Tigabelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Arthur berbaring di atas ranjang dengan kedua tangannya yang ia lipat di belakang kepala. Kedua matanya tak pernah lepas dari gerak-gerikku yang terus mondar-mandir di dalam kamar sejak tadi. Membuatku terkekeh kemudian menduduki bibir ranjang, menopangkan tubuh dengan kedua tanganku yang kuletakkan di atas dada panas Arthur kemudian mendekatkan wajahku pada pria itu.

"Apa?"

Arthur menggeleng. Sebuah senyuman terlukis di wajahnya dan entah kenapa langsung membuat wajahku panas.

"Berhenti menatapku." Kukecup bibirnya sekali. "Bisa-bisa kau tidak akan melepaskanku barang sedetik."

"Memangnya kau mau kemana, hm?" Tanyanya seraya memeluk pinggangku dengan satu tangannya.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Jalan-jalan bersama ratu."

Kulihat Arthur mengerutkan alisnya sekilas dan senyuman di wajahnya menghilang. Kemudian kedua mata birunya menatapku tidak suka. "Aku tidak ingin kau bersama beliau lagi. Kalau kau masih ingin berjalan-jalan, aku akan mengantarmu."

"Bagaimana dengan pekerjaanmu dan pelatihan itu?"

"Aku tidak peduli."

"Arthur.."

Tangan Arthur yang lainnya pun mengusap pipiku, menyelipkan rambut silverku di balik telinga kemudian ikut memeluk pinggangku. "Kau tidak suka jika aku yang menemanimu?"

Aku pun menggeleng. "Bukan seperti itu."

"Lalu?"

Aku menunduk. Menghindari tatapan Arthur sembari mencari alasan-alasan masuk akal.

"Kau sedang mencari alasan, sayang?"

Kugigit bibir bawahku ragu. Kemudian kujatuhkan kepalaku di atas dada panasnya seraya memejamkan mata. "Tidak."

"Lalu seperti apa? Kenapa kau tidak ingin aku menemanimu?"

"Aku tidak mengatakan aku tidak ingin." Arthur pun terdiam. Membuat keheningan menyapa kami beberapa saat sebelum akhirnya aku menjauhkan diriku dari Arthur dan hendak beranjak dari posisiku.

Namun pergelangan tanganku ditahan oleh pria berambut kelabu ini, kedua matanya menyiratkan sesuatu yang membuatku tenggelam di dalam laut penyesalan.

"Lalu apa, sayang?"

Aku menggeleng. Belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya sembari mencoba melepaskan genggaman tangannya.

"Omong-omong aku bertemu Zeon saat di Azurea."

Merasakan bahwa aku mengalihkan perbincangan, Arthur bangkit dari posisi berbaringnya, turun dari ranjang dan berdiri tepat di hadapanku.

"Ia mengatakan bahwa kau mengenalku sejak lama sekali dan menunggu selama bertahun—"

"Jangan mengalihkan perbincangan kita." Sela Arthur yang lantas membuatku terdiam. Salah satu tangan pria itu meraih pergelanganku, menggenggamnya erat hingga aku dapat merasakan kehangatan tubuhnya mengalir ke dalam diriku.

Aku mengangguk. Menatapnya lurus sembari menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis. Arthur pun mengangkat tanganku hingga berada di depan dadanya, kedua mata birunya berganti menjadi oranye dan sebuah kesedihan terselip diantaranya.

"Kau tahu apa yang selama ini kulakukan bersama Raja Zake?" Aku menggeleng. Sengaja terdiam untuk menjaga kestabilan suaraku agar tidak terdengar bergetar. "Kau sama sekali tidak tahu?"

Aku mengangguk.

"Aku memperhatikanmu."

Napasku tercekat. Jantungku berdetak semakin cepat dan kedua kaki serta tanganku bergetar ketakutan. Kugigit bibir bawahku gugup, mengalihkan pandanganku dari Arthur saat kedua mataku mulai dipenuhi embun-embun panas.

"Aku memperhatikan segala hal yang telah kau lakukan beberapa hari terakhir."

Kali ini aku mendongak, menatap kedua mata oranye Arthur yang tengah berkilat-kilat marah.

"Pelatihan sialan itu benar-benar sialan. Mereka mengujiku dengan memperhatikanmu mengendalikan elemen yang kau tahu sendiri bahwa aku tidak menyukainya. Dan selama ini kau berbohong padaku? Mengatakan sedang berjalan-jalan dan ternyata sedang berlatih sembari bergurau dengan Zeon. Kau bilang itu jalan-jalan?"

Suara Arthur terdengar dingin dan bergetar kecil. Rahangnya menegang dan jantungnya berdetak sangat cepat. Samar-samar aku dapat mendengar sebuah geraman dari dalam dirinya, membuatku kembali mengalihkan pandanganku dan menghindari tatapannya.

"Sekarang kau mengalihkan pandanganmu dariku, Luna?"

Aku dilema. Antara harus menatap kedua mata Arthur sembari menangis atau mengalihkan pandanganku darinya sembari menangis dalam diam.

Kemudian kuputuskan untuk kembali menatap kedua mata berwarna biru itu dengan pandangan mata yang sudah memburam. Tanganku pun mendingin, membuat air mata terjatuh detik itu juga yang dibalas dengan tangan Arthur yang menghempaskan tanganku.

Kedua tangannya pun menyapu rambut kelabunya ke belakang dengan kasar. Ia membalikkan tubuhnya kemudian berjalan menuju luar kamar.

Aku terdiam, masih terlalu bodoh untuk melakukan respon. Detik selanjutnya aku menjatuhkan seluruh rahasia yang telah kusembunyikan dari kedua mataku. Membiarkan titik demi titik air mata menghiasi lantai kamar Arthur dengan enggan.

Setelah lama terdiam, aku memutuskan untuk berteleportasi dengan kekuatan sihir. Menuju rumah kayu yang berada di belakang rumah pack dan berencana untuk menyendiri.

Namun takdir berkata lain, aku mendapati Ardeen, Cheryl serta Karl sedang berbincang-bincang disana. Sesaat setelah melihat kehadiranku, mereka semua terdiam. Menatapku dengan penuh rasa cemas yang berhasil membuatku menggeleng dan berjalan menuju sofa yang berada di sudut ruangan.

"Lupakan. Kalian lanjut saja."

Kududuki sofa yang sedikit kusam tersebut. Mengangkat kedua kakiku ke atas sofa, memeluk kakiku dengan kedua tangan kemudian menenggelamkan wajahku pada celana belel yang sedang kugunakan.

Air mata terus berjatuhan dalam diam. Membiarkan seluruh keresahan yang tertekan jauh di dalam diriku menguap. Udara di sekitarku pun mulai bergetar lembut, menghantarkan sejuta ketenangan bagiku hingga pada akhirnya berhasil menghentikan tangisku.

"Luna, kau baik-baik saja?" Tanya Karl yang saat ini berada di dekatku. Telapak tangannya yang kasar dan panas menyentuh lututku, membuatku mengangguk kecil sembari mempersiapkan suaraku agar kembali menjadi normal.

"Apa sesuatu terjadi denganmu dan Alpha?"

"Bukan urusan kalian."

Aku mendesah berat saat suara Arthur menggema di ruangan ini. Membuat udara di sekitar kami menjadi tegang. Aku tersentak kaget saat tangan panas Arthur menarik tanganku hingga aku nyaris terjungkal ke depan.

"Kau mencoba mencari simpati?"

Aku mengernyit, merasa tidak setuju dengan apa yang Arthur katakan. "Apa maksudmu?"

"Kau datang kemari agar mendapat simpati anggota pack dan meninggalkanku, begitu?"

"Tidak mungkin." Aku menggeleng, menatap Arthur lurus seraya menghentakkan tanganku agar terlepas dari genggamannya. "Aku tidak mungkin semurah itu."

"Lalu apa yang kau lakukan disini?" Suara Arthur pun mulai meninggi.

Kali ini aku tak mau kalah dan mendengus kesal. Namun mulutku tak ingin lagi untuk menjawab perkataan Arthur dan memilih untuk diam. Pria itu mendesakku seakan memaksaku untuk mengeluarkan kekesalanku dengan nada suara yang sangat rendah—menjaga emosiku agar tetap stabil.

"Menurutmu apa yang aku lakukan di sini? Bergurau dengan Zeon? Bertamasya?"

Arthur mendengus, melipat kedua tangannya di depan dada. "Mungkin jika aku tidak memberikanmu telepati saat itu kau akan terus bergurau dengannya—atau mungkin lebih dari itu."

Aku menganga. Bagaimana bisa aku menjadi semurah itu? "Kau terlalu banyak melihat pertengkaran orang dewasa."

Pria ini memilih untuk tidak mengatakan apapun. Namun kedua matanya menyiratkan segala hal hingga pada akhirnya aku menghela napas berat sembari mengalihkan pandanganku darinya.

"Aku tak mungkin menjadi seorang gadis murahan hanya karena kau tak ada di sampingku."

"Lalu apa maksudmu dengan berdekatan dengan Zeon, Luna?" Arthur mulai menggeram, kedua matanya berkilat marah dan udara di sekitar kami menjadi bergetar hebat. "Aku tidak peduli dengan seluruh alasan tentang kedekatan sialanmu dengan pembimbing elemenmu. Kau milikku, untuk apa kau bersama orang lain tanpa sepengetahuanku?"

Aku menarik napas, mencoba meredakan amarahku kemudian membuka mulut. "Bagaimana jika aku mengatakan padamu bahwa aku berusaha keras untuk tidak berinteraksi kepada laki-laki manapun selain dirimu? Kau bisa percaya itu?" Lirihku.

Arthur mendekatkan dirinya padaku, meraih daguku dan menaikkannya dengan sedikit hentakan. "Tidak. Kau mau aku percaya itu? Setelah membohongiku selama beberapa hari terakhir?"

Tubuhku bagaikan disambar petir saat mendengar Arthur mengatakan hal demikian. Menghadapi kenyataan bahwa Arthur tidak mempercayaiku adalah pemikiran yang sama sekali tidak pernah terlintas di benakku. Membuatku kembali menyentakkan daguku dan melepaskannya dari sentuhan Arthur, namun usahaku tak membuahkan hasil sedikitpun.

Kedua mataku mulai kembali panas dan berair. Kugigit bibir bawahku dengan gugup hingga kedua tanganku mulai mendingin. Dengan susah payah kutelan salivaku kemudian menatap kedua mata oranye Arthur dengan air mata yang sudah di ujung tanduk.

"Apa yang tersisa untukku?"

Ketegangan di wajah Arthur mulai memudar saat ia menyadari kedua mataku perlahan-lahan berubah menjadi warna biru muda. Disertai dengan binar air mata yang tak lagi terbendung, Arthur mendesah panjang.

Tangannya yang berada di daguku pun terjatuh dan tergantung di kedua sisi tubuhnya. Salah satu tangannya menyapu rambut kelabunya ke belakang. Kedua mata biru laut itu pun sudah tidak lagi menatapku.

"Apa kau—" Aku berdeham saat suaraku terdengar saat parau dan bergetar. "Apa kau sudah tidak mempercayaiku seutuhnya?"

Arthur menolehkan kepalanya ke samping, menghindari tatapanku hingga dapat kulihat binar di matanya nyaris menghilang; terjatuh dikedua pipinya.

"Kau kembalilah ke Azurea. Masih banyak pelatihan yang harus kau lakukan di sana." Lirih Arthur yang terdengar begitu menyakitkan untukku. "Sebaiknya kau melakukan yang terbaik. Jangan kecewakan atau bohongi siapapun lagi. Kau bisa melakukannya."

Detik berikutnya Arthur membelakangiku dan berjalan keluar. Saat pintu telah tertutup, aku pun terduduk di lantai, menarik rambutku dengan kesal seraya merutuki diriku sendiri. Kedua tanganku bertautan di depan dada, membiarkan es membekukannya dan tak melepasnya.

Tak peduli dengan kehadiran bawahan Arthur yang mematung di sisi ruangan, aku membangun sebuah pelindung yang terbuat dari es. Membuatnya menjadi kedap suara kemudian meraung histeris. Mengeluarkan segala kepahitan yang kutahan selama berhadapan dengan Arthur barusan.

Perlahan-lahan tubuhku pun mendingin, menghasilkan pendaran cahaya putih hingga akhirnya aku mendengar sebuah retakan dari es yang kubuat. Disaat aku hendak memperkuatnya kembali, suatu energi yang begitu kuat menahanku.

Aku mendongak dan mendapati seorang gadis berambut silver serta kedua mata berwarna biru muda mengulurkan tangannya kepadaku. Gadis itu tersenyum, kemudian kuraih uluran tangannya hingga tanpa kusadari ia membawaku menuju sebuah cahaya putih yang berada tepat di belakang gadis itu.

Tepat setelah itu, aku dapat melihat sebuah ruangan yang dipenuhi anggota pack, teman-teman yang berada di Azurea serta manusia-manusia lainnya yang tak kukenali. Mereka semua menghadap ke suatu titik yang mengarah kepada sepasang manusia yang tengah berdiri di depan altar.

Aku tercekat saat kudapati gadis yang menjemputku ini tengah berdiri di sana dengan Arthur yang berada di sampingnya. Keduanya nampak bahagia hingga aku sama sekali tidak merasakan perasaan haru. Hanya perasaan hampa di dalamnya.

Detik berikutnya Arthur mengalihkan perhatiannya dari sang pastor kepada gadis itu. Namun belum sempat ia membuka penutup wajah sang gadis, kedua matanya bertemu denganku. Membuahkan binar di matanya yang sangat kentara hingga aku sendiri terluka melihatnya.

Arthur tidak mencoba menghentikan upacara pernikahannya saat kedua matanya merengek padaku untuk kembali. Kedua matanya terus menatapku namun tidak dengan bagian tubuhnya yang lain. Tangan hangatnya yang terbalut sarung tangan berwarna putih, perlahan-lahan membuka penutup wajah sang gadis.

Kualihkan pandanganku dari mereka, mencoba menjauh dari tempat sialan ini hingga sesuatu menarikku ke belakang. Menjatuhkanku ke dalam sebuah lubang cahaya tak berujung dengan kedua mata yang tertutup.

Tubuhku tersentak kaget saat suara retakan es kembali terdengar dengan sangat keras. Membuatku seketika membuka mata dan mendapati Zeon berada tepat di hadapanku. Aku mendesah panjang, mencoba menghiraukan uluran tangan Zeon hingga suara miliknya menggema di telingaku.

"Aku yang bertanggung jawab."

Kualihkan pandanganku darinya, menatap pintu rumah kayu yang tertutup dan menghilangkan Arthur di baliknya. Ardeen, Cheryl dan Karl pun masih disana. Terpaku dengan wajah seperti orang dungu yang baru pertama kali melihat atraksi sirkus.

Zeon berdeham. Memintaku untuk memperhatikannya namun aku menolak untuk melakukannya. Hingga akhirnya Zeon meraih tanganku, menarikku untuk berdiri kemudian salah satu tangannya meraih daguku dan memaksa untuk menatap kedua mata hitamnya.

"Kau sudah kehilangan akalmu, Luna? Untuk apa kau berdiam diri dan tidak melakukan apapun selain menangis dan menggunakan kekuatan esmu?"

Aku memilih untuk tidak menjawab. Tidak ingin memperkeruh masalah yang bisa saja bertambah jika aku membalas perkataan Zeon.

"Dengar, aku mendengar semua yang kau ributkan dengan Arthur. Aku yang akan menyelesaikannya. Kau mengerti? Jangan menangis atau apapun hal sialan lainnya yang gila. Kau harus tetap waras."

Aku mendesah pelan. "Jangan selesaikan apapun. Aku yang akan mengurusnya."

"Luna, kau—"

"Ini masalahku, Zee. Aku yang memulainya, maka dari itu aku yang akan menyelesaikannya." Selaku seraya melepaskan genggaman Zeon dari tubuhku. "Kau memberikanku waktu untuk bertemu dengan Arthur hari ini. Terima kasih."

Setelahnya aku langsung melenggang pergi dari hadapan Zeon. Menatap ke arah Ardeen sejenak sebelum memutuskan untuk keluar dari ruangan ini.

"Ardeen, tolong berikan Zeon beberapa camilan kemudian antar ia hingga ke perbatasan setelah selesai."

Tanpa menunggu persetujuan wanita itu, aku kembali melangkahkan kakiku menuju pekarangan. Tepat setelah kedua kakiku telah menjejakkan dirinya di atas rerumputan, sebuah kerinduan yang mendalam menusuk hatiku. Membuatku menunduk sejenak sebelum memasuki rumah pack melewati pintu belakang.

Kehadiranku di dalam rumah pack disambut dengan tatapan tertunduk anggota pack yang tengah terhenti saat melihatku. Suasananya pun menjadi tegang saat perlahan aku mulai berjalan menuju ruang tengah.

Belum sempat alas sepatuku menyentuh lantai di daerah ruang tengah, suara geraman terdengar jelas. Membuatku sedikit menahan napas dan mencoba untuk tetap tenang saat melihat seekor serigala yang sedang berdiri di depan tangga—dekat sofa—menatap ke arahku.

"Dimana Alpha?"

Serigala itu—entah siapa—terus menggeram ke arahku. Kedua matanya berkilat-kilat dan tubuhnya sedikit bergetar.

"Luna, aku mohon, jangan mendekat."

Oh, astaga. Seth.

"Kenapa?" Tanyaku masih mencoba untuk berjalan mendekat. Namun detik berikutnya Seth berancang-ancang, geramannya semakin mengeras dan tubuhnya bergetar hebat.

"Aku akan menerkam siapapun yang mencoba menghampiri Alpha."

"Kalau begitu terkam aku."

Aku berlari ke arah Seth tepat setelah aku mengiriminya telepati. Membuat Seth menyalak dan menerkamku tepat sebelum aku dapat lebih dekat dengan tangga. Kami berguling, menabrak salah satu sofa dengan keras saat aku dalam posisi di bawah.

"Luna, aku mohon."

Tak mau kalah, aku pun ikut menggeram ke arahnya. Menampilkan taringku yang telah memanjang kemudian meraih leher Seth yang berada tepat di hadapanku. Aku mencekiknya. Memutar balikkan posisi.

"Mari kita lakukan apa yang Alphamu inginkan."

Dengan setengah hati Seth kembali membalikkan posisi. Membuatku berada di bawahnya—diantara lengan besar Seth. Ia kembali menggeram, namun kali ini lebih berani dan keras. Aku tersenyum tipis, merasa puas dengan apa yang telah Seth lakukan saat ini.

Aku pun terdiam, memejamkan mataku seakan memberikan waktu untuk Seth menepati tugasnya sebagai asisten sang Alpha. Namun yang terjadi selanjutnya ialah Seth menjilati wajahku, membuatku tertawa kecil seraya merengkuh wajahnya untuk berhenti.

Perlahan-lahan aku membuka mata, menatap kedua mata hitamnya yang terlihat sangat bersalah. Aku menggeleng, mengusap rahang kerasnya beberapa kali sebelum akhirnya Seth bangkit dari atas tubuhku dan mempersilakanku untuk naik ke atas.

"Terima kasih, Seth."

Seth terlihat menundukkan kepalanya sejenak saat aku mulai menaiki undakan tangga. Kemudian ia kembali ke posisi awalnya dan langkahku pun berlanjut.

Saat aku berada di undakan terakhir, terlihat sebuah ruangan yang cukup besar dengan sofa berwarna putih. Di sana, terdapat salah satu anggota pack yang tengah meringis kesakitan. Lengan kanannya yang tak terbalut apapun terlihat membiru—atau bahkan keungunan—dengan garis panjang dari bahu hingga sikunya.

"Kau baik-baik saja?" Tanyaku saat telah berada di dekat pria itu. Ia pun mengangguk. Menghindari tatapanku. "Sebaiknya kau berubah atau meminta Cheryl mengobatimu."

"Ya, terima kasih, Luna." Paraunya kemudian bangkit dari posisinya dan menjejakkan kakinya di tangga menuju lantai satu.

Aku mendesah, memutar arah tubuhku dan mendapati serigala lainnya tengah berjaga di depan tangga. Berbeda dari Seth, serigala kali ini tampak tenang dengan kedua matanya yang tertutup. Walaupun aku sangat yakin bahwa diam-diam ia memperhatikanku entah dari mana.

Entah bagaimana bisa sebuah ide bodoh terpikirkan olehku yang dengan ajaibnya langsung disetujui Leah. Membuatku mengangguk kecil dan perlahan-lahan berjalan mendekat ke arah tangga.

Serigala itu tidak bergerak sama sekali. Namun saat telah menjejakkan kakiku di undakan pertama, ia membuka matanya sembari menggeram. Kubalas dengan tatapan datar, menatapnya aneh yang malah membuatnya terdiam kebingungan.

Saat berada di lantai ketiga, sekali lagi aku mendapati seorang penjaga di dekat tangga. Namun kali ini ia tidak mengubah dirinya menjadi seorang serigala. Justru ia berpakaian dengan sangat santai serta seulas senyuman tipis yang berada di wajahnya.

Kedua alisku terangkat, menatapnya bingung yang hanya dibalas dengan anggukan kepala kecil olehnya. Oke, aku tidak peduli. Kuhiraukan pria itu, kembali melanjutkan langkahku hingga kini berada di undakan terakhir tangga.

Arthur berada tepat di depanku. Ia tengah berbaring di atas sofa sembari memejamkan matanya. Salah satu tangan kekarnya ia letakkan di atas kedua matanya, seakan tidak membiarkan kedua mata biru lautnya menampakkan diri.

Perlahan-lahan aku kembali berjalan. Menghampiri Arthur dan berdiri sedikit jauh dari tubuhnya yang sedang mengeluarkan banyak keringat.

Aku terdiam mematung saat perlahan-lahan Arthur berbicara di dalam tidurnya. Ia meracau dan menyebut-nyebut nama Putri Xeraphin dengan nada lirih. Membuatku menghela napas perlahan sembari menundukkan kepalaku.

Lagi-lagi perasaan menyakitkan itu menyapa diriku. Membuat tumpukan embun berkumpul di mataku dan menetes beberapa kali sebelum aku menyekanya dan mengangkat wajah.

Tepat setelah itu Arthur menggerak-gerakkan tangannya, membuka matanya perlahan dan mengedarkan pandangannya. Ia tahu aku di sini.

Kutelan ludahku susah payah, menatap kedua mata biru lautnya yang tengah menatapku datar dengan kedua kaki yang bergetar hebat.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku terdiam. Tidak dapat berpikir dengan tenang dan mencari jawaban atas pertanyaan Arthur.

"Aku ingin kau keluar."

Kepalaku setuju dengan pernyataannya. Namun tidak dengan kedua kakiku. Jarak diantara kami pun terkikis, membuatku menggigit bibir bawahku gugup dan Arthur yang bangkit dari posisinya. Kali ini Arthur menatapku dengan sorot yang lain, sesuatu yang terlalu sulit untuk diartikan. Namun intinya, ia ingin aku di sini.

"Aku bilang aku ingin kau keluar."

"Ya, tapi matamu mengatakan hal yang lain."

"Luna, ini perintah Alpha."

"Alpha, Luna menolaknya." Jawabku dengan bodohnya. Sejenak aku dapat melihat sudut bibir Arthur berkedut. Membuat jantungku memompa dengan cepat saat kudapati ia tengah menahan seulas senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.

Namun seketika wajahnya menjadi snagat serius. Membuat bulu romaku berdiri ketakutan. "Kau menolak perintah Alpha?"

Lagi-lagi aku menggigit bibir bawahku sejenak. "Ya."

"Kau ingin—"

"Aku ingin minta maaf." Selaku yang langsung membuatnya terdiam dan mengalihkan pandangannya dariku. Aku pun menunduk. "Ya, aku salah. Terlalu bodoh untuk berinteraksi dengan orang lain yang baru aku kenal. Seharusnya aku mengabdi kepadamu atau apapun itu karena kau telah menjadikanku hidup. Seharusnya aku mengatakannya sejak awal. Seharusnya aku tidak melakukan kontak fisik kepada siapapun selain denganmu. Seharusnya aku mencari tahu keberadaanmu dan tidak hanya menunggumu. Maafkan aku."

Keheningan pun mengelilingi kami hingga yang dapat kudengar saat ini hanyalah deru napasku yang mulai memburu. Jantungku yang telah berdetak dengan sangat cepat serta getaran dikedua kakiku yang tak kunjung berhenti.

"Aku berspekulasi bahwa aku adalah seorang werewolf, penyihir dan pengendali elemen. Jika kau meragukanku, pun diriku sendiri. Aku merasa bahwa jiwaku hilang entah kemana. Dan semuanya berjalan begitu cepat dan sia-sia saat kau tak ada di dalamnya. Dan satu lagi."

Kutelan ludahku berat.

"Jika takdirmu adalah bersama Putri Xeraphin, tolong jangan bawa aku ke dalamnya."

.
.
.

"Kita lebih baik berakhir seperti ini."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro