Tiga.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author's POV

"Aku tidak dapat berjanji akan selalu membahagiakanmu dan selalu berada disisimu. Namun ada banyak hal yang harus kau ketahui dari diriku," ujar Arthur yang membuat jantung Luna semakin berdetak tak karuan.

"Akan kupastikan aku akan selalu ada di setiap saat kau tertidur. Akan kupastikan aku akan ada disampingmu di setiap saat kau kesulitan. Dan akan kupastikan bahwa hanya kau yang akan ada dihatiku sampai aku mati, Lalluna,"

Kedua mata Luna berbinar haru setelah mendengar ucapan Arthur. Membuat gadis itu mengangguk mengerti dan semakin menatap Arthur lekat-lekat.

"Aku mencintaimu, Luna."

"Aku juga mencintaimu, Arthur."

Hal yang terjadi berikutnya ialah kedua bibir manusia itu telah bersatu dan saling mencium satu sama lain dengan lembut. Kedua tangan Arthur pun turun menuju pinggang Luna, mengikis jarak diantara keduanya dengan menarik pinggang Luna untuk lebih dekat.

Tangan kanan Arthur perlahan-lahan merayap naik ke punggung Luna agar jarak diantara mereka hilang, namun detik berikutnya Arthur melepaskan bibirnya pada Luna dan menatap Luna khawatir.

"Ada apa?"

Rasa nyeri menjalar dengan cepat dipunggung Luna, membuatnya tersadar bahwa ia mendapat luka saat berburu tadi. Dengan cepat Luna membuka matanya dan membalas tatapan Arthur sakit.

"Aku mendapat luka saat berburu tadi."

"Astaga, Luna!" Arthur pun menggenggam tangan Luna lalu menariknya menuju luar kamar. Dibawanya gadis itu menuju ruang bawah tanah dimana banyak obat-obatan yang pernah Mac buat.

"Kau berbaring disana." Titah Arthur saat mereka sudah sampai diruang bawah tanah. Luna pun langsung menurut dan bertelengkup diatas ranjang yang terbuat dari kayu tersebut.

Dengan serius dan hati-hati, Arthur memilih cairan-cairan yang dibutuhkan untuk pengobatan Luna lalu diambilnya beberapa botol dan diletakkannya diatas meja dekat Luna.

"Coba kulihat."

Luna pun menarik baju yang ia pakai hingga setengah punggungnya, membuat werewolf yang berada didalam tubuh Arthur menggeram nafsu.

"Oh astaga, maafkan aku," ujar Arthur lalu mencoba menyentuh luka gores yang berada di punggung Luna. "Maafkan aku, sayang."

"Aw!"

Arthur pun mengangguk lalu kembali meraih beberapa botol yang tadi ia ambil dan dituangkannya sedikit cairan tersebut pada kapas. Setelah itu ia pun mengusap kapas tersebut pada luka yang berada di punggung Luna dan mendapat sebuah ringisan dari gadis tercintanya.

"Arthur." Lirih Luna.

"Maaf, Luna," ujar Arthur sembari berlutut lalu mengusap pipi Luna lembut. "Sudah ku obati. Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?"

Luna pun bangkit dari tidurnya dan duduk ditepi ranjang, setelah itu Arthur meraih kedua tangan gadis itu lalu diciuminya tangan dingin Luna.

"Saat itu aku sedang mencoba membunuh seekor beruang dengan dua pisau, biasanya dengan sekali gerakan semua itu akan berhasil. Namun beruang tadi berhasil mendorongku dan alhasil aku menabrak pohon serta panah busurku menusuk punggungku."

"Apakah Alex tidak membantumu?" tanya Arthur menahan amarahnya.

"Alex membantuku, ia ada di pekarangan belakang sekarang." Jawab Luna.

"Apa yang ia lakukan?"

Luna menghela napas lalu membalas genggaman tangan Arthur. "Membawa hasil tangkapanku."

"Hanya membawanya?" Suara Arthur meninggi ketika ia mengetahui Alex datang disaat perburuan telah selesai. Padahal ia jelas-jelas menyuruhnya untuk datang pada siang hari.

"Akan ku bunuh dia!" lanjut Arthur sembari bangkit dari duduknya dan hendak berjalan keluar.

"Tidak tidak!" pekik Luna berusaha menghentikkan langkah kaki Arthur. "Arthur, aku mohon."

Arthur pun berhenti berjalan, ia menggelengkan kepalanya setelah itu meraih tuas pintu. Namun ia terhenti saat hendak keluar lalu mengendus udara disekitarnya. Dan detik berikutnya Arthur langsung berlari kearah Luna dan memeluk tubuh gadis itu erat.

"Ada apa?" tanya Luna. Ia pun melirik kearah pintu dan sekilas ia mendapati cahaya merah mendekati ruang bawah tanah.

Cahaya merah?

"Arthur, ada apa?"

Detik selanjutnya yang dapat Luna simpulkan adalah kini ia berada di tempat lain yang sebelumnya pernah ia datangi. Arthur pun melepas pelukannya pada Luna lalu direngkuhnya kedua bahu gadis itu.

"Aku mohon maaf, sayang, mereka telah menemukanku," ujarnya sembari menatap kedua mata Luna yang penuh dengan tanda tanya. "Aku akan menjawab semua pertanyaanmu nanti. Aku harus pergi sekarang dan akan kembali secepatnya."

Luna pun meraih wajah Arthur lalu dikecupnya bibir pucat Arthur. "Jangan pergi terlalu lama dan jaga kesehatanmu."

Arthur mengembangkan senyumannya lalu mencium kening Luna lama. "Aku mencintaimu, sayang."

Detik berikutnya Arthur kembali menghilang dari hadapan Luna yang lantas membuat Luna kembali tak bersemangat dan memutuskan untuk meringkuk diatas ranjang hangat Arthur. Tempat ini adalah rumah Arthur yang diberikan oleh salah satu penguasa Ave yang kebetulan sudah tidak menggunakan rumah itu lagi. Dan tentunya Luna merasa tidak begitu nyaman harus hidup diantara salju yang akan terus menghiasi langit kota ini selama delapan bulan kedepan.

Pada akhirnya, Luna memilih untuk menutup tubuhnya dengan selimut tebal berwarna oranye dan menyembunyikan dirinya dibawah dekapan selimut itu.

"Kesukaan Arthur."

Oranye memang kesukaan Arthur, lebih tepatnya, warna kekuatannya. Luna pun menghela napasnya berat lalu mencoba menutup matanya sembari menunggu kedatangan Arthur yang tak akan pasti.

.Ave

[Qrisya, Earth]

Two years later

Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding kamar Arthur yang berada tepat disamping jendela ketika salju kembali menghiasi kota kecil ini. Jantung gadis itu selalu berdetak kencang saat mengingat bagaimana Arthur menyampaikan salam perpisahan padanya dua tahun lalu. Tak hanya jantungnya yang berdetak kencang, perasaan Luna pun semakin membesar terhadap Arthur, pria yang telah mencuri seluruh dunianya.

Tak dapat Luna pungkiri bahwa hati kecilnya berteriak sakit mengingat bagaimana kesepiannya ia selama dua tahun terakhir, dimana Arthur tak kunjung datang atau bahkan sekedar menyapa seperti yang biasa ia lakukan.

Setetes air mata terjatuh diwajah pucat Luna, kedua mata gadis itu membengkak dan memiliki kantung hitam dibawahnya. Ia menangis setiap malamnya, walaupun ia sendiri tau bahwa menangis tidak akan membawa Arthur kembali. Namun sesuatu yang jauh berada didalam dirinya mengatakan bahwa Arthur akan segera kembali dan bersamanya sepanjang waktu.

Kedua sudut bibir gadis itu berkedut ketika seekor serigala menampakkan dirinya dari dalam hutan, membuatnya tertawa masam dan kembali teringat perihal malam dimana Arthur dengan mengejutkannya datang padanya dan mengatakan segala hal yang sangat ingin Luna dengar sejak dulu.

Aku mencintaimu.

Lagi-lagi setetes air mata terjatuh di pipi dingin Luna ketika ia mulai merasa gila ketika suara Arthur menghiasi gendang telinganya. Luna pun menyeka air matanya dengan lengan sweater kelabu milik Arthur lalu bersedekap. Ia terus memandangi salju yang diluar sana sampai sebuah tangan hangat melingkar dipinggangnya.

"Aku merindukanmu, Lalluna."

Luna menahan napasnya terkejut dan kedua mata cokelat gadis itu terbelalak. Dengan segera ia memutar badannya dan mendapati kedua mata hitam legam itu sedang menatapnya dengan sebuah senyuman diwajahnya. Air mata Luna pun kembali berjatuhan lalu direngkuhnya leher Arthur erat.

"Bodoh! Kau kemana saja?" kesal Luna sembari terus mengeratkan pelukannya pada Arthur. Sementara pria itu hanya mengusap-usap punggung Luna lembut sembari menahan air matanya yang juga akan segera turun.

"Kau bilang hanya sebentar! Dua tahun telah berlalu dan apakah itu kau sebut sebentar?" tanya Luna dengan penekanan disetiap kalimatnya. Arthur pun menenggelamkan wajahnya diantara lekukan leher Luna dan mengeratkan pelukannya pada pinggang gadis itu.

"Apa yang kau lakukan selama itu? Kau pikir aku tidak membutuhkanmu? Bagaimana bisa aku mencari makan dengan cuaca seperti ini! Kau bodoh, Arthur, kau bodoh!"

Kedua tangan tak bertenaga Luna pun memukuli punggung Arthur dengan kesal. Air mata terus berjatuhan dari kedua matanya membuat Arthur semakin mengeratkan pelukannya pada Luna sembari menahan tangisnya yang nyaris pecah.

"Aku merindukanmu," tambah Luna bersamaan dengan berhentinya kedua tangannya. "Aku merindukanmu, Arthur."

"Aku juga merindukanmu, sayang," Bisik Arthur tepat disamping telinga Luna. "Maaf meninggalkanmu terlalu lama dan tidak menepati janjiku untuk cepat kembali."

Luna pun menangis dibahu Arthur, membuat pria berambut merah tua itu menarik dan menghela napasnya dengan berat. Dengan lembut Arthur meraih kedua bahu Luna lalu dilepasnya pelukan Luna pada lehernya. Ditatapnya wajah tirus Luna bersalah, ia merasa sangat bodoh karena tidak memperhatikan waktu saat bekerja.

"Lihat aku."

Mata cokelat Luna perlahan-lahan menatap Arthur berbinar, membuat Arthur kembali menghela napas lalu merengkuh wajah gadisnya lembut.

"Aku datang kemari karena aku memiliki satu permintaan padamu."

"A-apa?"

Arthur pun menjalankan tangannya menuju kepala Luna lalu diusapnya surai hitam itu sayang. Sementara Luna hanya dapat menelan ludahnya takut jika ini adalah pertemuan terakhir mereka. Namun ketika suara Arthur telah terdengar ditelingnya, tanpa ragu ia pun mengangguk.

"Ikutlah denganku menuju Ave."

Seulas senyuman pun terlukis diwajah Arthur dan membuat pria itu kembali merengkuh Luna kedalam dekapannya dan berteleportasi menuju Ave. Pada saat itu pula sebuah cahaya berwarna hitam mengelilingi tubuhnya dan tubuh Luna yang menimbulkan kerutan didahi Arthur.

Ruangan hampa berwarna putih mengelilingi tubuh keduanya, tangan Luna yang berada didada Arthur perlahan-lahan melemas dan tergantung dikedua sisi tubuhnya. Arthur menutup matanya ketika cahaya oranye mulai menyinari tubuhnya dan Luna bersama cahaya hitam itu.

Detik berikutnya Arthur membuka mata dan mendapati dirinya berada di hutan yang ia yakini berada di Selatan. Dengan seketika Arthur menjadi panik ketika ia tak mendapati Luna sejauh mata memandang, namun ia mendapati seseorang sedang bersandar pada batang pohon dengan rambutnya yang berwarna silver platinum membelakanginya.

Arthur mengusap rambut kelabunya kebelakang lalu mengendap-endap menuju seseorang yang berada beberapa meter dihadapannya. Diraihnya pedang yang-secara ajaib-berada di balik punggungnya lalu digenggamnya dengan kedua tangannya sembari terus berjalan dengan mengendap-endap.

Ketika ia sudah memutari pohon itu dan berada dihadapan seseorang berambut silver yang memunggunginya tadi, Arthur langsung mengangkat kedua alisnya bingung lalu berjongkok agar dapat menyamakan tingginya dengan gadis di hadapannya.

"Luna?"

Gadis itu mengerang ketika ia mendengar suara Arthur, membuat Arthur kembali tersenyum dan mengusap kepala Luna lembut. Pedang yang berada ditangan Arthur pun menghilang menjadi kerlap-kerlip cahaya oranye, lalu diraihnya lutut Luna dan punggung gadis itu. Dengan segera Arthur berteleportasi menuju rumahnya dan meletakkan tubuh Luna perlahan-lahan diranjang hangatnya.

"Membawa gadis, Arthur?"

Arthur menolehkan kepalanya ketika suara seseorang menggema di kamarnya. Membuat Arthur memutar bola matanya jengah setelah mengetahui seseorang yang sedang menyembulkan kepalanya dipintu kamarnya ialah kakak perempuannya.

"Tidak bisakah kau mengetuk dulu? Butuh berapa kali aku katakan padamu?"

Suara tawa sang kakak yang menggema pun membuat Arthur semakin jengkel, dengan cepat Arthur menghampiri sang kakak dan menyeretnya keluar dari kamarnya lalu ditutupnya pintu itu perlahan.

"Kau bisa mengganggu Luna, Aidyn!" kesal Arthur tertahan.

Seketika kedua bola mata Aidyn-sang kakak-terbelalak lebar, membuat Arthur tak tahan untuk tertawa. Detik berikutnya Aidyn pun merengut kesal sembari bersedekap, namun matanya masih menunjukkan keterkejutan yang langsung membuat Arthur menepuk bahu sang kakak.

"Namanya Lalluna Revolder, ia adalah gadis yang selalu kutemui beberapa puluh tahun terakhir. Dan kurasa kau benar, ia adalah Luna." Jelas Arthur yang membuat Aidyn semakin membulatkan matanya.

"Dia matemu? Astaga!" ujar Aidyn sembari merengkuh bahu Arthur. "Aku akan memberi tahu ini pada Ayah."

Dengan cepat Arthur menggeleng dan menahan kedua tangan Aidyn untuk tidak pergi. "Jangan, kau tak ingat ramalan itu? Ayah pasti akan memaksaku untuk mereject Luna demi gadis itu."

"Siapa bilang?"

Arthur dan Aidyn pun menolehkan kepalanya ketika suara bariton menghiasi gendang telinga mereka, membuat Arthur menjatuhkan tangannya pada Aidyn dan begitu pula sebaliknya. Kedua saudara kembar itu menundukkan kepalanya ketika sang Ayah bersedekap sembari menatap mereka dengan matanya yang berkilat.

Dengan keberanian yang cukup banyak, Arthur mengangkat kepalanya lalu menatap sang Ayah mantap. "Aku yang bilang, mengira Ayah sangat menantikan kehadiran Putri Xeraphin di keluarga ini."

Sang Ayah pun tertawa lalu memukul kepala Arthur dengan tongkat sihirnya dan membuat Arthur kembali menundukkan kepalanya.

"Ya, aku memang menantikan kehadiran Putri Xeraphin, namun aku bisa apa jika matemu adalah orang lain?" tanya sang Ayah yang membuat seorang wanita menghampiri mereka lalu memeluk lengan suaminya itu.

"Aku mencium aroma lain saat Arthur datang, jadi dia matemu?" tanya sang Ibu pada Arthur. Arthur pun mengangguk lalu kembali mengangkat wajahnya dan menatap wanita berambut kelabu dihadapannya.

"Siapa namanya?" tanya sang Ibu lagi.

"Luna, Lalluna Revolder."

"Kalau begitu ajak ia makan malam bersama," titah Ayah pada Arthur lalu beralih pada Aidyn yang kini sedang menatap sang Ayah. "Dan kau harus membiarkan Luna meminjam pakaianmu. Mengerti?"

Aidyn dan Arthur dengan serempak mengangguk. "Mengerti, Sir!"


To be continue

Hey ho, untuk beberapa chapter kebelakang akan ada yang aku private. Bertujuan untuk jaga-jaga aja dari mirror web itu.hoho maaf buat ketidak nyamanannya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro