Sebelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf kl kali ini kurang panjang dan memuaskan eue Happy reading~

Luna's POV

Aku pun menunduk, entah kenapa tidak merasa senang dengan pernyataan Seth barusan. Dalam sekejap hatiku terasa sesak, seakan-akan sedang dililit dengan tali yang sangat erat. Dan jantungku berdenyut kesakitan, berdetak dengan terpaksa dan berat.

"Siapa Xeraphin Nathaniel?" tanyaku sembari mengangkat wajahku dan menatap Seth yang sedang terpaku mematung. "Aku pernah mendengar namanya sekali."

Seth pun menurunkan kedua tangannya. Dan detik berikutnya atmosfir yang berada disekeliling kami menjadi tegang dalam sekejap. Aku tidak tau persisnya, namun nama gadis ini membuahkan sebuah sakit yang mendalam di hatiku.

Dan sialnya mataku memanas. Embun-embun kesedihan seketika merayap naik menuju mataku. Seth tetap diam, ia bahkan sama sekali tidak menatapku. Aku mendongak sebelum membersihkan tenggorokkanku dan kemudian kembali menatap Seth.

"Seth, jawab aku." Suaraku menjadi parau entah mengapa. Membuatku tersadar bahwa seorang Xeraphin Nathaniel memiliki suatu hubungan dengan Arthur.

"Seth." Bisikku seraya kembali menunduk dan membiarkan air mataku jatuh. Semakin aku mengingat namanya, hatiku semakin terasa sakit. Mataku bahkan sudah tertutupi oleh embun-embun yang aku sendiri tidak tau apa penyebab mereka datang dan menghiasi pipiku.

"Di—dia—dia adalah Pu—Putri dari Raja Za—Zake Nathaniel."

Aku mendengus kecil, meremas pakaianku yang berada tepat di depan dada—menahan sakit. "Apa hubungan sang Putri dengan Arthur?" lirihku dengan suara yang cukup bergetar.

"Luna, aku—"

"Katakan padaku, Seth."

"Luna, ini akan menyakitimu."

Aku pun mengepalkan tanganku. "Ini sudah menyakitiku sejak awal."

"Putri adalah—" Kudengar Seth menarik napas. "Pendamping hidup Alpha Arthur di masa depan."

.

.

.

Aku menggeliat ketika sinar mentari menyelinap masuk ke dalam mataku. Membuatku terpaksa membuka mata dan kembali menghadapi kenyataan dihadapanku. Aku mendesah. Menarik selimut hangatku hingga sebatas hidung dan setetes air mata kembali meluncur.

Tidak seharusnya kau seperti ini, Lalluna.

Aku teringat ucapan Leah semalam saat aku mencoba menghilangkan kenyataan pahit yang berada dibenakku. Sang Putri hanyalah bagian masa depan dari Arthur, namun yang sedang terjadi adalah aku. Aku yang berada di posisi sang Putri. Cepat atau lambat, aku pasti tergantikan.

Suara ketukan pintu kamar membuatku memejamkan mata dalam sekejap. Aku tidak ingin berbicara pada siapapun hari ini. Aku butuh ketenangan. Aku ingin sendiri.

"Luna?"

Suara Ardeen menggema di telingaku, membuatku menggigit bibir bawahku diam-diam demi meredam tangisku yang akan pecah sebentar lagi.

"Oh, kau masih tidur rupanya."

Dapat kurasakan wanita itu terduduk di bibir ranjangku, kemudian ia mengusap wajahku dan menyeka jejak air mataku. Oh tidak, jangan sampai ia sadar bahwa aku sudah terbangun.

"Aku turut meminta maaf atas kenyataan yang harus kau hadapi, Luna. Aku tau itu begitu menyakitkan. Dengan mendengarmu melolong penuh kepiluan seperti semalam, kami semua dapat merasakan kepedihan hatimu. Maafkan kami, Luna."

Tepat setelah itu, Ardeen mengusap keningku dan kembali beranjak pergi dari kamarku. Saat pintu sudah tertutup, aku langsung memiringkan tubuhku dan menenggelamkan wajahku pada selimut tebal yang sedang membungkus tubuhku hangat.

Aku tidak merasa tersakiti. Arthur juga tidak berselingkuh. Namun kenapa rasanya begitu sakit? Apakah aku kembali saja ke Bumi dan menjalankan kehidupan membosankanku? Oh, tidak. Aku harus menelan konsekuensinya karena telah setuju untuk menjalani hidup disini.

Sialan. Ini bahkan terasa lebih sakit dari sekadar dicakar seekor beruang Grizzly. Lebih pedih dan sesak. Hatiku bak dihantam keras oleh alat-alat keras yang bahkan membuatku tidak kuat untuk berdiri.

Pada akhirnya aku menangis dan terisak. Dan sialnya hatiku semakin terasa sakit yang lantas membuatku meraung kesakitan. Kupukul dadaku beberapa kali, seakan memintanya untuk menjadi lebih kuat dan berhenti meronta kesakitan.

Dan kemudian, aku dapat mendengar pintu kembali terbuka dan suara-suara yang kukenal memanggilku dengan nada khawatir. Membuatku semakin terisak dan terus menangis tanpa berhenti.

"Luna, aku mohon berhenti menangis."

"Maafkan kami, Luna."

"Luna.."

Aku pun menarik dan menghela napas secara teratur. Mencoba menstabilkan hatiku yang begitu pedih lalu menyeka air mata dari wajahku.

Kemudian aku bangkit dari posisiku, terduduk di atas ranjang lalu secara perlahan-lahan menuruni selimut yang menutupi wajahku dan menatap Ardeen, Karl, Seth dan Cheryl secara bergantian.

"Hai." Sapaku parau.

Kulihat hidung Cheryl dan Ardeen memerah, membuaku tertawa kecil kemudian menatap kedua wanita itu. "Ada apa dengan hidung kalian, hm?"

"Luna, aku minta maaf soal semalam." Ujar Seth yang langsung membuatku menoleh kearahnya sembari tersenyum pahit.

"Sudahlah, Seth, ini bukan salahmu."

"Tidak, Luna, kau harus menghukumku." Pintanya lalu bersujud di lantai. "Hukum aku, Luna."

Dan setetes air mata lagi-lagi menuruni pipiku, membuatku menyekanya dengan segera lalu menggigit bibir bawahku sejenak. "Bangun, Seth."

"Tidak sebelum kau memberiku hukuman, Luna."

"Seth, ini perintah." Lirihku.

Kulihat Seth menggeleng. Ia terus mempertahankan posisinya hingga dapat kulihat Ardeen dan Cheryl menangis dalam diam.

"Oke. Kau hanya cukup menjawab pertanyaanku sebagai hukumannya." Seth pun terdiam. "Aku kembali ke Bumi atau ceritakan padaku tentang Putri Nathaniel?"

Tubuh Seth pun bergetar, pun diriku. Aku bodoh. Membiarkan bawahan Arthur memohon padaku bukanlah suatu hal yang pantas bagiku. Lagipula, untuk apa aku menangis dihadapan mereka?

Kau menginginkan sebuah drama yang indah, Lalluna?

Lagi-lagi ucapan Leah terbayang dibenakku, membuatku menyeka air mata yang terus bergulir menghiasi pipiku.

"Aku tidak bisa menjawabnya, Luna." Ujar Seth yang lantas membuatku terkekeh.

"Sudahlah, Seth, bangkit dari posisimu. Jika ada yang melihatnya, mungkin saja mereka menjadi salah paham."

Pada akhirnya Seth pun bangkit dari posisinya dan kembali berdiri dengan kepala yang menunduk dalam. Kemudian kualihkan pandanganku kepada Karl yang kini sedang menatapku.

"Ingin mengatakan sesuatu, Karl?"

Karl mengangguk. "Alpha memberikanku telepati barusan. Ia menanyakan apa yang terjadi pada Luna dan aku belum menjawabnya sampai sekarang. Apa yang kau inginkan untuk kukatakan, Luna?"

"Tidak ada, hanya kelelahan setelah melatih Leah seharian." Untuk kedua kalinya Karl mengangguk. "Sampaikan alasanku ini kepada seluruh anggota pack sehingga jika Arthur bertanya, mereka tidak akan mengatakan alasan sebenarnya."

"Baik, Luna."

Kali ini aku yang mengangguk, kemudian mengalihkan pandanganku kepada dua wanita yang sedang sibuk menyeka air mata mereka.

"Ardeen? Cheryl? Kalian baik-baik saja?" Dengan kompak keduanya menggeleng. "Ada apa?"

"Aku merasa tidak berguna saat melihat Luna menangis." Jawab Ardeen.

"Seharusnya kami tidak menjatuhkan air mata berhargamu itu, Luna." Tambah Cheryl.

"Bodoh." Lagi-lagi air mataku terjatuh. "Berhentilah bersimpati padaku dan lakukanlah kehidupan sehari-hari kalian seperti biasa. Kemudian biarkan aku sendiri hingga sore hari serta sampaikan pada Putri Aidyn bahwa aku akan menemuinya nanti malam."

Keempat werewolf itu pun mengangguk, meninggalkan ruanganku dalam diam dan hilang dibalik pintu. Aku mendesah, menyeka jejak air mataku lalu menoleh kearah nakas dan mendapati semangkuk bubur yang masih hangat menantiku.

Aku meraihnya, melahap bubur itu suap demi suap sembari melamun. Aku tidak mengerti apa yang salah denganku, hingga pada akhirnya sesuatu yang dingin merayap naik dari ujung kakiku, membuatku memejamkan mata dan membiarkan sensasi itu memenuhi tubuhku perlahan-lahan.

Detik demi detik seakan berlalu dengan lambat. Rasa dingin itu semakin menguasai tubuhku dan menyebar luas hingga aku tidak dapat merasakan sebuah kehangatan. Aku menelan salivaku cemas, meremas mangkuk buburku panik saat rasanya aku akan segera mati membeku.

Aku terpaku saat tanganku kembali mendingin. Namun tidak seperti biasanya, kali ini kedua tanganku terasa beku dan sulit digerakkan. Sehingga aku memutuskan untuk membuka mataku dan terbelalak detik itu juga.

Aku menggeleng, mencoba melepaskan mangkuk yang telah menyatu dan membeku bersama tanganku dengan panik. Aku menggeleng tidak percaya. Kemudian menghempaskan kedua tanganku berkali-kali dan terlonjak kaget saat pintu kamarku terbuka.

Dengan segera aku menyembunyikan kedua tangan serta mangkuk itu di bawah selimut. Menatap Yang Mulia Ratu Xerafina penuh takut saat ia berjalan masuk ke dalam kamarku dengan seorang wanita yang tak kukenali siapa dirinya.

"Aku tau hal ini akan terjadi." Buka sang Ratu seraya menjulurkan tangannya kepadaku dan menatapku serius. "Tunjukkan kedua tanganmu."

Aku menunduk, menggigit bibirku takut dan perlahan-lahan mengeluarkan kedua tanganku dari bawah selimut.

"Es?" tanya wanita itu seraya menggenggam tanganku.

Aku mengangguk. Entah kenapa aura wanita ini membuat diriku merinding. Seakan-akan ia memendam sebuah kejahatan yang tak ada satupun manusia mengetahuinya.

"Apa yang terjadi?" tanya sang Ratu dan lantas membuatku menelan ludah.

"Aku sedang makan dan tiba-tiba ujung kaki hingga puncak kepalaku terasa dingin. Saat aku melihat tanganku semuanya menjadi seperti ini. Aku tidak tau apapun."

"Apa kau sering merasakan sensasi dinginnya?" kali ini tanya wanita di sebelah Ratu..

"Ya, disaat-saat tertentu aku merasakannya."

"Disaat seperti apa?"

Untuk kedua kalinya aku menelan ludah—gugup. "Cemas, ketakutan, gugup."

Setelah itu aku tak mendengar apapun selain suara Ratu Xerafina memanggil nama Ardeen dan memintanya untuk mengemas barangku. Aku tak berani bersuara ataupun mendongakkan kepalaku. Apakah aku akan terkena masalah?

Detik berikutnya dapat kurasakan es yang membeku di tanganku serta mangkuk itu mencair, membuatku menatap wanita berambut putih dan kedua matanya yang berwarna biru muda itu dengan tatapan terima kasih.

Kemudian kuperhatikan lagi gaya berpakaiannya. Ardeen bilang, sebuah status di Ave bergantung dengan sebuah warna sarung tangan atau jubah yang mereka pakai. Sehingga aku mulai memperhatikan jubah yang menggantung dibalik punggungnya dan kembali menunduk saat aku menyadari bahwa ia adalah Ratu Azurea.

"Jadi, siapa namamu, gadis cantik?"

Aku menarik napas panjang. "Lalluna Revolder, Ratu."

"Ah." Entah mengapa dapat kurasakan ia tersenyum. "Namaku Alina Zavee. Dan seperti yang kau tau, aku adalah Ratu Azurea."

Diam-diam aku terbelalak. Ratu Alina?

"Mulai saat ini kau akan tinggal di Azurea, Lalluna." Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk menatap Ratu Xerafina. "Ini kewajibanmu. Kau tidak bisa mengelak dan ini adalah kesempatanmu untuk melupakan kesedihanmu yang aku tidak tau apapun tentang itu."

Aku hendak protes namun sebuah pernyataan melintas di benakku: kesempatan melupakan masa depan Arthur dengan sang Putri. Kapan lagi aku bisa mendapat kesempatan berharga secepat ini?

Lagi-lagi aku kembali menunduk. "Baik, Yang Mulia."

Setelah itu Ratu Alina pun menarik tanganku—membantuku bangun dari posisiku—dengan seulas senyuman di wajahnya. Aku tidak membalas senyumannya, hanya menunduk dan terus memikirkan bagaimana bisa aku menghadapi kenyataan jika suatu saat Ratu Alina tau bahwa aku adalah mate Arthur; pria yang nyaris mengotori Azurea dengan puing-puing bangunan pack Jezac?

Akhirnya kami bertiga—aku, Ratu Xerafina dan Ratu Alina—pun berjalan keluar ruanganku dengan Ardeen yang mengekor di belakang beserta satu tas besar yang berisi pakaianku. Tak lupa aku memakai sepatu kets putih milik Arthur yang sering kupakai.

"Luna, apa yang terjadi?" tanya seseorang dalam mindlink pack kami—yang tentunya tanpa Arthur.

Aku mendongak, memperhatikan sekelilingku dan mendapati banyak sekali pria berbadan besar dan kekar dengan jubah yang memiliki warna berbeda-beda berdiri disepanjang pinggir jalan rumah pack. Aku mendesah.

"Tidak ada apa-apa, aku hanya harus meninggalkan rumah pack untuk sementara. Aku akan kembali."

"Bagaimana dengan Alpha, Luna?"

Aku memutar otakku. Jika aku menyuruh mereka untuk mengatakan hal yang sebenarnya, bisa jadi Arthur berpikir kelain arah dan kembali menyerang Azurea. Aku menggeleng. Tidak bisa.

Kemudian sebuah ide konyol meliintas di benakku. "Katakan padanya bahwa aku sedang menjelajahi Ave dengan Ratu Xerafina."

"Baiklah. Kau harus berhati-hati, Luna."

"Ya, berjanjilah pada kami bahwa kau akan kembali dengan keadaan baik-baik saja." Tambah yang lain.

Aku terkekeh, tersenyum tipis dan tanpa kusadari kini kami sudah berada di pekarangan depan rumah pack. Dapat kulihat terdapat sebuah mobil jeep berwarna biru muda yang memiliki sayap berbulu putih yang cukup besar di kedua sisinya.

Ini benar-benar seperti dongeng.

Mobil jeep yang kini berada di depan mataku itu pun seperti layaknya mobil biasa yang ada di Bumi. Namun perbedaannya seperti yang aku bilang, ia memiliki sayap. Dan dua lagi, tanpa langit-langit mobil dan empat ekor Pegasus—kuda bersayap—di depannya.

Seorang peri dengan sayap berwarna silver pun muncul dihadapanku saat aku hendak membuka pintu mobil. Peri yang kukenali dengan status pelayan itu membukakan pintu mobil untukku kemudian membungkuk kecil.

Aku pun mengangguk, memasuki mobil tersebut dengan segera dan tak lupa mengatakan terima kasih kepada peri tersebut. Kemudian pintu itu tertutup, dan pintu yang berada disebelah kiriku terbuka, menampilkan Ratu Alina dengan gaun Kerajaannya yang telah berubah menjadi pakaian santai duduk di sampingku.

"Ratu." Sapaku seraya menunduk sejenak.

"Aku senang kau adalah bagian dari kami, anak muda." Ujarnya seraya tersenyum kepadaku. "Walaupun aku harus menahan hasratku untuk memakimu karena mau saja menjadi mate Arthur."

Aku terdiam.

"Bercanda." Lanjut Ratu seraya menepuk puncak kepalaku sebanyak tiga kali. "Aku tau apa yang ada di dalam benakmu tentang Arthur kepadaku."

Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku dan menatap ujung hidungnya. "Aku tidak bermaksud menyinggung itu, Ratu."

Kudengar Ratu Alina terkekeh. "Bukan masalah, Luna. Hanya saja, aku terlalu terbawa emosi saat itu hingga melupakan kenyataan bahwa aku meletakkan perisai anti-sihir saat itu."

Kali ini aku mengangguk.

"Kau pasti sudah mendengar ceritanya dari salah satu anggota packmu maupun Arthur, 'kan?"

"Ya, Ratu."

Setelah itu keheningan menghampiri kami, membuatku berdeham lalu mengalihkan pandanganku dan menatap kearah jendela. Aku terkejut saat kami sedang terbang di atas langit. Menyusuri langit biru keemasan yang menandakan hari masih pagi.

Aku termenung saat memoriku membawaku terbang menuju saat-saat aku dan Arthur melintasi pulau Selatan. Melihat keindahan pulau tempat kami tinggal serta bercanda ria bersama.

Namun lagi-lagi nama Xeraphin Nathaniel kembali terngiang di benakku. Koreksi, Nathaniel. Aku tau itu adalah nama belakang Raja Zake, namun kenapa nama itu sempat terdengar di dalam mimpiku yang menyebutkan "Nathaniel twins". Aku tidak mengerti.

Sialnya, sepahit apapun aku mendengar atau melihat nama tersebut, rasanya seperti ada sesuatu yang menghubungkanku kepada sang Putri. Seakan-akan ia memanggilku untuk mencoba berbicara denganku.

Oh ya, aku melupakan mimpiku saat aku tertidur selama lima hari lalu. Di dalam mimpiku, aku melihat seorang gadis dengan rambut berwarna silver dan mata berwarna biru muda sedang menatapku. Ia tersenyum riang sembari berlari kearahku.

Jelas-jelas aku tidak mengenalnya, namun ia terus berlari kearahku dan memelukku erat. Entah mengapa, walaupun disini korbannya adalah aku, namun aku seperti ada di tempat lain. Jiwaku seperti direngkuh oleh sesuatu, namun tidak dengan tubuhku.

Kemudian visi akan gadis itu menghilang, tergantikan dengan seseorang yang sama ciri fisiknya persis denganku sedang bersimbahan darah di sekujur tubuhnya. Ia berbaring di atas padang rumput—tempat biasa aku bersama Arthur—sembari menatap langit.

Aku melihat air mata terjatuh dari sudut matanya, kedua matanya memerah dan seketika cahaya hijau mengelilingi tubuhnya. Dan perlahan-lahan tubuh gadis itu bangkit dan kembali seperti semula. Namun ada yang berbeda dari kedua matanya, yang semulanya berwarna ungu kini menjadi merah darah.

Wajah gadis itu menjadi keras dalam sekejap. Rahangnya menegang dan ia mendesis. Kedua matanya menajam dan salah satu tangannya meraih pisau tersembunyi di balik punggungnya. Namun detik berikutnya, sebuah sayap berwarna hitam menampakkan dirinya dari balik punggung gadis itu. Membuat gadis bermata merah darah itu terbang dan visi akan dirinya kembali berubah.

Kali ini aku melihat seseorang yang sama persis dengan bayangan ayahku di depan rumah dulu. Dengan kedua matanya yang berwarna biru muda serta rambut kelabu, aku menjadi teringat akan sosok Raja Zake. Namun ia terlihat lebih nyaman dan hangat.

Saat aku hendak menghampirinya, sosok itu berjalan mundur dan membawaku menuju tebing yang pernah kulihat di dekat Hutan Selatan. Hingga pada akhirnya aku terus mengikutinya dan tanpa kusadari aku terjatuh dari tebing tersebut.

"Luna?"

Aku tersentak saat suara seseorang menginterupsi lamunanku, membuatku dengan segera menoleh dan mendapati Ratu Alina sedang menatapku khawatir.

"Kita sudah sampai."

Aku mengangguk. "Ya, aku akan segera turun."

Setelah itu aku menyapukan rambut silverku ke belakang, dan tepat setelah itu seorang peri yang membukakanku pintu tadi, kembali melayaniku dan menunduk kecil. Aku pun turun dari mobil dengan segera dan langsung mengumpat dalam hati saat aku menginjak salju.

Namun dalam sekejap, salju-salju itu bergeser dan menampakkan sebuah tanah sebagai pijakanku. Membuatku menoleh kearah Ratu Alina yang kini berdiri tak jauh dariku sembari menatapnya bingung.

"Aku tau kau tidak menyukai salju. Tapi aku sangat memohon padamu untuk mencoba menyukainnya kembali."

Perlahan-lahan kedua sudut bibirku tertarik keatas. "Aku akan mencobanya dengan senang hati, Ratu."

"Omong-omong, aku akan menjelaskan padamu beberapa hal yang tabu di Azurea." Ujarnya seraya mulai berjalan menghampiri kereta salju yang digerakkan oleh pengendali tanah—terlihat dari jubah hijau muda yang mereka pakai.

Aku pun menyusul sang Ratu, ikut menaiki kereta yang ia gunakan lalu berpegangan dengan sebuah besi yang terpasang di depan kami.

"Panggilan Ratu hanya diucapkan untuk Ratu Ave. Jika kau memanggilku dengan sebutan Ratu di pulau ini, kau akan dicap aneh dan kemungkinan besar di bully."

Aku memperhatikan sang Ratu lalu mengerjap. "Aku harus memanggilmu apa?"

"Blackjack."

Tanpa kusadari aku memekik saat tanah di bawah kami mulai bergerak dan berjalan maju. Membuat sang Ra—maksudku, Blackjack terkekeh dan menatap jalanan dihadapan kami sembari menjelaskan beberapa hal yang perlu kuketahui.

Saat kami hendak memasuki gerbang Kerajaan, aku dapat melihat beberapa belas manusia dengan jubah hijau muda itu menghentakkan kakinya dari atas bangunan Istana yang biasa kusebut dengan pagar. Namun bedanya, pagar yang satu ini terbuat dari tanah dan memiliki tinggi 12 meter.

Perlahan-lahan pagar itu terangkat dan menampilkan salju yang lebih banyak lagi. Namun disekeliling perjalanan menuju Istana, aku disuguhkan dengan indahnya air pancuran serta aliran sungai yang sangat jernih.

Yah, walaupun ini musim salju, seorang pengendali air masih bisa mencairkan es-es yang ada dan membuatnya tetap hidup. Oh sial, aku menjadi tidak sabar untuk tinggal disini.

Setelah mengagumi keindahan air-air yang mengalir antara kami, aku juga dapat melihat rumah-rumah penduduk yang dihiasi dengan cerobong asap mereka yang mengeluarkan asap.

Keindahan Azurea tidak sampai disini, tumbuh-tumbuhan yang berada disekeliling rumah mereka pun tetap hidup disaat udara saat ini mungkin saja kurang dari lima derajat celcius. Tak lupa dengan kupu-kupu serta kumbang yang memiliki warna-warni yang terus menghisap madu.

Aku terkejut saat seorang gadis kecil melambaikan tangannya kearahku, membuatku tersenyum kearahnya dan membalas lambaian tangannya.

Setelah menyusuri dua kilometer perjalanan, dari kejauhan aku dapat melihat pusaran angin yang berbentuk persegi panjang menghalangi jalan kami. Namun setelah kupikir-pikir kembali, itu bukanlah pusaran angin, melainkan sebuah gerbang kedua yang akan kami lewati.

Aku mendapati manusia-manusia dengan jubah berwarna putih sedang melakukan posisi kuda-kuda dengan kedua tangan mereka yang terangkat keatas secara perlahan. Membuat gerbang udara dihadapanku terangkat dan membiarkan kereta salju ini lewat.

Namun tepat setelah kami melewati gerbang tersebut, kepalaku berdenyut kesakitan, kakiku menjadi lemas dan seketika aku terjatuh di atas kereta.

"Luna!"

Blackjack pun berjongkok dihadapanku, merengkuh wajahku kemudian dapat kurasakan sebuah kehangatan mengalir di dalam tubuhku. Kutatap kedua mata biru muda sang Blackjack dan mendapati kedua mataku berubah warna menjadi seperti milik Blackjack tepat sebelum semuanya menggelap.

.

.

.

"Lalluna Revolder?"

Aku tidak menjawab, hanya menganggukan kepala saat seseorang yang tak kukenali memanggil namaku.

"Senang bertemu denganmu, Lalluna."

Aku mengernyit. Suara gadis ini sangat familier.

"Omong-omong aku seseorang dari masa depan yang akan membawamu menuju sebuah takdir yang kau sendiri bahkan tidak ingin mengalaminya."

Aku menggeleng, hendak menjawab namun suaraku tidak ingin keluar.

"Kau tau apa takdir itu?"

Aku mendelik kearahnya saat gadis itu mulai mendekat dan meraih leherku.

"Mati di tanganku."

.

.

.

Aku terengah setelah menjalani pelatihan dengan seseorang yang kukenal dengan nama Zeon Franklin. Ia adalah seorang pengendali udara yang pernah menyelamatkan Arthur saat itu. Omong-omong, ini sudah menginjak hari keempat sejak aku sadar dari tidurku dan melakukan pelatihan di Azurea sebagai rekan latihan Zeon.

Oh iya.

Aku tidak bisa tidur sejak empat hari lalu.

"Jadi bagaimana, Luna, kau sudah cukup mahir mengendalikan udara-udara ini, 'kan?"

Aku tertawa kecil. "Jika dibandingkan denganmu, tentunya aku bukan apa-apa."

"Coba buktikan padaku bahwa kau bukan apa-apa." Aku mengangkat kedua alisku. "Tiuplah air yang berada di sungai itu dan buatlah sebuah ombak."

"Kau bercanda? Itu membutuhkan energi yang besar, Zee."

Zeon pun tersenyum. "Tidak, jika kau adalah apa-apa."

Kali ini aku terkekeh, mengangguk kecil lalu memajukan kaki kananku. Aku menarik napas panjang seraya memfokuskan pikiranku kepada udara-udara di sekitar. Seakan-akan memanggil mereka untuk datang dan membantuku.

Kemudian aku menghela napas secara perlahan-lahan, mengangkat kedua tanganku ke depan hingga sebatas bahu lalu menekuknya hingga telapak tanganku menyentuh bahu.

Untuk kedua kalinya aku menarik napas panjang, merasakan tiap hembusan udara yang mengelilingi telapak tanganku kemudian mendorongnya secara perlahan menuju air sungai yang berada dihadapanku serta Zeon.

Perlahan-lahan dapat kulihat air yang berada di pinggir sungai bergetar pelan. Namun lama-kelamaan menjadi lebih cepat dan kemudian terdorong ke depan. Kuhela napasku dengan santai, kembali menyatukan akal dan hatiku kepada udara yang masih menyelimuti tubuhku beserta kedua telapak tanganku.

Detik berikutnya aku mendengar desiran ombak kecil saat aku mulai memejamkan mata dan merasa lelah. Namun sebuah tangan hangat menyentuh bahuku, memberikan sensasi yang menyegarkan dan membuatku kembali mendorong telapak tanganku hingga lurus.

Tepat setelah itu aku membuka mata dan langsung terbelalak saat aku melihat sebuah ombak yang cukup besar dan tinggi menghiasi pandanganku. Aku berdecak kagum sembari tersenyum lebar, kemudian merentangkan kedua tanganku ke samping dan membuat ombak itu turun secara perlahan.

"Lihat, aku bukan apa-apa jika dibandingkan denganmu, Luna."

Aku pun tertawa, memutar tubuhku lalu bersedekap sembari menatap Zeon yang memiliki tinggi seperti Arthur. "Itu adalah kata-kataku, Zee!"

"Tidak peduli." Zeon pun menjulurkan lidahnya padaku, membuatku kembali tertawa lalu meremas kedua pipinya gemas.

"Astaga, Zeezee, kau menggemaskan, ya?"

"Luna?"

Aku terpaku dalam sekejap. Membuat aktifitasku terhadap Zeon berhenti dan membuat sebuah tanda tanya besar tercetak jelas di wajah pria berambut hitam dihadapanku ini.

Aku melepaskan kedua tanganku dari pipi Zeon, memintanya untuk menunggu dengan isyarat lalu berjalan menjauh dari Zeon.

"Arthur?"

"Astaga, sayang! Kau kemana saja, hm? Kenapa aku baru bisa mengirimimu telepati? Kau tidak macam-macam, 'kan?"

Aku pun tersenyum. "Apakah Seth, Ardeen ataupun Karl tidak mengatakan apapun padamu? Aku pergi bersama Ratu Xerafina, ia membawaku mengelilingi Ave."

"Kau tidak berbohong, 'kan?"

"Untuk apa aku berbohong?"

"Kau berada dimana sekarang?"

Aku terdiam. Tidak berani menjawab dikarenakan hal buruk mungkin saja terjadi jika aku mengatakan bahwa aku sedang di Azurea. Namun otak sialanku ini tidak ingin mendengar kekhawatiran hatiku saat ini. "Azurea."

"Bagus, apa kau melarikan diri dariku, Lalluna?"

Sialan. Aku benar, 'kan?! "Silakan kau tanyakan kepada Ratu Xerafina jika kau tidak percaya."

"Oke, aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak melarikan diri."

"Untuk apa aku melarikan diri dari pria tampan yang ternyata seorang serigala dan penyihir? Bukankah aku sangat beruntung?"

Arthur pun terdiam. Apakah ia tertawa? "Baiklah, Nyonya Xavewood. Selamat bersenang-senang. Dan sampai bertemu nanti."

Arthur memutuskan telepati kami dalam sekejap. Sampai bertemu nanti? Entah kenapa terdengar sangat aneh bagiku. Apakah ia akan datang kemari segera? Astaga! Aku tidak ingin mati kebingungan!

"Luna, kau baik-baik saja?"

Aku menarik dan menghela napas, mengangguk kecil lalu kembali membalikkan badanku dan langsung menahan napas ketika wajahku nyaris bertubrukan dengan dada lebar Zeon.

"Ya, aku baik-baik saja." Jawabku seraya mendesah panjang lalu mendudukkan bokongku di atas salju yang tidak terasa dingin lagi bagiku.

"Sungguh?" tanyanya seraya duduk di sampingku.

Aku menekuk kedua lututku, memeluknya erat kemudian menyandarkan kepalaku di atas lutut sembari menatap Zeon. "Apakah kau tau siapa aku?"

"Seorang werewolf?"

"Kau benar." Aku mengangguk kecil. "Dan aku memiliki mate."

"Seorang Alpha dari Red Fire, Arthur."

Aku tersenyum tipis. "Bagaimana kau tau?"

"Ia memintaku untuk selalu bertemu dengannya setiap ia kembali dari Bumi. Ia sering bercerita tentangmu dan betapa pentingnya kau di dalam hidupnya."

Tak dapat kupungkiri bahwa wajahku memanas dalam sekejap. "Aku tidak tau bahwa aku sepenting itu di dalam hidupnya."

Zeon pun tersenyum. "Kau membuatnya menjadi lebih hidup dan kuat, Luna."

"Aku senang jika itu memang terjadi padanya." Ujarku seraya mengalihkan pandangan dan menatap salju di bawah kami. "Tapi aku memiliki masalah yang Arthur tidak ketahui."

"Bahwa kau seorang pengendali?"

"Sepertinya kau sudah mengenalku bertahun-tahun, Zee." Kami pun tertawa kecil. "Aku tidak mungkin, 'kan, muncul dihadapan Arthur begitu saja dan mengatakan bahwa aku pengendali? Aku tidak mungkin menyakitinya."

Zeon terdiam sejenak. "Entahlah, Luna, aku tau kau mengkhawatirkan pengendalian—atau mungkin lebih spesifiknya—es mu yang mungkin saja keluar setiap kau gugup, cemas atau apapun itu. Namun kusarankan, memang hal itu yang terbaik untukmu—mengatakannya langsung kepada Arthur."

"Zee, tapi aku tidak—"

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Luna. Semua bergantung kepadamu menyikapinya. Aku yakin kau bukan seorang pengecut." Ujar Zeon yang lantas membuatku menenggelamkan wajahku diantara kedua lututku.

"Bagiku semuanya begitu jelas saat aku pertama kali melihatmu. Seorang gadis yang sangat kuat dan tau apa yang harus dia lakukan. Seseorang yang tak akan takut dengan hal sebesar apapun meskipun itu membahayakan nyawanya."

Aku pun tersenyum pahit. Merasa omongan Zeon hanyalah kalimat-kalimat penyemangat biasa. Namun ketika tangan hangat itu menyentuh bahuku untuk kedua kalinya dan mengusap-usap puncak kepalaku, aku tersadar bahwa ia serius. Sangat serius.

"Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri, Luna. Dan aku senang karena kau tidak begitu formal kepadaku hanya karena aku adalah anak bangsawan."

Aku mengangkat wajahku, menatap Zeon berbinar lalu tersenyum manis kearahnya. "Oke, kakak udaraku."

Untuk kesekian kalinya kami pun tertawa di bawah langit malam yang cukup gelap. Membuatku melupakan masalahku sejenak hingga pada akhirnya aku mendengar sebuah suara yang familier.

"Luna."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro