Membuat anak-anak kembarku bangkit dari duduknya dan beranjak berlatih di pekarangan belakang.

Sementara aku dan Arthur masih bertahan di tempat. Atau lebih tepatnya, Arthur menahanku. Ia menatapku lekat-lekat hingga dapat kusadari bahwa ada suatu cerita yang terlewatkan.

"Bagaimana bisa kau hilang dari dunia ini selama bertahun-tahun, sayang?" tanya Arthur sembari menyelipkan rambut hitamku di balik telinga.

Aku menarik napas perlahan, berpindah tempat duduk dan berhenti di atas pangkuan Arthur. Kedua kakiku menekan punggung sofa, sementara kedua tanganku melingkar di lehernya. Dan seperti biasa, Arthur ikut melingkarkan tangannya di pinggangku dan mengecup bibirku.

"Soal 150 tahun itu, karena aku tidak berhasil menemukan portal dan kekuatanku tidak muncul selama itu. Sehingga aku harus menunggu Arthan, Xlavira ataupun Azra agar dapat membukanya. Walaupun, yah, sedikit sulit untuk mengajarkan mereka tanpa memiliki kemampuan sedikitpun,"

Arthur menghela napas, kembali mengecup bibirku seakan memintaku untuk kembali lanjut bercerita.

"Dan kau tahu, 'kan, jika seberapa lamapun waktu yang kuhabiskan di dunia ini tidak akan berpengaruh pada waktu di Bumi?" tanyaku memastikan.

Arthur pun mengangguk.

"Itu artinya, aku meninggalkan tubuhku di sana dan mendapat tubuh yang baru saat memasuki Ave," jelasku. "Dan kau tahu, 'kan, kalau aku adalah jiwa yang tergabung di dalam kegelapan Nightmare?"

Sekali lagi Arthur mengangguk.

"Selama ini aku tidak benar-benar hidup. Aku hanya ditugaskan oleh para jiwa Nightmare untuk menggunakan tubuh itu karena mereka tahu, aku akan menjadi seorang Athenna Xeraphin Nathaniel, sang Xave.

Sementara jiwa Zahira dan Helen yang kalian kenal, itu sesungguhnya bukan aku dan Sherina. Aku baru menyadari hal itu karena aku tidak mengingat apapun dan ingatan Leah yang baru menjelas. Leah bilang kepribadianku dengan Helen memang sangat mirip, wajah kami juga. Namun itu bukan aku.

Kembali ke Nightmare, aku juga tersadar bahwa jiwa-jiwa yang terperangkap di dalam sana adalah penyihir hitam yang dikurung oleh penyihir hitam. Dan satu-satunya hal yang bisa melepaskan belenggu itu hanyalah seorang Xave yang memiliki sihir hitam.

Dan aku melakukannya. Aku melepaskan mantra black expulso yang berarti meledaknya sihir hitam. Sihir itu aku yang membuatnya secara diam-diam dulu sekali saat masih menjadi Anna Jevier. Karena aku memang sempat merencakan balas dendam terhadap Sky yang begitu rasis.

Dengan artian, sihir itu hanya aku yang bisa melakukannya dan hanya aku yang bisa mengaturnya. Sehingga saat aku merapalkan mantra itu, aku menginginkan penyihir hitam yang jahat lenyap dari dimensi manapun selamanya dan penyihir hitam yang terbelenggu serta baik, akan lepas.

Ditambah dengan adanya hujan yang turun—selain tanda dari adanya perubah takdir—itu juga membuat portal Ave menuju dimensi lain terbuka. Jiwa-jiwa kami terpental jauh dan tak beraturan.

Hingga aku teringat suatu sihir yang pernah kubuat juga sebelumnya, membuatku terpental menuju rumahku bersamaan dengan benih-benih anak kita. Kau tahu, berkat paksaan dan senyum mesummu siang itu, kau sudah berhasil membuatku mengandung lagi."

Arthur tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatapku lekat-lekat sampai akhirnya aku tersadar bahwa rahangnya tengah menegang. Ia pasti merasa sangat bersalah saat itu.

Kurengkuh wajah pria ini hangat, menatapnya teduh sembari tersenyum tipis. "Jangan menyesali apapun, tolong."

Ia mengangguk, mengeratkan pelukannya pada pinggangku kemudian berucap. "Seharusnya aku mengecekmu ke Bumi. Bukan hanya berdiam diri di sini."

"Arthur.."

"Luna—"

"Sstt," aku menyentuh bibirnya lembut. "Namaku bukan Luna."

Mendadak Arthur tersenyum tipis, salah satu tangannya mengusap pipiku lembut kemudian merengkuhnya tak kalah hangat. "Tapi aku senang kau baik-baik saja selama ini."

Aku pun mengangguk seraya mengalungkan kembali tanganku di lehernya.

"Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kau tidak datang beberapa hari lalu."

Sekali lagi mengangguk. Membuat pria itu mencium bibirku lembut. Aku membalasnya, ikut mengalirkan rasa rinduku pada Arthur yang sudah tak lagi terbendung.

Tak lama seperti dahulu kala, Arthur segera melepaskan bibirnya mengingat ada anak kami yang mungkin saja tidak sengaja melihat. Ia menempelkan dahinya pada dahiku seraya kembali mengusap pipiku.

"Tapi aku masih tidak terima kau tidak ada di sisiku saat aku melahirkan," ujarku yang lantas membuat Arthur menatapku menyesal. "Sebagai gantinya, tidak ada melakukan untukmu hingga 50 tahun ke depan."

END

Heyhoo, masih ada yang bingung kenapa Athenna bisa hamil? Coba cek part 32 bagian terakhir hayoo~

Aku udah menuntaskan epilognua nih ya hoho maaf kl ga sesuai harapann

Terima kasihh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro