Satu.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Cygnus, Ave]

Gadis itu melesat dengan cepat dengan sebongkah es yang siap untuk meledakkan tubuh Sang Kegelapan. Rambut silvernya terlihat berterbangan ketika tubuhnya mulai menjauh dari tanah dan sebuah sayap berwarna hitam menampakkan diri dari balik punggungnya. Namun sebuah tangan hangat meraihnya yang sontak membuat gadis itu berhenti, menunduk dan menatapnya dengan tajam.

"Juniel, kau tak bisa melakukannya sendiri. Kau mengerti?"

Warna merah pekat di manik mata Juniel pun berubah menjadi hijau, ia mengangguk dan mengeratkan genggaman pada tangan hangat itu, "Kalau begitu kita akan melakukannya bersama."

Ricky-pria itu-mengangguk mantap dan melepaskan genggamannya pada Juniel. Dalam hitungan detik, tubuh Ricky pun menghilang, tergantikan dengan seekor serigala dengan bulu berwarna merah tua. Mata hitam teduhnya pun berubah menjadi merah kecokelatan. Sebuah seringai pun terlukis di wajahnya.

"Ayo, kita kalahkan Nicky."

.Ave

[Acheyla, Earth]

Kediaman keluarga Revolder yang terlalu jauh dari perkotaan membuat anak mereka hidup tanpa hubungan sosial. Menurut Tuan Revolder, hubungan sosial diluar sana terlalu buruk untuk perkembangan anaknya. Dan mereka memutuskan untuk tinggal di dalam hutan tropis beberapa tahun terahir.

Lalluna Revolder, atau gadis yang lebih akrab dipanggil Luna ini memilik sifat yang keras dan bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Jika ia lapar, maka ia akan pergi ke hutan dan berburu. Tak jarang, ia membawa beruang atau semacamnya ke rumah untuk ia lahap sendirian.

Masih di umur yang sangat belia baginya harus hidup di hutan tropis dan berburu beruang. Bahkan, itu sangat tidak pantas dilakukan oleh gadis berusia delapan tahun yang dapat membunuhnya kapanpun. Kali ini Luna berhasil membunuh dua ekor beruang Grizzly dengan panah serta pisau yang cukup tajam.

Saat matahari mulai tenggelam, gadis itu kembali dari hutan dengan hasil yang memuaskan. Ia menyeret dua beruang Grizzly yang sudah kehilangan nyawa dan dibantu oleh seorang kakek tua yang telah hidup di tengah hutan selama bertahun-tahun. Ketika ia sampai dipekarangan rumahnya, Mac-Tuan Revolder-keluar dari rumahnya dan menatap anaknya bangga.

"Luna! Apa yang kau dapat, hm?"

Luna menoleh kearah Ayahnya lalu tersenyum lebar. "Beruang Grizzly! Aku mendapatkan dua, Ayah!"

Mac terkekeh dan membantu Luna untuk membawa beruang itu ke dalam rumahnya. Namun tepat sebelum ia menjejakkan kakinya ke dalam rumah, ia menoleh dan menatap sang kakek dengan penuh rasa terima kasih. Sementara Ibunya yang sedang berada di ruang tamu menoleh dan ikut tersenyum. "Beruang Grizzly? Luna yang membunuhnya?"

Gadis itu menoleh kearah Ibunya sembari tersenyum bangga. "Tentu! Aku hebat 'kan?"

Ibunya pun mengangguk-angguk dan memberi jempol untuk anaknya itu. Selagi Luna membanggakan dirinya yang telah membunuh dua ekor beruang Grizzly, seberkas cahaya di dekat pintu pun masuk sedang menatapnya iri.

.
.
.

Kini Luna sudah berada di tempat tidurnya untuk beristirahat ketika jam menunjukkan pukul 8 malam. Sementara di bibir ranjangnya ada sang Ibu yang sedang mengusap-usap kepala anak kesayangannya itu, memberi sejuta kasih sayang kepadanya.

Namun Luna merengek pada Lana-sang Ibu-dan memintanya untuk membacakan dongeng seperti biasanya. Lana mengangguk, meraih kedua tangan gadis kecilnya itu lalu ia mulai bercerita.

"Hari ini Ibu akan menceritakan tentang Xave dari negeri khayalan."

Luna pun bertepuk tangan antusias. "Ave? Apakah Ibu akan bercerita tentang Ave?"

"Tentu saja," Lana pun berdehem lalu mulai bercerita. "Zaman dulu sekali, ada seorang penyihir hitam yang memiliki niat jahat untuk menghancurkan Ave dengan alasan bahwa ia bosan dengan kehidupan Ave yang begitu tentram dan aman.

Setelah sekian lama mengumpulkan kekuatan sihir, ia pun berhasil membuat mantra untuk memanggil jiwa-jiwa kelam. Mengendalikan beribu-ribu jiwa liar yang tak kasat mata dan terbentuk menjadi satu wujud bayangan besar untuk menyerang Ave yang berawal dari Maegovanen.

Alardan pun mengeluarkan prajurit terbaik mereka untuk membantu Maegovanen dan mengalahkan Nightmare-jiwa-jiwa kelam itu. Namun dalam hitungan detik, prajurit-prajurit itu lenyap dan terserap ke dalam tubuh Nightmare, membuat kekuatan jiwa-jiwa itu menguat dan tak terkalahkan.

Disisi lain, dibawah gua yang berada diujung pulau Xillvonia, terdapat sebuah komunitas yang statusnya telah terinjak-injak oleh masyarakat Ave. Namun hal itu tak menyurutkan semangat mereka untuk membantu Ave yang kini sedang dijajah. Komunitas itu pun memutuskan untuk mengirim 3 anggota terbaik mereka untuk membantu Alardan dalam diam.

Setelah berhadapan dengan Nightmare, ketiga anggota itu pun saling berpegangan tangan. Mengucapkan mantra-mantra yang hanya dimengerti oleh mereka dan jiwa itu pun terhisap kedalam tubuh salah satu anggotanya. Sementara hal itu terjadi, anggota lainnya semakin mengucapkan mantra sihir mereka dengan lantang dan membuat tubuh mereka berguncang hebat.

Cahaya hitam mengitari tubuh ketiga anggota tersebut dan dalam sekejap Nightmare pun menghilang, disertai dengan menghilangnya seseorang diantara ketiga anggota tersebut. Dan sejak itu pula, komunitas Penghisap Jiwa itu dibubarkan, membuat beberapa anggotanya bunuh diri karena stress setelah kehilangan kerabat mereka dan sisanya melacak keberadaan teman mereka yang hilang.

Pada akhirnya, mereka pun memutuskan untuk menghentikan pencarian mereka dan berharap Nightmare akan hilang bersamaan dengan pengorbanan kerabat mereka. Tamat."

Luna tercengang setelah mendengarkan dongeng kesukaannya. Lalu ia kembali bertepuk tangan dan tersenyum lebar kearah sang Ibu. "Aku suka ceritanya, Ibu!"

Lana pun tersenyum setelah mendengar penuturan anak semata wayangnya. Membuat satu lagi suara tepuk tangan menggema diruangan itu. Lana dan Luna pun menoleh kearah pintu, lalu didapatinya Mac sedang menatap keduanya hangat.

"Luna," ucap Mac sembari berjalan kearah Luna, duduk tepat di samping gadis itu lalu dipasangkannya sebuah kalung berliontin hijau kepadanya. "Luna, jika suatu saat Ayah dan Ibu pergi, ingatlah aku dan Ibumu dengan melihat kalung ini. Dan kau harus menjaga baik-baik pemberian Ayah ini. Mengerti?"

Luna pun menatap Ayahnya bingung, mata cokelatnya melebar takut. "Kenapa? Memangnya Ayah dan Ibu mau kemana?"

"Kami ingin mengurus masa depanmu, sayang."

"Masa depanku? Maksudnya?"

"Yah, sayang, tidak seharusnya kau mengatakan itu," ujar Lana lantas menatap Mac. Lalu dialihkannya pandangnya menuju Luna dan seulas senyuman terukis di wajah Lana. "Sekarang kau tidur, Luna Revolder. Tidak usah memikirkan perkataan konyol Ayahmu, oke?"

"Oke. Selamat malam Ibu, Ayah."

.
.
.

Tubuh Luna tersentak kaget dan ia pun terbangun dari tidurnya. Jam masih menunjukkan pukul dua pagi, namun aura aneh yang ia rasakan menyelinap masuk ke dalam mimpinya dan membuatnya terjaga. Luna menoleh kearah bawah pintu kamarnya, terpancar cahaya yang sangat terang berasal dari ruangan yang berada tepat didepan kamarnya.

Luna pun beranjak dari ranjangnya, berlari kearah pintu dan membuka pintu itu lebar-lebar. Namun Luna langsung menutup matanya ketika cahaya kemerahan itu langsung menyorot kearahnya. Luna terdiam sembari menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, ia mencoba berjalan kedepan namun ia tertabrak oleh sesuatu yang berbulu dan cukup panas. Sialnya Luna terjatuh kebelakang dan membuatnya merangkak mundur-menjauhi cahaya itu-dan kembali ke dalam kamar.

Ditutupnya pintu kamarnya dengan pelan. Luna terduduk di balik pintu, menunduk dan menatap kalung yang diberikan Ayahnya tadi. Luna terperangah, jadi Ayah dan Ibunya akan pergi? Luna memfokuskan pandangannya pada kalung tersebut, kalung itu bersinar hijau. Luna mengernyitkan dahinya, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

Kenapa ada cahaya merah yang menyinari ruangan didepan kamarnya? Dan kenapa kalungnya mengeluarkan cahaya?

Luna menggeleng lalu kembali membuka pintu kamarnya. Cahaya itu telah menghilang. Setelah itu ia memutuskan untuk berlari menuju kamar Ibu dan Ayahnya, mencari keberadaan kedua orangtuanya. Namun kemanapun ia mencari, ia tak dapat menemukan jejak-jejak kehidupan orangtuanya.

Setelah mencari keseluruh penjuru rumahnya, tubuh Luna pun mulai lelah dan tak cukup berenergi untuk berlari. Sehingga ia memutuskan untuk berjalan cepat dan mengecek tempat terakhir yang menjadi kemungkinan orangtuanya berada. Saat ia menyentuh tuas pintu rumahnya, sesuatu yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya, dan seketika ia terjatuh dan tak sadarkan diri di depan pintu rumahnya.

.Ave

10 tahun berlalu begitu saja bersamaan dengan tumbuhnya Luna. Sejak beberapa tahun terakhir, ia hidup sendiri tanpa sedikit pun interaksi dengan manusia lainnya. Kakek yang biasa membantunya turut menghilang dua tahun kemudian setelah orangtuanya menghilang. Kini ia sudah bertanggung jawab penuh atas rumah dan kehidupannya.

Terkadang saat ia telah membawa pulang beruang Grizzly dari hutan, ia selalu teringat bahwa Ayahnya akan keluar dari rumah untuk membantunya membawa beruang itu ke dalam rumah dan Ibunya akan mengacungkan jempol karena Luna berhasil menangkap beruang lagi.

Luna menghela napas, nyaris berputus asa mengingat bahwa kegiatan yang paling mengesalkan tujuh tahun terakhir ialah menguliti seekor beruang. Kini ia mendesah berat, peluh pun terjatuh di dahinya disertai dengan bibirnya yang memucat lelah. Namun seketika ia merasakan sesuatu yang dingin dari belakang. Ia menoleh dan tidak mendapati apapun disana.

Luna mengedikkan bahunya tak peduli, kembali mengalihkan pandangannya dan tak menghiraukan aura aneh dibelakangnya. Ia pun hendak kembali mengerjakan pekerjaannya, menyiapkan makanan untuk nanti malam, namun kulit serta bulu beruang tersebut sudah terlepas semua dari tubuh sang beruang, hanya tersisa daging-daging mentah dan darah yang menjijikkan.

Kejadian aneh lainnya kembali berlanjut ketika Luna ingin memotong daging tersebut. Ketika ia hendak mengangkat pisau dagingnya, seketika daging-daging itu sudah terpotong dengan sendirinya. Luna tak peduli, kini ia beralih pada daging yang lainnya, saat pisaunya sudah menyentuh daging itu, dengan sendirinya daging itu sudah terpotong-potong kecil.

"Ya! Berhenti menggangguku!"

Luna bangkit dari duduknya dan berdiri dengan pisau dapur yang berada di tangan kanannya. Emosi gadis itu sudah memuncak. Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali baginya, namun semenjak kehilangan kedua orangtuanya, ia selalu dihantui hal-hal aneh seperti ini. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa semua itu membuatnya terbantu dan tidak merepotkannya.

Luna memutar badannya dengan kesal, hendak memarahi siapapun yang mengganggunya selama ini. Namun mata cokelat Luna membulat sempurna ketika ia mendapati seorang pria dengan jubah oranye serta tongkat pendek berwarna senada di tangan kanannya sedang tersenyum kearahnya.

Keduanya saling beradu tatap, namun memancarkan sorot yang berbeda diantara keduanya.

"Maaf membuatmu kesal, nona Lalluna Revolder," ujarnya hangat. "Namaku Arthur."

.
.
.

Luna terbahak-bahak setelah mendapati pria dihadapannya sedang mengatakan hal-hal yang hanya ada di dalam cerita dongeng-seperti yang pernah Lana katakan. Namun terbesit dalam benaknya bahwa segala hal yang di ceritakan Ibunya memang benar adanya.

Sementara pria dengan rambut berwarna merah tua itu hanya memandangi Luna dengan wajah datar. Dan seketika tawa Luna terhenti setelah mendapati Arthur-pria itu-tidak mengatakan "lelucon", "tipuan" atau semacamnya. Kini gadis itu menelan ludahnya lalu menatap Arthur ragu.

"Jadi kau serius kalau kau penyihir?"

Arthur pun mengangguk. "Aku serius."

Namun lagi-lagi Luna tertawa, merasa gila bahwa ada seorang pria yang datang ke rumahnya secara tiba-tiba dan mengatakan bahwa ia adalah seorang penyihir yang telah mencari dirinya selama beberapa abad terakhir.

Aku bahkan baru saja hidup di dunia ini selama 18 tahun.

"Tidak, aku tidak mungkin mempercayaimu begitu saja, Arthur, kau orang asing."

"Aku bukan orang asing," jawabnya. "Aku kenal dengan kedua orangtuamu."

Kali ini Luna menghela napas, ini adalah pertama kalinya seseorang mengaku bahwa ia mengenal kedua orangtuanya. Karena selama ini, Luna tak pernah melihat atau bahkan tahu jika orangtuanya memiliki kerabat-kecuali kakek tua yang sering membantunya dulu.

"Aku tidak tahu harus percaya atau tidak, kau tetaplah orang asing."

"Aku mohon," lirih Arthur. "Aku sudah lelah melarikan diri beberapa tahun terakhir. Biarkan aku menjadi temanmu sampai aku siap untuk kembali. Aku berjanji untuk tidak melakukan yang macam-macam."

Untuk kedua kalinya Luna menghela napas setelah mendengar penuturan Arthur, ia merasa kasihan setelah mendengar ucapan pria berambut merah tua itu. Dan satu-satunya yang berhasil membuat Luna tersentuh adalah ketika Arthur mengatakan bahwa ia telah melarikan diri sejak beberapa tahun terakhir.

Jika dilihat dari wajahnya, Arthur tidak terlihat seperti telah hidup selama berabad-abad. Wajahnya begitu tampan dan mempesona; garis rahangnya terbentuk dengan jelas, hidungnya yang tidak begitu besar, bibirnya yang sedikit pucat dan matanya yang berwarna hitam legam.

"Baiklah, tapi aku memiliki tiga permohonan," Arthur pun mengangguk. "Satu, kau harus menunjukkan padaku bahwa kau benar-benar penyihir."

Dalam seketika pria dihadapan gadis itu menghilang. Membuat Luna nyaris terjatuh dari kursinya dan terkena serangan jantung. "Oke, cukup." ujarnya sembari mengusap-usap dadanya-menenangkan detak jantungnya yang berdetak kencang.

Arthur pun kembali duduk dihadapan Luna sembari menatapnya dengan penuh cengiran di wajahnya. Luna menelan ludahnya lalu mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.

"Dua, jangan lukai dan mengancamku. Kau tau, aku terlalu miskin untuk memberikanmu barang." Arthur kembali mengangguk mengerti.

Kini jari manis Luna ikut mengacung. "Terakhir, bolehkah aku tau nama aslimu dan dari mana kau berasal?"

Untuk kali ini, Arthur terdiam, senyuman di wajahnya memudar. Luna yang merasa tak enak pun kembali membuka mulut. "Aku tidak-"

"Arthur Rush Xavewood," jawabnya serius. "Dan aku berasal dari Ave."

To be continue

Another ff has come! x) jangan lupa tinggalkan jejaak. Thankyouu~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro