Lima.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for the late update eue

Enjoy ~❤

Luna's POV

"Dan kau, Luna, persiapkanlah dirimu untuk menjadi seorang Ratu dari pack ini. Ratu dari pack Red Fire dan menjadi Luna yang baik."

Setelah Putri Viona mengatakan hal itu pun aku langsung mengerti apa yang sedang terjadi.

Aku akan menjadi Luna.

"Tentu, Putri Viona." jawabku lalu membungkuk sejenak.

Kurasakan tangan hangat seseorang mengusap rambutku lembut, membuatku mendongak dan kembali menatap Putri Viona bingung.

"Jangan begitu formal denganku, Luna," Putri Viona pun tersenyum. "Panggil saja Vee."

Aku melirik Arthur ketika kurasakan ia melingkarkan satu tangan kekarnya dipinggangku sembari tersenyum. Kualihkan pandanganku dari Arthur dan kembali menatap Putri Viona.

"Baiklah, Vee."

Vee pun kembali mengusap kepalaku, menepuk bahu Arthur lalu melenggang pergi dari hadapan kami.

Belum sempat aku bertanya siapa Vee sebenarnya, Arthur sudah menarik pinggangku dan membawaku ke hadapan khalayak. Untuk beberapa detik kudapati ruangan ini hening dalam sekejap, seluruh pasang mata tertuju kepadaku dan Arthur membuatku sedikit risih akan hal itu.

Bukannya melepaskan tangannya dari pinggangku, Arthur malah mengeratkan pelukannya. Selanjutnya kudapati diriku bertanya-tanya dengan apa yang terjadi pada Arthur, kedua mata biru lautnya berubah menjadi oranyeㅡsama seperti yang aku lihat malam ituㅡdan tatapannya menjadi sangat tegas.

"Kau sudah siap, Arthur?" ku alihkan pandanganku dan mendapati seorang pria dengan mata berwarna blue navy itu penasaran.

"Tentu, Alpha Gregory."

Perlahan-lahan Arthur melepaskan pelukannya pada pinggangku, membuatku menatapnya bingung. Namun seulas senyuman terukir diwajahnya, ia mengecup keningku kilat lalu maju beberapa langkah dari tempatnya.

Kulihat seseorang yang Arthur panggil dengan sebutan Alpha Gregory itu maju keatas mimbar dan berpidato sejenak. Setelah itu Arthur mendekati Alpha Gregory dan menggoreskan sesuatu ditangannya, membuat sebuah aliran darah kecil mengalir.

Oh, Alpha Gregory juga.

Mereka berjabat tangan setelah menggoreskan sesuatu pada tangan mereka. Detik berikutnya kudengar sebuah suara yang sangat dalam memecah suasana hening yang menyelimuti kami.

"Saya, Gregory Blake Xands, Alpha dari pack Red Fire, menyerahkan jabatan saya kepada Arthur Rush Xavewood."

Hal selanjutnya yang dapat kulihat ialah api membakar tubuh Arthur dengan lebat, membuatku nyaris berteriak histeris jika seseorang tidak menghalangi pandanganku dan membekap mulutku.

"Jangan, Luna, ia tidak akan terbakar."

Aku mengangguk mengerti tanpa kusadari, setelah itu seseorang dihadapanku kembali ke tempat semulanya dan aku mendengar sorak kebahagiaan menggema di ballroom ini. Membuatku tersadar bahwa kini Arthur sedang menatapku dan mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menunggu aba-aba, kuraih tangan hangat milik Arthur lalu berdiri disebelahnya. Ikut memperhatikan para khalayak dihadapanku dengan seksama dan membuat semua orang dihadapanku terdiam.

"Aku, Alpha Arthur Rush Xavewood, ingin memperkenalkan Luna kalian yang baru, Lalluna Revolder."

Pada saat itu pula sorak itu kembali terdengar, semua orang menatapku bahagia hingga tanpa kusadari wajahku memerah malu.

Ku dengar Arthur tertawa kecil lalu merengkuh bahuku dengan hangat, membuatku merapatkan diri kepadanya dan menikmati sensasi kehangatan dari tubuhnya.

"Siapapun yang berani berinteraksi dengannya tanpa izinku, akan kupastikan Laut Hitam menjadi tujuan terakhir kalian." kecam Arthur di hari pertamanya saat menjadi Alpha.

Aku menghela napas gugup saat kudapati lautan manusia dihadapanku terpaku dan menurunkan pandangannya. Bahkan beberapa dari mereka terlihat bergetar ketakutan.

Kudongakkan kepalaku untuk menatap Arthur yang-menurutku-24 senti meter lebih tinggi dariku. Kini pria berambut kelabu itu tertawa dan membuat seluruh pasang mata mendongak menatapnya.

"Kenapa kalian begitu tegang seperti itu?" Aku pun tersenyum. "Aku memang serius tentang ancamanku, tapi itu bukan berarti aku adalah pria yang kejam. Kita semua adalah keluarga, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,"

Arthur pun menatapku, membuat jantungku berdetak kencang saat senyuman yang sangat ku rindukan terlukis wajahnya.

"Namun tetap pada aturan."

Kejadian selanjutnya yang kuketahui ialah Arthur menarik pinggangku lembut dan membawaku untuk menuruni tangga. Sementara manusia yang sedari tadi memperhatikan kami kembali sibuk dengan apa yang sebelumnya mereka lakukan.

Ukiran senyuman diwajahnya pun menghilang seiring dengan beberapa manusia yang menghampiri kami, bahkan rahangnya terlihat mengeras dan kedua mata oranyenya sesekali berkilat-kilat. Aku hendak bertanya apa yang terjadi padanya namun pada saat itu pula aku dapat melihat Arthur membungkukkan tubuhnya terkejut.

Aku yang mengikuti arah pandang Arthur pun ikut terkejut saat mendapati dua pasang manusia yang sangat sempurna sedang tersenyum kearah kami. Membuatku ikut membungkukkan tubuh dan kembali berdiri saat kurasakan kedua manusia itu sudah berada dihadapan kami.

"Alpha Arthur." sapa seorang pria berambut hitam dan bermata hijau tua. Demi apapun dia sangat tampan! Rahangnya terbentuk sangat tegas dan- ugh! Aku menyukainya.

"Yang Mulia Raja."

Kulihat Arthur meraih uluran tangan pria dihadapan kami lalu menundukkan pandangannya. Sementara aku yang tidak mengerti apapun ikut menunduk-mencoba untuk lebih baik dari pada saat aku bertemu Putri Viona.

"Dan siapa namamu, gadis cantik?" tanya seorang wanita yang lantas membuatku mendongak dan menatap wanita bermata merah marun itu.

"Lalluna," jawabku menggantung, bingung harus memanggil wanita itu apa. Detik berikutnya wanita itu tertawa kecil lalu tersenyum kepadaku.

"Kau pasti pendatang baru," ujarnya lalu menghampiriku dan mengusap kepalaku lembut. "Mari, akan aku kenalkan padamu beberapa hal dari dunia ini, Lalluna."

Aku pun mengangguk. Namun sebelum wanita dihadapanku meraih tanganku, Arthur berbisik kearahku yang lantas langsung membuatku kembali menundukkan pandanganku.

"Beliau adalah Ratu Ave, tundukan pandanganmu, sayang."

Aku menelan ludahku ketika lagi-lagi kudengar seseorang tertawa, tidak, bukan seseorang, Yang Mulia Raja dan Arthur juga. Kurasakan wajahku memanas, menelan bulat-bulat rasa maluku lalu melenggang pergi bersama Yang Mulia Ratu yang berjalan disampingku.

Setelah itu aku terus berjalan dengan wajah tertunduk dan kembali mengundang tawa sang Ratu. "Angkat wajahmu, Lalluna. Arthur sepertinya benar-benar membuatmu takut."

Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku, namun dengan sekuat tenaga aku menjaga pandanganku dari sang Ratu yang seakan-akan ingin terus di tatap. Sembari menemani sang Ratu mengelilingi ballroom ini, dapat kulihat manusia-manusia yang kami lewati ikut menundukan pandangannya dan membuka jalan.

Setelah sampai didekat hidangan makanan, sang Ratu memutar tubuhnya dan menatapku, membuatku ikut memutar tubuhku dan menundukkan kepala. Untuk kedua kalinya sang Ratu mengusap kepalaku lalu menyentuh daguku agar dapat menatapnya.

"Tatap aku, Lalluna."

Dengan segenap keberanian yang ada, aku mengangkat pandanganku dan menatap Ratu. Sebuah getaran pun terjadi tepat setelah aku menatap matanya, seakan-akan tatapannya berbicara pada setiap inchi dari tubuhku. Kulihat ia tersenyum lalu meraih kedua bahuku.

Sang Ratu terdiam, namun ia memperhatikan penampilanku dari atas hingga bawah sampai pada akhirnya ia tertuju pada kalung yang bertengger didepan dadaku. Setelah itu kedua mata merah marunnya kembali menatapku dan senyuman diwajahnya semakin mengembang.

"Tuhan memberkatimu, sayang," ujarnya yang lantas membuatku bingung. "Dengan kedatanganmu ke dunia ini, akan membawa banyak perubahan bagi kaumku."

"M-maksud Anda apa, Yang Mulia Ratu?" tanyaku gugup.

"Kau akan tau secepatnya," kali ini sang Ratu memelukku. "Aku berharap yang terbaik darimu, Lalluna."

Perlahan-lahan aku mengangguk, walaupun tidak begitu mengerti tentang pernyataan sang Ratu. Namun lebih baik jika aku mengingatnya dan meresapinya dengan baik, siapa tau aku benar-benar akan mengerti secepatnya.

Setelah itu sang Ratu melepaskan pelukannya padaku lalu mengajakku untuk berbincang dengan beberapa petinggi dan warga packku. Entah aku saja yang terlalu percaya diri atau memang setiap manusia yang menatapku merubah sorot matanya menjadi sorot nafsu. Aku bergidik ngeri diam-diam.

Sampai pada akhirnya ketika Ratu izin undur diri, seorang pria dengan rambut pirang yang memperkenalkan dirinya dengan nama Sammy menjilat bibirnya dan menatapku penuh minat.

"Luna Lalluna, senang bertemu denganmu," bisiknya tepat di samping telingaku. "Dan kelihatannya Alpha Arthur belum menandaimu."

Hal selanjutnya yang kudapati ialah Sammy sudah terjungkal kebelakang dan tubuh tegap Arthur berdiri tepat dihadapanku. Para tamu disekitar kami pun berhenti melakukan aktifitas dan menatap Arthur serta Sammy bergantian.

"Aku baru saja mengatakan untuk tidak berinteraksi dengan Luna tanpa izinku. Apakah kau tuli?"

Aku menyembulkan kepalaku dari balik punggung Arthur ketika kurasakan udara disekitar kami bergetar. Aku tau ini adalah ketegangan diantara Arthur dan Sammy yang berkembang pesat setelah penuturan Arthur barusanㅡaku sering merasakan ini saat berburu dulu.

Kulihat Sammy bangkit dari duduknya sembari menyeringai, ia menatap Arthur menantang namun ia malah membungkuk.

"Maaf atas kelancanganku, Alpha." ujarnya namun masih menatap Arthur menantang.

Perlahan-lahan aku kembali ke posisiku lalu menyentuh punggung Arthur yang dibalut oleh jas berwarna hitamnya, berharap dirinya akan sedikit membaik saat aku menyentuhnya.

"Karena ini hari pertamaku menjadi Alpha, aku berbaik hati padamu, Sam," jawab Arthur dengan suara yang sangat berat dan ugh- sexy. "Tapi aku mau kau keluar, kembalilah ke rumahmu."

"Baik, Alpha."

Detik berikutnya Arthur memutar tubuhnya dan menatapku. Kedua mata oranyenya menyiratkan kekhawatiran dan penyesalan yang mendalam. Kedua tangan hangatnya pun mengusap kepalaku lembut lalu merengkuh wajahku yang lantas membuatku sedikit mendongak dan ia yang sedikit menunduk.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya masih dengan suara sexynya itu.

Dengan cepat aku mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja. Lagipula ia tidak melakukan apapun."

"Oh astaga, sayang," Arthur pun menarikku kedalam dekapannya. "Ia akan melakukan sesuatu jika aku tidak datang. Maaf telah meninggalkanmu sendirian dalam waktu yang cukup lama."

"Hanya 10 menit, bodoh," Candaku yang lantas membuatnya tertawa lalu menyandarkan dagunya diatas kepalaku. "Arthur, bukankah sekarang masih ramai?"

"Tentu saja, kenapa? Kau ingin aku melepas pelukanku? Tentu tidak, Nyonya Xavewood."

Kali ini aku yang tertawa, sedikit merasa beruntung karena Arthur memelukku sehingga ia tak bisa menatap wajahku yang sudah memerah malu. Aku pun memainkan kancing kemeja Arthur, memutar-mutarnya sejenak lalu mendongak mencoba menatap kedua mata oranye itu.

"Ada apa?"

"Aku ingin tau tentang ancaman yangㅡ"

"Jangan sekarang, sayang," sela Arthur lalu meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. "Banyak yang dapat mendengar."

Setelah itu Arthur pun menarik tanganku dan seketika kami sudah berada di ruangan yang selama ini telah menjadi tempatku untuk beristirahat. Aku baru sadar bahwa ruangan ini memiliki sebuah sofa berwarna putih yang berada tepat di didepan ranjang, sebuah televisi yang terpajang di dinding, dua buah lemari dan satu meja rias.

"Sesungguhnya ini ruangan siapa?" tanyaku pada akhirnya. Kulihat Arthur tertawa sembari melepas jas hitamnya dan melipat lengan kemeja putihnya hingga siku.

"Kamarku, sayang, kau tidak tau?" jawabnya yang lantas membuatku tertawa lalu mengangguk mengerti.

Kududukkan diriku di sofa berwarna putih itu yang diikuti Arthur yang duduk disampingku. Namun setelah itu Arthur meraih pinggangku dan menariknya hingga aku terduduk diatas pangkuannya. Ia pun melingkarkan tangannya di pinggangku yang lantas membuatku bersandar pada dada bidangnya dan kedua tanganku menyentuh tangannya yang berada di pinggangku.

"Dari mana aku harus memulai?" tanyanya sembari menggesekkan hidungnya pada hidungku.

"Apa itu Ave?"

Lagi-lagi Arthur tertawa. "Kau sudah tau itu. Bagaimana jika aku memulai dengan kenapa para tamuku tadi menatapmu dengan penuh minat?" tanyanya dengan sebuah geraman kecil yang tertahanㅡnamun aku masih bisa mendengarnya.

"Ya, jika kau tak keberatan." jawabku sembari mengusap-usap tangannya.

"Itu semua karena kau adalah manusia, mereka haus akan darah manusia," ujarnya yang membuatku mengerutkan alis bingung. Namun Arthur malah tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya pada pinggangku.

"Ave bukanlah negara biasa, sayang, Ave berbeda dengan bumi. Hitungan waktu disini berbeda dengan bumi. Itu berarti makhluk yang berada di dalam Ave pun juga berbeda," kali ini Arthur mengecup bibirku lalu mengusap pipi kiriku lembut.

"Kami bukan manusia, seperti apa yang pernah kutunjukkan padamu dan apa yang kukatakan pada malam terakhir kita di Qrisya," Arthur pun menarik napas.

"Ave di pimpin oleh seorang Xave atau keturunannya. Xave sendiri berarti orang terkuat di Ave. Ia memiliki semua kemampuan yang tidak dimiliki manusia lainnya walaupun kemampuan yang mengalir ditubuhnya hanya satu. Dan kemampuan itu berasal dari para Dewa yang memiliki ras berbeda-beda dan mempercayakan Ave pada seseorang yang sudah ditakdirkan menjadi Xave.

Ras itu sendiri terdiri dari ras werewolfㅡyang sangat mendominasi, ras Pegasus atau kuda bersayap, ras Peri Biasa dan Peri Bangsawan, ras Pengendali Elemen serta yang terakhir ras Beruang. Mereka semua memiliki pulau serta daerahnya masing-masing, walaupun ada beberapa yang berada di satu pulau yang sama. Untuk lebih detilnya aku akan menjelaskannya seiring waktu berjalan."

Aku pun mengangguk mengerti, mencoba mencerna informasi itu perlahan-lahan. Walaupun aku sadar bahwa informasi itu belum ada apa-apanya dengan ancaman yang Ayah katakan beberapa waktu lalu.

"Terakhir, ancaman yang Ayah maksud adalah ancaman dari Nightmare dan pack Darkmoonㅡwerewolf kegelapan," lanjut Arthur yang lantas membuatku mendengarkannya dengan serius.

"Nightmare terbentuk dari jiwa-jiwa yang tersesat dan kelam. Mereka adalah korban sihir hitam yang terjadi pada masa Xave Liona. Pada saat itu tubuh mereka dibuang ke Laut Selatan yang menghubungkan antara Maegovanenㅡdaerah para werewolfㅡdan Xilvoniaㅡdaerah para Pegasus. Namun ketika Xave Liona nyaris menghentikkan musuhnya, ia terkejut ketika jiwa-jiwa itu kembali bangkit dan menjadi bayangan yang dapat menutupi setengah dari dunia ini. Dan ancaman dari pack Darkmoon ialah membunuh Xave selanjutnya, sehingga kamiㅡatau, kitaㅡharus menemukan Xave selanjutnya lebih dahulu dan menyembunyikan serta melindunginya."

"Wow."

Hanya itu yang dapat keluar dari bibirku, seakan-akan aku kembali mendengar dongeng yang sering Ibuku ceritakan namun ini versi lebih menyeramkan, lebih nyata dan di tambah dengan sebuah visual yang segera akan ditunjukkan oleh Arthur.

Arthur pun tersenyum, kembali mengecup pipiku lalu mendorong lembut tubuhku untuk berdiri. Setelah Arthur berdiri dan berjalan menuju tempat yang cukup lengang di ruangan ini, ia membalikkan tubuhnya dan melepaskan kancing kemejanya sembari membuka mulut.

"Tentang Nightmare aku hanya bisa menunjukkannya lewat sihirku, dan tentang werewolf, aku akan menunjukkannya sekarang," ujarnya yang lantas membuatku menahan napas. "Sekali lagi aku katakan, kami berbeda. Jika werewolf di dunia lain, saat mereka berubah menjadi wolf maka pakaian mereka akan rusak. Namun kami tidak, jika para wanita cukup menggerai rambut mereka dan para pria cukup melepas baju mereka, maka tidak akan ada pakaian yang rusak maupun terlepasㅡterkecuali bagi para pria."

Tepat setelah itu Arthur sudah melepas semua kancing kemejanya dan membiarkanku menatap perut kotak-kotaknya yang samar-samar terlihat. Setelah itu Arthur menjentikkan jarinya lalu sebuah cahaya hitam pun menghiasi pandanganku, dan cahaya itu pun semakin lama semakin membesar hingga membuatku mundur beberapa langkah. Namun dengan cepat Arthur kembali menjentikkan jarinya dan cahaya itu hilang.

Aku menoleh kearah Arthur ketika cahaya itu telah hilang, kudapati wajah tampan itu semakin merekahkan senyumannya sembari mengangguk-angguk lalu melepas kemejanya.

Kualihkan pandanganku darinya, membuat sebuah suara tawa menggema di ruangan ini.

"Kau akan lebih sering melihatnya nanti," ujarnya yang membuat wajahku memanas. "Lihat aku."

Aku kembali menolehkan wajahku ketika sebuah suara erangan keluar dari bibir Arthur, membuatku penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

Dengan segera aku menelan ludahku gugup ketika bulu-bulu hitam mulai tumbuh dari tubuh Arthur, kuku-kukunya menghitam dan perlahan-lahan mulut Arthur berubah menjadi moncong anjing.

Oh astaga.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro